Siang itu, di sebuah kawasan perbukitan hutan jati yang lebat dengan banyak binatang buas yang berkeliaran di dalamnya. Tak jarang binatang buas itu melintas dengan santainya di jalanan berbatu yang membelah hutan itu. Auman harimau, lolongan serigala dan lompatan monyet yang mengagetkan di sisi kaca jendela mobil yang melintas, sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi pengguna jalan yang hilir mudik melewati kawasan itu.
Kawasan itu diguyur hujan deras ketika sebuah mobil jeep berkecepatan lambat melintasinya. Sebagai pendatang yang belum pernah melintas di kawasan itu, sang sopir harus waspada dan berkompromi dengan kondisi jalanan yang licin, menanjak berbatu dan berlumut. Sedikit saja dia lengah, sudah bisa dipastikan mobil itu akan tergelincir dan terperosok ke dalam jurang terjal di sebelah kiri jalan.
Sebuah perjalanan yang melelahkan baru saja dilaluinya. Meski medan dan kondisi jalan berbatu dan tanjakan curam menghadangnya, penumpang di dalamnya pantang menyerah. Hujan sudah mereda, hanya menyisakan gerimis kecil ketika mobil itu mulai melambat dan mengambil ancang-ancang untuk berhenti.
Setelah meyakinkan diri, bahwa rumah megah setengah jadi itu yang ditujunya, mobil itu berhenti di depan pagar yang setengah terbuka. Pagar itu terbuat dari kayu jati berbingkai besi hitam dengan asesoris mur baut besar. Kesan kokoh nampak dari sana.
Seorang wanita anggun turun dari dalam mobil jeep itu. Sambil menggendong seorang bayi lelaki mungil, seulas senyum sinis terukir di bibir wanita itu.
"Rupanya di sini tempat kamu menyembunyikan diri selama ini," gumam wanita itu nyaris tak terdengar, dengan pancaran wajah dinginnya.
"Aku akan memakai cara apapun agar engkau muncul di hadapanku!"
Rintik hujan yang turun tak menyurutkan niatnya. Amarah yang sedari tadi menggelegak dalam dadanya sudah tak terbendung lagi.
Sambil melangkah memasuki pelataran rumah, wanita itu membaca situasi. Sebelum mencapai teras depan rumah, wanita itu menghentikan langkahnya. Tangan kanannya bergerak cepat meraih sesuatu dari dalam saku mantel tebalnya. Secepat kilat wanita itu mengacungkan sesuatu ke udara.
Dor ... dor ... dor ...
Terdengar tiga kali bunyi letusan senjata api. Serempak kerumunan orang di depan teras yang semula menonton kehadiran tamu tak dikenal itu membubarkan diri, berlarian tak tentu arah.
Lalu seorang gadis kecil yang berusia sekitar enam tahun tiba-tiba berlari menerobos masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu berusaha menyelinap di bawah celah-celah kaki seorang lelaki paruh baya yang berdiri di tengah kusen pintu. Lelaki itu berusaha menghalangi jalan masuk ke dalam rumah, untuk melindungi siapapun yang ada di dalamnya.
Gerakan tiba-tiba gadis kecil itu menghentikan wanita tadi. Dia terpaku dan berusaha menyamarkan gerakan tangannya yang sedikit gemetar.
"Beruntung aku reflek menghentikan tembakan," batin wanita itu. “Kalau tidak, aku bisa mencelakai anakku sendiri.”
Tatapan mata tajamnya ke arah mobil, membuat seorang lelaki di dalam sana mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membenyuk huruf V. Dan meski tanpa suara, dari gerakan mulutnya lelaki itu mengucapkan kata, "I'm so sorry."
Wanita itu memalingkan wajah dan kembali focus ke arah pintu, menunggu gadis kecil itu keluar.
Sesaat kemudian, dengan wajah bingung, gadis kecil tadi berlari keluar dari rumah itu, sambil mengacungkan sebuah benda ke arah wanita tadi.
"Mom, aku menemukan ini di dalam sana. Ini milik Daddy, right?"
Sebuah pipa cerutu berbahan gading gajah ada di genggaman tangan mungilnya. Sekali lihat meski dari kejauhan, wanita itu sangat yakin bahwa perkataan gadis kecil itu benar adanya. Tapi tak ada jawaban yang keluar dari bibir wanita itu.
Wanita itu menggertakkan giginya menahan luapan amarah dalam hati.
Raut wajahnya menegang, lalu dia pun berteriak, "Sabda Alam Bhirawa!!!"
Suara wanita itu menggelegar memecah keheningan yang terjadi setelah suara tembakan tadi. Sudah jadi kebiasaannya memanggil dengan sebutan nama panjang bila dia sedang merasa sangat marah dengan seseorang.
"Aku hitung sampai tiga. Kalau kau tidak muncul juga di hadapanku, aku akan menghancurkan rumah ini!" lanjut wanita itu geram.
"Aku ngga akan peduli, berapa banyak yang terluka!"
Lalu wanita itu memanggil gadis kecil tadi.
"Love, kembali ke tempatmu!" teriaknya sambil mengkode dengan mengarahkan dagu ke mobil. Sementara tatapan matanya tetap focus mengarah ke rumah itu.
Gadis kecil itu menurut dan segera berlari mendekat ke arah mobil. Lalu seorang pria yang berwajah mirip dengan wanita tadi memeluknya erat.
"Diam di sini saja bersama uncle, Love. Biar mommymu menyelesaikan urusannya," bisiknya di telinga gadis kecil itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk, tak ada rona sedih atau takut di wajah polosnya.
“Tapi Love bingung, Uncle. Kenapa ada pipa cerutu milik Daddy di dalam rumah itu? Daddy di mana, Uncle?” katanya sambil menunjukkan benda yang dia genggam erat sejak tadi. Gadis kecil itu sangat hafal dengan benda kesayangan daddynya.
Lalu gadis kecil itu menceritakan pada unclenya, apa saja yang dilihatnya di dalam rumah itu. Tentang seorang wanita yang mengeluarkan darah dari tubuh bagian bawahnya dan tangis bayi berlumuran darah yang keluar dari tubuh wanita itu. Gadis kecil itu belum memahami apapun tentang itu semua, bahkan tujuan mereka datang ke tempat ini. Tapi ingatan tentang kejadian hari ini, akan selalu terekam rapi di memorynya dan ke depannya akan membawa trauma psikologis bagi gadis kecil itu.
Sambil mendengar celotehan gadis kecil itu, pria di dalam mobil tak melepaskan pandangannya dari wanita yang sedang mengacungkan senjata. Mata elangnya mengawasi setiap sudut dan pergerakan yang ada. Dia harus siap siaga dengan segala kemungkinan buruk yang terjadi.
"Kalau sesuatu terjadi padaku, bawa Love dan Faith pergi. Jangan pedulikan aku!"
Ia masih mengingat dengan jelas pesan adik kembarnya.
Lalu wanita itu mengarahkan senjata api ke arah rumah itu.
Tak ada tanda-tanda atau reaksi apapun yang terjadi dari dalam rumah itu. Semua diam terpaku dengan gemetar.
Hanya terdengar suara tangisan bayi, sesaat setelah gadis kecil itu masuk ke dalam rumah itu dan masih berlanjut sampai gadis kecil itu keluar dan kembali ke dalam mobil jeep.
Dari arah luar pintu, wanita itu bisa melihat pergerakan seorang wanita berbaju putih yang menggendong bayi merah yang masih berdarah.
"Satu ... dua ... ti ..."
Wanita itu terlihat memfocuskan pandangannya, seolah hendak membidikkan senjata mengarah pada bayi merah itu. Pancaran hawa dingin dan aura kelam di wajahnya menunjukkan bahwa ancamannya tidaklah main-main.
Belum sempat hitungan ketiga selesai, muncullah seorang pria dari arah teras samping kiri rumah.
Dor ...
Bersamaan dengan suara letusan itu, sesosok tubuh ambruk di depan wanita itu.
Sebuah tembakan serampangan mengarah ke langit. Wanita itu reflek mengggerakkan tangannya, berusaha mengalihkan sasaran tembak. Meskipun sudah menduga akan bertemu dengan pria itu di tempat ini, tapi ternyata hati kecilnya belum siap melihat kemunculan pria itu. Pria yang sangat dia cintai dan sekaligus dibencinya setengah mati.
Pria itu tersungkur dan jatuh sujud sampai kedua lututnya menyentuh ke tanah. Sambil memeluk kedua kaki wanita itu, pria itu menangis.
"Forgive me, Prada. Aku bersalah padamu dan anak-anak," lirih pria itu sambil berurai air mata. Suaranya tersendat, jantungnya hampir copot membayangkan istrinya akan menjadi seorang pembunuh dari bayi yang tidak berdosa.
“Sayang, kumohon ... turunkan senjatamu. Demi kebaikan kita semua,” bujuk pria itu sambil mendongak, sementara tubuhnya masih dengan posisi yang sama. “Mari kita bicarakan hal ini baik-baik dengan kepala dingin,” lanjutnya.
Wanita itu bergeming, sambil menahan napasnya yang tersenggal. Di antara usahanya untuk mengendalikan amarahnya yang menggelora dan menahan tangis kesedihannya. Wanita itu tak ingin terlihat lemah tak berdaya, rapuh dan minta dikasihani. Tanpa sadar senjata api di tangannya terjatuh menimpa jempol kaki kanannya. Rasa sakit sudah tidak dirasanya lagi. Seiring dengan tubuhnya yang tiba-tiba lemas serasa tak bertulang, wanita itu ambruk tak sadarkan diri.
Beruntung pria itu segera bangkit dari posisi berlutut dan berhasil menahan tubuh sang wanita. Dan seorang pria lain tiba-tiba muncul dari arah mobil jeep, berlari secepat kilat untuk menangkap bayi yang terjatuh dari gendongan wanita itu. "Prada ... Faith!"
***
Bunyi sirine ambulans membelah kawasan hutan, berpacu dengan waktu menuju ke rumah sakit Garcia. Tanpa sepengetahuan adik kembarnya, Prado telah menyiapkan sebuah mobil ambulans untuk mengantisipasi bila ada yang terluka. Ambulans itu diparkir tak jauh dari rumah itu.
Mengingat kondisi Prada yang belum pulih benar, setelah melahirkan Faith dan memaksakan diri datang ke tempat itu. Bahkan bekas jahitan di perutnya pasca operasi caesar, belum kering sempurna.
Beberapa saat kemudian di dalam sebuah ruang perawatan ...
“Prado,” lirih Prada memanggil nama kakak kembarnya. Matanya menjelajah ke ruangan serba putih tempatnya berada. Perlahan Prada mulai mengingat semua yang terjadi sebelum dia berakhir di tempat ini.
"Love ... Faith, di mana kalian?"
Sampai dia tersadar ketika mendengar suara seseorang.
“Sayang, kamu sudah sadar?” Sabda segera beranjak dari kursi dan menggenggam tangan Prada. Ketika Sabda hendak mendaratkan kecupan di kening istrinya, Prada refleks membuang muka, sehingga kecupan Sabda hanya mengenai rambut di atas telinga kanannya.
“Tidak perlu drama dan bermanis kata. Lebih baik segera ceraikan aku!” lanjut Prada sengit.
“Prada, jangan salah paham dulu. Aku bisa jelasin semua. Kumohon ... kali ini percayalah padaku.” Sabda meraih jemari Prada dan mengecupnya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" Sabda menahan tangan Prada yang berusaha melepaskan diri dari genggamannya.
Tak kalah akal, tangan Prada yang bebas dari jarum infus menekan tombol nurse di samping kirinya.
Beberapa saat kemudian seorang dokter dan seorang perawat memasuki ruang rawat itu dan menghampiri Prada.
"Tuan Sabda, silakan anda keluar dulu. Kami akan memeriksa kondisi Nyonya Prada."
Dengan langkah gontai, Sabda keluar meninggalkan ruang rawat itu, "Baik Dok, tolong tangani istri saya dengan baik. Terimakasih"
Dokter itu hanya menganggukkan kepala dan memulai pekerjaannya.
Sesampainya di ruang tunggu, Sabda bertemu dengan Prado kakak kembar istrinya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, tatapan tajam kakak iparnya seolah menuntut sebuah penjelasan darinya.
“Prado, aku bisa jelaskan semuanya. Tapi Prada tidak mau mendengar apapun dariku. Tolong kau bujuk Prada untuk memberiku kesempatan berbicara,” ucapnya dengan wajah lelah yang memelas.
Ya, Sabda semalaman tidak tidur sama sekali karena menjaga Prada yang tidak sadarkan diri. Pria itu menyesal karena selama ini menutupi kejadian sebenarnya supaya tidak membebani istrinya yang sedang mengandung Faith, anak ke tiganya.
“Kau berhutang penjelasan padaku, Sabda!” Kedua tangan Prado bersedekap dengan posisi tubuhnya yang menyandar di dinding. Kaki kanan menyilang di depan kaki kiri. Sementara mata elangnya tak lepas dari Sabda. Gestur tubuh yang sangat mengintimidasi adik iparnya.
“Tapi bukan kebiasaanku menginterograsi orang lemah dan kelaparan sepertimu. Isi dulu perutmu dan mandilah. Setelah segar dan pulih, segera temui aku, atau kau pilih ini?” lanjutnya sambil mengacungkan jari telunjuk dan jempolnya ke arah Sabda. Sabda hanya meringis membayangkan jika dia harus duel dengan kakak iparnya itu.
“Tapi bagaimana dengan Prada?” Sabda masih ragu untuk meninggalkan istrinya sendirian di ruang perawatan.
“Jangan sok jagoan! Rasa sayangku untuk Prada lebih besar daripada milikmu. Kau tahu itu,” balas Prado sengit. Dia tidak terima bila ada yang meragukan rasa sayangnya untuk adik kembarnya.
“Baiklah, aku percaya padamu.” Akhirnya Sabda mengalah dan melangkah lesu hendak berlalu meninggalkan lorong rumah sakit itu.
Sabda bukan meragukan rasa sayang Prado untuk Prada istrinya, tapi Sabda kawatir kalau sampai Prado nekad membawa Prada pergi tanpa sepengetahuan dirinya. Terlebih tadi Sabda melihat sikap Prada yang terang-terangan menolaknya dan malah sengaja memanggil dokter untuk mengusirnya keluar dari ruang perawatan istrinya.
“Percayalah, aku tidak akan mengambil keputusan sebelum mendengar penjelasan darimu. Aku akan mengambil keputusan setelah tahu titik terang kebenaran kasusmu.” Prado melanjutkan, “Istrimu aman di sini, aku tidak akan membawanya kemana-mana.”
Sabda bernapas lega, sambil menggerutu dalam hati, “Tahu aja kau, apa yang aku kawatirkan. Dasar otak mafia!”
Sabda menelusuri lorong rumah sakit. Dia memesan taxy, karena mobilnya masih tertinggal di rumah Beno partner bisnisnya.
Ketika taxy online yang dipesannya tiba di area drop off lobby rumah sakit, Sabda segera beranjak masuk ke mobil itu dan mengatakan pada driver alamat tujuannya. Tanpa sadar tubuhnya yang lelah dan lapar membuatnya tertidur nyenyak di dalam taxy. Terlebih wangi parfum aroma teraphy yang menenangkan yang menguar di kabin belakang mobil, membuat relax tubuhnya dan membuatnya terbuai ke alam mimpi.
Ketika terbangun, Sabda gelagapan. Dia sudah tidak berada di dalam taxy yang tadi ditumpanginya. Tapi berada di sebuah ruangan gelap dan pengap. Tubuhnya terasa kaku karena kaki dan tangannya diikat di kursi dan mulutnya dibalut dengan lakban. Sabda berusaha menajamkan penglihatannya sambil menatap ruangan di sekelilingnya. Kegelapan yang sangat pekat tanpa seberkas cahaya sedikit pun, membuatnya tidak bisa menerka. Apalagi selama perjalanan dia tertidur, tanpa tahu arah dan tujuan ke mana sopir taxy gadungan itu membawanya pergi. Meski Sabda berusaha menajamkan telinganya, dia tidak bisa mendengar suara apa pun. Selain keheningan dan kesunyian.
“Dimana aku? Dan kenapa aku bisa di sini?”
“Selamat datang partner terbaikku.”
Seberkas cahaya masuk ketika seorang pria muncul dari balik pintu dengan senyum mengejek.
Sabda mengerjapkan mata, terasa menyilaukan. Setelah dalam waktu lama berada dalam kegelapan yang pekat, matanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan cahaya.
"Buka lakbannya, aku tidak suka bicara dengan orang bisu!"
Seorang anak buah Beno melepas lakban dari mulut Sabda.
"Beno, kau kah itu?"
Beno mendekat dengan senyum meremehkan.
"Apa kabarmu kawan? Kuharap kau suka dengan kejutanku"
Seorang anak buah Beno meraih saklar dan menyalakan lampu di ruangan itu. Sekarang tampak jelas siapa yang sedang berdiri di hadapan Sabda.
“Lepaskan aku Beno, ada apa ini sebenarnya? Kalau ada suatu masalah, bukankah kita bisa bicara secara baik-baik?” Kening Sabda mengernyit heran.
“Kau terlalu naif Sabda, tidak ada yang bisa dibicarakan secara baik-baik bila itu menyangkut tentang uang.” Beno tersenyum mengejek.
"Sesuai permintaanmu, aku sudah menunggu kedatanganmu di rumah wanita itu, lalu apa yang kau mau?” Sabda menoleh menatap Beno.
“Hahaha ... hahaha ... Kau tahu? Kedatangan istrimu dan kakak kembarnya menyusulmu ke rumah Sayekti adalah bagian dari skenarioku. Hal itu harus terjadi, agar Prada percaya akan pengkhianatanmu dan aku dengan mudah bisa ...” Beno sengaja menggantung kalimatnya.
“Bisa apa?!!!” teriak Sabda dengan raut wajah frustasi.
Sungguh dia tidak menyangka, partner bisnis sekaligus sahabatnya tega melakukan ini semua.
“Kau sungguh licik Beno. Sekarang katakan, apa maumu!” Sabda melotot tajam. Tangannya berusaha melepaskan diri dari ikatan di kursi.
“Bisa menculiknya ... Hahaha ... Kau lihat siapa ini?” Beno mendekat, membuka kunci layar ponselnya. Jarinya lincah mencari sesuatu di sana. Lalu menunjukkan layar ponselnya pada Sabda.
“Baj*ng*n kau, Beno!!! Lepaskan Hope!!! Jangan pernah libatkan keluargaku!!!” Teriak Sabda kalut melihat anak lelakinya disekap oleh Beno. Kaki dan tangan Hope terikat dan tubuhnya terbaring di lantai yang kotor dan dingin.
“Tenangkan dirimu, aku belum berminat mencelakainya. Tapi ada syaratnya.” Beno menyeringai.
“Jangan macam-macam kau Beno. Cepat katakan!!!” teriak Sabda panik. Dan reaksi itulah yang diinginkan Beno. Pancingannya berhasil kali ini.
“Sabar kawan, aku tahu ... kau lebih dari mampu untuk memenuhi syarat yang kuberikan padamu.”
Beno berjalan menjauh dan mengambil sebuah map berwarna putih dari dalam tasnya.
“Tanda tangani ini semua dan aku akan melepaskan keluargamu!”
“Lepaskan ikatanku, aku akan menandatangani berkas itu!”
“Jangan mencari kesempatan untuk kabur. Dan jangan menguji kesabaranku. Atau sesuatu yang fatal akan terjadi. Aku beri waktu lima menit mulai dari sekarang.”
Sabda melihat ada beberapa orang berseragam hitam menodongkan senjata ke arahnya. Seorang berjalan ke arahnya dan melepaskan ikatan tangannya. Sementara kakinya dibiarkan tetap terikat di kaki kursi.
Demi keselamatan Hope, Sabda bersedia melakukan apapun, termasuk tanda tangan pengalihan semua aset perusahaan dan aset pribadinya. Sabda membaca berkas itu.
“Jangan gila kau Beno. Bagaimana mungkin aku harus mengakui kejahatan yang tidak pernah aku lakukan?”
Beno memaksa Sabda mengakui tindakan penggelapan uang, penipuan, penjualan organ tubuh dan pembunuhan yang dilakukannya.
“Tidak mau tanda tangan? Jangan salahkan aku, kalau anak kesayanganmu itu terluka.”
“Biad*b kau Beno. Bangs*t!!!” Sabda menggertakkan gigi karena amarah. Lalu melanjutkan membaca lembar berikutnya.
“Dan kenapa aku harus mengakui wanita itu sebagai istri ke duaku?”
“Sudah lebih dari lima menit. Lihatlah!”
Beno kembali mendekatkan layar ponselnya dan mempertontonkan sebuah adegan. Tubuh Sabda bergetar dan lemas seketika melihat video yang diputar dari ponsel Beno. Seorang anak buah Beno melukai Hope. Darah segar mengalir membanjiri wajah anaknya. Tapi anehnya Hope sama sekali tidak menangis, meski tubuhnya terlihat bergetar menahan sakit.
Tak mau terjadi hal yang lebih buruk menimpa anaknya, Sabda segera menandatangani semua berkas itu.
“Sesuai janjimu, sekarang lepaskan anakku! Aku sudah menuruti semua kemauanmu.”
“Bagus, aku bisa memanfaatkan keluargamu, sebagai titik kelemahanmu. Rasa cinta dan sayang hanyalah kebodohan bagiku." Seringai kemenangan tampak di bibir Beno. Bagi Beno tidak ada satu pun yang bisa menghalangi ambisisnya, termasuk keluarga.
"Black, lakukan tugasmu!”
Pria yang disebut Black mengangguk. Dia berjalan menuju sebuah ruangan dan menyeret seorang anak yang wajahnya berlumuran darah, bahkan darah itu menetes membasahi kaos biru yang dipakainya.
Black mendorong anak itu sampai terjatuh ke lantai.
“Hope ...”
“Daddy!!!”
Seorang pria kembali membius dan mengikat Sabda di kursi. Sementara Hope terbaring tak sadarkan diri.
Seorang wanita sedang bersembunyi di balik pilar gedung tua itu dan menyaksikan semua yang terjadi. Dia harus menjalankan misinya dengan waktu yang sangat terbatas. Dan wanita itu datang terlambat karena dihadang beberapa pengawal Beno sejak dia menerima perintah dari tuannya. Rupanya gerak-geriknya sudah dibaca oleh musuh. Wanita itu sudah siap dengan segala konsekuensi dan hukuman yang akan diterimanya. Bahkan nyawa adalah bayaran yang setimpal karena tuan mudanya terluka parah.
*
Beberapa mobil polisi melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke sebuah bangunan tua. Berupa sebuah pabrik gula yang sudah tidak beroperasi lagi.
Setelah mendapatkan sebuah telepon misterius, polisi segera bergerak menggerebek bangunan tua itu untuk menangkap pelaku kejahatan.
Sesuai rencana awal, kawanan Beno segera melarikan diri melalui jalan belakang. Meninggalkan Hope dan Sabda sebagai umpan untuk memgecoh polisi. Toh mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Wanita itu segera menyelinap dan membawa pergi tubuh Hope sebelum polisi memasuki gedung itu. Hope harus segera mendapatkan pertolongan sebelum kehabisan darah. Dia melakukan misinya tanpa meninggalkan jejak, termasuk tetesan darah. Beruntung Hope tak sadarkan diri, sehingga memudahkan wanita itu dalam melakukan aksi senyapnya.
Beberapa polisi berpencar mencari keberadaan tersangka.
“Di lantai ini ada banyak darah. Milik pria itu?”
Seorang personil polisi memeriksa kondisi Sabda. "Dia tidak terluka ... Masih hidup, hanya pingsan."
“Berarti ada korban lain. Ayo kita telusuri tempat ini.”
Mereka berpencar mengitari bangunan itu, tapi tidak mendapati seorang pun. Barang bukti berupa bercak darah, bekas tali pengikat dan juga botol obat bius mereka ambil.
"Lelaki ini kita bawa dan kita periksa sebagai saksi."
Dua orang polisi melakukan proses dokumentasi dan pengumpulan fakta, lalu memasang police line di tempat itu.
Mereka melihat ada banyak jejak sepatu di lantai berdebu.
"Rupanya ada banyak orang di sini. Jejak kaki mengarah ke belakang bangunan ini."
Sebagian polisi berusaha mengejar kawanan Beno. Semak yang tinggi dan liar, menjadi penghalang. Sampai akhirnya mereka menemukan jalan setapak yang tampak random. Seperti sengaja dibuat meski dengan buru-buru. Hanya semak-semak yang dipangkas di sisi kanan dan kiri. Sementara rumput masih utuh.
"Mereka sudah merencanakan ini semua, jangan sampai mereka lolos.
Akankah polisi berhasil menangkap kawanan Beno?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!