NovelToon NovelToon

Heyra Diary

Engkau yang Dirindukan

Ada yang bilang kalau masa SMA itu adalah masa yang paling indah. Masa di mana kau menemukan apa arti sebenarnya dari persahabatan. Masa di mana kau akhirnya mengenal dengan yang namanya cinta. Bukan, bukan cinta monyet seperti masa-masa dahulu saat SD atau SMP, melainkan cinta yang sesungguhnya yang datang langsung dari hati.

Vindra sudah berkali-kali mendengar kalimat itu entah di medsos maupun di real life. Ia sebenarnya tidak sepenuhnya tahu seperti apa kehidupan seorang siswa SMA yang sebenarnya karena dirinya memang baru saja lulus dari SMP dan hendak mendaftar sekolah di SMA.

Yang ia pikirkan mungkin kehidupan SMA tak akan berbeda jauh dari kehidupannya saat SD maupun SMP. Apakah kehidupan SMA akan benar seperti yang digambarkan oleh kalimat itu atau malah seperti film-film yang ada di bioskop?

Oh oh, mungkin malah seperti yang ada di sinetron di mana ada adegan ketabrak mobil bukannya menghindar malah teriak-teriak.

Tapi kalau kisah cintanya ada ketabrak mobilnya sih… Vindra gak maulah, siapa juga yang mau ketabrak mobil.

Di atas tempat tidurnya, Vindra merebahkan tubuhnya sambil memanjakan dirinya dengan bermain ponsel dan menikmati alunan musik melalui tws yang terpasang di telinganya. Baru satu minggu yang lalu ia merayakan kelulusannya dari SMP, menandakan dirinya kini resmi menjadi seorang alumnus di SMP-nya.

"Ujian udah, lulus juga udah. Sekarang tinggal mikirin daftar ke SMA aja," batinnya sambil merenung tentang tantangan hidup yang harus ia hadapi selanjutnya.

Tepat setelah ia selesai memikirkan masalah hidupnya, lagu Need Ya milik Syn Cole selesai berputar dan berganti lagu Memory Lane milik Tobu. Mood-nya hari ini bisa dikatakan cukup bagus dikarenakan nanti siang selepas dzuhur, ia dan kedua temannya, Umar dan Bima akan berenang bersama di kolam renang.

Ya, hanya bertiga. Sebenarnya mereka sudah mengajak beberapa teman mereka yang lainnya untuk ikut, namun sebagian besar dari mereka kebanyakan berlibur bersama keluarga mereka. Itu wajar mengingat hari ini adalah hari minggu dan sekolah masih belum dimulai.

Vindra menatap langit-langit kamar sambil memikirkan tentang daftar teman-temannya yang belum ia tanyai untuk diajak berenang bersama di kolam renang. "Dia udah, si itu juga udah. Kalau dia... jangan deh, dia kan rumahnya jauh. Kalo… oh!"

Vindra tersentak ketika tiba-tiba mengingat salah satu temannya yang belum ia tanyai, teman yang telah menjadi sahabat dekatnya sejak SMP. Betapa lupa dan pelupanya ia sampai-sampai sahabat sendiri dilupakan.

Segera saja Vindra menekan tombol pause dan melepas tws dari telinganya. Ia membuka aplikasi WhatsApp di layar ponselnya lalu mengakses roomchat pribadinya dengan nickname ‘Heyra BFF’.

Sejajaran pesan muncul di layar, membahas tentang keberadaan kucing Heyra yang belum pulang dan beberapa candaan receh. Mengabaikan riwayat obrolannya dengan Heyra, Vindra mulai mengetikkan pesan di ponselnya.

Vindra: “Heyra, mau ikut renang gak nanti siang?”

Menunggu selama beberapa saat, tak lama setelahnya muncul notifikasi pesan dari Heyra yang menjawab pesan Vindra.

Heyra: “Sama siapa?”

Vindra: “Sama aku, Bima sama Umar juga.”

Heyra: “Owlhh.”

Heyra: “Hm… sorry ya Vin, kayaknya aku gak bisa ikut.”

Heyra: “Aku lagi di rumah kakekku soalnya.”

Vindra: “Yang benerrr?? aku ke rumahmu sekarang lho, awas aja kalo ketemu kamu.”

Heyra: “Ihh beneran, coba aja ke rumahku kalo gak percaya.”

Heyra: “Palingan cuma ada Bi Sumi di rumah.”

Vindra: “Coba vidcall.”

Heyra hanya bisa menghela napas mendengar permintaan aneh temannya satu ini. “Gak percaya-an amat dah ini orang, lama-lama ku tampol ni orang” gumamnya kesal. Namun, Heyra tak punya pilihan lain karena sekarang Vindra sudah men-spam-nya dengan huruf P.

Heyra: “Iya deh.”

Heyra lalu menekan tombol berlogo kamera sembari berjalan ke halaman depan rumah kakeknya. Di sana ia duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari rotan yang terletak di teras rumah kakeknya.

Ia mendapat sajian pemandangan pedesaan yang asri dan damai, yang dengan beragam macam tumbuhannya memberikan ketenangan pikiran kala angin bertiup menerpa dedaunan.

Tak lama setelah angin sepoi-sepoi menerpa rambut serta wajahnya, muncul wajah Vindra di layar ponsel Heyra. “Oi,” ucap Vindra mengawali.

Heyra lalu mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke sekeliling pekarangan rumah kakeknya untuk membuktikan pada Vindra bahwa ia benar-benar sedang berada di rumah kakeknya.

“Ini loh aku di rumah kakekku, masih gak percaya?” ucap Heyra dengan nada kesal. Awas saja kalau Vindra masih tidak percaya dengannya setelah ini.

“Enggak, itu pasti editan.” Dan benar saja dengan apa yang Heyra pikirkan, Vindra tak percaya dengannya.

Lantas saja ia pun langsung naik pitam. “Ihhh ya Allah kurang jelas apalagi ini anak minta ditonjok kayaknya dah!”

Sebelum kemarahan Heyra semakin memuncak, Vindra segera menjawab. “Iya iyaaa, aku cuma bercanda… aku percaya kok. Jangan marah-marah gitu dongg nanti cepet tua,” ucap Vindra sambil tertawa geli. “Dah ya, hati-hati si Kochi jangan sampe hilang lagi, ya? Dah Heyraa.”

Heyra menghela napas. Ada-ada saja temannya ini, entah di manapun kapanpun selalu ada saja ide jahil yang muncul di kepalanya. “Iya… dah Vindra.”

Vindra menutup teleponnya, pandangannya kembali ke langit-langit kamarnya. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah datar, tampak sedang memikirkan sesuatu.

“Ku harap aku bisa melihatmu yang dulu lagi, Heyra.”

Beberapa saat terdiam, Vindra bangkit dari posisi tidurnya lalu berjalan keluar kamar hendak mempersiapkan apa yang perlu ia bawa nanti di kolam renang.

~

Sang surya terbit di cakrawala, menerangi langit pagi dengan kehangatan yang menggetarkan. Suasana berdebar, terisi dengan antusiasme dan semangat yang melimpah. Hari itu, hari pertama Vindra di sekolah barunya.

Vindra yang berhasil diterima di SMA pilihannya merasa sangat bersemangat. Ia bangun pagi-pagi sekali, melakukan aktivitas paginya, memakai seragam, lalu berpamitan dengan ibunya dan berangkat ke sekolah menggunakan sepeda onthel milik almarhum ayahnya.

Blazer biru bergaya modern dengan aksen elegan dan menawan, logo sekolah berkilau yang terletak di dada kanan berpadu dengan seragam putih abu-abu yang sekarang tersemat di tubuhnya. Yang menjadi penanda bahwa sekarang ia sudah resmi menjadi seorang siswa SMA.

Logo sekolah itu berbentuk dua setengah lingkaran minimalis yang saling mengitari seperti Yin dan Yang dengan gradasi warna biru-hijau dan background berwarna biru tua beserta tulisan SMA Dharma Jaya di bagian bawahnya.

Vindra benar-benar menikmati perjalanannya menuju ke sekolah pagi ini. Kabut yang dihiasi sinar matahari pagi ditambah langit yang benar-benar bersih dari awan semakin memperindah suasana pagi hari itu.

Sebenarnya tak butuh waktu lama bagi Vindra untuk sampai di sekolah barunya. Kurang lebih hanya sekitar 15 menit menggunakan sepeda onthelnya. Tapi mengingat bel masuk masih lama berbunyi, Vindra ingin sedikit menikmati perjalanan pertamanya ke SMA.

Di tengah perjalanan, suara dering ponsel tiba-tiba mengganggu suasana pagi yang sedang dinikmati olehnya. Dengan sigap, dia menghentikan laju sepedanya dan meraih ponsel yang tersimpan di saku celananya.

Tatapannya terpaku pada layar, memperlihatkan panggilan telepon dari Ayah Heyra.

"Tumben nelpon," gumam Vindra. Ayah Heyra, atau akrabnya dipanggil Pakde Herry, jarang sekali meneleponnya kecuali jika ada hal yang benar-benar mendesak atau penting.

"Assalamualaikum, Vindra," ucap Pakde Herry mengawali sambungan telepon.

"Waalaikumsalam, ada apa, Pakde?" tanya Vindra langsung to the point.

"Begini, Vin, Heyra kan masih satu sekolah denganmu, kan?" kata Pakde Herry memulai penjelasannya. "Pakde minta tolong titip Heyra ya, kalau ada apa-apa, bilang aja ke pakde."

Vindra dengan penuh semangat menjawab, "Iya, Pakde, santai aja, Heyra pasti aku jagain kok."

Pakde Herry tertawa ringan, "Hahaha, yaudah kalau begitu. Pakde percayakan Heyra kepada kamu, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," Vindra menjawab. Pakde Herry lalu mengakhiri panggilan teleponnya.

Vindra memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Sebelum kembali melanjutkan perjalanannya, ia bergumam pelan, “Mau beda sekolah juga bakal aku jagain kok.” Ia lalu kembali mengayuh sepedanya namun dengan sedikit lebih cepat kali ini.

SMA Dharma Jaya

Vindra hampir mencapai gedung sekolahnya. Dari kejauhan, bangunan sekolah bertingkat tiga itu tampak menjulang dengan megah, menantang gaya arsitektur zaman modern gedung-gedung di sebelahnya. Fasad bangunannya dipenuhi dengan kaca-kaca bergaya futuristik.

Vindra berdecak kagum melihat gaya bangunan sekolahnya yang begitu futuristik. Dulu, ia hanya bisa mengaguminya dari kejauhan, tapi sekarang ia akan bisa merasakan sendiri suasana bangunan tersebut dari dalam.

Sesampainya ia di sekolah barunya, Vindra memarkirkan sepedanya di bagian pojokan parkiran sepeda motor.

Parkiran itu berada di belakang sekolah dan dibagi menjadi 2 bagian, yang pertama parkiran untuk guru dan kedua parkiran untuk siswa.

Di bagian tengah parkiran tersebut dibuat blok semen sebagai pemisah antara parkiran siswa dan guru yang ditanami beberapa tanaman kecil seperti aglonema, sanseviera, beberapa jenis bunga dan pohon trembesi.

Parkiran yang bisa dibilang cukup luas itu terlihat sudah sesak oleh berbagai macam sepeda motor. Dari yang sekelas Nmax sampai Supra bapak pun ada.

Hal itu membuat Vindra berpikir apakah semua siswa di sekolah ini yang jumlahnya seribu lebih memakai sepeda motor untuk pergi ke sekolah?

Jika ditelisik lebih jauh, dulu saat SMP, teman-temannya lebih banyak menggunakan angkutan umum atau sepeda untuk berangkat dan pulang sekolah.

Dan sejujurnya Vindra juga cukup terkejut ketika mengetahui kalau sekolahnya menyediakan parkiran khusus untuk siswanya. Memangnya anak SMA sudah boleh naik motor ya? Tanyanya saat itu.

Terlepas dari semua itu, sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi dan Vindra harus sudah berkumpul di lapangan untuk mendapat pengarahan dari OSIS.

Vindra berjalan melalui lorong pendek yang menghubungkan bangunan sekolah dengan parkiran siswa. Suasana berubah 180 derajat ketika ia memasuki lorong utama yang menghubungkan kelas-kelas.

Suasana di sana sudah cukup ramai dengan siswa yang berlalu-lalang, entah itu kakak kelas, teman seangkatannya, atau anggota OSIS dan MPK yang mengenakan jas berwarna biru dan merah.

Ketika ia tengah kebingungan mencari seseorang yang ia kenal di tengah keramaian ini, seseorang lalu menepuk pundaknya. “Oi.” Vindra lalu membalikkan badan dan terkejut melihat wajah Umar ada di belakangnya.

Ia langsung menyapa temannya tersebut. “Eh, tadi aku nyariin kamu. Ini pada mau ke mana kok rame banget?” tanya Vindra. Ia sudah tahu kalau Umar, temannya sejak SMP ini akan berada di satu sekolah yang sama lagi dengannya.

“Ini baru mau ke lapangan, tadi ngumpul dulu di kelas,” balas Umar.

“Owalah….”

Sembari berjalan menyusuri lorong untuk pergi ke lapangan setelah disuruh oleh salah satu anggota OSIS, Vindra melanjutkan obrolannya.

“Btw, kamu jadinya kelas berapa?” tanya Vindra basa-basi.

“Kelas 10-3, sekelas sama kamu,” balas Umar to the point.

“Beneran? Yess! Kita sekelas lagi dong.”

Vindra yang kegirangan merangkul Umar. Sedangkan Umar sendiri tidak bereaksi apapun seakan-akan satu kelas dengan Vindra adalah hal yang membosankan dan sudah biasa.

Sejak sampai di parkiran hingga berjalan di lorong, Vindra menyadari dinding sekolah ini kebanyakan bernuansa biru muda dan hijau muda, namun di beberapa tempat tetap dibiarkan berwarna putih dan abu-abu.

Ketika ia melewati tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua bangunan tersebut, terdapat gambar stiker huruf aksara jawa di setiap anak tangganya dengan nuansa warna coklat dan jawa yang kental.

Ia kembali berdecak kagum. Ia pikir sekolahnya akan membosankan, namun ternyata tidak.

Pernah dulu ketika ia mengikuti lomba waktu SMP, ia pergi ke sekolah lain dan melihat nuansa sekolah itu penuh dengan warna krem. Alhasil ketika ia menunggu giliran untuk tampil lomba, ia mengantuk dan terus menguap secara berkala.

Tapi sepertinya masa SMA nya akan lebih berwarna dan menyenangkan karena warna-warna dan gambar-gambar yang bervariatif. Ditambah lagi dengan lagu-lagu nasional yang sengaja diputar setiap paginya membuatnya lebih bersemangat untuk bersekolah.

Setelah berjalan selama beberapa saat, sampailah ia dan Umar di lapangan utama sekolah mereka.

Sekolah mereka memiliki dua lapangan, yang pertama lapangan yang paling luas yang biasa dipakai untuk bermain sepakbola dan upacara bendera, lalu lapangan yang lebih kecil yang biasa digunakan untuk bermain basket.

Vindra dan Umar mengedarkan pandangannya pada kerumunan manusia di sekeliling mereka.

Beberapa di antara mereka sudah ada yang berbaris sambil mengobrol santai dengan teman mereka, ada juga yang masih berjalan-jalan mencari barisan kelas mereka dan ada juga yang malah duduk-duduk di bawah pohon sehingga para anggota OSIS harus menegur mereka agar bisa segera ikut berbaris.

“Mar, kira-kira kelas kita di mana ya?” tanya Vindra sembari berjalan mencari barisan kelas mereka.

“Yang barusan itu kelas X-1, harusnya barisan kita di sebelah sana,” tunjuk Umar pada sekelompok siswa yang sedang berbaris dari kejauhan.

Vindra dan Umar segera berjalan menghampiri barisan kelas mereka, namun dunia seakan-akan berhenti bergerak ketika ia berpapasan dengan seorang gadis berwajah murung yang sudah tak asing di matanya.

Vindra mematung dan sedetik kemudian membalikkan tubuhnya ke belakang mencari sosok gadis yang berhasil memberikan efek time stopping padanya.

Di sana ia dapati punggung gadis itu masih nampak di antara kerumunan manusia yang hendak menelannya.

“Oi! Heyra!” teriaknya sambil melambaikan tangan memanggil gadis itu sebelum semakin tenggelam di dalam lautan manusia, namun sial, teriakkannya sama sekali tak ditanggapi gadis itu hingga akhirnya ia menghilang ditelan kerumunan siswa.

Wajah Vindra seketika kehilangan keceriaannya. Mata yang tadi berbinar-binar dengan kegembiraan kini tampak suram. Senyuman yang biasa terpampang di wajahnya sekarang menghilang, digantikan oleh ekspresi kesedihan dan kekecewaan.

Umar yang sudah sampai dibarisannya terpaksa harus kembali lagi karena temannya, Vindra sudah menghilang dari sisinya.

“Hah…” ketika menyadari temannya itu malah berdiri mematung memandangi sesuatu entah apa itu, ia hanya bisa menghela napas lalu segera menghampirinya. Ia menepuk pundak temannya itu beberapa kali sebelum akhirnya tersadar dari lamunannya.

“Jangan bengong nanti kerasukan setan,” kata Umar.

Vindra lalu tersentak pelan. “Eh, tadi aku liat Heyra, Mar,” ucap Vindra tiba-tiba.

“Heyra?” Umar langsung mengerti kalau penyebab mematung dan menghilangnya Vindra tadi dikarenakan kemunculan entitas misterius dan tidak dikenali bernama Heyra yang memiliki kemampuan untuk membuat seseorang menghilang dalam sekejap.

“Dia sekolah di sini juga? Bukannya katanya dia mau pindah ke luar kota?” lanjut Umar dengan ekspresi keheranan.

“Enggak jadi, sekarang dia jadinya sekolah di sini,” balas Vindra.

“Oh,” Umar hanya mengatakan ‘oh’ lalu membalikkan badannya tidak peduli, meninggalkan Vindra untuk kembali ke barisannya.

Vindra lalu segera menyusul Umar ketika beberapa detik kemudian terdengar suara teriakan ‘Siap grak!’ dari arah tengah lapangan.

...----------------...

Vindra memilih duduk di kursi bagian pojok kanan depan dekat pintu masuk kelas X-3 bersama Umar. Beberapa siswa yang akan menjadi teman sekelasnya untuk satu tahun kedepan juga tampak sedikit demi sedikit mulai mengisi kursi-kursi kosong yang ada.

Beberapa tampak sudah ada yang akrab satu sama lain. “Mungkin mereka satu SMP,” pikir Vindra.

Tak butuh waktu lama untuk kelas menjadi penuh dengan para siswa. Walaupun demikian, suasana kelas masih bisa dibilang cukup sepi. Kebanyakan dari mereka memilih untuk bermain dengan ponsel mereka ketimbang saling berkenalan satu sama lain.

“Ba!” Vindra yang sedang melamun tiba-tiba dikagetkan oleh Bima yang mengagetkannya dari arah belakang.

“Astagfirullah! Ya Allah bisa gak sih gak usah ngagetin gitu,” kesal Vindra.

Umar yang sebelumnya fokus pada ponselnya menoleh ke belakang untuk ikut nimbrung dengan keributan yang tengah terjadi. “Kamu kelas X-3 juga? Tadi dilapangan kok aku gak liat kamu?” tanyanya pada Bima.

“Hehehe, tadi aku telat. Pas aku dateng, ternyata upacaranya dah selesai, jadi aku langsung ke kelas aja,” balas Bima sambil cengar-cengir memegangi tengkuknya.

Vindra dan Umar hanya bisa menggelengkan kepala mereka.

“Perasaan dari SMP, kamu pasti datengnya paling akhir, kalo enggak ya telat,” ucap Vindra.

“Padahal kayaknya rumahmu yang paling deket di antara kita lho,” lanjut Umar.

Bima lalu membalas, “Kan emang ada pepatah yang bilang kalau yang rumahnya jauh itu paling gasik dateng ke sekolah, sementara yang rumahnya deket datengnya paling telat.”

Vindra yang mendengarnya langsung memasang ekspresi keheranan. "Mana ada pepatah kayak gitu, Bima." Vindra berusaha membantah.

"Ada," balas Bima sambil mengangguk yakin.

"Lalu yang nyiptain pepatah kayak gitu siapa?" tanya Vindra, berharap pertanyaan tersebut bisa memenangkan perdebatan ini.

"Akulah." Setelah mengatakan hal itu, Bima pun dengan penuh rasa bangga melipat tangannya di dada, membuat Vindra hanya bisa menerima kekalahan dengan mengatakan, "Dahlah."

Tak lama berselang, dua orang berjas biru dan satu orang berjas merah datang masuk ke dalam kelas membuat suasana kelas yang sebelumnya sempat ramai menjadi sunyi senyap.

Laki-laki berjas biru, berambut lurus menyamping dan berkacamata kotak dengan kerangka yang tebal mengambil tempat duduk di meja guru lalu membuka laptop dengan logo Apple lalu menyalakannya.

Sementara itu, perempuan yang mengenakan jas yang sama menurunkan layar LCD lalu menempatkan diri di samping laki-laki berjas merah yang berdiri di muka kelas.

Mungkin sebelumnya kalian bertanya-tanya apa perbedaan antara almamater SMA Dharma Jaya dengan PDL nya OSIS yang sama-sama berwarna biru tua.

Almamater SMA Dharma Jaya memiliki aksen garis-garis berwarna putih pada kerah, pundak, dan juga lengannya. Warna putih tersebut melambangkan kesucian dan kejujuran.

Sedangkan pada PDL OSIS, aksen garis-garisnya diberi warna biru muda dengan gaya yang berbeda, memberi kesan warna gradasi yang terasa menyala ketika dilihat.

Selain itu di bagian lengan kanan terdapat logo organisasi OSIS dan tulisan OSIS SMA Dharma Jaya pada bagian punggung.

Selain itu, biru tuanya PDL OSIS lebih terang dibandingkan dengan almamater SMA Dharma Jaya.

“Oke, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap laki-laki berjas merah mengawali dan dengan segera pula dibalas oleh seluruh penghuni kelas.

“Jadi sebelumnya saya dan teman-teman saya ingin mengucapkan selamat kepada kalian semua yang telah diterima di SMA Dharma Jaya ini.”

“Sebelumnya perkenalkan saya Muhammad Fauzan Sholih, panggil aja kak Fauzan. Dan disamping saya…”

“Ainun Diba, panggil aja kak Ainun,” ucap perempuan itu sambil tersenyum.

Kak Fauzan kembali melanjutkan. “Dan yang sibuk main laptop itu namanya kak Ridwan.”

Setelahnya kak Ridwan mengangkat tangan-melambaikannya sembari tersenyum singkat sebelum kembali fokus pada laptopnya.

Secercah cahaya pada LCD mulai muncul sedikit demi sedikit, yang lama kelamaan berubah menjadi proyeksi tampilan PPT yang isinya akan menerangkan tentang acara MPLS yang akan Vindra dan teman-temannya jalani selama 3 hari kedepan.

Sudah hampir setengah jam Vindra dan teman-temannya mendengarkan ocehan dan penjelasan dari kakak kelas mereka.

Beberapa dari mereka tampak memperhatikan dan mencatat penjelasan dari kak Fauzan dan kak Ainun seperti halnya Vindra dan Umar, dan beberapa lagi tampak mengantuk seperti Bima yang sudah merebahkan kepalanya di meja.

“Nah kalau tidak ada yang ditanyakan, setelah ini kalian pergi ke Aula untuk mendapatkan materi dari Bu Vivin.”

Vindra meregangkan tangannya ke atas dan berdiri, menutup bukunya lalu membangunkan Bima yang sudah tertidur di belakangnya.

“Oi Bima, bangun, One Piece udah tamat,” ucapnya sambil menggoyang-goyang tubuh Bima.

Bima mengangkat kepalanya dengan mata yang masih tertutup lalu mengulet sebentar sebelum bangkit mengambil bukunya dari dalam tas lalu pergi menuju aula bersama Vindra dan Umar untuk nobar episode terakhir One Piece. Eh, maksudnya mengikuti acara MPLS selanjutnya.

Letak aula tak terlalu jauh dari teritori wilayah kekuasaan kelas 10. Tepatnya di sebelah barat ruangan kelas 11 MIPA 3, mendempet pintu masuk parkiran siswa.

Vindra dan teman-temannya hanya perlu berjalan ke utara lalu keluar melalui pintu sebelah barat dan berjalan ke kiri melewati pintu masuk parkiran. Di sanalah letak Aula berada.

Terlihat pintu masuk aula yang seperti pintu masuk mall tersebut terbuka lebar.

Di bagian tengah aula telah dipasangi kursi aluminium lipat yang diarahkan menghadap sebuah panggung yang cukup besar.

Di sana telah dipasangi banner bertuliskan MPLS SMA Dharma Jaya, podium, sound system dan dekorasi-dekorasi lainnya.

Vindra terpana selama beberapa saat. "Ini mah lebih mirip konser daripada acara MPLS," katanya dalam hati.

“Eh itu kursi depan panggung masih kosong, kita duduk di sana yuk.” Lamunan Vindra seketika buyar ketika Bima menarik tangannya dan tangan Umar, berlari menuju kursi kosong yang ada di depan panggung. Bima berniat mengisi kursi kosong tersebut sebelum keduluan oleh siswa lain.

Vindra berusaha menyelaraskan langkah kakinya dengan langkah kaki Bima ketika sesosok perempuan dengan rambut lurus sepunggung yang sedang membawa satu buah buku bernuansa pink sekilas terlihat dalam pandangannya.

Setelah proyeksi tersebut diproses oleh otaknya yang menangkap itu adalah Heyra, Vindra segera melepas genggaman tangan Bima lalu berlari ke arah yang berlawanan dari arah yang dituju Bima, alias kembali ke posisi letak pintu masuk aula.

Bima menghentikan langkahnya ketika genggaman tangannya pada lengan Vindra terlepas, ia menatap kepergian Vindra dengan raut wajah bingung, begitu juga dengan Umar yang sama-sama membatin, "Vindra mau ke mana sih?"

Potongan Kenangan

“Tadi kayaknya aku liat Heyra di sini deh,” Vindra baru saja sampai di titik di mana ia terakhir kali melihat sosok Heyra dalam penglihatannya.

Vindra mengedarkan pandangannya pada manusia yang berlalu-lalang di sekelilingnya berharap sosok yang ia cari masih berada di sana dan mampu ditangkap kembali oleh indra penglihatannya.

Harapannya bukan hanya sekadar harapan, tapi harapan yang menjadi kenyataan. tak butuh waktu lama bagi Vindra untuk menemukan kembali sosok Heyra yang sedang berjalan pelan, sendirian di tengah lalu-lalang manusia yang saling bergerombol bersama teman-teman mereka, mencari tempat duduk paling strategis ataupun hanya sekadar bercanda ria saja.

“Heyra!” Vindra segera meneriaki Heyra sembari menghampirinya, berharap ia akan sadar akan kehadirannya di sini.

Heyra yang merasa terpanggil segera menoleh ke sumber suara. Sekilas ia tampak memasang wajah terkejut ketika melihat sosok Vindra, teman SMP-nya itu berjalan menghampirinya.

“Heyra, gimana kabarmu? Sehatkan?” tanya Vindra dengan senyum sumringah.

“Iya sehat.” Heyra membalasnya lirih dengan kepala yang sedikit ditundukkan, memperlihatkan gestur gugup.

“Oh ya, by the way tadi aku liat kamu di lapangan, aku manggil kamu tapi kamu gak nyaut,” ucap Vindra dengan nada yang cukup bersahabat.

“Oh ya? Maaf aku gak denger,” namun tetap, Heyra masih membalasnya dengan irit dan lirih, seakan Vindra hanyalah teman yang hanya sebatas teman kenalan, bukan teman yang sudah akrab dan bisa menjadi tempat berkeluh kesah seperti dulu.

“Yaudah kalo gitu sekarang mau ikut aku gak duduk bareng sama Umar, sama Bima juga di depan sana.” Dari kejauhan Vindra menunjuk dua buah kursi kosong di samping kursi yang diduduki oleh Umar dan Bima, cocok untuk Vindra dan Heyra yang memang hanya berdua saja.

Heyra menggeleng cepat. “Gak usah Vin, gapapa, aku duduk sama temen-temen sekelasku aja.”

Detik itu juga Heyra menyudahi pembicaraan dan segera pergi bergabung dengan anak-anak yang sedang menempati kursi-kursi yang Vindra duga sebagai anak-anak dari kelas X-1.

Heyra tak memberikan kesempatan pada Vindra untuk berbicara dengannya lagi yang sebenarnya Vindra masih ingin sekali berbicara lebih lama dengannya.

Dengan kecewa setengah hati, sendirian Vindra berjalan kembali ke tempat Bima dan Umar, menempati kursi kosong di samping mereka lalu duduk di sana. Kursi kosong di samping Vindra yang seharusnya ditempati oleh Heyra, sekarang diisi oleh seorang cewek.

Ketika mata Vindra dan mata cewek tersebut saling bertemu, cewek tersebut langsung tersenyum kepada Vindra dan mengajaknya bersalaman.

“Namaku Aurel, salam kenal,” ucapnya. Ketika tangan cewek itu terulur sudah siap menunggu jabat tangan darinya, Vindra segera meraih tangan tersebut lalu bersalaman sambil mengatakan.

“Namaku Vindra, salam kenal. By the way kamu dari kelas berapa?” tanya Vindra sambil tersenyum ramah.

“Kelas X-5, kalo kamu?” tanya balik Aurel.

“X-3,” balas Vindra. “Oh…"

Setelah beberapa percakapan ringan, acara MPLS akhirnya dimulai sehingga mengharuskan mereka menyudahi percakapan mereka.

Kedua MC yang akan memimpin jalannya acara sudah naik ke atas panggung dengan microphone yang terpasang di kerah mereka. Masing-masing dari mereka juga membawa secarik kertas yang isinya adalah teks MC dan susunan acara MPLS.

Beberapa sambutan dari kepala sekolah, Waka kesiswaan dan kurikulum, lalu dilanjutkan hiburan dari sebuah grup band yang Vindra belum ketahui namanya sudah terlaksana.

Ketika para anggota band sedang membereskan alat musiknya dibantu oleh panitia, Aurel menggunakan jeda waktu tersebut untuk bertanya perihal sesuatu yang mengganjal pikirannya sejak tadi.

"Vin." Panggil Aurel, Vindra lalu menoleh.

"Kamu lagi ada masalah?"

“Masalah? Enggak kok,” balas Vindra sedikit bingung, kenapa tiba-tiba Aurel yang baru saja menjadi temannya setengah jam yang lalu bertanya perihal 'apakah kamu ada masalah'.

“Kamu gak usah bohong, keliatan dari ekspresi wajahmu.” Vindra tersentak pelan. Ia sepertinya mengerti apa yang dimaksud oleh Aurel. Vindra menghela napas lelah lalu mulai bercerita.

“Jadi sebenarnya begini…” Vindra memulai cerita, Aurel fokus mendengarkan.

-

“Oh….” Vindra selesai menceritakan dengan singkat apa yang baru saja ia alami.

“Entah kenapa sejak menjelang MPLS ini Heyra kayak makin jauh gitu, kayak dia itu gak suka kalau aku deketin, padahal emang udah dari dulu kita deket kayak sahabat,” lanjut Vindra setelah menyelesaikan ceritanya.

Aurel diam sejenak. Posisinya di sini tak ada bedanya dengan siswa-siswa yang lain. Ia hanya seorang siswa yang sedang menjalankan MPLS dan belum mengenal siapapun di sini kecuali teman-teman SMP dan SD yang kebetulan satu sekolah lagi dengannya.

Namun itu pengecualian untuk perempuan pemalu yang sulit mendapatkan teman yang Vindra jelaskan tadi.

Dari pengalaman hidupnya yang bermacam-macam sewaktu kecil dan profesi orang tua angkatnya yang seorang psikolog, Aurel bisa mengetahui seperti apa perempuan yang Vindra maksud. Kelas X-1 dan pemalu. Ia yakin bisa mengenali perempuan itu dengan mudah, pikirnya.

“Yaudah, mungkin dia emang lagi ngambek atau apa, jadinya gak pengen dideketin dulu. Lama-kelamaan juga bakal kayak dulu lagi kok,” kata Aurel berusaha menghibur Vindra.

Acara MPLS sudah berlangsung selama tiga hari dan berjalan dengan lancar. Sekarang Vindra hanya perlu menunggu hari di mana ia akan melaksanakan upacara bendera dan mapel pertamanya di SMA. Dan hari di mana ia bisa berbicara dengan leluasa bersama Heyra lagi.

Sudah satu minggu sejak hari pertamanya menjalankan MPLS dan belum satu kali pun ia berbicara dengan Heyra. Sudah sih, itupun hanya bertegur sapa ketika tidak sengaja bertemu dan menanyakan kabar lalu dilanjutkan basa-basi singkat yang terasa canggung.

Vindra merasa mereka berdua seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu, yang pada kenyataannya mereka sudah saling mengenal sejak di bangku SMP.

...----------------...

Malam itu Heyra tak bisa tidur dengan nyenyak. Walaupun lampu kamarnya sudah dimatikan dan laptop di meja belajarnya terus menyala menyanyikan playlist lagu lofi, Heyra tak pernah bisa melepaskan overthinking-nya tentang hari esok.

Besok ia akan sekolah. Satu set seragam sekolah abu-abu bersama almamaternya sudah bertengger rapi di hanger yang ia gantungkan di daun pintu lemari.

Tasnya yang ia letakkan di bawah meja belajar tampak sudah gemuk berisi buku pelajaran yang akan ia bawa esok. Lalu, jika semuanya sudah siap seperti itu, apa yang membuat Heyra overthinking hingga tak bisa tidur?

Ini bukan masalah di sekolah atau keraguannya bisa bangun pagi dikeesokan harinya, namun tentang bagaimana ia menghadapi Vindra besok ketika mereka tak sengaja saling bertemu.

“Vindra….” Heyra bergumam pelan. Posisi tidurnya diubah menyamping menghadap dinding. Terdengar nada rindu dan sedih di dalamnya.

Heyra kembali mengubah posisi tidurnya. Ia sedikit membangkitkan tubuh lalu diraihnya gagang laci pada nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka laci tersebut lalu mengeluarkan sebuah buku berukuran sedang berwarna abu-abu dengan sedikit taburan glitter pada sampulnya.

Di sampulnya terdapat dua tempelan stiker sepasang remaja perempuan dan laki-laki bergaya kartun yang sedang berdiri berjejeran sambil mendadah-dadahkan tangannya dengan wajah tersenyum.

Lalu di atas stiker tersebut terdapat tulisan tegak bersambung bertuliskan Heyra’s Diary. Siapapun yang melihat buku itu pasti akan tahu kalau kedua stiker sepasang remaja itu adalah Heyra dan Vindra itu sendiri.

Heyra mulai membuka halaman pertama buku diary-nya. Pada halaman pertama buku tersebut, dituliskanlah Heyra kata-kata pembuka darinya dan apa-apa yang akan ia tulis di buku tersebut.

Halaman selanjutnya ia buka, dan di sanalah kenangan semasa SMP nya sampai sekarang mulai terputar, didominasi oleh kenangan-kenagannya bersama Vindra.

Seperti foto selfie iseng saat apel pramuka, foto Heyra bersama monyet saat kunjungan ke kebun binatang, dan foto Vindra yang disuruh hormat ke tiang bendera selama 15 menit karena datang terlambat saat upacara bendera.

Potongan-potongan kecil kenangannya kembali muncul menghiasi bagian memori otaknya. Wajah Vindra beberapa kali muncul diikuti wajah sang ibu, ayah, keluarga besar, dan teman-temannya.

Air matanya masih menitik kala senyum mulai merekahkan bibirnya. Heyra menyadari betapa dekat dan akrabnya mereka dulu sebelum masa-masa SMA ini dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!