"Apa keinginanmu?"
"Tidak sulit hanya ingin, mati?" Gadis itu terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Seorang wanita berusia sekitar setengah abad didepannya memberikan sebuah tas pada gadis yang sudah dua jam ini duduk di atas sebuah jembatan.
"Apa ini?"
"Pergilah."
"Untuk apa hidupku juga sudah tidak ada gunanya lagi."
"Jangan berbicara seperti itu nanti Tuhan murka."
"Tuhan ya, Apakah dia menganggap ku makhluk ciptaannya? Kalau iya kenapa dia memberikanku cobaan sebegitu beratnya." Gadis itu tertawa miris dengan ucapannya sendiri.
"Percayalah di sana kamu akan menemukan kebahagiaanmu."
"Tidak semudah itu bahkan aku tidak memiliki apapun untuk-"
"Semoga membantu." Kemudian wanita itu pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
"Bagaimana mungkin?"
📌
"Apa maumu?" Gadis itu bertanya dengan tubuh yang gemetar.
"Everything in you." Lelaki didepannya menyeringai dengan kedua tangannya yang disimpan disaku celananya.
"Gila."
"But I'm crazy because of you. "
📌
"Stop touching me!"
"No no no, I will never stop."
📌
"Aku berharap kamu masuk neraka."
"Hell? Definitely, as long as it's with you."
"Your crazy bastard."
"Yes that's me dear."
+
+
INDONESIA
Muak
Perasaan itulah yang dirasakan oleh seorang gadis berusia 18 tahun dengan hidupnya. Dari matahari terbit hingga tengah malam seperti ini dia sama sekali belum bisa mengistirahatkan tubuhnya. Yang masuk kedalam perutnya pun hanya selembar roti dan sebotol air mineral.
"CEPAT JANGAN LELET!" Teriakan itu terdengar dari seorang pria paruh baya pemilik tempat ini yang berada tidak jauh dari tempat gadis itu berada. Edgar namanya.
Gadis itu pun bergegas menuruti perkataan pria itu karena hari ini dia tidak mau badannya menjadi sasaran lagi seperti sebelum-sebelumnya.
Tapi sepertinya kesialan tidak ada habisnya pada gadis itu, boks yang dibawanya terlempar karena kakinya yang tersandung hingga menyebabkan isinya berhamburan.
Dengan tubuh yang gemetar gadis itu merangkak untuk membereskan kekacauan yang telah dia lakukan. Saat tangan gadis itu terulur, sebuah kaki dengan balutan boots menginjak tangannya membuat gadis itu mengerang kesakitan.
"Akh Sa-sakit."
"DASAR TIDAK BECUS APA-APA INI HAH!" Edgar beralih menendang badan gadis itu hingga terpental cukup jauh saking kencangnya.
Merasa tidak puas pria tua berusia lebih dari lima puluh tahun itu kembali menghampiri si gadis dan menarik kerah baju yang gadis itu kenakan hingga berdiri kemudian mencekiknya.
Dengan wajah yang merah menahan sesak, tangan gadis itu terulur mencoba melepaskan cekikan dilehernya meskipun dia tahu bahwa itu percuma karena tenaganya yang tidak ada apa-apanya dibandingkan laki-laki didepannya.
Melihat gadis itu yang sepertinya akan kehilangan kesadaran, Edgar segera melepaskan tangannya kemudian membanting tubuh gadis itu pada tumpukan boks kosong di belakangnya.
"Bereskan semuanya sebelum saya kembali kalau tidak siap-siap saja." Edgar berlalu.
Dalam keadaan berbaring gadis itu masih terdiam belum beranjak posisinya dan hanya melihat keatas dengan nafas yang tidak beraturan bahkan tidak ada air mata yang keluar dari matanya.
Tak lama kemudian tanpa menghiraukan badannya yang terasa remuk gadis itu kembali merangkak dan dan mengumpulkan kembali ikan-ikan yang berserakan.
Entah kapan dia bisa terbebas dari tempat ini. Sudah puluhan kali dia mencoba kabur tetapi semuanya gagal, anak buah laki-laki itu selalu menemukannya dan berakhir badannya yang dipukuli oleh mereka.
Semua berawal dari pamannya yang meminjam uang pada pemilik tempat ini lalu pergi entah kemana, meninggalkan gadis itu sendirian yang ternyata sudah dijadikan jaminan.
Ketika bertanya berapa uang yang dipinjam pamannya. Gadis itu rasanya ingin hilang saja ketika mendengar nominalnya yaitu 500 juta. Dari mana uang itu dia dapatkan sedangkan uang untuk sekolah saja dia banting tulang untuk mendapatkannya.
Dan kemarin adalah puncaknya, dia terpaksa berhenti sekolah karena tunggakan uang semester yang belum dia bayar selama empat bulan. Berada disekolah pun perlakuan orang-orang terhadapnya tidak ada bedanya dengan laki-laki tadi.
Setiap hari dia mendapatkan rundungan entah itu dari teman seangkatannya atau kakak kelasnya. Guru-guru di sekolah pun tutup mata seolah kejadian itu tidak pernah terjadi. Orang yang punya uang selalu menjadi pemenang.
Gadis itu hanya hidup berdua dengan pamannya dari kecil. Bahkan dia tidak tahu bagaimana rupa orang tuanya. Ketika dia menanyakan hal itu pada pamannya hanya makian dan juga pukulan yang dia dapatkan. Sejak saat itulah gadis itu tidak pernah berani menanyakannya lagi.
"LILY!"
Mendengar suara itu membuat tubuh gadis bernama Lily itu kembali gemetar bahkan ikan yang sebelumnya berada ditangannya berhamburan lagi.
Kemudian dengan cepat Lily kembali berjongkok untuk mengumpulkan ikan kembali meskipun dengan tangan gemetaran, mencoba mengabaikan seseorang dibelakangnya.
"Heh co*li dipanggil tuh jawab!" pria muda dibelakang Lily menarik rambutnya hingga membuat kepalanya mendongak.
Melihat tatapan Lily yang terlihat berani menurutnya, membuat pemuda itu tidak suka dan menyeret tubuh Lily dengan menarik rambutnya hingga berada di tepi kolam ikan.
"Hari ini kita belum main Lily sayang," pemuda itu membelai wajah Lily yang terdapat banyak bekas luka.
"Sayang sekali wajah cantikmu terdapat banyak noda seperti ini, tapi biar lebih bagus ku tambahkan lagi."
Lily membuka mulutnya lalu segera menggigit jari pemuda itu yang berada di bibirnya.
"Arghhhh SIAL!" Lily menggigit jari itu dengan keras hingga nyaris putus bahkan di mulutnya juga terdapat banyak darah.
"SIALAN KAU JALANG!" Dengan murka pemuda itu meraih kembali rambut Lily dan membenturkannya ke tembok kolam ikan beberapa kali hingga darah dari kening Lily mengalir deras.
Tubuh Lily diangkat lalu kepalanya dimasukkan kedalam kolam ikan membuat Lily memberontak karena kehabisan nafas didalam air. Kaki Lily mencoba menendang pemuda itu dan percuma karena pemuda itu kini naik dan berjongkok di atas pembatas kolam.
Melihat Lily akan kehabisan nafas pemuda itu dengan cepat menarik kembali kepala gadis itu, membiarkannya bernafas sebentar pemuda itu kembali menenggelamkan kepalanya lalu mengangkatnya kembali hal itu dilakukan beberapa kali membuat gadis itu lemas kehabisan tenaga.
"Pedro," Edgar kembali dan menghentikan aksi pemuda yang bernama Pedro itu. "Berhenti main-main." Lanjutnya.
"Tapi paman aku belum puas bermain."
"BERHENTI SAYA BILANG!"
"Baik paman." Pemuda itu melepaskan Lily dengan melemparkannya.
"Kenapa belum beres hah?"
"Ma-maf paman." Hanya itu yang bisa diucapkan Lily bahkan untuk bangkit pun rasanya sangat sulit.
"Dasar tidak berguna." Pria tua itu kembali menendang perut Lily sebanyak tiga kali lalu pergi kembali meninggalkan gadis itu yang sedang meringis kesakitan.
Bahkan dari mulut Lily keluar darah saking kerasnya tendangan diperutnya, seperti biasa juga tidak ada air mata sedikitpun dari matanya.
Lily menelungkupkan badannya di atas lantai yang dingin dan juga basah dia sedang meratapi nasibnya bahkan dia sudah tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor.
Apakah Lily harus mencoba untuk bunuh diri lagi? Hal itu sudah beberapa kali dia coba tetapi selalu berakhir gagal karena ketika Lily akan melakukannya selalu ada suara seperti bisikan yang melarangnya untuk melakukan hal itu.
Dengan perlahan Lily bangkit untuk memasukkan kembali ikan ke dalam boks, karena masih banyak boks yang harus dipindahkannya sebelum matahari terbit.
Saat akan memindahkan boks terakhir Lily merasakan perutnya sakit dan juga kram membuatnya berjalan secara perlahan.
"Semangat Lily tinggal satu lagi," Lily mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Lily mencoba mengabaikan sakit diperutnya dan berjalan keluar dari tempat ini menuju gudang tempat biasanya dia tidur.
Ya, Lily sudah tidak memiliki rumah karena rumah yang sebelumnya dia tempati bersama pamannya sudah dijual oleh pamannya tanpa sepengetahuannya.
Lily bersyukur paman pemilik tempat ini masih sudi membiarkannya tidur di gudang meskipun tempat itu tidak layak untuk dijadikan sebuah tempat tidur.
Membuka gudang dengan perlahan, Lily segera menuju sudut ruangan tempatnya menyimpan pakaiannya yang hanya beberapa setel karena dia tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah pakaian. Menemukan makanan saja Lily sudah bersyukur.
Lily bergegas menuju toilet yang berada di samping gudang karena waktu sudah dini hari. Dia tidak ingin melewatkan waktu yang tinggal beberapa jam untuknya tidur.
Lily membiarkan pakaian kotornya karena dia sudah tidak bisa menahan sakit diperutnya dengan segera tidur supaya dia bisa sedikit melupakan rasa sakitnya. Biar besok saja Lily cuci bajunya itupun kalau sempat.
Baru tiga jam Lily tertidur dia sudah harus bangun lagi karena suara mesin-mesin kapal yang akan berlayar sudah terdengar yang artinya pekerjaan sudah menanti Lily.
Lily mengerang ketika merasakan tubuhnya seperti remuk dan ketika tangannya meraba bawah sofa Lily teringat dengan tas pemberian nenek-nenek di jembatan beberapa hari yang lalu.
Lily membuka lagi barang-barang pemberian nenek itu dan dia berpikir apakah dia harus pergi seperti kata nenek itu? Sepertinya dia akan memikirkan hal itu nanti karena bagaimana pun saat ini dia sudah pasti sedang ditunggu.
Seharian ini Lily lagi-lagi bekerja keras bahkan lebih parah dari hari kemarin karena tidak ada makanan sedikitpun yang masuk kedalam perutnya. Hari ini Lily tidak diberi jatah makan karena kemarin dia telat menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Jadi hanya sebotol air mineral yang mereka berikan.
Sore tadi saat Lily sedang beristirahat sebentar di jembatan biasa, datang sekumpulan pemuda yang sedang mabuk dan memukulinya tanpa sebab, dia hanya pasrah saja menerima semuanya karena tidak ada lagi tenaga yang tersisa bahkan hanya untuk berteriak sekalipun.
Meskipun dalam hatinya Lily berteriak kenapa dia tidak bisa melawan mereka, kenapa dia lemah, kenapa kenapa dan kenapa. Beruntungnya dia tidak sampai dilecehkan.
Memasuki kembali gudang dengan langkah gontai Lily segera menjatuhkan tubuhnya di sofa yang telah usang tempatnya biasa tidur. Tidak peduli dengan tubuhnya yang ingin diobati.
Lily menatap langit malam yang terlihat indah dari balik jendela yang ada didepannya.
Kapan dia bisa bebas seperti bintang-bintang itu, pikirnya.
Entah dari mana keberanian Lily muncul, malam ini dia bertekad untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Lily bergegas memasukkan barang-barangnya kedalam ransel hitam yang berukuran cukup besar.
Dinginnya malam tidak mengurungkan niat Lily untuk pergi malah hal itu membuat semangatnya semakin bertambah.
Lily berdoa semoga tidak ada orang-orang yang bertugas menjaga tempat ini kemudian berjalan dengan hati-hati melihat sekitar takut ada yang menyadari keberadaanya. Tanpa Lily sadari doanya terkabul karena ada orang-orang berpakaian serba hitam menghadang anak buah pemilik tempat ini yang akan menghampiri Lily.
Beberapa ratus meter Lily berjalan akhirnya dia keluar dari tempat itu kemudian dia menunggu sebuah bus yang akan membawanya ke kota dengan cemas dan takut ada yang melihatnya dan untungnya tak lama bus yang dimaksud pun datang.
Lily mengucapkan beribu kata syukur ketika dia menemukan beberapa lembar uang ratusan terselip diantara barang-barang yang diberikan nenek jembatan.
Nenek jembatan, Lily akan menyebutnya seperti itu karena dia tidak sempat menanyakan nama malaikat penolongnya itu.
Lily memutuskan untuk tidur menunggu bus sampai tujuan. Dia menarik kupluk jaket yang dikenakannya hingga menutup sebagian wajahnya. Tidak lupa juga Lily menutup wajah babak belurnya dengan masker dan juga kaca mata hitam entah milik siapa yang berada di gudang.
"SUDAH SAMPAI SUDAH SAMPAI." Teriakan itu membangunkan Lily.
Ketika melihat keluar jendela Lily melihat banyaknya orang berlalu lalang di terminal bus, dengan cepat Lily segera keluar setelah membayar tarif bus.
"Lanjut Lily kamu sudah memilih jalan ini." Gumam Lily ditengah keramaian.
Lily mengedarkan pandangannya ke seluruh terminal lalu melihat lagi catatan yang diberikan nenek jembatan lalu bergegas untuk mengikuti langkah selanjutnya.
+
+
+
+
Athena, Yunani
Dalam hidupnya Lily tidak pernah sekalipun membayangkan akan menginjakkan kakinya di negara antah berantah ini.
Barang-barang pemberian nenek itu sangatlah lengkap dari kartu identitas hingga paspor ada didalamnya, hal itulah yang membuat Lily bingung bagaimana bisa dia tahu semua tentangnya, bukankah untuk membuat semua itu harus dilakukan Lily secara langsung.
Setelah melakukan penerbangan belasan jam Lily bisa sampai di ibu kota negara ini dan dia ingin segera mengistirahatkan badannya. Lily tidak khawatir lagi dengan perutnya karena di pesawat tadi disediakan makan beberapa kali.
Lily berdiri didepan bandara mengunggu orang yang akan menjemputnya sesuai dengan catatan yang diberikan nenek jembatan.
"Miss Jillian?" Seorang pria berusia 30 han berdiri didepannya.
"Ah, yes." Lily segera mengikuti kemana pria itu melangkah dengan menyampirkan kembali ransel di bahunya yang sebelumnya dia letakkan di lantai.
*note: Mulai dari sini anggap semua percakapan menggunakan bahasa Inggris.
Lily tidak bertanya kemana dia akan dibawa pergi karena dari awal dia memutuskan, semua yang diperintahkan padanya akan dia ikuti. Meskipun dia sedikit ragu dengan janjinya sendiri.
Mobil yang dikendarai pria itu berhenti di sebuah rumah sederhana membuat Lily mengikuti pria itu yang sudah lebih dulu keluar.
"Ini tempat tinggal nona Jillian sementara." Pria itu menyerahkan sebuah kunci pada Lily.
"Terima kasih paman?"
"Nona Jillian bisa memanggil saya Aebi."
"Kalau begitu paman Aebi bisa panggil saya Lily."
"Baik Lily, kalau butuh sesuatu kamu bisa hubungi nomor paling atas yang sudah saya simpan." Aebi menyerahkan sebuah ponsel pada Lily.
"Sekali lagi terima kasih paman."
Lily masuk kedalam rumah setelah Aebi pergi kembali. Lily melihat ke seluruh rumah yang menurutnya sangat nyaman, entah sampai kapan dia akan tinggal disini.
Melihat pantulan dirinya di cermin yang berada di kamar mandi membuat Lily meringis melihatnya apalagi setelah dia membuka masker dan juga kacamata hitam yang dipakainya. Bekas pukulan di wajahnya berubah menjadi biru dan juga bengkak membuat Lily hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Bahkan lehernya pun memar karena cekikan yang didapatkannya.
Setelah membersihkan dirinya Lily segera membaringkan badannya di kasur lalu memejamkan matanya hingga terlelap.
Entah berapa jam Lily tertidur yang pasti ketika dia membuka matanya matahari sudah tenggelam digantikan oleh bulan. Ketika meregangkan badannya perut Lily berbunyi membuat dia beranjak menuju dapur karena tadi dia melihat ada satu keranjang yang berisi buah-buahan.
Tiba di dapur Lily segera mengambil satu buah apel dan segera memakannya setelah dia mencucinya terlebih dahulu. Lily dengan ragu membuka kulkas yang membuatnya tercengang ketika melihat isinya yang sangat lengkap dan ketika dia akan mengambil sebuah susu kotak bunyi telpon membuat Lily mengurungkan niatnya.
Dengan sedikit berlari Lily berjalan menuju kamar tempat ponsel pemberian Aebi dia simpan dan segera menerima panggilan yang ternyata dari Aebi.
"Halo paman?"
"Saya lupa bilang semua yang ada di kulkas bisa kau makan."
"Ah, iya paman."
"Itu saja yang ingin saya katakan."
"Terima kasih paman." Sambungan telpon dimatikan Aebi.
Lily menyimpan kembali ponsel dan keluar kembali menuju dapur. Hanya satu buah apel ternyata tidak membuat perutnya kenyang.
Tadinya Lily berharap ada beras tapi sepertinya makanan pokok di negaranya tidak ada disini jadi dia memutuskan untuk membuat sandwich dengan sebisanya.
Setelah selesai dengan urusan makan Lily juga sudah membereskan kekacauan yang telah dibuatnya. Dia memutuskan untuk keluar dan duduk di ayunan didepan rumah yang dia tempati sambil menikmati angin malam dan juga bintang yang bersinar di langit.
"Langitnya sangat indah."
Lily memikirkan semua hal yang sudah dia lalui dua hari ini dan bagaimana dia bisa sampai ditempat ini.
Di sekolahnya Lily adalah siswi yang pintar dan dia juga sudah menguasai bahasa Inggris itu adalah salah satu hal yang membuatnya mantap untuk pergi.
Awalnya Lily mendapatkan beasiswa hingga keuangan sekolahnya sedikit ringan. Tapi ada orang yang melaporkan Lily bahwa dia adalah perempuan tidak benar hingga menyebabkan beasiswanya dicabut. Memikirkan itu membuat Lily kesal rasanya. Andai saja dia, ah sudahlah lebih baik Lily berhenti berandai-andai toh semuanya juga sudah terjadi.
Malam semakin beranjak dan juga udara malam semakin menusuk badan Lily yang tidak memakai jaket membuatnya segera masuk kedalam rumah karena kedinginan.
Lily pun memutuskan untuk tidur kembali bingung mau melakukan hal apa lagi. Karena Lily terbiasa berkerja tadinya dia ingin bersih-bersih rumah, tapi melihat sekitarnya yang sudah rapi membuat Lily mengurungkan niatnya. Apa juga yang harus dirapikan.
..........
Sudah seminggu Lily berada di tempat ini dan selama itu pula dia hanya berdiam di rumah tanpa melakukan apa pun selain makan dan tidur, keluar dari rumah pun Lily tidak berani. Bahkan Aebi pun tidak ada menghubunginya sejak malam itu.
Luka diwajahnya sudah sedikit memudar meskipun masih terlihat jelas tapi tidak semenyeramkan waktu pertama Lily datang kesini.
Ketika sedang asik melamun di kamar, Lily mendengar suara pintu rumah diketuk membuatnya segera beranjak untuk melihat siapa yang datang. Membuka pintu dengan perlahan Lily bernafas lega ketika yang datang adalah Aebi.
"Nona segera berkemas kita akan pergi."
"Em, baik." Sebenarnya Lily ingin bertanya kemana dia akan dibawa pergi tetapi dia memilih untuk mengikuti Aebi tanpa bantahan.
Satu jam lebih mobil melaju sepanjang jalan Lily hanya terdiam seraya melihat pemandangan yang indah dari balik jendela mobil. Tidak lama kemudian mobil berhenti di depan sebuah bangunan yang sudah terlihat tua. Lily tidak bisa menebak tempat apakah ini.
"Tunggu disini sebentar jangan kemana-mana." Lily hanya mengangguk ketika Aebi bicara lalu keluar dan memasuki gedung tua itu mana berani dia keluar dari mobil.
Lily melihat banyaknya orang-orang yang sedang beraktivitas diluar mobil. Pandangannya berhenti pada sekumpulan remaja yang sepertinya pulang sekolah membuat Lily iri karena dia belum pernah merasakan hal itu karena dia tidak memiliki satu teman pun di sekolahnya dulu.
Andai saja pamannya tidak meminjam uang pasti nasib Lily tidak akan seperti ini, terdampar di negeri asing dimana dia tidak pernah berkhayal sekalipun akan berada disini.
Tidak lama kemudian Aebi kembali masuk kedalam mobil diikuti seorang wanita yang terlihat seumuran dengan Aebi lalu duduk disampingnya.
Lily hanya diam ketika mereka berbicara dengan bahasa yang tidak dia mengerti.
Kemudian wanita itu berbalik kearah Lily dan tersenyum kepadanya.
"Halo nona Jillian senang bertemu dengan anda," wanita itu menyebutkan nama depan Jillian membuatnya tersenyum ramah.
"Hai." Mobil pun kembali melaju meninggalkan gedung tua itu.
Lily kira Aebi adalah sosok pendiam karena wajahnya yang terkesan dingin tetapi ternyata tidak juga karena saat wanita itu datang Aebi menjadi banyak bicara.
Tanpa sadar Lily tertidur di mobil membuat Aebi meliriknya dari center mirror.
"Apakah kita akan membawanya langsung?" Tanya wanita itu pada Aebi.
"Secepatnya."
"Semoga gadis itu beruntung."
Aebi melajukan mobil dengan kecepatan diatas rata-rata karena seseorang sudah menunggu kedatangan Lily.
Ketika terbangun lily mendapati dirinya disebuah kamar yang asing, mengedarkan pandangan Lily tidak melihat siapapun di kamar ini. Ketika turun dari ranjang Lily merasakan dinginnya lantai yang menusuk hingga ke tulang membuatnya kembali menarik kakinya.
Lily merangkak ke sisi lainnya dan dia menemukan sepasang sandal membuatnya segera memakainya dan berjalan mendekat pada pintu yang dia tebak itu pintu keluar.
Membuka pintu secara perlahan Lily melihat bahwa dia ada dikamar yang berada disebuah lorong yang terlihat cukup menyeramkan.
Melangkahkan kakinya secara perlahan Lily menelusuri lorong itu hingga terlihat ujungnya adalah sebuah tangga. Ketika akan menginjakkan kakinya di anak tangga Lily mendengar suara langkah kaki menaiki tangga membuatnya berlari kembali menuju kamar tadi.
Selang beberapa waktu pintu terbuka dan Lily mendapati wanita yang tadi bersama Aebi tapi kali ini memakai pakaian pengawal.
"Anda sudah sadar nona Jilian."
"Ya."Jawab Lily seraya menganggukan kepalanya.
"Segera siap-siap dan turuti semuanya."
"Baiklah."
+
+
+
+
Ketika wanita tadi keluar tak lama kemudian masuk lah dua orang wanita berbeda, tapi kali ini menggunakan pakaian seperti pelayan dan membawa sebuah gaun berwarna hitam yang terbungkus sebuah plastik bening.
Lily digiring keduanya menuju kamar mandi dan ketika keduanya akan membantu Lily membuka baju dia segera menolaknya.
“Saya bisa sendiri,” tolak Lily karena dia tidak mungkin membiarkan orang lain untuk melihat tubuh polosnya.
“Kami tunggu diluar.”
Dengan cepat Lily mandi dan setelahnya keluar lalu mendapati dua orang itu yang sedang mempersiapkan barang-barang yang akan mereka terapkan pada badan Lily.
Memerlukan waktu yang lama untuk memakai gaun yang menurut Lily sangat kekurangan bahan ditambah dengan anting dan juga kalung berlian terpasang di badannya membuat tangan Lily gatal ingin sekali melepaskannya karena tidak terbiasa memakai barang-barang seperti ini.
Melihat pantulan badannya di cermin membuat Lily menganga dia seperti melihat sosok lain didepannya. Bahkan bekas luka diwajahnya pun bisa terlihat samar.
“Tidak ada sandal biasa?” Tanya Lily ketika mereka memakaikan kakinya dengan heels.
“Tuan yang meminta.”
Lily bertanya-tanya dalam hatinya siapa sebenarnya orang yang mereka panggil tuan. Apakah dia orang yang telah membantu Lily atau jangan-jangan orang itu akan menjual Lily lagi, kenapa hal itu baru terpikirkan olehnya. Memikirkan itu membuat tubuh Lily tanpa sadar gemetar.
“Apakah nona baik-baik saja?” Tanya salah satunya pada Lily.
“Y-ya.”
Lily kembali digiring menuju luar meskipun sedikit susah karena jalan Lily yang beberapa kali hampir terjatuh.
Ketika menuruni tangga tanpa kedua orang itu tahu Lily diam-diam membuka sepatunya dan meninggalkannya di tangga paling atas. Untung saja gaun yang dikenakannya cukup panjang jadi kaki telanjang Lily tidak terlihat meskipun dia harus memegang erat bagian sampingnya yang terbuka.
Tiba disebuah ruang makan Lily melihat ada seorang pria yang berdiri membelakanginya didepan jendela membuat gadis itu meneguk ludahnya kasar.
Apalagi ketika dua orang itu meninggalkan Lily bersama pria itu bertambah rasa panik yang dia rasakan tetapi dia tetap berusaha tenang.
Ketika pria itu membalikkan badannya Lily sontak menahan nafas ketika melihat wajah itu yang tampan, ah tidak sangat-sangat tampan. Baru kali ini dia melihat wajah serupawan itu. Matanya yang tajam, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang tebal adalah hal yang pertama menarik perhatiannya.
“Tidurmu nyenyak?” Apalagi mendengar suaranya yang berat membuat lulut Lily lemas jika saja tidak ada kursi didepannya dia tidak yakin bisa berdiri tegap.
“Jilian.”
“Y-ya?” Lily berusaha bersikap normal lalu melihat pria itu duduk di kursi yang berada di paling ujung.
“Tunggu apalagi.”
“Hah?”
“Makan.”
“Ba-baiklah.” Lily pun duduk di kursi yang ada dihadapannya hingga posisi mereka berhadapan.
Lily mengambil salah satu piring karena hanya makanan itu yang dia tahu sedangkan yang lainnya asing dimatanya.
“Apakah itu kenyang?” pria didepan Lily mengernyit ketika melihat gadis itu hanya memakan beberapa potong churros.
“Ya, ini cukup.”
“Pantas saja badanmu kecil.” Mendengar perkataan itu membuat Lily menatap pria itu tapi tidak berlangsung lama karena gadis itu menundukkan kembali kepalanya.
Mendengar suara kursi yang ditarik membuat Lily mendongak dan melihat ternyata pria itu telah selesai makan dan berjalan menghampiri Lily membuat gadis itu bergerak gusar.
“Ayo,”
“Kemana?”
Melihat Lily yang hanya diam membuat pria itu segera menarik tangannya untuk mengikuti langkahnya.
“Awss tunggu tuan, ini sakit,” Lily meringis ketika tangannya ditarik tapi sepertinya pria itu tidak peduli dengan Lily yang terus meronta.
Akhirnya Lily pasrah saja mengikuti kemana pria itu akan membawanya, toh menolak pun tidak ada gunanya. Lily dibawa kesebuah lorong yang terlihat sepi hingga mereka berdua berhenti dihadapan sebuah pintu yang menjulang tinggi.
Pria itu membuka pintu dengan kunci yang dia bawa. Hal pertama yang Lily lihat ketika pintu itu terbuka adalah sebuah lapangan luas. Pria itu kembali menarik Lily hingga berada di depan sebuah kandang? Lilly tidak melihat apapun didalamnya.
Pria disampingnya bersiul hingga seekor harimau datang dari balik pohon kearah mereka. Jantung Lily seakan copot ketika harimau itu mengaum didepannya.
“Tu-tuan mau apa?” Lily menarik tangannya yang digenggam pria itu ketika akan membuka kandang didepannya.
Gila saja Lily belum mau mati saat ini. Jangan-jangan dia akan menjadi santapan harimau yang ada didepannya lagi. Memikirkan itu membuat Lily menarik kembali tangannya yang dicekal tetapi kalah cepat karena pria itu terlebih dahulu mencengkeramnya.
“Sa-saya masih mau hi-hidup tuan ampun,” Lily bahkan menangis karena begitu ketakutan.
Melihat Lily yang ketakutan membuat pria itu menyeringai dan memanggil harimau itu keluar hingga berada didepan keduanya. Harimau itu malah mendekat kearah Lily dan membuatnya berteriak ketakutan bahkan pria disampingnya ini sengaja melepaskan tangannya.
“TUAAN TOLONG! AAAAA” Harimau itu meloncat kearah Lily lalu menerjang badannya hingga Lily jatuh terlentang di rerumputan dengan badannya yang tertutupi harimau dan di detik itu juga Lily tidak sadarkan diri.
Tidak melihat pergerakan dari Lily membuat pria itu berjalan mendekatinya dan memanggil harimaunya yang sedang menjilati wajah Lily untuk berhenti dan kembali ke kandangnya.
Harimau itu menuruti perintah tuannya dengan kecewa karena tidak bermain lama dengan mainan barunya.
“Nanti lagi mainnya,” pria itu mengelus kepala harimaunya kemudian segera menggendong tubuh Lily yang masih belum sadar menuju kamarnya kembali.
Membaringkan tubuh Lily secara perlahan pria itu terdiam cukup lama memandang wajah gadis itu kemudian mendengus ketika melihat badannya yang terdapat banyak luka meskipun terlihat samar lalu keluar dari kamar itu.
Cukup lama Lily pingsan dan ketika sadar dia mendapati dirinya berada dikamar awal tempatnya berada disini. Kejadian yang dialami Lily tadi seperti mimpi tapi ketika dia mencubit pipinya dia sadar bahwa tadi adalah kenyataan.
“Om-om gila!” Maki Lily seraya melepaskan kalung dan juga anting yang masih terpasang di tubuhnya.
“Kalau aku di hap harimau kan gak lucu mendingan mati disiksa aja aku, eh ngga ah belum mau mati dulu.” Lily masih menggerutu dengan perasaan kesal.
Lily membuka gaun yang dikenakannya langsung didepan cermin tanpa sadar bahwa seseorang masuk kedalam kamar dan melihatnya yang sedang berceloteh seorang diri.
Ketika akan menuju sebuah lemari Lily terkejut dan spontan berteriak ketika pria tadi berada disini, apalagi lily tidak memakai baju. Ingat tidak memakai baju hanya sebuah bra dan juga celana dalam berwarna hitam.
“Aku suka hitam.”
“KELUAR!”
“Keluar? Untuk apa ini rumahku.” Pria itu berjalan menuju Lily. Menyadari itu Lily berlari menuju kasur dan segera membungkus dirinya dengan selimut.
“Tuan tidak sopan, masuk sembarangan.”
“Apa ada aturan yang menyebutkan kalau tuan rumah harus meminta izin untuk masuk kedalam rumahnya sendiri?” Mendengar itu membuat Lily terdiam.
“Tidak ada kan.”
“Tuan-“
“Stop panggil tuan panggil aku Kay.” Pria itu menyentuh dagu Lily hingga membuatnya mendongak.
“Tapi tuan itu tidak-“
“Kay.”
“K-kay?”
“Ya seperti itu.”
+
+
..."welcome to my world baby"...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!