Diajeng Sekar Ayu
“Geser mbak.”
“Aduh, pelan-pelan dong.”
Berbagai keluhan dari para penumpang KRL yang biasa aku dengar, bahkan ada yang cukup kasar. Aku sudah terbiasa dengan suasana ini, berdesakan, pengap dan parahnya adalah pelecehan atau pencopetan. Motor matic milikku sedang bermasalah dan alternatif lain untuk sampai ke kantor adalah KRL.
Saat aku sampai di peron stasiun, aku hanya naik di rangkaian yang paling dekat. Tidak sempat menuju rangkaian khusus wanita, semoga saja aku tdak mengalami pelecehan. Hari ini aku tidak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya. Rasanya lelah dengan semua yang harus aku hadapi.
“Cobalah bantu Ayah, kakakmu sudah menikah. Satu-satunya harapan Ayah hanya kamu, Ajeng.”
“Khawatir Ayah lupa, Kak Vina menikah dengan kekasihku karena dia hamil. Lalu aku harus bantu Ayah dengan apa? Jual diri? Hutang Ayah ratusan juta mana bisa aku bantu dengan gajiku.”
“Ajeng, kamu jadi anak nggak ada sopan-sopannya. Jangan jadi anak durhaka ya kamu.”
Masih teringat jelas obrolan dengan orang tuaku tadi malam, tapi kalau diingat lagi itu bukan obrolan tapi pembicaraan penuh makian. Hah, rasanya aku bertanya-tanya apa iya aku anak kandung mereka. Kalau iya, kenapa bisa berbeda tekanan dan kasih sayang yang aku dan kakakku terima.
Vina, kakakku selalu dimanja dan dituruti apa maunya tapi tidak berlaku untukku. Bahkan ketika Gio kekasihku adalah ayah dari bayi yang dikandung Vina, aku diminta mengalah dan ikhlas. Tentu saja aku akan ikhlas walaupun rasanya sakit karena dikhianati. Mana mungkin juga aku harus mempertahankan penjahat kel4min macam Gio yang mudah mengobral cinta dan belalainya.
Ponselku bergetar, susah payah aku keluarkan dari saku karena terdesak penumpang lain. Ternyata pesan dari Ayah.
[Bantu Ayah, bagaimanapun kamu putri Ayah. Balaslah budi kami selama ini]
Shittt, sumpah rasanya mulut ini ingin memaki pria itu. Pria yang katanya Ayahku, di mana ada bagian dari dirinya ada dalam tubuhku. Bagaimana bisa dia minta aku membalas budi dengan membantu melunasi hutang-hutangnya.
“Stasiun Sudirman, Sudirman Station.”
Aku tersadar dari kemarahanku, bersiap untuk turun. Tidak di dalam rangkaian kereta, saat turun pun masih saja berdesakan termasuk saat keluar dari stasiun.
“Hahh, aman,” ujarku.
Yang aku khawatirkan bukan hanya isi pesan Ayah, tapi pelecehan saat berada di rangkaian atau bahkan saat naik dan turun dari rangkaian. Namun, kelegaanku tidak berlangsung lama. Tiba-tiba ….
Bug.
Aku membelalakan kedua mata saat merasakan seseorang menempel pada bagian belakang tubuhku. Segera aku menoleh dan ….
“Dasar Om-om mesum, c4bul,” ujarku lirih agar tidak didengar oleh orang yang masih berdesakan akan keluar stasiun.
Pria yang aku sebut mesum mengernyitkan dahinya.
“Hati-hati kalau bicara, bisa jadi fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan bahkan bisa juga pencemaran nama baik karena yang kamu ucapkan tadi adalah tuduhan.”
“Om sengaja kan, menempelkan anunya Om ke belakang sini,” tunjukku pada bagian belakang tubuhku yang bentuknya di atas rata-rata.
Pria itu lagi-lagi mengernyitkan dahinya.
Ini orang kenapa sih dahinya berkerut terus, keheranan apa kesetanan.
“Kamu lihat situasi ini, ramai penumpang. Bahkan tubuh kita bisa terdorong oleh orang lain. Kejadian tadi bukan salahku tapi alamiah karena desakan orang lain.”
Apa? Alamiah? Otak mesum memang begitu kali ya, naluri alamiahnya ingin menyentuh atau pura-pura tidak sengaja bersentuhan. Wah, nggak bener ini orang.
“Pelecehan, anda baru saja melakukan pelecehan,” tuduhku.
“Maaf Pak, Mbak. Jangan menghalangi jalan,” ujar petugas menegur kami.
“Dia melecehkan saya Pak,” teriakku. Padahal sejak tadi aku berusaha untuk bicara lirih karena malu kalau sampai ada yang mengetahui kalau baru saja mendapatkan pelecehan.
Pria itu menatapku tajam dan sinis, tidak tampak panik atau merasa bersalah. Memang jaman sudah edan, tidak menyangka bisa bertemu makhluk macam begini. Entah mimpi apa aku semalam. Urusan hutang ayah dan pelecehan oleh om-om c4bul.
Gentala
“Buat acara baru yang bisa mengusung profile Papi. Tugas kamu hanya fokus dengan Go TV dan tim sukses Papi.”
“Juga cari jodoh, itu juga penting.”
Aku hanya bisa menghela nafas mendengar arahan dari kedua orang yang begitu aku hormati. Sebagai pria dewasa yang sampai saat ini belum berkeluarga karena kegagalan dalam pernikahan sebelumnya, tentu saja membuat mereka khawatir.
Sudah lima tahun berlalu sejak perceraian dengan mantan istriku, aku menetap di Singapura mengurus cabang perusahaan keluarga. Karena Papi mengajukan mencalonkan diri sebagai calon gubernur, tentu saja butuh dukungan dari berbagai pihak termasuk keluarga, khususnya aku sebagai putra sulung.
Adikku hanya satu dan sudah berkeluarga bahkan memiliki dua orang putra.
“Untuk permintaan Papi, aku sudah siap terjun tapi permintaan Mami ….” Aku mengedikkan bahu, karena sampai saat ini belum ada wanita yang berhasil menggetarkan hati dan layak dijadikan istri.
Kegagalan pernikahanku sebelumnya, membuatku berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Kalau hanya sekedar kekasih atau teman tidur, sangat mudah untukku. Bahkan Natasha, mantan calon kekasihku sampai saat ini masih mengejar dan mengharapkan untuk dijadikan istri.
“Mau sampai kapan kamu hidup begini?” pertanyaan Mami sungguh membingungkan.
Begini saja aku sudah bahagia, selama tidak menyusahkan orang lain kenapa harus terusik dengan masalah status single atau double.
“Sampai ada peraw4n manis, lucu dan menggemaskan yang siap aku ajak nikah.”
“Gentala,” teriak Mami. “Ingat umur kamu sudah tiga puluh lima tahun, jangan harap dapat remaja labil. Biar janda asal bisa diatur, baik dan sayang keluarga itu sudah lebih dari cukup.”
“Apa aku harus menikahi Mbok Nah, kriteria Mami ada semua di Mbok Nah.”
Mami kembali berteriak mendengar jawabanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, bingung dengan ulah para wanita yang kadang sikap dan ucapannya tidak bisa ditebak. Sedangkan Papi hanya terkekeh.
“Krisna, lihat putramu. Bisa stroke aku lama-lama bicara dengan dia.”
Entah apalagi yang dikeluhkan Mami pada Papi, aku sudah beranjak meninggalkan mereka. Dalam rangka menjadi tim sukses Papi, pagi ini aku putuskan untuk menggunakan kendaraan umum yaitu KRL. Ada misi yang ingin aku capai dengan menaiki kendaraan ini, walaupun agak sedikit ribet karena supirku mengantar sampai stasiun keberangkatan dan menjemput di stasiun tujuan.
“Jemput aku di Sudirman,” ujarku pada Pak Budi supirku.
“Baik, Pak.”
Hampir enam puluh menit perjalanan menggunakan KRL, bahkan harus transit di stasiun manggarai. Di jam padat seperti kali ini, bukan hanya dalam rangkaian, bahkan untuk keluar stasiun pun cukup padat. Aku sudah mendapatkan ide untuk kegiatan kampanye dan sosialisasi Papi dengan berada di keramaian termasuk dalam kendaraan umum, tapi fokus buyar ketika ada perempuan yang mengatakan aku adalah Om mesum dan c4bul.
Apa dia sudah gila? Orang setampan, kaya, cerdas dan digilai banyak wanita seperti aku mana mungkin melakukan hal rendahan seperti yang dia tuduhkan.
Bahkan aku dan dia sudah berada di kantor kepala stasiun. Telingaku rasanya gatal mendengar perempuan ini terus mengoceh menuduh aku sengaja menempel pada bo kongnya.
Aku pun terkekeh. Bahkan wanita dengan bokong indah pun mau dengan sukarela memberikan tubuhnya padaku, kenapa aku harus dengan pura-pura menempelkan pada bo kongnya yang biasa saja.
“Lihat Pak, dia memang sakit jiwa. Udah salah malah senyam senyum nggak jelas,” ujar wanita itu menghinaku.
“Kita buktikan dengan CCTV."
Diajeng Sekar Ayu
Aku tiba di kantor dengan wajah tidak bersahabat, mood aku pagi ini benar-benar rusak. Bukan hanya karena masalah di rumah tapi juga di perjalanan. Bagaimana tidak ketika pria tadi dinyatakan tidak bersalah karena yang tertangkap CCTV dia terdorong oleh penumpang lain.
Okelah kalau memang seperti itu adanya, tapi om-om itu tidak membuka mulutnya untuk minta maaf. Malah menatapku dengan wajah pongah. Kalau di lihat-lihat memang tampan sih, tampan banget malah. Kelihatan dewasa, keren, wajahnya enak dipandang, apalagi dada bidangnya sudah jelas pelukable dan bisa buat kaum gula-gula bergelantungan manja di leher kokohnya. Ya, pas banget jadi sugar daddy.
Apa aku mnewarkan diri jadi sugar babynya aja ya, siapa tau bisa bantu Ayah melunasi hutang-hutangnya. Ajeng, sadar Ajeng.
Aku meletakan tas yang aku bawa di atas meja kerjaku lalu mendaratkan tubuhku pada kursi kerja.
“Morning babe,” sapa Fabian sambil lewat lalu menuju kubikelnya tepat di sebelahku.
Meja Fabian dan mejaku tidak diberikan sekat karena untuk memudahkan kami berdiskusi ketika bekerja.
Aku menoleh sekilas, sepertinya Fabian masih menatap ke arahku.
“Ada apa sih? Masih pagi udah bete. Senyum dong dan tunjukan wajah ceria kamu,” ujarnya.
Aku pun menggebrak meja.
“Bapak Fabian yang terhormat, aku ini manusia. Catet ya, MANUSIA.” Aku bahkan mengeja dan penuh tekanan mengatakan kata Manusia. “Jadi sangat manusiawi kalau tiba-tiba aku kesal, bosan bahkan moody. Karena aku bukan ponsel yang bisa diatur modenya jadi ceria mode on setiap hari.”
Alih-alih pria itu menanyakan apa yang membuatku begini, dia malah terkekeh kemudian menggeser kursinya agar semakin dekat denganku.
“Berarti Bu Ita judes mode on, ya. Karena tiap hari setingannya begitu,” bisik Fabian dan sukses membuatku ikut terkekeh
Bu Ita berada di divisi keuangan, kadang kami harus menemuinya untuk mencairkan dana yang dibutuhkan ketika dinas luar atau ada take apalagi off air di luar studio.
“Gila, kalau kedengaran orangnya gimana tuh,” ujarku.
Fabian masih cengengesan sambil membuka layar laptopnya. Begitupun denganku.
Aku bekerja di stasiun TV sebagai asisten manager produksi dan manager produksinya tentu saja pria di sampingku. Kami merangkap juga sebagai tim kreatif dan salah satu acara yang kami pegang adalah infotainment. Bahkan program infotainment kami selalu rating tertinggi.
“Konsep untuk live besok, sudah jadi?” tanya Fabian masih fokus dengan layar komputernya.
Aku hanya berdehem sambil fokus pula dengan layar laptopku. Terdengar suara kursi bergeser, sepertinya Fabian kembali menatapku.
“Ajeng.”
Benar saja, dia panggil aku. Sepertinya Fabian sedang menatapku.
“Hm.”
“Jangan ham hem ham hem, konsep itu harus aku ajukan dulu ke produser. Mana berkasnya?”
Ini nih yang aku nggak suka dari atasanku ini. Tampang boleh asyik, ganteng ala-ala pemain drama korea, bahkan artis yang jadi bintang tamu saja kadang mesam mesem curi pandang ke arah Fabian. Tidak jarang ada makanan atau hadiah di atas mejanya yang diletakan oleh penggemarnya tapi kalau ini aku agak takut sih, kalau ternyata kotak-kotak hadiah itu isinya bisa bikin hati kacau mirip balon hijau kalau meletus. Balik lagi ke Fabian, atasanku langsung. Minusnya adalah dia pelupa, udah mirip dengan manula yang pikun dengan menjawab belum makan padahal baru saja makan.
Jelas-jelas aku sudah berikan berkasnya sejak kemarin.
“Map biru, box file tengah. Kemarin Pak Fabian simpan disitu,” ujarku tanpa menoleh.
Terdengar grasak grusuk.
“Eh, iya. Ah, ini sih kamu taruh sebelum aku datang ya." Mengelak sambil terkekeh kemudian beranjak pergi, sepertinya menemui produser.
“Ada apa dengan para pria hari ini, kalian begitu menyebalkan.”
“Mbak Ajeng.”
Aku menoleh, sudah ada Jojo si office boy berdiri tidak jauh dari kubikelku.
“Apa lagi, kamu jangan ikutan masuk daftar pria menyebalkan hari ini versi Diajeng ya.”
Jojo berdenyit mendengar aku menghardik.
“Jangan galak-galak mbak, sayang nanti ayune hilang.”
“Ck, udah deh Jo. Nggak usah memuji sekaligus mengejek. Ada apa?”
“Ada yang cari Pak Fabian,” ujarnya.
Cari Fabian kenapa bilang ke aku. memang Fabian artis dan aku managernya.
“Terus?”
“Tadi pas Pak Fabian datang, beliau pesan kalau ada yang datang selain artis yang akan syuting. Minta Mbak Ajeng yang temui. Sudah ada di ruang tamu depan lift,” ujar Jojo lalu undur diri.
Aku membenturkan keningku pada pinggiran meja.
Aarrgghh.
Aku berjalan gontai untuk menemui tamu Pak Fabian. Paling mantan, gebetan teman kencan atau paling parah teman one night stand. Memang parah, pria yang satu itu. Jangan sampai aku dapat jodoh pria yang kelakuannya beda tipis dengan Fabian.
“Selamat pagi,” sapaku pada wanita yang sedang asyik dengan ponselnya.
Wanita itu menengadah.
“Fabian mana?”
Mana gue tau, udah nyungsep di toilet kali.
Entah apa yang Fabian janjikan atau lakukan pada wanita ini sampai mengejar ke kantor. Dari penampilannya, wanita itu terlihat mirip boneka barbie. Bahkan dari rambut sampai kaki, yang dikenakan jelas barang branded ditambah polesan make up yang cetar melebihi gaya alis mata Syahrini. Nggak tahu deh kalau dipakein daster dan no make up, masih kayak barbie atau bulukan kayak aku.
“Fabian sedang sibuk Mbak, dia sedang rapat dengan manajemen. Ada yang bisa dibantu?” tanyaku masih dengan wajah tersenyum dan tutur ramah, walaupun rasanya ingin aku menjawab. Fabian nggak ada cari sono di toko loakan.
“Bilang Audrey cari dia. Kalau sampai siang ini dia tidak hubungi aku, berarti kamu yang tidak sampaikan pesan dari aku.”
Aku masih tersenyum mendengar ancamannya. Meskipun dalam hati menggerutu, siapa lo ancam-ancam gue, preman mana sih.
“Akan saya sampaikan Mbak.”
Setelah kepergian Barbie KW tiga, aku mampir ke pantry sebelum kembali ke kubikelku. Tentu saja dengan segelas teh manis hangat, harus manis karena sejak tadi pagi rasanya hidupku sungguh pahit.
Menjelang makan siang, Fabian sudah kembali.
“Ajeng, ada GM baru.”
“Hm.”
“Kita diminta temui beliau, sebagai orang yang bertanggung jawab di acara “KATA NETIZEN”.
“Hm.”
“Kamu sariawan ya, dari tadi ham hem ham hem.”
“Pak Fabian, lain kali jangan jadikan aku tameng untuk menghadapi para penggemar Bapak ya? Kecuali ada honor tambahan.”
Fabian terkekeh mendengar keluhanku. Nyebelin kan?
“Siapa yang datang?”
“Barbie kw tiga. Habis diapain Pak, sampai cari-cari ke sini?”
Aku bertanya sedangkan fokusku pada layar laptop membuat konsep acara besok.
“Nggak diapa-apain, dianya aja yang baper. Kalau kamu mau nggak aku apa-apain?”
Aku pun menghentikan gerakan mouse dan menoleh ke arahnya yang sedang terkekeh, padahal tatapanku sudah sangat tajam bahkan melebihi tajamnya silet.
“Yaelah, aku ‘kan bercanda. Tapi kamu makin manis dengan wajah begitu,” tunjuknya ke arah wajahku.
Bener-bener minta diruqyah, dia bilang aku manis dengan penampilan ini. Jelas-jelas kalau bercermin, mungkin cerminnya akan pecah seribu karena aku sudah memang tampang paling sangar.
Kantin siang ini terlihat ramai seperti biasanya. Aku bingung dengan pilihan menu makan siang kali ini. Setiap tenant antri, seharusnya aku datang sepuluh menit lebih awal agar bisa bebas pilih menu yang berselera dibandingkan pilih tenant yang tidak antri.
Makan apa yang enak ya?
Pilihanku jatuh pada Ayam goreng kremes dengan nasi dan es jeruk potongan timun tanpa sambal. Bukan karena aku tidak suka pedas, tapi aku tidak suka dengan bentuk cabai. Jadi makanan pedas oke saja selama bentuk cabai atau biji cabainya tidak terlihat.
Aneh? Memang aku aneh.
“Ayam kremes lagi?”
Anik sudah duduk di kursi berhadapan denganku. Pertanyaannya membuat dahiku berkerut. Memang kapan ya aku makan ayam kremes sebagai menu makan siang.
“Kemarin lo makan ayam kremes, kemarinnya lagi juga.”
“Kok kamu hafal sih?”
“Ya iyalah, kemarin aku makan itu juga. Lo nggak bosan? Gue khawatir lo jadi kremesan, gara-gara makan ayam kremes seminggu berturut-turut,” ujar Anik sambil terbahak.
Konyol memang teman yang satu ini. Anik adalah teman sejak pertama kali aku bekerja di stasiun TV ini. Kami adalah karyawan magang saat itu, dengan penampilan polos dan lugu. Bahkan bodohnya pun sama, karena sama-sama tersesat ke ruangan meeting manajemen sedangkan kami seharusnya datang ke divisi HRD di hari pertama bekerja. Dia berada di bagian keuangan, satu tim dengan Bu Ita yang judes.
“Kenapa lagi? Muka lo nggak enak, pahit kayak ini pare.” Anik bicara sambil mengunyah siomaynya.
“Nggak apa-apa, Cuma kayaknya Tuhan lagi bercanda aja. karena dari pagi dapat situasi nggak enak terus.”
“Mbak Ajeng, dicariin Pak Fabian. Katanya sekalian bawakan ini makan siangnya.”
Jojo mengulurkan plastik berisi box yang dari kemasannya sudah bisa dipastikan kalau itu nasi padang. Karena ada gambar rumah gadang di kemasannya.
“Tapi kan sekarang masih jam istirahat Jo, terus kenapa nggak kamu antar sendiri aja.”
“Wah, intruksi Pak Fabiannya begitu Mbak. Nggak berani melawan saya.”
Aku menghela pelan. Sedangkan Jojo sudah undur diri setelah meletakan makan siang yang harus aku bawa, sepertinya dia takut aku marah dan mengeluarkan ilmu kanuragan.
“Udah sana anterin tuh makan siang. Siapa tahu kalau lo patuh, Pak Fabian rekomendasi untuk lo naik jabatan atau naik gaji.”
Aku berdecak mendengar nasihat Anik yang sok bijak, padahal biasanya dia yang suka curhat berapi-api karena Bu Ita kasih tugas enggak pakai titik, nggak ada akhirnya.
“Jangan lupa kumur-kumur, bumbu kacang pada nyangkut di sela gigi.” Kayaknya nggak afdol kalau kami tidak saling ejek setiap bertemu.
Akhirnya aku sudah berada di lantai di mana divisiku berada dan ternyata meja Fabian kosong melompong. Sepi kayak kuburan malam jumat kliwon. Lalu aku harus antar makan siang dia ke mana.
“Halo Pak, ini makan siang mau diantar ke mana?”
“Ah iya, taruh di meja aja dulu. Aku sedang bersama Natasha.”
“Hm.”
Palingan dia tebar pesona dulu sama Natasha, model yang akan menjadi bintang tamu acara KATA NETIZEN. Natasha model sabun mandi dan pernah menjadi brand ambassador produk kecantikan dan katanya sudah merambah internasional.
Aku sudah tidak peduli dengan makan siang Fabian masih ada atau sudah dibawa kucing garong. Karena sudah waktunya syuting “Kata Netizen”. Aku sudah berada di studio lima, semua kru terlibat sudah standby.
Sebagai bagian dari tim kreatif, tentu saja aku harus stand by karena bisa saja ada kendala dan aku harus siap dengan rencana cadangan. Yang unik dari acara ini adalah presenter atau pembawa acara selalu berganti dan Natasha adalah bintang tamu dan yang serunya akan ditampilkan video wawancara mengenai Natasha baik dari masyarakat, keluarga juga rekan kerja. Tentu saja dengan penyeleksian yang ketat agar layak disiarkan. Padahal kalau tanpa penyaringan mungkin akan lebih seru ketika masyarakat memaki tokoh yang dibahas atau bahkan tidak kenal dengan tokoh tersebut.
“Semua stand by, one, two ….”
“Tunggu,” teriak Natasha.
Aku yang menunduk membaca script memastikan sudah sesuai dengan teman dan ide yang sudah direncanakan pun menoleh.
“Apa lagi sih,” gumamku.
“Wawancara dengan masyarakat sudah dipastikan isinya positif ‘kan? Nggak ada penghinaan atau pencemaran nama baik aku.” Natasha bertanya sambil bercekak pinggang, asistennya menghampiri memperbaiki tatanan rambutnya.
Beberapa kru terdengar menghela nafas.
“Dia artis apaan sih? Tahu konsep acara nggak sih,” gumam sutradara yang berada tidak jauh dari aku.
Aku hanya tersenyum.
“Ajeng, ini gimana Jeng?”
“Lanjut aja Mas,” teriakku. “Mbak Natasha sudah baca kontraknya ‘kan? Harusnya sih sudah, karena kalau belum mana mungkin tanda tangan dan mana mungkin sudah ada di sini. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan isi kontrak, silahkan tuntut aja ke bagian legal.”
Aku malas berdebat dan jelas hanya akan membuat jadwal syuting mundur.
“Aman, pokoknya aman. Kamu nggak usah khawatir," ujar Fabian yang baru bergabung.
Natasha tersenyum lalu kembali ke kursinya.
Oh, si kampret akhirnya datang juga.
“Babe, makan siang aku di mana?” tanya Fabian sudah duduk di sampingku.
Meneketehe, inginnya jawab begitu tapi aku masih punya adab dan etika.
“Katanya tadi suruh taruh di meja Bapak, ya di sana dong. Masa saya bawa-bawa.”
Dia terkekeh, “Udah aku makan kok.”
Wah, bener kampret kan. Kalau kurang ajar diperbolehkan baik di dunia kerja atau di mana pun, berkas yang aku pegang rasanya ingin aku gulung dan pukulkan ke kepalanya. Siapa tahu otaknya yang geser bisa kembali ke tempatnya.
“Udah minum belum Pak? Makan nggak minum, seret loh.”
“Kamu perhatian banget sih, nanti malam kita nonton yuk.” Fabian kembali menggoda dan mengajakku jalan, entah sudah keberapa kalinya. Tentu saja kali ini pun aku … tolak.
“Makasih Pak, tapi hari ini saya sibuk. Sibuk menghayal kapan Lee Min Ho mengungkapkan cinta,” ujarku sambil memandang jalannya syuting.
“Eh, kalau menjelaskan ke artis itu jangan kayak tadi. Kadang mereka memang nggak baca kontrak, karena urusan manajemennya.”
“Lah katanya dia terkenal, masa konsep acara begini nggak paham. Ini acara semua umur Pak, sudah pasti sortingnya berlapis-lapis. Standar banget ‘kan?”
“Hm. Satu jam lagi kita briefing dengan GM yang baru. Siap-siap ya.” Fabian menepuk bahuku lalu beranjak pergi.
“Siap-siap ke mana, perang?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!