NovelToon NovelToon

Suami Kecil Milik Bu Guru

BAB 1 Aku Tidak Mungkin Hamil

“H-hamil?” seorang wanita menjatuhkan testpack dari tangannya. Dia menyandar pada dinginnya dinding kamar mandi. Sejenak termenung, tatapannya lurus ke depan, teringat pedihnya tragedi satu bulan yang lalu.

Kristal bening menetes dari dua sudut mata. Bagi banyak orang kehamilan merupakan anugerah indah tak ternilai, tapi menurut Emilia ini adalah musibah.

Emilia Anette Putri mengandung benih dari seorang pria bejat di Spanyol. Semua bermula dari ayah sambungnya, menjual Emilia kepada seorang bandar judi terbesar serta memiliki banyak bisnis ilegal sebagai penyokong keuangannya.

Malam tragis itu berlangsung sangat cepat, Emilia diseret paksa oleh ayah sambungnya. Diberikan obat hingga setengah tak sadarkan diri, samar-samar dia mengingat bagaimana pria bejat itu merenggut paksa kesuciannya sangat kasar.

“A-aku hamil anak Tuan Mirano? Tidak, ini pasti salah.” Mata Emilia terpejam, menggelengkan kepala, menolak kenyataan yang tertulis.

Tiba-tiba saja perutnya bergejolak, seolah sebuah benda asing mengaduk lambungnya, hingga rasa mual begitu kuat terasa.

Emilia memuntahkan cairan bening dan kuning ke wastafel. Belakangan ini dirinya memang mual dan lemas tapi tak pernah tersirat sedikitpun bahwa ia sedang hamil.

Emilia kembali terkejut, pintu kamar mandi terbuka sangat keras, kasar dan lebar. Rupanya Alvarez, ayah sambungnya mendengar suara muntah Emilia. Pria paruh baya itu yakin bahwa Emilia hamil.

“Ikut aku! Kita ke rumah sakit sekarang.” Memanggul Emilia layaknya karung. Alvarez tidak memedulikan penampilan Emilia yang berantakan.

“Tidak, jangan Papa. Aku bisa berangkat sendiri. Aku tidak sakit. Lepaskan aku Papa.” Berontak Emilia. Naasnya, tenaga Alvarez sangat kuat, tidak goyah sedikitpun.

**

Rumah Sakit

Alvarez melepaskan kedua tangan Emilia dari ikatan. Terpaksa pria paruh baya itu menggunakan kekerasan demi mencapai tujuan. Kalau tidak, Emilia bisa memberontak dan membahayakan kandungannya.

“Turun! Ku bilang turun sekarang juga. Emilia di mana telingamu, hah? Cepat!” Alvarez menarik tangan putri sambungnya, dia tersenyum karena sebentar lagi memiliki cucu. Ya cucu miliarder, bayang-bayang berendam di lautan uang sangat dinantikan.

“Papa, aku tidak sakit.” Cicit Emilia, tak berdaya, pergelangan tangannya berdenyut nyeri dalam cengkeraman Alvarez.

“Sssttt kau berisik sekali. Kau itu hamil, Emilia putri kesayanganku. Akhirnya berguna juga.” Seringai Alvarez menatap perut rata Emilia di balik piyama berwarna coklat susu.

Ayah dan anak itu mengantre cukup lama, Alvarez hampir mengamuk karena dia tidak menyukai bisingnya rumah sakit serta para manusia yang berlalu lalang mengeluh segala macam penyakit. Ditambah bau obat menusuk indra penciuman.

Setelah 30 menit menunggu, Emilia dan Alvarez memasuki ruang spesialis obgyn. Dalam ruangan, Emilia segera berbaring mengikuti instruksi dokter. Tubuhnya tersentak ketika gel bening menyentuh kulit perut.

Kedua mata Emilia melebar ketika melihat sesuatu pada layar besar, berbentuk bulat. Seketika badannya gemetar. Dia tidak percaya semua ini nyata, “Aku tidak mungkin hamil, ini salah.” Emilia membatin.

Usai pemeriksaan, Alvarez membawa putrinya pulang, tanpa menebus vitamin yang diresepkan dokter, menurut Alvarez yang terpenting mengamankan Emilia. Kemudian bernegosiasi dengan Mirano, menjual bayi dalam kandungan Emilia.

“Aku akan menghubungi Tuan Mirano Jose, kau harus menjaganya Emilia, jangan mengacaukan rencanaku!” ancam Alvarez mengacungkan pisau lipat ke leher Emilia.

Mendengar nama pria bejat yang menghamilinya, Emilia bergidik ngeri, trauma mendalam terpatri kuat dalam jiwa serta raga. “Aku tidak mau melahirkan anak ini.” Jawab Emilia begitu lugas tanpa keraguan.

Seandainya saja rumah tinggal mereka tidak jatuh ke tangan Alvarez, pasti Emilia meninggalkan ayah sambungnya.

Tapi pria itu licik, dia merampas harta peninggalan mendiang ibu kandung Emilia, baik uang tunai atau aset tetap. Emilia harus memperjuangkan haknya, banyak kenangan indah bersama mamanya di rumah itu.

“Apa kau bilang? Tidak mau melahirkannya? Jangan gila Emilia!” Alvarez mengemudi seperti orang kesetanan, menginjak pedal gas sangat kuat.

Tapi Emilia tidak gentar. Merasa menjijikan sekali mengandung benih pria kejam. Emilia mengutarakan keinginannya kepada Alvarez.  “Aku akan mengugurkan bakal janin ini. Aku tidak mau hamil tanpa suami, aku tidak mau anakku diperdaya oleh Papa dan Tuan Mirano.”

“APA?” seketika mobil terhenti. Alvarez menampar pipi Emilia hingga tanda kelima jari tercetak jelas.

“Kau harus membayar balas budi, aku yang membiayai mu dari kecil sampai lulus kuliah keguruan. Aku juga merawat ibumu, kau tahu berapa uangku yang habis karena kalian berdua?”

Mendengar suara rintihan Emilia membuat Alvarez semakin menggila. Dia menarik rambut panjang Emilia hingga panas menjalar ke kepala. “Kalau kau berani menggugurkannya, aku pastikan karirmu sebagai guru hancur dalam satu menit. Kau lihat ini Emilia, buka kedua matamu dengan lebar, bodoh!”

Alvarez mengeluarkan ponsel dari saku jaket, memutar video panas antara Emilia dan Mirano. Semua ini sengaja dia lakukan untuk mengurung putrinya agar tetap patuh.

“Kau boleh kehilangan bayi itu, tapi tidak akan bisa hidup tenang. Video ini menjadi konsumsi publik. Hahaha, Emilia putriku yang cantik.”

Emilia berusaha merebut ponsel dari tangan ayahnya, tapi Alvarez kembali tergelak. “Silakan kau rusak dan hapus, ini hanya salinan saja anakku. Sekarang berhenti menangis, kita pulang!”

Mobil Alvarez kembali melaju hingga tujuan.

Tiba di rumah, pria paruh baya ini mengurung putrinya dalam kamar, mengunci dari luar. Alvarez tak mau kehilangan harta karun. Dia harus menjaga bakal janin itu.

“Tidur lah Emilia. Jangan mencoba berpikir atau melakukan sesuatu, aku tidak akan melepaskan mu, ingat itu.” Teriak Alvarez dari luar kamar.

Alvarez boleh mengunci dari luar tetapi satu jendela terbuka lebar. Emilia yang tidak kehilangan akal, keluar dari rumah hanya dengan tas kecil. Berusaha menjauh dari Alvarez meskipun tertatih.

“Kalau aku tidak boleh melenyapkan kamu, maka kita berdua yang pergi selamanya.” Batin Emilia menangis. Kakinya terus melangkah, tak kenal takut, menyisir jalanan tanpa menggunakan alas kaki.

“Mama, apa hidupku cukup sampai di sini saja? Jujur, aku tidak sanggup lagi, Ma.” Lirih Emilia sepanjang jalan.

Emilia yang sudah kelelahan, berhenti sejenak memandangi arus sungai yang begitu tenang dari jembatan tinggi ini. Dia menghela napas, kemudian mengusap perutnya.

“Kita harus pergi. Kamu siap? Aku tidak mau kamu lahir, menjadi budak dari kekuasaan Tuan Mirano. Aku tidak mau melahirkan calon manusia bejat.” Emilia mengutarakan isi hatinya.

Wanita cantik ini nekat naik pembatas jembatan. Kedua matanya mengalihkan pandangan dari air yang mengalir di bawah sana. Bisa dipastikan, jika jatuh nyawa siapapun tak akan selamat. Mengingat kedalaman sungai serta ketinggiannya.

Satu kaki Emilia perlahan bergerak, terus naik untuk melewati pembatas. “Ini keputusanku.” Kata Emilia.

Akhirnya dia berhasil, kini Emilia tinggal mendorong tubuhnya agar jatuh ke dalam aliran sungai. Setengah dari telapak kaki sudah tak berpijak, Emilia menutup mata, lalu mencondongkan badan ke depan.

Hembusan angin bisa dirasakan, tak menunggu lagi, segera melompat dari jembatan.

Namun satu tangan kokoh berhasil menarik sebelah tangan Emilia. Sontak wanita itu melotot tidak percaya melihat seseorang yang menahannya.

TBC

***

Salam kenal dan selamat datang di Novel baru

Boleh minta dukungannya ya kakak like, komen dan subscribe karena dukungan kakak semua sangat berarti bagi author receh ini

semoga suka dan betah

🙏

BAB 2 Dipaksa Menikah

Tak disangka seorang remaja laki-laki berhasil menyelamatkan Emilia, secara kebetulan sedang membuang rasa sedih akibat patah hati.

Dia adalah Edgardo Rafael Torres putra kedua dari keluarga Torres. Sekaligus murid Emilia di sekolah.

Edgardo terpukul berat. Kekasih yang dijaga dan dicintai, mendua serta mengulang kesalahan yang sama, bahkan terang-terangan memilih pria itu dibanding Edgardo.

Bukan sekedar mendua, tetapi menyaksikan dengan kedua mata, bahwa kekasihnya tidur dengan pria lain.

Jiwanya terlampau kecewa, tersayat sembilu, teringat bagaimana memperjuangkan cintanya di hadapan kedua orangtua agar memperoleh restu.

Namun, sekarang Edgardo menyesal. Ya dia menyesali telah berusaha mati-matian mempertahankan kekasihnya. Hingga namanya terancam dikeluarkan dari daftar anggota keluarga Torres.

“Bu Emilia? Bunuh diri?” entah pertanyaan atau reaksi mencemooh yang keluar dari bibir Edgardo. Remaja ini bicara tanpa ekspresi, ya seperti biasanya selalu datar, dingin tak tersentuh, tapi seluruh siswi di sekolah memujanya.

“Lepas! Anggap saja kamu tidak melihat saya. Biarkan saya mati.” Lirih Emilia diambang keputusasaan.

Namun yang terjadi sebaliknya, Edgardo tidak mendengar instruksi Emilia. Lelaki itu menggapai tubuh gurunya. Membawa Emilia ke sisi jembatan yang sangat aman.

“Duduklah!” perintah Edgardo, membuka botol minum, menyerahkannya tepat di depan bibir tipis Emilia yang gemetaran.

Kini Emilia menunduk malu, lantaran menjadi perhatian banyak orang yang melintas. Mereka mencibir, menghina dan melayangkan kata-kata menyakitkan hati.

Mereka mendengar isi hati yang disampaikan Emilia sesaat sebelum melompat. Tatapan jijik pun tertuju kepada Emilia dan Edgardo.

Kejadian ini terekam, melalui salah satu kamera ponsel penduduk sekitar yang memang berniat menyebarluaskan demi keuntungan semata. Jelas saja dia tahu, siapa lelaki yang menyelamatkan wanita dewasa itu.

Sudah jelas videonya akan bernilai puluhan ribu hingga ratusan ribu euro, karena keluarga Torres tak akan membiarkan keturunan mereka dipandang buruk oleh dunia.

Seluruh orang yang hadir di jembatan menuduh Edgardo menghamili Emilia. Banyak yang tidak menyangka jika salah satu pewaris Torres Inc memiliki perangai yang buruk.

‘Ternyata kedua orangtua kamu hanya pencitraan di depan publik. Terbukti sekarang, anak mereka menghamili wanita tua dan tidak mau tanggung jawab’

‘Bersikap lah dewasa wahai anak muda. Jangan melenyapkan nyawa tak bersalah’

‘Pasti hubungan kalian tidak direstui Tuan dan Nyonya Torres, menjijikkan sekali.’

Kedua tangan Edgardo mengepal kuat, dia mengutuk dirinya. Seharusnya tidak ikut campur ke dalam masalah Emilia. Sekarang dia menjadi pelaku kejahatan karena berniat membunuh Emilia dan bayinya.

“Ini semua tidak seperti yang kalian lihat. Aku tidak mengenal wanita ini.” Tegas Edgardo sama sekali tidak menatap Emilia yang syok mendengarnya. Dia segera melangkah mendekati motornya, hendak meninggalkan kerumunan warga.

“Menyingkir! Sebaiknya kalian awasi perempuan tidak waras itu, bukan aku.” Edgardo yang memang tak memiliki rasa empati, menyalakan mesin motor.

Dirinya tidak mau ikut campur, sudah cukup pusing dan lelah mengawali pagi dengan masalah.

Tapi tidak semudah itu, beberapa orang mencegahnya, bahkan mengunci pergerakan Edgardo. Membawanya secara paksa memasuki mobil pick up.

“Apa-apaan kalian? Tidak tahu siapa aku, hah?” tubuh kekarnya pun tidak kuasa melawan banyaknya pria dan wanita yang menghadang.

“Ini semua karena kamu, dasar wanita tidak tahu diri.” Teriak Edgardo mengarah kepada Emilia yang meringkuk di pinggir.

“Dasar guru tidak kompeten, hamil tanpa suami. Sekarang aku dituduh sebagai ayah dari bayinya. Ku pastikan minggu ini terakhir dia bekerja sebagai guru di sekolah.” Desis Edgardo dalam hati.

“Namanya juga menjadi daftar hitam sebagai staf pengajar. Lihat saja kau Emilia.” Lanjutnya, masih memikirkan membalas perbuatan Emilia.

Tentu saja hal mudah baginya mengeluarkan siapapun sesuka hati, karena sekolah itu milik Yayasan Torres Inc, dikelola secara langsung oleh Nyonya Torres.

‘Bawa saja mereka berdua ke badan kependudukan, nikahkan saja mereka!’

‘Kamu jangan diam saja perempuan bodoh, cepat ikut! Kalian harus bertanggung jawab apa yang sudah dilakukan, jadilah manusia bijak. Berani menanggung resiko.’

Emilia yang masih terkejut, terpaksa mengikuti perintah warga. Dia ketakutan, karena aksi gilanya, kini menyeret orang lain dalam pusara masalah.

**

Tiba di badan kependudukan, Edgardo harus menanggung malu karena terpaksa mengeluarkan kartu identitas. Petugas pendaftaran saling berbisik satu sama lain, menatap hina kepada Edgardo, apalagi Emilia.

Semua menilai bahwa Emilia perempuan murahan yang menjebak Tuan Muda Torres agar bersedia menikahinya.

Edgardo dan Emilia masih dalam pengawasan ketat warga. Keduanya digiring masuk ke ruangan khusus pernikahan. Di bawah tekanan, Edgardo menandatangani surat dan janji nikah. Tatapan Edgardo selalu tajam kepada Emilia.

Sekarang pasangan guru dan murid ini resmi menjadi suami istri, sah tercatat secara hukum. Para warga pun mulai meninggalkan gedung.

Tidak hanya itu, Edgardo merogoh sakunya membayar mahal untuk menutup mulut petugas badan kependudukan tentang status barunya. Uang jajan yang bernilai ratusan ribu euro raib dalam hitungan jam.

Edgardo tidak peduli, dia masih bisa mendapatkannya lagi. Tapi menyangkut nama baik hanya ada satu seumur hidup, jika hancur maka berakhir pula kehidupannya di dunia.

“Kau harus bertanggung jawab Bu Emilia.” Tatapan bengis Edgardo mengintimidasi Emilia.

“Tanggung jawab apa?” cicit Emilia menatap muridnya tidak mengerti. Di sekolah dia berhak berurusan dengan Edgardo, namun di luar area sekolah Emilia berharap tidak pernah bertemu murid menyebalkan ini.

Edgardo mendekat dan mengunci Emilia pada dinding menggunakan kedua tangan, menghembuskan napas tepat di pipi istri dadakannya. “Uang jajanku hilang karena tingkah gila Anda. Sebaiknya siapkan bayarannya dalam waktu 48 jam.”

“B-berapa?” tanya Emilia memberanikan diri.

Edgardo tertawa mengejek, memindai penampilan Emilia dari atas ke bawah. “Guru miskin sepertimu rasanya tidak akan sanggup. € 150 Ribu.”

Mendengar nominal fantastis, Emilia menggelengkan kepala lalu berkata, “Lebih baik kau bunuh saja aku, aku memang guru miskin. Percuma kau menagih, karena aku tidak akan membayarnya.”

Geram atas sikap Emilia yang begitu angkuh dan tidak tahu diri, Edgardo keluar dari gedung, melangkah sendiri. Namun, istrinya mengikuti dari belakang.

“Urusan kita sudah selesai, tunggulah surat cerai di rumahmu. Jangan ikuti aku, mengerti Bu Emilia?” Edgardo jengah harus menjadi suami dadakan di usianya yang masih sangat muda.

Lebih tidak menyangka lagi menikahi guru yang terkenal cantik, cerdas di sekolah tapi bagi Edgardo sangat menyebalkan dan menguras emosi.

Edgardo tidak mungkin membawa pulang gurunya, lalu memperkenalkan sebagai istri. Apalagi saat ini, Emilia dalam keadaan mengandung anak dari pria yang tidak jelas.

Entah hukuman apa yang akan diberikan Tuan Torres, jika mengetahui putranya menikahi wanita murahan seperti Emilia.

Akhirnya Edgardo pergi meninggalkan Emilia sendirian di luar gedung. Melepas tanggung jawabnya sebagai suami. Dengan alasan, menjaga nama baik dari skandal yang sangat dekat mengincarnya.

Emilia pun hanya tersenyum perih, menatap nanar punggung suami kecilnya. Memang sebaiknya mengakhiri sebelum semua terlambat.

TBC

***

Tekan tanda jempol dan hati

Like dan subscribe ditunggu kakak, boleh banget tinggalkan jejak komentar.

BAB 3 Membenci Perbuatan Keji

Kendaraan roda dua milik Edgardo tiba di pelataran kediaman Torres. Lantaran dilanda pagi yang sial, Edgardo tidak memarkirkan motornya dengan baik di dalam garasi, menyimpan sembarang yang penting tidak menghalangi jalan siapapun.

Derap langkah kaki dengan sepatu kets sobek itu mulai memasuki mansion. Para maid berjejer menyabut Tuan Muda mereka, tak ada satupun yang berani menatap atau menyapa Tuannya.

Mengingat belakang ini sikap Edgardo sangat kasar dan sulit diatur. Selalu melanggar peraturan dan membantah perintah Tuan Besar Torres.

Tapi dewi keberuntungan benar-benar tidak mendukung. Tepat pintu lift terbuka, Daddy Leon menyerang putranya dengan kata-kata menyayat hati. “Dari mana? Menemui pel***u* itu lagi?”

Sontak saja darah Edgardo mendidih, dadanya bergemuruh menahan amarah, napasnya pun terasa berat dan sesak.

“Dia bukan perempuan seperti itu.” Edgardo menoleh, membalas tatapan menyeramkan ayahnya, tak gentar sedikitpun.

Seketika ruangan di lantai satu dipenuhi oleh gelak tawa Daddy Leon. “Hahaha. Disebut apa wanita yang menjual dirinya kepada sembarang pria? Bersedia melayani di atas ranjang dengan imbalan uang.”

Edgardo hanya mampu menelan air liur yang terasa pekat dan menyakiti kerongkongan. Semua yang dikatakan Daddy Leon benar, tidak salah sedikitpun.

Mantan kekasihnya, Camilia menjajakan diri kepada pria hidung belang, tapi itu dua tahun yang lalu.

“Putraku yang menyedihkan, jatuh cinta pada mantan pekerja **** komersial. Tidak kah kau takut tertular penyakit? Dia tidak baik untukmu, tinggalkan wanita itu! Sampai mati pun, Daddy tidak akan pernah mengakuinya sebagai menantu, paham kau?” bentak Daddy Leon, mengundang Nyonya Torres melihat keadaan menyedihkan putra keduanya.

“Aku dan Camilia sudah putus, kami tidak pernah berkomunikasi selama satu tahun ini.” Bohong Edgardo, dia mengakhiri percakapan bersama ayahnya. Melenggang pergi tanpa permisi.

Daddy Leon yang keras kepala dan tidak mau kalah membalas putranya. “Uang sakumu berkurang 50%. Aku tidak mau kau menghidupi wanita itu lagi.”

Sedangkan Edgardo sudah kebal dengan semua hukuman ringan, sama sekali tak berimbas apapun kecuali hidup hemat selama tiga bulan ke depan. Apalagi uangnya sudah terkuras untuk menutup mulut petugas badan kependudukan serta beberapa warga.

Menghabiskan waktu seharian penuh dalam kamar adalah kebiasaan Edgardo, meluapkan emosi dengan tidur sembari mendengarkan musik.

Hingga malam aktifitasnya tetap sama, meratapi nasib diri. Dering ponselnya diabaikan begitu saja, malas bersenang-senang bersama teman dekat.

Edgardo membuka pintu kaca balkon, menikmati gelapnya malam yang sedikit gerimis. Alunan lagu tetap setia menjadi pendamping. Tiba-tiba saja kepalanya teringat akan Emilia, istrinya.

“Kenapa harus guru itu? Apa tidak ada wanita lain yang aku kenal? Hah.” Edgardo melempar headset dan ponselnya ke atas sofa. Semakin berusaha menghilangkan Emilia dari dalam kepala, bertambah juga rasa khawatirnya.

“Argh … sial, benar-benar mengganggu.” Geram Edgardo, segera menggunakan jaket, meraih ponsel dan kunci mobil.

Bergerak cepat sebelum wanita itu nekat bunuh diri, ya itulah yang ada dalam pikiran Edgardo, bayang-bayang Emilia tak bernyawa bahkan berlumuran darah.

Edgardo melaju cepat, membelah ramainya lalu lintas Kota Madrid malam ini. Dia menghubungi anak buat kepercayaan Daddy Leon, demi membantu menemukan Emilia dalam waktu singkat.

“Paman, tolong bantu aku. Sekaligus rahasiakan dari Daddy. Jangan biarkan Daddy mengetahuinya.” Kata Edgardo di telepon, kemudian mengirimkan foto Emilia yang dia ambil dari website sekolah.

Tidak membutuhkan waktu lama, semua informasi mengenai Emilia berhasil diperoleh, cukup 15 menit. Namun ada yang mengganjal di hati, Edgardo menggelengkan kepala mengetahui keberadaan istrinya.

“Benar-benar tidak bisa berpikir panjang, dasar wanita.” Hardik Edgardo memaki setir mobil yang tidak bersalah apa-apa.

Dia mengatur map ke lokasi tujuan pada kendaraannya, bagaimanapun Edgardo pria yang masih memiliki hati nurani. Bukan pria bengis yang mengabaikan begitu saja. Siang tadi memang dirinya dikuasai emosi hingga tak bisa mengendalikan diri.

Berkendara selama 30 menit, akhirnya Edgardo tiba di klinik pinggir kota, tempatnya kurang terawat tetapi puluhan pasien wanita mengantre, menunggu nama dipanggil oleh perawat.

Edgardo terpaksa menginjakkan kedua kakinya di klinik aborsi ilegal ini. Tentu saja menggunakan penyamaran, topi dan masker melekat di wajah tampan. Matanya mencari Emilia, dari ujung lorong ke sisi lainnya.

“Wanita murahan yang menyusahkan.” Gumam Edgardo, menyisir satu per satu wajah pasien.

Tidak menemukan Emilia, Edgardo bergegas keluar klinik, tapi siapa sangka dia menemukan istrinya tengah mendaftarkan diri.

Tanpa menunggu, Edgardo menggendong Emilia menjauh dari klinik aborsi. “Ikut dan diam, jangan mengoceh!” seru Edgardo tidak menerima bantahan apapun.

“S-siapa kamu? Lepas! Aku bisa teriak dan kamu pasti dipukuli.” Bentak Emilia memukuli dada bidang muridnya.

“Aku? Krediturmu. Jangan lupa membayar € 150 ribu, uang jajanku di pangkas 50% oleh Daddy.” Terang Edgardo sembari membuka pintu mobil dan mendudukkan istrinya di atas kursi penumpang.

“Duduklah, jangan mengambil tindakan yang beresiko lagi!” Edgardo membantu memasang sabuk pengaman.

Lagi-lagi hambatan mendekat, preman yang menjaga klinik tidak terima salah satu pasien melarikan diri sebelum membayar uang. Seharusnya pendapatan bertambah, tetapi kehadiran Edgardo mengurangi penghasilan mereka.

Preman itu memukuli Edgardo, meninju wajah dan menendang kuat bagian perut hingga terasa nyeri menyerang ulu hati. Tentu saja Edgardo balas melawan, karena tadi dirinya dalam keadaan tidak siap.

Adu kekuatan itu berlangsung cukup alot dan lama, hingga Edgardo memutuskan memasuki mobil dan melesat melarikan diri sebelum identitas terbongkar.

“Wajahmu memar.” Emilia memperhatikan sudut bibir berdarah, pipi merah dan pelipis yang sobek.

“Hutang mu semakin banyak, Bu Guru. Aku menunggu pembayarannya, jangan terlambat.” Tanggapan Edgardo lagi-lagi menyinggung uang.

“Kita mau ke mana? Rumah sakit kan?” Emilia merasa bersalah, melibatkan muridnya dalam keadaan serumit ini.

“Apartemenku, kalau ke rumah sakit. Daddy pasti mengetahui aku dipukuli preman, bagian administrasi selalu memberikan informasi apapun kepada Daddy.” Tukas Edgardo tetap fokus mengendarai mobil.

**

Di apartemen

Edgardo yang merasa memiliki hak atas Emilia, memarahi istrinya. Intonasi kasar pun menggema dalam penthouse.

“Kau seorang guru tapi otakmu hanya seperempatnya saja. Tidak tahu kah kalau itu sangat berbahaya? Bisa saja kau meninggal di tempat.” Bentak Edgardo, berkacak pinggang, bolak balik di hadapan Emilia.

“Aku tahu, tapi semua terpaksa. Kau tidak tahu apa yang aku alami. Sebaiknya tidak perlu ikut campur, belajar saja yang benar untuk ujian.” Sanggah Emilia, merasa sudah memilih jalan yang benar.

“Ya aku tahu. Kekasihmu tidak mau tanggung jawab, benar kan? Kau memilih aborsi karena takut kehilangan karir sebagai guru. Seandainya ketua yayasan dan kepala sekolah tahu, aku jamin guru sepertimu ditendang tanpa belas kasih.” Pedasnya bibir Edgardo menusuk jantung Emilia.

“Kau tidak layak menjadi guru, wanita murahan seperti mu benar-benar bukan figur pengajar bagi semua siswa. Aku menyesal mengambil mata pelajaran di kelasmu.” Lanjut Edgardo.

Perbuatan Emilia ini tidak bisa dimaafkan, Edgardo semakin membenci Emilia yang sanggup bertindak keji.

“Apa katamu? Aku murahan? Jaga mulutmu kalau tidak tahu akar masalahnya.” Balas Emilia, derai air mata mulai membasahi pipi.

Dia pun tidak sudi menjadi pemuas nafsu Mirano. Seandainya terlahir dari keluarga kaya, pasti nasib sial seperti ini tak akan menimpanya.

TBC

***

Jangan lupa tinggalkan jejak ya

Terima kasih

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!