Drap
Drap
Drap
Langkah kaki cepat terdengar kala aku dan ibu sedang makan malam bersama nenek.
"wah, rupanya ada mantan kakak ipar." suara lantang itu membuat kami semua menoleh ke arah suara.
"riana, kamu pulang, nak?." tanya nenek, saat melihat anak tante riana.
"ibu, kenapa mereka ada di sini?" tanya tante riana dengan nada ketusnya.
"ibu yang memintanya datang, lagipula ibu hanya sendiri di rumah, kalian tidak ada yang mau tinggal di rumah ini." jawab nenek.
"bukan tidak mau, bu. Tapi kami memang sedang sibuk. Harusnya ibu tidak meminta wanita pembawa sial ini datang kesini." ucapan tante riana membuat emosiku meledak.
Brak...
Wajah mereka semua terlihat terkejut saat mendengar aku menggebrak meja makan ini.
"jangan lagi-lagi tante mengatakan kalau ibuku pembawa sial! cukup menghina ibuku, dulu aku masih kecil tidak mengerti kenapa kalian begitu membenci ibuku, tapi sekarang aku mmengerti. Jadi mulai sekarang berhenti menghina ibuku!" ucapku dengan napas naik turun.
Melihat tante riana membuatku susah sekali mengontrol emosi, teringat beberapa tahun yang lalu, bagaimana dia begitu kejam mengusir dan mengatakan kalau ibu pembawa sial, penyebab kematian ayah.
flasback on
"jangan... Tolong jangan sakiti ibuku, tante!" teriakan ku bahkan tidak ada seorangpun yang mendengarnya. Hanya nenek yang berusaha menghentikan tante riana dan paman angga kala menyeret ibuku keluar dari rumah ini.
"pergi kamu! Dasar wanita sial, kedatanganmu hanya membawa sial penghuni rumah ini!" usir tante riana dengan kejamnya melempar semua tas milik ibu dan juga aku.
Aku menangis memeluk erat tubuh ibuku, yang entah kenapa tidak ada sedikitpun air mata menetes di wajah cantiknya.
Aku tau walaupun airmata itu tidak ada, aku bahkan merasakan kesedihan yang teramat dalam pada mata ibu ku.
Aku hanya anak 5 tahun yang masih belum mengerti dunia orang dewasa, tapi bukan berarti aku tidak merasakan kesedihan yang ibu rasa, disaat baru kehilangan ayah. Tante dan paman malah mengusir kami.
Dengan langakah berat aku dan ibu meninggalkan rumah itu, rumah yang menyimpan banyak kenangan aku dan juga ayah. Ibu kembali melihat ke belakang, mendapati nenek yang masih menatap kepergian kami dengan air mata.
flasback off
"jaga sopan santun mu! Ibu dan anak sama saja." teriak tante riana dengan mata yang membulat sempurna.
"sudahlah, nak. Jihan hanya membela ibunya, kamu juga kenapa selalu mengatakan kakakmu seperti itu." ucap nenek menegur tante riana.
"hah... Ibu lagi dan lagi membelanya, apa yang ibu dapat dengan membiarkan nya tinggal di rumah ini. Dia bahkan tidak punya pekerjaan hanya untuk makan saja susah." jawab tante riana dengan mata menatap wajah ibu.
Aku yang lagi lagi tidak suka dengan kalimat tante riana, mulai angkat tangan ingin rasanya menampar mulutnya. tapi ibu menggenggam tanganku dengan erat, entah terbuat dari apa hati ibu ku ini, hingga dia masih tetap tenang mendengar semua hinaan yang tante riana katakan.
Aku menatap wajah ibu, terlihat mata ibu memohon agar aku tidak lagi terbawa emosi.
Rasanya jantungku sudah hampir lepas menahan emosi ini.
"riana, berhentilah bicara yang tidak penting. Keputusan ibu mutlaq, aisyah dan jihan akan tetap disini menemani ibu." ucap nenek yang langsung menarik tangan ibu menuju kamar atas. Meninggalkann tante riana yang baru saja membuka mulutnya untuk menjawab ucapan nenek.
Tapi nenek terlebih dahulu pergi, hingga tante riana hanya bisa mematung menatapku dan juga ibu menuju ke lantai dua rumah ini.
Arrghhh...
Brak
Terdengar suara piring yang berjatuhan, sepertinya tante riana mengamuk di bawah sana.
Bersambung
"Ais, maafkan riana. Ibu harap kamu tetap di sini menemani ibu." ucap nenek saat kami sudah berada di dalam kamar lantai atas rumah ini.
"Iya bu, ais tidak apa. Tapi bagaimana kalau riana dan angga kembali mengusir kami."tanya ibuku yang hanya di jawab dengan senyuman oleh nenek.
Tanpa jawaban apapun, nenek kembali menuruni tangga mungkin menemui tante riana yang sedang ngamuk dibawah sana.
"Bu, kenapa sih kita kembali kesini lagi?." rasanya aku sudah tidak tahan ingin menanyakan banyak hal kepada ibuku ini.
"Untuk menemani nenekmu, jihan. Bukankah kamu tau sendiri kalau nenek yang meminta kita kesini." jawaban ibu sama sekali tidak membuatku puas.
"Jihan tau bu, tapi kenapa ibu tidak menolak saja. Lagipula bukan kewajiban ibu merawat nenek, ada anaknya yang seharusnya menemani nenek disini." ucapku lagi.
Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal ini, itu semua karena aku tidak mau ibu kembali mendapat hinaan dan perlakuan yang tidak baik dari mantan ipar nya.
"Jihan, kamu tidak boleh begitu, dia nenekmu. Jaga ucapanmu!" lagi-lagi ibu seperti itu.
Heran saja, padahal tante dan paman sangat membenci ibu. Tapi ibu samasekali tidak mau membalas perbuatan mereka, lama-lama aku yang jadi kesal sendiri dengan sabar nya ibu.
"Sudah, kamu jangan terlalu keras berpikir. Lebih baik segera bereskan semua baju mu dan masukan kedalam lemari, ibu akan menemui nenek di bawah." ucap ibu, yang melihatku masih berdiri tanpa melakukan apapun.
ibu segera turun ke bawah tanpa menunggu jawaban dariku.
Aku segera melakukan semua yang ibu minta, dan akhirnya semua nya selesai.
Aku merasa ibu terlalu berlebihan memikirkan keadaan nenek, padahal setelah pengusiran waktu itu, aku dan ibu hidup nyaman walaupun rumah kami tidak semewah rumah nenek, tapi rumah yang sengaja ayah bangun untuk kami sebelum meninggal sudah lebih dari cukup. Mungkin kenangan di rumah inilah yang membuat ibu mau menerima tawaran nenek.
Entahlah, kadang pemikiran orang tua sangat rumit. Tidak terasa aku akhirnya terlelap entah berapa lama. Hingga sebuah teriakan membuat mataku terbuka seketika.
Segera aku berlari menuruni tangga, dengan kepala sedikit berdenyut karena terbangun mendadak.
"Ibuuuu..." teriaku, saat melihat ibu yang terduduk di lantai dengan air mata yang mengalir deras.
Aku segera menghampiri ibu dan memeluknya.
"bu, ada apa ini?" tanyaku pada ibu yang berusaha menghapus airmatanya, namun airmata itu masih saja terus mengalir lagi dan lagi.
Aku pindai semua wajah orang di rumah ini, terlihat tante riana dan paman angga tersenyum sinis menatapku. Aku lihat nenek yang juga sedang menangis di sopa dengan masih di peluk tante riana.
"Ada apa ini?!" teriaku lantang, saat aku masih belum juga mendapat jawaban dari ibu.
Aku mengguncang bahu ibu dan terus bertanya ada apa, tapi bukan jawaban yang aku dapatkan malah ibu semakin menangis tergugu.
"Bu, katakan padaku. Ada apa ini?" aku mengusap wajahku dengan kasar merasa prustasi karena belum juga mendapat jawaban dari pertanyaanku.
"Kamu, mau tau ada apa?, biar aku kasih tau. Dan dengar baik-baik, aku akan menjual rumah ibumu!" ucap paman angga dengan menekankan kata menjual.
"Apa maksud paman? Rumah mana?" tanyaku masih tidak mengerti
"Rumah mana? Ha ha ha ha... Lucu sekali kamu ini, jihan. Makanya sekolah yang pintar. Hufzzz! Maaf lupa, kamu kan memang gak sekolah. Uang dari mana ibumu, ha ha ha ..." suara tawa paman angga menggema di seluruh penjuru rumah ini. Begitu bahagia nya dia menertawakan kemiskinan kami.
"Rumah mu dan ibumu akan aku jual, karena ayahmu mempunyai hutang padaku sebesar tigaratus juta, saat dia membangun rumah itu!." teriak paman angga melempar beberapa surat perjanjian.
Aku ambil dan aku baca satu persatu surat itu...
Degh!
Bagaimana bisa, ini pasti salah. Ayah tidak pernah mengatakan kalau punya hutang, ayah bahkan selalu mengajarkan aku dan ibu agar tidak pernah berhutang. Lalu apa ini? Pertanyaan demi pertanyan menumpuk di kepalaku, ingin tidak percaya tapi bukti dan tanda tangan ayah ada di surat perjanjian hutang piutang ini.
Aku terduduk dengan mata mulai panas, kenapa ayah tidak pernah mengatakan ini semua.
Ibu meraihku dan memeluk diriku dengan tangis yang mencabik-cabik relung hatiku.
"Sudah... Berhentilah kalian menangis! Aku muak melihatnya. Kamu harus tau ais, kalau rumah itu bahkan belum bisa melunasi semua hutang suamimu itu, jadi kamu harus segera mencicil siaanya." ucap paman angga dan itu seperti pukulan yang sangat keras mendarat di kepalaku.
"Bagaimana bisa mereka mencicil kak, hidup saja masih numpang. Kecuali kalau kak ais mau jual diri!" teriak tante riana
Deg!.
jantungku rasanya naik turun mendengar ucapan sarkas tante riana, emosiku naik sampai ke ubun-ubun.
Brakk
Aku lempar surat-surat hutang itu tepat di wajah cantik tante riana. Seketika senyumnya lenyap digantikan dengan raut wajah yang menyeramkan menatapku nyalang.
"Dasar anak tidak tau diri! Sudah miskin tidak beradab!" teriaknya dengan suara lantang menggelegar.
Nenek segera meraih tangan tante riana yang hendak menamparku.
Aku balas tatapan tante riana dengan menatapnya tidak kalah tajam, aku perlihatkan padanya kalau aku tidak pernah takut sedikitpun kepadanya.
"Jaga ucapan tante, jangan sampai aku yang tidak beradab ini mencabik-cabik bibirmu yang lemes itu." ucapku penuh penekanan.
Bersambung
"Kamu mengancamku? Dasar anak tidak tau diri! Pantaslah kamu menjadi anak dari wanita itu. kalian sama-sama pembawa sial, belum sehari kalian di rumah ibuku, tapi sudah menciptakan keributan." ucap tante riana dengan angkuhnya.
"Bukan mau ku dan ibu jika kami disini, tapi tanyakan kepada ibumu kenapa aku dan ibu di minta kesini!" jawabku dengan mata menantang menatap wajah cantik tanteku.
Muak rasanya kalau harus terus mengalah, dulu aku hanya gadis 5 tahun yang hanya bisa menangis kala ibu diperlakukan dengan hina. Tapi tidak kali ini, walaupun aku hanya lulusan SMP bukan berarti aku akan membiarkan orang lain terus menghina ibu.
"Lancang sekali mulutmu! Sudah beruntung ibuku mau menampung kalian!" tante riana bicara seakan kami mengemis agar bisa di tampung di rumah ini.
"Ayo kita pergi dari sini, bu." ucapku kepada ibu yang masih mematung melihatku.
Aku tarik tangan ibu agar segera mengikutiku untuk pergi dari rumah ini.
"tapii... Bagaimana dengan nenekmu, jihan?" pertanyaan ibu membuatku semakin emosi. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran ibuku ini.
"Biarkan saja, itu bukan tanggung jawab ibu. Anak-anaknya yang lebih pantas mengurus nya." jawabku, menarik tangan ibu.
"Ya pergilah! Pergi yang jauh. Kamu pikir kami akan menahanmu agar tidak pergi! Jangan harap, hahaha..." tante riana terus mencemooh dengan kata-kata yang tidak sepantasnya keluar dari mulut wanita cantik dan terpelajar sepertinya.
"Diam!"
"Jihan, tetap di sini." suara nenek menahanku untuk tidak pergi dari rumah ini.
"Riana, angga, pulanglah. Urusan kalian sudah seselai disini. Jualah rumah kakakmu dan katakan berapa sisa yang harus ais bayar padamu?." tanya nenek.
Sontak saja ucapan nenek membuat kedua ipar ibuku itu terkejut,mata paman dan tante hampir saja loncat saking terkejutnya, mereka saling pandang satu sama lain dengan pikiran yang entah apa.
"Katakan! Berapa sisanya?!" teriak nenek.
Ibu segera mendekati nenek, menahan agar tidak terlampau emosi karena itu akan membuat kesehatan nenek memburuk.
"Dasar wanita pembawa sial, dulu kakak ku yang kamu buat membenci kami, sekarang kamu membuat ibuku membenci kami!" ucap tante riana saat ibu mendekati nenek.
"Riana! Jaga ucapanmu!" teriak nenek, yang nampaknya sudah kelewat emosi menghadapi anak-anak nya.
"Bu, sudahlah. Ais tidak apa, ibu jangan marah-marah. tidak baik buat kesehatan ibu." ucap ibuku dengan lembut. Entah terbuat dari apa hati ibuku itu.
"Riana, lebih baik kita pulang dulu. Nanti kita akan bicarakan lagi soal ini." paman angga segera meminta tante riana untuk pulang.
Aneh, padahal mereka anaknya tapi hanya untuk mengurus nenek saja, mereka mencari berbagaimacam alasan agar untuk menolak permintaan nenek.
"Aku pulang bu, tapi aku harap ibu tidak gelap mata hingga memberikan semua harta ibu kepada wanita itu, karena dia bukan siapa-siapa di rumah ini, hanya mantan menantu!" ucap tante riana dengan menekan kata mantan.
"Harusnya tante malu mengatakan itu, karena mantan menantu inilah yang rela merawat ibumu." ucapku dengan sedikit senyum mengejek.
"kamu..."
"Riana! Pulanglah. Jihan benar, harusnya kamu malu mengatakan itu." ucap nenek membelaku.
Senang rasanya melihat wajah tante riana yang merah menahan emosi.
"Ini baru permulaan tante!" gumamku saat tante riana melewatiku untuk pergi keluar rumah ini.
Setelah tante riana pergi, paman angga pun ikut pergi. Kedua anak nenek itu sangat tidak bisa diharapkan. Bukannya menemani ibunya mereka malah meributkan hal yang tidak seharusnya.
Aku dan ibu terpaksa merelakan rumah kami di jual untuk membayar setengah hutang ayah, hutang yang entah benar atau tidak. Aku masih meragukan nya.
Setelah tante dan paman pulang, nenek menangis dengan tergugu. Aku merasa kasihan terhadapnya harusnya di usianya yang sudah senja nenek bisa hidup dengan tenang bermain dengan cucunya tanpa melihat keributan-keributan seperti tadi.
"Ais, maafkan ibu. kalau saja suamimu masih hidup, ibu tidak akan sesusah sekarang ini.hik hik..."
"Bu, sudahlah. Ais tidak apa, ibu jangan khawatir ais akan ada buat ibu di sini." ucap ibu menenangkan nenek.
Aku tidak yakin aku bisa sekuat ibu menghadapi paman dan tante, bahkan nenek saja tidK bisa sesabar ibu. Entahlah apakah itu sabar atau bod*h. Yang pasti aku akan terus ada untuk ibu, membalas semua perlakuan tante dan paman terhadap ibuku. Tidak akan aku biarkan mereka menyakiti atau menghin ibuku lagi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!