POV Ayudia.
Sore ini aku baru saja tiba di rumah sakit Dharmawangsa tempatku bekerja ketika memasuki ruangan bersalin untuk pergantian shift aku melihat semua rekan kerja ku terlihat sedih terutama Dokter Danny. Dia masih memakai APD ( Alat Pelindung Diri ) lengkap yang menempel pada tubuhnya dan duduk di samping seorang pasien yang aku duga sudah meninggal dunia.
Aku menaruh tas ku di dalam loker lalu duduk berkumpul dengan rekan-rekan kerjaku untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
"Ada apa?" tanya ku pada Diana seraya berbisik dan menyenggol sikunya.
"Istri Dokter Danny meninggal dunia" jawab Diana dengan setengah berbisik.
Aku pun melebarkan kelopak mataku tanda terkejut pantas saja semua orang terlihat berduka.
"Apa bayi nya selamat?" tanya ku lagi pada Diana.
"Hm" sahut Diana dengan menunduk tanpa memandang ke arahku.
Aku pun merasa sedikit lega mendengarnya paling tidak Dokter Danny tidak kehilangan keduanya.
Satu jam berlalu kami sudah melakukan pergantian shift dari pagi ke sore. Semua orang sibuk dengan tugasnya masing-masing sebagian orang mengurus jenazah istri Dokter Danny sedangkan aku melakukan cek TTV ( Tanda-tanda vital ) dari ruangan ke ruangan pada pasien yang sudah melahirkan tadi pagi.
Seusai memeriksa empat belas pasien, aku kembali ke ruang bersalin untuk menyalin hasil pemeriksaan ku pada buku status pasien.
Sebelum mencatat, aku mencuci tangan pada wastafel yang tidak jauh dari meja kursi tempat ku akan mencatat. Dari pantulan cermin yang ada di depan ku aku bisa melihat Dokter Danny sangat terpukul sekali.
Aku ingin menyapanya dan mengucapkan rasa bela sungkawa ku padanya, tapi aku takut karena dia tidak mengenal ku, aku baru satu bulan bekerja di sini setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan jurusan Kebidanan.
Setelah mencuci tangan aku melanjutkan pekerjaanku menulis laporan pada lembar status pasien ketika aku sedang menulis tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahu ku, akupun terjingkat karena terkejut.
"A... ada yang bisa saya bantu Dok?" tanya ku aku setelah melihat orang yang menepuk bahuku yang ternyata adalah Dokter Danny.
"Tolong belikan saya teh hangat di kantin!" ucap Dokter Danny dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padaku.
"Baik, Dok" sahutku dengan tersenyum.
Aku pun segera bangkit dari tempat dudukku dan meninggalkan pekerjaanku untuk pergi ke kantin sebentar.
Di kantin, sambil menunggu teh nya siap, aku mengambil beberapa roti juga, aku yakin Dokter Danny juga belum makan siang saat ini. Setelah membayar aku pun segera kembali ke ruang bersalin.
"Ini pesanannya, Dok" kataku seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh hangat dan beberapa roti di atas meja yang ada di depan Dokter Danny, tidak lupa uang kembalian juga aku letakkan di atas nampan itu.
Dokter Danny menatap nampan itu lalu menatap ke arah ku.
"Aku tidak memesan roti" ujarnya lalu meraih gelas berisi teh hangat dan meminumnya.
"Iya saya tahu, Dok. Tapi Dokter juga harus makan, anak Dokter membutuhkan Bapaknya jadi Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya" kataku memberanikan diri berkata seperti itu pada Dokter Danny padahal jantung ku sudah berdegup kencang karena merasa takut membantah atasan.
Dokter Danny pun menatap ku sekilas dan berkata.
"Terima kasih"
"Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi" pamitku seraya perlahan menjauh dari Dokter Danny untuk melanjutkan pekerjaanku yang tertunda.
"Tunggu" cegah Dokter Danny tiba-tiba menghentikan langkah kakiku.
Aku pun berbalik menatap Dokter Danny.
"Iya, Dok!" sahut ku.
"Ikut saya ke ruang Perinatologi" ajak Dokter Danny seraya bangkit dari tempat duduknya.
Aku pun mengangguk dan mengikuti belakang Dokter Danny, entah kenapa dia mengajakku ke ruangan para bayi itu, padahal banyak orang di ruangan ini yang bisa di ajak ke sana.
Sesampainya di ruang Perinatologi, Dokter Danny segera mendekati wastafel untuk mencuci tangan aku pun melakukan hal yang sama memang seharusnya seperti itu yang harus dilakukan sebelum menyentuh bayi.
Setelah mencuci tangan Dokter Danny mendekati ranjang bayi yang bertuliskan nama "By. Ny. Rahayu Stephanie" Rahayu Stephanie adalah nama istri Dokter Danny. Dokter Danny mengulurkan tangan lalu mengangkat tubuh bayi itu dan mendekapnya di dada. Ku lihat bayi laki-laki itu sangat tampan seperti Dokter Danny aku bisa mengetahui jenis kelamin dari gelang warna biru yang ada di pergelangan tangannya.
Ku lihat Dokter Danny mendekap bayi itu dengan tubuh bergetar dan mata terpejam, tidak lama kemudian tetesan bulir bening mengalir dari pelupuk matanya, isak tangis pun mulai terdengar. Aku tahu apa yang dirasakan Dokter Danny saat ini sedih dan sakit karena kehilangan orang yang dicintainya, mata ku pun berkaca-kaca melihatnya.
Setelah beberapa menit Dokter Danny menurunkan bayi nya dan membaringkannya kembali di ranjangnya, seusai mengusap air matanya Dokter Danny memandangku cukup lama. Ku lihat dia tampak berpikir.
"Kamu tinggal di mana?" tanya Dokter Danny padaku tiba-tiba.
Aku pun terkejut dan menjawabnya dengan gugup.
"Rumah kos depan rumah sakit, Dok"
"Nanti malam kemasi semua barang kamu, mulai besok tinggal lah di rumah saya untuk menjaga anak saya" ujar Dokter Danny kemudian.
"Tapi bagaimana dengan pekerjaan saya di sini, Dok?" tanya ku dengan ragu.
Aku baru saja lulus kuliah masih banyak yang harus aku pelajari di rumah sakit yang tidak aku dapatkan di bangku kuliah.
"Kamu bisa mengundurkan diri, saya akan membayar kamu lebih dari yang kamu dapatkan di rumah sakit ini" Balas Dokter Danny.
"Baik, Dok" sahut ku setuju tanpa berpikir panjang lagi. Saat ini memang aku sangat membutuhkan banyak uang, aku ingin membahagiakan ibuku yang sudah membiayai kuliah ku selama ini.
Hari pun semakin malam, setelah bergantian dengan pegawai shift malam, aku pun kembali ke kos ku yang berada di seberang rumah sakit.
##########
POV Dokter Danny.
Hari ini aku merasa sangat bahagia ketika mendengar kabat bahwa istriku akan melahirkan, aku pun mempercepat kegiatanku dalam ruang operasi. Untungnya itu adalah jadwal operasiku yang terakhir, aku pun segera bergegas ke ruang bersalin yang bersebelahan dengan ruang operasi di mana istriku tengah berjuang melahirkan anak kami setelah kegiatan operasi selesai.
Namun ketika aku sampai di ruang bersalin aku melihat istriku sudah tidak bernyawa lagi di atas tempat tidur.
"APA YANG TERJADI?" tanya ku pada semua orang yang ada di ruangan itu dengan suara lantang. Ku edarkan pandanganku pada semua orang yang tengah tertunduk tidak berani menatap apalagi menjawab pertanyaan ku.
"Terjadi emboli ketuban, Dok" sahun Bidan Dea, salah satu Bidan senior yang membantu persalinan istriku.
Aku pun segera menatap Bidan Dea yang berdiri tidak jauh dari ranjang istri ku. Terlihat sekali kalau dia menjawab pertanyaan ku dengan ketakutan.
"Emboli" gumam ku lirih dengan memejamkan mata.
Aku pun mendekat ke arah istriku yang tidak bergerak di atas tempat tidur, aku meraih tangannya dan mengecup punggung tangan itu. Air mata tiba-tiba keluar dari pelupuk mataku.
Kenapa? itulah pertanyaan yang ada di benak ku saat ini. Kenapa harus istriku yang mengalami ini? aku seorang Dokter Kandungan yang setiap hari memeriksa puluhan orang hamil dan membantu belasan orang melahirkan tapi kenapa aku tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri?
Aku merasa menjadi Dokter yang tidak berguna, percuma aku menjadi Dokter kandungan kalau tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri.
Nasi sudah menjadi bubur, istriku sudah pergi untuk selama-lamanya meskipun aku seorang Dokter tetap saja aku tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mengikhlaskannya agar dia tenang di alam sana.
'Maafkan aku sayang' gumam ku dalam hati sambil menatap wajah istriku yang semakin pucat.
Pergantian shift pun berlalu. Aku masih termenung meratapi kepergian istriku, rasanya aku masih belum percaya dia pergi secepat ini biasanya dia akan tersenyum hangat padaku ketika aku pulang dari rumah sakit kini dia sudah pergi untuk selamanya.
Aku pun merasa haus karena sedari tadi belum minum atau makan apapun, ku lihat semua orang tengah sibuk mengurus jenazah istriku hingga akhirnya tatapan ku tertuju pada seorang Bidan muda sedang menulis laporan. Aku pun menghampirinya dan menepuk bahunya.
"A... ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanyanya padaku. Tampak sekali kalau dia sangat terkejut.
"Tolong belikan saya teh hangat di kantin" pinta ku dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padanya. Gadis itu pun setuju dan pergi ke kantin.
Tidak berapa lama kemudian gadis itu kembali dari kantin.
"Ini pesanannya, Dok" katanya seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh dan beberapa roti di atas meja yang ada di depan ku.
"Aku tidak memesan roti" ujar ku ketika melihat roti di samping teh itu, karena sudah merasa sangat haus akupun meraih gelas berisi teh hangat itu dan meminumnya.
"Iya saya tahu, Dok. Tapi Dokter juga harus makan anak Dokter membutuhkan Papa nya jadi Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya" tuturnya padaku.
Aku pun menatapnya, aku bisa melihat ketulusannya.
"Terima kasih" ucap ku padanya kemudian.
"Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi" pamitnya.
"Tunggu!" ujar ku tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.
Gadis itu pun berbalik dan menatap ku.
"Iya, Dok?" sahutnya.
"Ikut saya ke ruang Perinatologi" ajak ku tiba-tiba aku ingin melihat anakku dan mengajak gadis itu.
Sesampainya di ruang Perinatologi, aku mencuci tangan di wastafel sebelum menyentuh anak ku.
Setelah mencuci tangan, aku mendekati ranjang dimana anak ku berada. Aku menatapnya lalu mengangkat tubuh nya dan mendekapnya di dadaku. Dia sangat tampan. Andai saja istri ku masih hidup, mungkin dia akan sangat bahagia saat ini. Lagi-lagi dada ku terasa sesak saat mengingat Almarhumah istri ku yang baru saja meninggal dunia beberapa jam yang lalu. Air mata ku pun tidak bisa terbendung lagi.
Setelah menidurkan bayi ku dan mengusap air mata ku, aku pun menatap gadis itu. Tiba-tiba terbesit di pikiran ku meminta gadis itu untuk menjadi pengasuh anak ku.
Untungnya dia langsung setuju setelah aku menawarkan gaji yang lebih besar dari gajinya di rumah sakit. Bagaimana pun aku harus tetap bekerja untuk menghidupi dan membahagiakan anak ku. Karena istri ku sudah tiada, mau tidak mau aku harus mempekerjakan seorang pengasuh. Aku rasa dia orang yang tepat karena terlihat belum menikah. Jadi dia bisa fokus mengurus anak ku tanpa harus mengurus suami dan anaknya di rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!