Hosh... Hosh... Hosh...
Seorang pemuda, tengah berlarian menerobos lebatnya hutan belantara. Tak diindahkan luka yang mengenai tangan maupun kakinya. Meski beberapa kali tergores tanaman berduri, si pemuda terus berlari diantara rimbunnya semak belukar. Penguasa terang Sang Kuwung tak nampak memancarkan sinar berarti. Cahayanya seolah redup termakan kegelapan. Tak ada suara derik binatang, seolah mereka bersembunyi dari sesuatu yang mengerikan.
Suara nafas yang hampir putus terdengar nyaring diantara heningnya malam. Pemuda terus berlari tak tentu arah. Ketakutan mulai melanda dalam benaknya. Hingga suara derap langkah berat mulai mendekat. Degup jantung Si Pemuda semakin kencang, kakinya tak lagi mampu untuk berlari. Perasaannya bercampur aduk dan ketika dia menoleh ke belakang…..
Roaaarrrr!!!
Sraaat!!!
Pemuda itu terguling diantara semak belukar. Merasakan perih di dadanya. Matanya menatap langit malam yang terlihat pekat. Bintang seolah memilih untuk buta dan tuli. Menutup pintu dan bersembunyi.
Warna merah khas warna darah mengucur keluar dari luka di dadanya. Pemuda itu bernama Ganendra Abhirawa. Seorang pemuda penyandang disabilitas. Tangan kanannya lumpuh total dan terlihat mengecil dibandingkan tangan kirinya. Tangan kirinya menekan luka di dada. Berusaha menghentikan pendarahan.
“Apa-apaan ini?!!!” teriak Ganendra yang melihat penampakan mengerikan di depannya.
Tepat di hadapan Ganendra sesosok tinggi besar dengan mata bulat lebar menonjol hampir keluar. Rambut panjang awut-awutan. Gigi taring panjang dengan lidah menjulur keluar menatapnya dengan ganas. Tangannya terlihat seperti cakar dengan kuku-kuku panjang. Di dadanya dipenuhi bulu-bulu yang tumbuh lebat. Sosok di depannya hanya menggunakan cawet untuk menutupi bagian bawahnya. *cawet : ****** ***** pendek.
Sosok misterius seperti monster menatap Ganendra dengan tatapan tajam.
Roaaar!!!! Suara monster itu menggelegar.
Membuat bulu kuduk Ganendra berdiri. Tiba-tiba tangan monster mengayun ke arah Ganendra.
Sraat!!!
Cakar si monster tepat mengenai lengannya. Membuat Ganendra terluka kembali. Darah segar mengucur dari lukanya. Mata Ganendra dipenuhi ketakutan. Monster itu seolah hendak membunuhnya.
“Si… Sial!!!” teriaknya keras.
Dia berusaha bangkit. Sembari menekan luka di dada maupun lengannya. Kemudian berlari sekencang mungkin menjauhi sosok monster itu. Si monster ikut mengejar Ganendra. Rasa takut mulai menyelimuti.
“Apa aku sedang dihukum sekarang??? karena menjadi penipu? Siaaallll!!!” lagi-lagi Ganendra hanya bisa berteriak.
Ganendra terus berlari, menerobos pepohonan. Melewati semak belukar. Menghindari serangan monster yang tangannya terus berayun hendak melukai Ganendra. Dia sungguh tidak ingin mati. Setidaknya untuk saat ini. Monster di belakangnya terus mengejar. Disaat Ganendra berusaha berlari, tak sengaja kakinya terantuk pada sebuah batu. Membuat tubuhnya limbung dan akhirnya terguling-guling jatuh ke tanah.
Ganendra meringis kesakitan sembari memegangi lukanya. Darah terus mengalir tanpa henti. Pemuda itu berusaha bangkit. Namun, tepat di saat itu Si Monster meraung dan melompat ke udara. Cakarnya bersiap menghujam ke tubuh Ganendra. Dia benar-benar ketakutan Sang Kematian akan mendekapnya dalam keabadian.
Sraat!!!
Sebuah kepala menggelinding ke tanah. Pertanda terlepas dari tubuhnya. Mata Ganendra mendelik. Seketika meraba lehernya. Takut kepalanya yang terpisah dari badan. Rupanya yang tertebas adalah kepala Si Monster. Tepat di sana, seseorang berjubah hitam mengenakan topeng berwarna merah memegang pedang yang berlumuran darah berwarna hitam dari monster.
Sosok berjubah hitam tak lain Kalimakara. Sosok misterius yang dijumpai Ganendra sesaat sebelum masuk ke tempat aneh.
“Ka… kau…” ucap Ganendra terbata ke arah sosok yang mengenakan jubah hitam.
Sosok berjubah hitam hanya diam dan berdiri menatap Ganendra.
“Tem…tempat macam apa ini????!!!” tanya Ganendra setengah berteriak.
“Selamat datang, di dunia dungeon. Dunia baru di dimensi yang berbeda dengan duniamu. Dunia di era kuno bernama Swastamita.
“Swas…swastamita?” tanya Ganendra kebingungan.
“Swastamita, dunia di mana matahari menghilang di bawah garis cakrawala di sebelah barat dengan kata lain dunia ini terletak di antara terang dan gelap. Bumi lain dari duniamu.”
Ganendra masih menatap tak percaya. Dia berada di dunia baru yang sangat asing baginya.
“Ingat kesepakatan kita beberapa saat yang lalu. Kau dan aku telah bersepakat. Mantra pengikat adalah bukti kesepakatan kita.” ucap Kalimakara.
Ganendra tersadar, matanya melirik sebuah tanda seperti tato di tangan kirinya. Tato berbentuk seperti gelang rantai. Ingatan Ganendra perlahan kembali melayang beberapa saat yang lalu. Sebelum memasuki dunia yang dinamakan Swastamita.
...****************...
Flashback
“Arghttttt!!!!” teriak Ganendra keras.
Matanya terbuka lebar. Dia meraba tubuhnya. Ganendra teringat, dia terkena tembakan saat dikejar aparat keamanan.
“Apakah aku sudah mati?” tanya Ganendra pada dirinya sendiri.
“Tidak-tidak!!! Aku tidak boleh mati! aku tidak ingin mati!!!” teriaknya berulang kali.
“Tidak perlu berteriak sekeras itu.” kata sebuah sumber suara.
Membuat Ganendra terkaget. Tepat di hadapannya. Seseorang mengenakan topeng dan jubah hitam berdiri di hadapannya.
“Si… siapa kau? Apa kau malaikat maut?” tanya Ganendra.
Dibalik topengnya, orang misterius itu tersenyum tipis.
“Namaku Kalimakara
*sosok Kalimakara
Ganendra merasa kebingungan. Ada orang aneh berdiri di depannya. Dia melihat sekelilingnya hanya ada pepohonan besar. Suasananya hening, tak ada satupun suara derik binatang. Tempat yang gelap nyaris tak ada cahaya. Bukankah tadi dia sedang berada di gang sempit di kejar polisi? Kenapa tiba-tiba berada di tempat ini. Pertanyaan itu hanya tersimpan dalam benaknya.
“La… lalu tempat macam apa ini? apa aku sudah mati?” tanya Ganendra dengan suara serak. Dia masih ingin hidup.
“Tenang saja, kau belum mati. Akulah yang menyelamatkanmu.”
“Be? Benarkah aku belum mati?”
Ganendra mencubit tangannya sendiri. Masih terasa sakit, artinya dia belum mati. Sedetik kemudian, terdengar nafas kelegaan darinya.
“Hemm, baiklah. Aku akan membalas kebaikanmu lain waktu. Sekarang aku sedang buru-buru. Sudah waktunya pulang.” ucap Ganendra dengan santai.
Namun suara Kalimakara menghentikannya.
“Kau tidak bisa pergi begitu saja.”
Ganendra mengurungkan langkah. Menoleh ke belakang.
“Kenapa aku tidak bisa pergi?” tanya Ganendra sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Senyum licik mengembang di balik topeng kayu berwarna merah yang dinamakan Topeng Kelana.
*Topeng Kelana Kalimakara
“Aku memberikanmu tawaran yang menarik.”
Ganendra mengusap hidungnya. Menatap dengan remeh.
“Aku tidak tertarik.”
Lalu kembali melangkahkan kakinya dengan santai.
“Sepeti penuh kepingan emas!” ucap Kalimakara dengan lantang.
Langkah Ganendra berhenti sejenak.
“Aku akan memberikanmu sepeti penuh berisi kepingan emas.” kata Kalimakara.
Tangannya melempar sesuatu ke arah Ganendra. Ganendra dengan sigap menangkap benda yang dilemparkan Kalimakara. Mata Ganendra seketika silau melihat benda apa yang dia tangkap barusan. Sebuah kepingan emas murni. Cahayanya cukup menyilaukan di tengah keremangan tempat itu.
“I… Ini?”
Ganendra setengah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Aku bisa memberikanmu sepeti penuh berisi emas seperti itu. Kau tidak perlu bersusah payah menipu lagi. Membahayakan hidupmu dan yang paling penting kau bisa menggunakannya untuk biaya pengobatan ibumu.”
Kalimakara memberikan tawaran yang menggiurkan. Ganendra menunduk dan menatap koin emas yang dia genggam. Pikirannya melayang pada ibunya yang sedang terbaring lemah.
“Pasti kau tidak memberiku ini dengan cuma-cuma bukan? Apa yang harus aku lakukan sebagai gantinya?” tanya Ganendra dengan wajah serius.
“Ha!Ha!Ha! itu mudah, kau cukup membawakanku Tirta Amerta.”
Ganendra mengernyitkan kening.
“Ti..Tirta…Amrita katamu?”
“Tirta Amerta.” ralat Kalimakara.
Ekspresi kebingungan terpancar di wajah Ganendra. Dia mengusap hidungnya. Ada sedikit keraguan yang tiba-tiba menyergapnya. Kalimakara sepertinya menyadari keraguan pemuda yang ada di hadapannya. Ketika angin berhembus perlahan. Tepat didepan Kalimakara terdapat sepeti penuh berisi koin emas. Cahayanya menyilaukan mata Ganendra. Seketika pikiran Ganendra dipenuhi keserakahan. Koin emas sebanyak itu, belum pernah dia lihat sebelumnya. Harganya pasti tak sebanding dengan hasil menipu dalam sekali waktu.
“Di mana aku bisa mencari Tirta Amerta yang kau sebutkan?”
Kalimakara terkekeh. Dia yakin Ganendra pasti akan menyetujui tawaran yang menarik ini. Dia memanfaatkan kelemahan manusia yang paling mendasar. Tercekik kebutuhan hidup. Kalimakara gunakan sebagai senjata menjerat Ganendra.
“Jadi kita sepakat?” tanya Kalimakara.
Ganendra menggenggam koin emas yang dia dapatkan. Menatap dengan tatapan yakin ke arah Kalimakara.
“Sepakat.”
Di penghujung kalimatnya. Sebuah mantra ‘pengikat perjanjian’ terukir di lengan kiri Ganendra. Tanda terjadi kesepakatan diantara keduanya. Jubah hitam yang Kalimakara kenakan berkibar dengan cepat. Secara Ajaib dalam hitungan detik. Ganendra berpindah ke suatu tempat. Tempat yang lebih gelap dan suram. Di sekelilingnya terdapat pepohonan besar yang menjulang tinggi. Dedaunan tumbuh dengan lebat. Bau lembab udara menyeruak memaksa masuk ke hidung Ganendra. Lumut tumbuh dibebatuan dengan subur. Aura tempat itu membuat siapapun yang berada di sana akan merasa tidak nyaman. Hanya ada kegelapan menyelubungi tempat ini.
Suasana hening, tidak ada suara binatang hutan sekalipun. Ganendra menatap penuh tanda tanya. Dimanakah dia berada? Tempat macam apa yang dia datangi. Tepat di depannya, Kalimakara berjalan dengan santai.
“Hei, tempat apa ini?” tanya Ganendra dilanda rasa penasaran sekaligus ketakutan.
Bagaimana bisa dalam sekejap mata dia berpindah ke tempat yang aneh lagi.
“Tempat ini dinamakan ‘Alas Dandaka’ Hutan tergelap di bumi.” jawab Kalimakara tanpa menoleh. Dia terus berjalan maju.
Ganendra mengikuti dari belakang. Rasa dingin mulai menusuk tulangnya. Kabut menjadi teman dalam perjalannya.
“Bersiaplah!” tiba-tiba Kalimakara berteriak kencang.
Mata Ganendra membelalak. Tepat di depannya terdapat sebuah pintu gerbang. Berbentuk seperti candi. Di depan gerbang terdapat patung batu berbentuk manusia berbadan besar dan bersenjatakan gada.
Kedua patung batu itu dinamakan Dwarapala. Sang penjaga gerbang Dungeon. Pada hitungan detik, kedua patung batu bereaksi. Mereka seolah terbangun. Suaranya meraung-raung memecah heningnya tempat itu.
“Apa-apaan ini?!!!!” teriak Ganendra dengan suara penuh kengerian.
Kalimakara melompat tinggi ke udara. Sebuah pedang berwarna hitam muncul dari tangannya. Menebas salah satu Dwarapala. Dwarapala meraung seperti kesakitan. Hingga terdengar suara menggelegar.
“Tidak seorangpun boleh memasuki gerbang ini. Jika tidak ingin mati.”
Ganendra menatap ngeri dengan pemandangan yang ada di depannya. Apakah dia sedang berada di dunia mimpi? Seolah seperti melihat permainan dalam video game.
Dwarapala yang ditebas Kalimakara hidup kembali. Batuan yang tadinya terbelah menjadi utuh kembali. Menyerang Kalimakara. Kalimakara dengan sigap menghindar. Melompat ke arah Ganendra. Pemuda itu kaget, kerah bajunya dicengkeram Kalimakara. Tanpa banyak berkata, sekuat tenaga Kalimakara melempar Ganendra masuk ke dalam gerbang yang terbuka lebar.
“Gyaaa!!!!!” teriak Ganendra kencang.
Dwarapala berusaha menghentikan Ganendra dengan mengayunkan gada. Ganendra menutup mata, kengerian menghantuinya. Jika sampai tubuhnya hancur terkena pukulan gada batu milik Dwarapala. Tetapi dengan sigap Kalimakara menebas tangan Dwarapala. Lantas menarik tubuh Ganendra memasuki gerbang Dungeon. Menuju dunia baru. Dunia yang sama sekali berbeda dari dunia dungeon lainnya. Bukan dunia yang dipenuhi kecanggihan teknologi atau dunia yang diserang alien. Namun dunia di era peradaban kuno.
Kotak pandora telah terbuka. Tabir misteri menanti Ganendra untuk dijelajahi. Akankah Ganendra selamat atau justru menjadi mangsa di dunia baru.
Malam terasa sangat panjang bagi seorang Ganendra. Meski dilanda kebingungan berada di dunia baru. Dia berusaha bertahan untuk menyelesaikan misinya. Mendapatkan Tirta Amerta dan sepeti penuh kepingan emas. Luka ditubuhnya dia balut dengan kain seadanya. Langkahnya terseok-seok melewati semak belukar, sembari menahan perih luka yang diderita.
Semburat sinar Sang Raditya menerobos melalui celah dedaunan hutan. Seolah memberi tau Ganendra, bahwa di depan sana cahaya harapan menantinya. Semakin lama rerimbunan pepohonan hutan semakin jarang. Samar-samar Ganendra mendengar suara hiruk pikuk yang tak jauh dari tempatnya berada. Binar keceriaan terpancar dari seraut wajah rupawannya. Di depan sana pasti ada orang yang bisa dimintai tolong.
Langkahnya yang berat terasa ringan. Senyum mengembang dari bibirnya. Ganendra melangkah dengan cepat keluar dari hutan. Satu…dua…tiga detik berlalu. Hanya dalam hitungan detik binar keceriaan di wajah Ganendra seketika memudar. Melihat pemandangan yang ada di depannya.
Pemandangan yang biasanya hanya dia lihat dalam video game atau tayangan televisi. Kini terpampang nyata tepat di depan mata.
A… apa-apaan ini?!!! pekik Ganendra dalam hati.
Di sebuah tempat terbuka. Suara senjata tajam saling beradu. Ganendra melihat beberapa manusia tengah berperang melawan monster yang pernah dilihatnya dalam hutan. Monster-monster itu sangat banyak jumlahnya. Tingginya hampir mencapai satu atau bahkan dua meter lebih. Raut wajah menyeramkan. Ditambah taring dan lidah yang menjulur. Ganendra mengira, setelah keluar dari hutan tidak akan bertemu monster lagi. Tetapi angan selalu jauh dari kenyataan.
Monster itu terlihat ganas. Mereka menyerang manusia dengan membabi buta. Ganendra melihat salah satu monster berhasil menangkap seorang pria. Tanpa ampun mematahkan lehernya. Kemudian memakan manusia itu dengan lahap. Menyisakan tulang belulang yang berserakan. Rupanya mereka adalah monster pemakan manusia. Melihat kejadian yang mengerikan di depan mata. Membuat Ganendra seketika mual. Bau anyir darah berceceran mulai menyergap hidungnya.
“Jangan pernah menyerah! Kita adalah Ksatria Saka! Ksatria Pemburu Monster. Lawan mereka, jangan takut!!!” teriak salah satu manusia.
Meski Ganendra ingin melangkahkan kaki. Keluar dari tempat pertempuran itu. Entah kenapa tiba-tiba kakinya membeku. Dia hanya bisa terpaku di tempatnya. Menyaksikan pertempuran sengit antara manusia dan monster.
Salah satu manusia memberi aba-aba, “Ksatria Saka tingkat ketiga, cepat bergerak.”
Beberapa orang tiba-tiba bergerak dengan gesit. Bergerak seperti kilat berlari ke sana kemari. Maju ke arah para monster. Mereka bergerak dengan cepat. Membuat monster yang berusaha menjatuhkan, hanya memukul angin kosong. Monster terlihat kelabakan. Pukulannya terus meleset. Sulit menjatuhkan mereka yang bergerak gesit seperti kilat.
Aba-aba kedua keluar dari orang yang sama. Dia berteriak dengan lantang.
“Ksatria Saka tingkat ke lima, giliran kalian!!!”
Kini, beberapa orang maju bersenjatakan panah, pedang, kapak dan tombak. Mereka berlari dengan gesit. Tubuhnya bergerak secepat kilat. Perhatian monster yang teralihkan oleh Ksatria Saka tingkat ketiga, kehilangan konsentrasinya. Hingga Ksatria Saka tingkat ke lima dengan gerakan cepat menebas kepala monster dengan pedang. Ada yang membidik jantung monster dengan panah. Membuat beberapa monster tumbang bergelimpangan ke tanah.
Salah satu orang bergerak dengan cepat dan melompat ke udara. Kemudian menancapkan tombak tepat ke kepala salah satu monster. Darah hitam muncrat dari kepala si monster hingga menemui ajalnya.
Keadaan menjadi berbalik. Manusia yang menyebut dirinya sebagai Ksatria Saka, terlihat lebih unggul dibanding sebelumnya. Ada yang bertugas mengalihkan konsentrasi para monster. Kemudian Ksatria berikutnya sebagai jagal dengan sigap menebas monster. Menghantarkan meraka ke alam baka.
Ganendra masih terpaku di tempatnya. Ini terasa mimpi namun sangat nyata. Entah dunia macam apa yang telah dia masuki. Saat pertempuran seakan dimenangkan para Ksatria. Tiba-tiba tanah tempat berpijak bergetar hebat. Suara langkah kaki berat bergerak dari arah belakang para monster. Tubuh tinggi besar bersenjatakan gada di tangan. Melangkah maju ke arah Ksatria Saka.
Sesosok monster tinggi besar yang sepertinya pemimpin dari kawanan monster terlihat membusungkan dada. Kemudian menarik nafas dalam-dalam. Hingga hitungan detik Sang Pemimpin monster meraung dengan keras.
“Roaarrrr!!!!”
Hembusan angin kencang keluar dari mulut Si Monster. Menghempaskan para Ksatria Saka ke segala arah. Teriakan-teriakan kesakitan mulai terdengar.
“Badama!!!” perintah Pemimpin Monster.
Secara serentak monster yang tadinya kewalahan segera maju dan menyerang Ksatria Saka yang masih tergeletak. Para monster dengan ganas mencabik-cabik para Ksatria. Memisah badan mereka dan memangsanya tanpa ampun. Bau anyir darah kembali menyerbak. Semburat darah berceceran. Menyisakan kengerian mencekam.
Ganendra berusaha menggerakkan kaki. Namun, ketakutan lebih mengusai tubuhnya. Sampai salah satu monster memergoki Ganendra. Dia menatap buas. Membuat Ganendra yang menyadari semakin gelagapan.
“Sial!!! Aku tidak ingin menjadi mangsa monster itu!!!” teriaknya dengan kencang.
Bersamaan dengan itu, Si Monster bergerak ke arah Ganendra. Cakarnya bersiap menebas.
“Aku tidak ingin mati!!!” teriak Ganendra kencang.
Tepat di saat itu, dia berhasil menggerakkan kakinya. Lantas berlari kencang menghindari serangan monster. Dia sempat terguling ke tanah. Lagi-lagi lukanya yang belum sembuh memberikan rasa sakit di tubuh. Ganendra hanya bisa menggigit bibir. Namun, dia tak boleh berlama-lama diam. Monster yang menyerangnya sudah bersiap menyerangnya kembali.
Ganendra segera bangkit dan berlari menghindari serangan monster. Dia berlari menghindar ke sana ke mari. Sesekali melompati tumpukan mayat monster yang bergeletakan. Gerakannya cukup gesit menghindari serangan. Tubuhnya terlatih secara alami berkat kesehariannya sebagai penipu yang selalu dikejar-kejar aparat keamanan. Di benak Ganendra, dia sedang berlari melompati pagar atau tembok.
Dari kejauhan salah satu Ksatria Saka yang sedang melawan beberapa monster melihat ke arah Ganendra. Dia bernama Sadana, orang yang memberi aba-aba pada Ksatria lain. Sadana melihat gerakan tubuh Ganendra begitu lincah. Gesit dalam menghindari serangan.
“Soma, lindungi aku.” perintahnya pada salah satu Ksatria.
“Kau mau kemana?”
“Orang itu sepertinya butuh bantuan.”
Ksatria yang dipanggil Soma, melihat ke mana arah pandangan Sadana. Di tengah-tengah para monster, seorang manusia tengah berlarian menghindari serangan. Soma mengerti, dia mengajak teman-teman lainnya membantu Sadana. Mereka segera merengsak ke depan. Melawan beberapa monster. Membuka jalan bagi Sadana untuk mendekat ke arah manusia yang sedang dikejar salah satu monster.
Sadana bergerak bagai kilat. Melompat ke udara, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat sembari mengayunkan kapaknya ke segala penjuru.
Srat!!!
Srat!!!
Tebasan kapaknya membuat beberapa monster berjatuhan. Ganendra yang berada di sisi lain mulai ketakutan. Dia malah berlari ke arah kerumunan monster. Dia menemui jalan buntu. Keringat bercucuran membasahi tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang.
Apakah aku akan mati? batinnya dalam hati.
Keganasan terpancar dari wajah monster. Mereka siap menerkam Ganendra. Pemuda malang itu hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat. Sungguh Ganendra tidak ingin mati. Dia masih ingin hidup bersama ibunya. Hingga sebuah suara lantang membuat matanya terbuka.
“Tebasan Kapak Bajra!!!”
Sebuah kapak berputar dengan gerakan cepat. Melayang di udara membentuk putaran seperti cakram. Sekejap mata cakram itu melayang dan menebas beberapa monster yang mengerumuni Ganendra. Membuat beberapa monster berjatuhan menjadi bangkai.
Seorang pria melesat ke depan Ganendra. Menjaganya dari serangan monster. Dia tak menyangka ada seseorang yang akan menolongnya. Ganendra berpikir dia akan mati.
Tak jauh dari sana suara raungan pemimpin monster menggetarkan tanah tempat mereka berpijak. Pemimpin monster bergerak ke arah Sadana dan Ganendra. Bersiap memberikan serangan. Ganendra menatap ngeri. Sadana mau tidak mau harus menghadapi pemimpin monster. Saat serangan pemimpin monster hendak mengarah pada kedua pemuda tadi. Tiba-tiba suara sangkakala terdengar membahana.
Semua monster yang berada di tempat itu lenyap secara tiba-tiba. Tersapu seperti debu. Bahkan tak menyisakan bangkai monster yang sudah mati sekalipun. Kini, hanya ada Ksatria Saka yang selamat. Mereka seolah bernafas lega. Para monster tiba-tiba menghilang.
Sadana menghampiri Ganendra, “kau tidak apa-apa?”
Tangannya telulur dan membantu Ganendra berdiri. Ganendra menganggukkan kepala. Sadana melihat beberapa luka di tubuh pemuda yang dia selamatkan.
“Ikutlah dengan kami, sepertinya kau butuh perawatan untuk mengobati lukamu.” ajak Sadana.
Ganendra hanya diam. Dia terlihat masih kebingungan. Otaknya masih mencerna apa yang dia alami saat ini. Sadana tersenyum tipis.
“Sepertinya kau memiliki potensi untuk menjadi seorang pemburu monster. Bergabunglah dengan kami, para Ksatria Saka.”
Ganendra hanya terdiam. Di dalam benaknya timbul banyak pertanyaan. Dunia macam apa yang sedang dia datangi. Kenapa begitu banyak monster di sana. Monster yang entah dari mana asalnya. Setiap saat meneror dengan memangsa manusia tanpa ampun.
Tahun 2023…
Di sebuah rumah di gang sempit. Rumah kecil yang kumuh dan tak terawat.
Seorang wanita paruh baya berbaring tak berdaya bagaikan kembang amben *bunga tempat tidur. Seluruh tubuhnya lumpuh total. Hanya matanya yang masih bisa dia gerakkan. Lampu temaram sedikit menerangi ruangan kamar. Tak berselang lama, seorang pemuda masuk ke dalam. Membawa sebuah baskom berisi air hangat. Senyum hangat mengembang dari wajah tampannya. Lalu duduk disamping wanita paruh baya.
“Bu, maaf hari ini aku sedikit terlambat pulang.” ucap pemuda yang tak lain adalah Ganendra.
Tangan kirinya mengambil sebuah kain. Mencelupkannya ke dalam air hangat. Memeras kain itu perlahan. Lantas mengelap tubuh ibunya. Ganendra melakukannya dengan sangat telaten. Meski dia sendiri juga bukanlah orang yang memiliki fisik sempurna. Ya… meski terbilang tampan, Ganendra adalah seorang penyandang disabilitas. Tangan kanannya lumpuh total dan terlihat mengecil. Semua orang yang melihatnya akan memandang dengan tatapan aneh. Tetapi hal itu tidak membuatnya mengeluh. Baginya selama ada sosok ibu di sisinya. Tidak ada yang perlu dikeluhkan.
“Bu, aku berjanji. Setelah mendapatkan banyak uang. Aku akan membawa ibu menjalani pengobatan. Supaya ibu bisa kembali seperti semula.” ucap Ganendra sembari menggenggam tangan ibunya.
Hanya balasan sebuah kedipan mata yang bisa ibu Ganendra lakukan.
“Aku membayangkan, suatu hari nanti. Kita akan berjalan bersama. Menyusuri jalanan di pinggir sungai. Naik gunung, menikmati sinar matahari bersama. Menginjak rerumputan hijau. Makan banyak bersama sampai perut kita meledak.” ucap Ganendra dengan senyum tipis di sudut bibirnya.
Lagi-lagi Sang Ibu hanya mengedipkan mata.
“Jadi berjanjilah bu, sampai saat itu tiba bertahanlah.”
Namun tiba-tiba tangan ibunya terlepas dari genggaman Ganendra. Sosok ibunya terlihat semakin lama semakin menjauh.
Bu!!! Ibu!!! Jangan pergi!!! Di dunia ini, hanya ibu yang aku miliki. Tolong jangan pergi!!!! teriak Ganendra berlinang air mata.
“Arghttttt!!!!” teriak Ganendra keras.
Disaat Ganendra membuka mata. Tubuhnya melayang di sebuah tempat yang gelap. Tepat dihadapannya, Kalimakara sudah menanti.
“Kalimakara?!” ucap Ganendra lirih.
Ganendra kemudian menatap tajam ke arah Kalimakara.
“Dasar sialan! sebenarnya, kau membawaku ke tempat macam apa hah?!” tanya Ganendra dengan nada tinggi.
“Sudah aku katakan, tempat ini bernama Swastamita. Jika di duniamu, kalian menyebut dunia ini… dungeon.”
“Aku ingin membatalkan kesepakatan. Bawa aku kembali ke tempat asalku.”
Dibalik topeng kelana Kalimakara, dia tersenyum sinis.
“Kita sudah sepakat dan kau telah terikat mantra perjanjian. Jika kau mengingkari….” ucap Kalimakara.
Tangan kanannya menunjuk ke arah tangan kiri Ganendra yang memiliki tato seperti rantai.
Yantra dhyana… ucap Kalimakara lirih.
Tepat saat itu tato yang dimiliki Ganendra bereaksi. Berwarna seperti nyala api. Tiba-tiba Ganendra merasakan panas di tangan kirinya. Tato itu seolah hidup dan menjerat tangan Ganendra hingga merasakan hawa panas yang menjalar.
“Arghttt!!!!” Ganendra kembali berteriak kesakitan.
Kalimakara menggunakan kekuatannya yang membuat Ganendra merasa sakit seperti terbakar.
“Kau hanya perlu membawakan aku Tirta Amerta. Maka satu peti penuh berisi kepingan emas mutlak menjadi milikmu.”
Ganendra yang meringis kesakitan, memikirkan kembali kesepakatan yang telah dibuat. Kalimakara bukanlah orang yang bisa dia lawan. Lebih baik menuruti perkataannya. Toh, tidak ada ruginya. Dia bisa mendapatkan kepingan emas yang banyak. Itulah tujuannya datang ke dunia ini.
“Ba…baiklah…jadi hentikan rasa sakit ini…” pinta Ganendra.
Kalimakara terkekeh, lantas menurunkan tangannya dan berucap,
Yantra Ahimsa…
Tato berbentuk rantai yang tadinya berwarna seperti nyala api. Kini secara perlahan kembali seperti semula. Hawa panas di tangan Ganendra tak dirasakannya lagi.
“Jika kau mengingkari janji. Kau bisa merasakan akibatnya.” ancam Kalimakara.
Ganendra hanya bisa mendekap tangan kirinya di dada.
“Tetapi, bagaimana jika kau mengingkari janji. Tidak memberiku hadiah yang menjadi hakku?”
Kalimakara kembali terkekeh, “maka dengan sendirinya mantra pengikat perjanjian akan lepas dari tanganmu.”
Lanjut Kalimakara lagi, “aku memintamu ikut bergabung dengan Ksatria Saka. Latihlah dirimu agar menjadi Ksatria kuat.”
Ingatan Ganendra kembali melayang. Sesaat yang lalu dia bertemu dengan kumpulan Ksatria Saka yang bertarung dengan monster.
“Kenapa aku harus bergabung dengan Ksatria konyol itu? Bukankah aku hanya perlu membawakanmu Tirta Amrita? Ah… maksudku Tirta Amerta?”
“Khukhukhu…..” Kalimakara terkekeh.
“Menjadi Ksatria Saka merupakan jembatan untuk mendapatkan Tirta Amerta. Merekalah yang mengetahui di mana keberadaan Tirta Amerta.”
Terbayang dipelupuk mata Ganendra. Jalan yang dia lalui tak semudah membayangkan mendapatkan kepingan emas dalam genggamannya. Tiba-tiba tubuh Ganendra melayang-layang kembali ke tubuhnya. Mata Ganendra terbuka lebar. Matanya menatap langit-langit yang terbuat dari kayu. Dinding disebelahnya terbuat dari anyaman bambu. Hanya seberkas cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. Dimanakah dia berada saat ini?
Saat Ganendra masih mengembalikan kesadarannya. Terdengar suara pintu berderit dengan nyaring. Seorang pria tua masuk ke dalam bilik di mana Ganendra berada.
“Kau sudah siuman anak muda?"
Suara itu mengembalikan kesadaran Ganendra sepenuhnya. Lantas dia bangkit dari tidurnya. Dia melihat seorang pria tua mengenakan kain serba putih yang dililitkan di tubuh. Warna rambutnya senada dengan kain yang dia kenakan. Sekilas penampilannya seperti orang pada masa kerajaan kuno dahulu.
“Si…siapa kau Pak Tua?” tanya Ganendra keheranan.
Pak Tua itu tersenyum tipis. Lantas duduk di depan Ganendra sambil menuangkan minuman ke dalam gelas yang terbuat dari tanah liat.
“Orang-orang di sini memanggilku Buyut Wengkeng.” jawab Pak Tua sembari mengulurkan gelas berisi air pada Ganendra.
*Buyut Wengkeng
Ganendra menatap dengan ragu. Dia belum mengenal orang ini sepenuhnya. Apalagi dia bertransmigrasi ke dunia baru yang sangat asing.
“Jangan takut, minumlah dahulu supaya dapat mengembalikan energimu.”
Meski dengan perasaan ragu. Ganendra segera menyahut air minum yang diberikan. Kebetulan tenggorokannya terasa kering. Entah sejak kapan dia belum sempat membasahi tenggorokannya. Dia melirik kendi dari tanah liat yang ada di depan Buyut Wengkeng.
Buyut Wengkeng tersenyum dan mempersilahkan Ganendra meminumnya. Tanpa basa-basi lagi, Ganendra langsung meminumnya sampai habis. Rasanya dia kembali hidup. Setelah merasakan ketegangan secara beruntun.
“Ngomong – ngomong dimana aku sekarang?” tanya Ganendra seusai menghabiskan satu kendi berisi air.
“Kau sekarang berada di Desa Medangwantu. Wilayah kekuasaan Kerajaan Ayodya.”
Mendengar jawaban Buyut Wengkeng. Ganendra hanya mengernyitkan keningnya. Nama-nama yang sungguh terdengar asing di telinganya. Nama yang tidak ada di tempatnya berasal.
“Lalu kau sendiri darimana asalmu dan jika diperbolehkan, siapa namamu anak muda?” tanya balik Buyut Wengkeng.
“Namaku Ganendra Abhirawa. Aku bukan berasal dari dunia ini.”
Mendengar penuturan Ganendra. Buyut Wengkeng diam sejenak. Menatap pemuda asing yang ada di depannya. Dari pakaian yang pemuda kenakan, memang tidak seperti pada umumnya di Desa Medangwantu ataupun Kerajaan Ayodya.
“Lalu, apa tujuanmu kemari?”
Ganendra menatap Buyut Wengkeng dengan seksama. Melihat orang tua yang berada di depannya, seperti orang yang baik.
“Aku ingin bergabung dengan Ksatria Saka.” jawab Ganendra tanpa berpikir panjang.
Buyut Wengkeng merasa terkejut. Namun, sedetik kemudian dia tersenyum.
“Ikutlah denganku anak muda.”
Tidak lama berselang, keduanya sudah berjalan keluar dari bilik. Tepat dihadapannya, Ganendra melihat beberapa pria tengah berlatih berbagai macam senjata dan jurus-jurus. Sama persis dengan yang dia lihat tempo hari. Ada yang bisa melakukan gerakan seperti kilat. Tubuhnya gesit hingga bisa berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Di sisi lain, ada orang yang pandai memainkan senjata dipadukan dengan gerakan tubuh lincah dan gesit.
“Anak muda, apa kau mengetahui apa itu Ksatria Saka?” tanya Buyut Wengkeng.
Jujur saja, Ganendra tidak banyak mengetahui apa atau siapa sebenarnya Ksatria Saka. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
“Gyaaah!!!” Buyut Wengkeng mengacak rambutnya sendiri.
“Kau tidak mengetahui apa atau siapa itu Ksatria Saka. Lantas kenapa ingin bergabung?”
Ganendra dengan polosnya menjawab, “aku hanya ingin bergabung saja.”
Jawaban Ganendra membuat Buyut Wengkeng menggelengkan kepalanya.
“Baiklah…baiklah…sepertinya ini adalah kehendak Hyang Manon. Aku akan menjelaskan.” Buyut Wengkeng berdehem sebentar.
“Ksatria Saka adalah Ksatria pemburu monster. Monster yang dinamakan Ditya telah mengacau tempat ini sejak ratusan tahun yang lalu. Tugas Ksatria Saka adalah memburu dan membinasakan para Ditya. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menjadi seorang Ksatria Saka.”
“Katakan, apa yang harus aku lakukan? Supaya bisa menjadi seorang Ksatria Saka?”
Buyut Wengkeng mengelus jenggotnya yang putih, sembari mengibaskan kipas yang terbuat dari daun kering.
“Kau harus menjalani pelatihan yang berat. Setiap Ksatria Saka memiliki tingkatan. Mulai dari tingkatan paling rendah hingga tingkatan tertinggi.” ucap Buyut Wengkeng.
Lantas berjongkok dan menggambar sesuatu di tanah. Ganendra ikut berjongkok dan mendengarkan penjelasan.
“Tingkatan 1 : disebut Eka – tingkatan paling rendah. Keahlian : bertempur dengan tangan kosong.
Tingkatan 3 : disebut Tri – tingkatan rendah. Keahlian : gesit dan cekatan dalam gerakan tubuh.
Tingkatan 5 : disebut Panca – tingkatan menengah. Keahlian : spesialisasi penggunaan senjata (Pedang, Panah, tombak atau kapak)
Tingkatan 7 : disebut Sapta – tingkatan tinggi. Keahlian : gesit dan cekatan dalam gerakan tubuh,
ahli dalam menggunakan senjata dan memiliki rapalan mantra/ajian.
Tingkatan 9 : disebut Nawa - tingkatan tertinggi. Keahlian : dapat memanggil binatang suci tunggangan para Dewa
Tingkatan 10 : disebut Dasa – tingkatan legend (Tingkatan paling misterius) setara dengan Dewa"
Mendengar penjelasan Buyut Wengkeng. Membuat Ganendra pusing tujuh keliling. Meski begitu, dia harus ingat tujuannya datang ke Swastamita. Mendapatkan Tirta Amerta yang bisa dia tukar dengan kepingan emas. Emas yang bisa dia gunakan untuk biaya perawatan ibunya kelak. Akankah Ganendra bisa bertahan di dunia baru?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!