Seorang gadis yang mengenakan jilbab hitam dipadukan dengan blouse putih berlapis blazer warna keki dan rok rempel begitu cantik dan terlihat berwibawa saat mengikuti meeting bersama dewan direksi PT. Aydan Jaya Abadi.
PT. Aydan Jaya Abadi merupakan perusahaan kontraktor terbesar dan terbaik di Indonesia yang sudah dikenal mengerjakan berbagai proyek besar seperti pembangunan mall, hotel berbintang lima dan perumahan-perumahan elite.
Gadis bernama Annasya Atthallah itu kerap disapa Nasya. Dua puluh delapan tahun yang lalu terlahir dari pasangan Adnan Aydan Atthallah dan Attisya.
Meski bukan pemangku Kekuasaan tertinggi di perusahaannya. Namun Nasya memegang peranan penting dalam pemantauan dan pengambilan keputusan perusahaan yang berkaitan dengan keuangan.
"Nona Nasya, bagaimana kalau kita makan siang bareng?" Tawar salah seorang rekan kerjanya usai meeting.
"Astaghfirullah," Nasya bergumam dalam hati.
Harus mencari alasan agar bisa melarikan diri. Ini bukan kali pertamanya ia mendapati ajakan seperti ini. Bahkan ada pria-pria beristri yang terang-terangan mendekatinya.
"Maaf, Kakak saya ada pertemuan keluarga dan sudah ditunggu." Jawab Key yang merupakan adik sepupu Nasya.
Pria berwajah tegas dan dingin itu merupakan Direktur Utama di perusahaan ini.
"Oh, mungkin lain kali." Ujar pria itu tersenyum sungkan.
Nasya tidak menanggapi, mengikuti Key yang berjalan di depannya.
"Uh selamat!!" Nasya berseru ketika berada di lift.
"Semua tidak ada yang gratis ferguso." Pria yang tadi memasang wajah dingin itu tersenyum usil.
"Oh tidak bisa, aku sibuk Key. Tidak ada waktu menjagakan anakmu itu," Nasya berdecak. Tahu persis apa yang akan menjadi bayarannya. Ia harus menjaga keponakannya saat weekend, sementara ayah bundanya sibuk berpacaran.
"Terserah Kakak, tapi aku tidak akan menyelamatkan Kakak lagi dari pria-pria hidung belang itu." Ancam Key yang membuat Nasya bergidik ngeri.
"Makanya nikah!" Seru Key tertawa gelak. Tawa itu seketika hilang kala pintu lift terbuka. Sementara Nasya malas menanggapi, toh tanpa disuruh Key akan selalu melindunginya dari lelaki-lelaki tidak jelas itu.
Seperti yang Key bilang, sudah ada yang menunggunya. Dan ternyata itu benar, Nasya kira hanya sebagai alasan untuk menyelamatkannya.
...🍀🍀🍀 ...
"Kenapa Abi gak tanya Nasya terlebih dahulu sebelum memutuskan? Kenapa Abi langsung menerima lamaran mereka? Katanya Abi gak akan maksa Nasya menikah, tapi ini apa?" Nasya memberondongi sang Abi dengan berbagai pertanyaan setelah tamunya pulang.
Bagaimana dia tidak syok. Pulang dari kantor untuk makan siang bersama malah mendapat ultimatum menikah dengan pria yang telah divonis dokter cacat seumur hidup.
Nasya tidak mempermasalahkan kondisi pria itu. Yang jadi permasalahan karena dirinya tidak diajak berdiskusi dalam mengambil keputusan besar. Dia yang akan menjalani pernikahan ini bukan keluarganya. Gadis itu meluruhkan tubuhnya di sofa dengan kedua tangan menutup wajah.
"Abi rasa tidak ada alasan untuk Nasya bisa menolak lagi. Kita sudah mengenal baik keluarga Airil. Abi ingin melihat putri Abi ini menikah. Kakek juga, Kakek sangat ingin menjadi saksi pernikahan Nasya. Kita tidak tahu sampai kapan umur Kakek." Adnan membujuk putrinya dengan membawa nama sang ayah yang sekarang sakit-sakitan.
"Kasih waktu Nasya untuk menenangkan diri, jangan diganggu." Nasya bangkit dengan kaki yang lemas menuju kamarnya.
"Huuhh!!"
Nasya berteriak untuk melepaskan beban yang menghimpit dadanya. Ingatannya berputar pada peristiwa dua bulan yang lalu.
Decit ban mobil yang bergesekan dengan aspal berbunyi nyaring kala Nasya rem mendadak. Kecelakaan baru saja terjadi, mobil yang berada di depannya oleng dan bergerak ke luar aspal sebelah kanan. Terjatuh di luar jalan yang cukup dalam.
Nasya menarik napas panjang. Jantungnya berdegup kencang, kecelakaan lagi-lagi hampir membuat nyawanya melayang.
Setelah menepikan mobil Nasya keluar dengan kaki lunglai menapaki tanah. Mau tidak mau ia harus melakukan itu. Beberapa mobil ikut berhenti.
“Astaghfirullah.”
Gadis yang memiliki bibir tipis, hidung mancung dengan bola mata cokelat gelap itu berulang kali beristighfar untuk melawan ketakutannya. Dirinya yang takut akan darah sungguh tidak bertenaga jika harus melihat kejadian seperti ini.
“Pak tolong bantu evakuasi,” Nasya menjadi saksi mata atas kejadian kecelakaan tunggal itu.
Usai menghubungi pihak kepolisian dan ambulan Nasya menelpon sang abi minta dijemput pulang. Ia tidak memiliki tenaga lagi untuk menyetir mobil.
Bagian pintu pengemudi tersangkut pada sebuah pohon. Sehingga kesulitan dan memakan waktu lama dalam proses evakuasi. Posisi korban terjepit, mengalami luka robek di mata kanan. Darah dari hidung terus keluar, terdapat luka di leher, perut dan memar pada bagian dada serta di kedua kaki.
“Airil,” pekik Nasya ketika mengenali korban kecelakaan. Aroma darah yang anyir membuatnya semakin lemas dan hilang kesadaran.
"Airil," gumam Nasya menggeleng tidak percaya.
Ia sering dijodoh-jodohkan dengan pria itu. Namun Nasya tidak pernah terbawa perasaan dan menanggapinya. Terserah semua orang berpikir ia cocok dengan siapa.
Tapi untuk pernikahan Nasya sendiri yang menentukan ingin bersanding dengan siapa. Namun semua itu hanya keinginan, karena sang Abi sudah menerima lamaran dari keluarga Airil.
...🍀🍀🍀 ...
“Konyol,” decak pria yang bergerak menggunakan bantuan kursi roda. Sudah dua bulan ia menggunakan alat bantu itu untuk melakukan aktivitas yang serba terbatas.
Airil Ezaz Pradipta, seorang pria berusia dua puluh delapan tahun yang sekarang menjabat sebagai Direktur Utama Emeral Corporation. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Energi dan Infrastruktur, Perhotelan serta Layanan Kesehatan. Kini di diagnosa mengalami paraplegia, kelumpuhan anggota gerak dari panggul ke bawah pasca kecelakaan yang dialaminya.
Pria yang memiliki rahang tegas dan tubuh atletis itu mengusap wajah kasar. Keputusan kedua orang tuanya yang tiba-tiba melamar seorang gadis untuknya itu membuat Airil tidak bisa berpikir jernih.
Banyak wanita yang pernah dicadangkan untuknya. Tapi tidak pernah ada yang Airil terima. Ia masih ingin sendiri, belum ada niatan untuknya menikah di usia sekarang. Meskipun banyak wanita yang menunggu untuk dipinang olehnya saat belum mengalami cacat.
“Aku nggak mau menikah. Papa bisa bayangkan, perempuan itu bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari Airil. Papa tidak memikirkan perasaannya kalau memiliki suami cacat seperti ini.” Tolak Airil dengan tegas sambil memukul-mukul kakinya frustasi.
“Tapi mereka sudah menerima lamaran Papa. Apa salahnya dengan keadaanmu sekarang. Hanya dokter yang memvonismu cacat seumur hidup, tapi Allah bisa saja berkata lain." Jawab Zaky, sang papa dengan santai.
“Perempuan mana yang sekarang Papa beli untuk Airil? Seputus asa itukah Papa ingin melihat Airil menikah sampai memaksakan kehendak!!" Berang pria yang duduk dengan kaki terjuntai kaku.
"Airil, Papa tidak membeli. Papa memintanya baik-baik pada kedua orang tuanya. Dan kamu juga mengenal orangnya." Ghina menenangkan putranya yang tersulut emosi dengan memberikan tepukan di bahu.
"Arraz!!" Teriak Airil memanggil saudara sepupunya. "Antar aku ke apartemen!!" Titahnya.
"Tapi Bang," Arraz belum berani bergerak karena belum mendapatkan izin dari om dan tantenya.
"Biar Nefa yang antar," seorang gadis menggunakan piyama tidur dan hijab instan berjalan terburu-buru menuruni anak tangga.
"Nefa," tegur Zaky pada keponakannya.
Jika Arraz sangat patuh dengan aturan dan selalu mengedepankan restu orang tua. Maka berbeda dengan Nefa yang terkesan pemberontak.
"Maaf Om, dokter bilang Abang gak boleh stres. Nanti kesehatannya memburuk," jawab Nefa. Tidak mendorong kursi roda, karena kursi roda itu sudah menggunakan fitur canggih yang dijalankan dengan beberapa tombol.
"Good," Airil tersenyum bangga pada adik sepupunya.
"Ya salam," Arraz menepuk jidat kasar. "Biar Bang Airil untuk sementara Arraz yang urus," ujarnya berpamitan pada om dan tantenya.
Airil, Arraz dan Nefa. Mereka saudara sepupu yang selalu bersama sejak kecil. Maka tidak heran kalau Nefa begitu peduli pada keadaan abang sepupunya yang tertekan.
"Abang tenangin diri dulu okey, biar Nefa yang bikin perempuan itu mundur." Ujar Nefa dengan sangat percaya diri.
"Emang kamu tahu siapa perempuannya?" Tanya Airil yang dijawab gelengan kepala oleh Nefa.
Pria itu menatap pendar cahaya yang berkilauan, menampilkan keindahan kota Jakarta di malam hari.
"Tapi Nefa tahu siapa orang yang bisa memberi tahu kita," ujar Nefa bersemangat. Berlari ke ruang tengah, menarik paksa tangan Arraz yang sedang duduk di sana ke balkon.
Tentu saja Arraz yang membawa dua orang ini hingga bisa sampai ke apartemen.
"Abang pasti tahu kan siapa perempuan yang dijodohkan dengan Bang Airil?" Todong Nefa pada Arraz.
Pria itu tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Bertengger pada pagar pembatas balkon menerawang ke langit.
"Mungkin Bang Airil bisa pertimbangkan lagi permintaan Om Zaky. Dan mau ditolak bagaimanapun juga mereka sudah mempersiapkannya."
"Siapa?" Tanya Airil dingin, tidak butuh basa-basi lagi.
"Annasya Atthallah."
"Kak Nasya?" Pekik Nefa menciut.
Dengan wajah penuh rasa bersalah pada Airil ia ingin mengatakan kalau tidak bisa memukul mundur wanita yang berada diatasnya dalam hal segala-galanya itu.
Airil semakin memijat pelipisnya pusing. Bagaimana bisa dia bertindak kurang ajar untuk menggagalkan perjodohan ini. Sedang keluarga perempuan itu sangat dikenal baik oleh keluarganya.
Kalau anak sahabat-sahabat papa yang lain mungkin ia masih bisa membangkang. Tapi ini, Oh Tuhan. Airil rasanya ingin tenggelam ke dasar lautan saja.
"Kalau begini, dengan sangat menyesal Nefa mendukung perjodohan Abang. Ayo kita pulang," cicit Nefa membujuk.
Tung
Satu ketukan pelan mendarat di kepala Nefa. Arraz pelakunya.
"Kalau mau jadi pahlawan lihat situasi dan kondisinya dulu. Jangan sok jagoan jadinya memperumit keadaan," omel Arraz.
Padahal mereka bisa membicarakan ini baik-baik di rumah tanpa perlu jauh-jauh ke apartemen hanya untuk membuang waktu.
"Aku kan gak tahu, Abang juga gak spill-spill. Jangan salahin Nefa dong," protes Nefa cemberut.
"Abang mau istirahat, kalian pulang." Airil memotong perdebatan keduanya, menjalankan kursi roda ke kamar. Dia perlu menenangkan diri sebelum menerima keputusan besar ini.
"Tapi siapa yang ngurusin Abang disini!!" Teriak Nefa sebelum pintu kamar Airil terkunci.
"Abang bisa urus diri sendiri, kalian pulang!" Usir Airil tidak ingin di debat.
Keesokan siangnya Airil minta dibuatkan janji untuk bertemu Nasya. Dia akan membuat kesepakatan dengan gadis itu, memilih menolak lamaran orang tuanya atau ingin hidup tersiksa bersamanya.
Nasya tersenyum sambil melakukan satu tarikan napas pelan.
"Kalau ingin membatalkan pernikahan ini jangan hanya aku yang berjuang." Ujarnya yang tidak merasa perlu menjaga ucapan karena pria di depannya ini masih belum sah menjadi suaminya.
"Sama sepertimu aku pun tidak setuju dengan pernikahan ini. Bahkan aku tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan." Lanjut Nasya sambil mengetuk-ngetuk bibir gelas untuk menahan emosinya.
"Aku hanya melakukan penawaran. Tapi kalau kau menolak, itu artinya kau siap hidup tersiksa bersamaku." Balas Airil, tidak ada lagi senyuman di bibir yang dulu selalu ramah itu.
Setahu Nasya pria di depannya ini, hangat, humble dan murah senyum. Tapi saat ini berubah mengerikan, Nasya menelan saliva susah payah. Bagaimana dia bisa menjelaskan pada keluarganya kalau ingin menolak perjodohan ini.
Bukannya dijanjikan kebahagiaan yang ada malah diancam dengan kesengsaraan. Nasya tidak bisa membayangkan bagaimana rumah tangganya nanti.
Gadis itu tidak beranjak ketika Airil membawa kursi rodanya pergi. Dalam gamangnya Nasya memperhatikan pria yang duduk di kursi roda itu sampai menghilang dari pandangannya.
"Harusnya dulu aku tidak menyelamatkanmu," gumam Nasya kesall.
Kembali ke kantor Nasya kesulitan berkonsentrasi. Perkataan Airil menghantui pikirannya.
"Argh!!" Teriak gadis itu frustasi. Mengusap wajah gusar untuk yang kesekian kalinya.
"Tidak, tidak boleh. Aku tidak boleh terprovokasi oleh ucapannya. Kalau pernikahan ini tidak bisa dibatalkan, maka aku akan bisa meruntuhkan tembok pertahanan yang dibangun olehnya."
Nasya meyakinkan hatinya, karena sulit untuk membuat Abi membatalkan perjodohan ini.
Tidak jauh berbeda kacaunya dengan Nasya, Airil meluapkan kekesalan setiba di kantor.
"Aaarrrggghhh!!!" Pria itu memukul meja sekuat tenaga. Menyingkirkan benda-benda yang ada di atasnya dengan kasar.
Buukk!! Prank!!
Suara benda berjatuhan terdengar sampai keluar ruangan.
"Abang!!" Pekik Nefa panik.
Gadis yang menjabat sebagai sekretaris Airil itu langsung berlari masuk ke ruangan direktur. Pasca kecelakaan abang sepupunya memang jadi lebih temperamen. Emosinya sulit terkontrol.
"Abang jangan begini!!" Nefa mendorong kursi roda ke arah jendela.
Membiarkan saja ruangan itu berantakan dan menunggu sampai Airil lebih tenang baru bicara.
"Orang bilang setelah hujan badai akan terbit pelangi," Nefa menatap ke arah luar jendela. Menyaksikan langit biru yang sedang bersinar cerah dihiasi gumpalan awan putih.
"Nefa mengerti perasaan Abang, dunia Abang sedang berantakan saat ini. Tapi itu bukan berarti akan membuat masa depan Abang jadi ikut berantakan. Masih ada harapan yang bisa Abang gapai di depan sana."
Nefa menarik kursi, duduk di samping Airil. Walau tidak merespon, pria yang ada di sampingnya ini pasti mendengarkan ucapannya.
"Abang lihat, Nefa masih bisa tersenyum walau Opa berulang kali mematahkan impian Nefa. Kalau Abang merasa bisa menghindari perjodohan ini, harusnya Nefa yang lebih dulu berhasil mengejar impian Nefa. Namun nyatanya tidak semudah itu. Itu artinya, mau tidak mau Abang harus menikah dengan Kak Nasya."
Airil menoleh ke arah sang adik yang tersenyum manis, "pernikahan ini akan saling menyakiti kedua belah pihak."
"Tergantung bagaimana nanti Abang menempatkan diri. Setahu Nefa, Kak Nasya itu orangnya lembut. Tidak sulit untuk Abang jatuh cinta padanya."
"Ini bukan masalah cinta, Abang hanya akan menjadi beban untuknya. Masa depannya masih indah, bersama Abang kehidupannya akan terhambat."
"Belum tentu Kak Nasya berpikir seperti itu. Mungkin itu hanya pemikiran Abang saja. Daripada kalian saling menyerang, lebih baik membangun kerja sama dari hati ke hati." Nefa tersenyum meyakinkan.
"Lalu apa kerjasama kalian yang dari hati ke hati itu berhasil!!" Sindir Airil dengan senyuman tipis.
"Au ah, Abang urus diri sendiri. Beresin ruangan sendiri, jangan minta Nefa yang beresin!" Kesal Nefa meninggalkan ruangan direktur.
"Hey, lupa kalau kau itu sekretarisku disini," teriak Airil.
Nefa berhenti tepat di depan pintu, menoleh dengan jari telunjuk yang digoyang-goyangkan. "Untuk kali ini Nefa bukanlah sekretaris Abang," jawabnya kemudian melenggang pergi.
Airil terkekeh kecil melihat Nefa yang merajuk. Suasana hatinya sekarang sudah lebih baik.
No debat. Pernikahan dadakan digelar satu bulan setelahnya dengan konsep modern. Momen itu begitu meriah dengan dekorasi megah di dominasi warna putih.
Gaun pengantin dengan ekor panjang, membalut cantik tubuh Nasya. Perempuan itu tetap tersenyum anggun menyambut para tamu undangan. Meskipun sang suami terlihat tidak suka akan keberadaannya.
Ia cukup sering bertemu Airil dalam pertemuan keluarga. Pria itu tidaklah dingin seperti sekarang. Airil nampak sangat tampan saat tersenyum. Namun senyuman itu hanya terulas pada tamu-tamu undangan, tidak padanya.
"Mas kamu haus, mau aku ambilkan minum?" Tawar Nasya.
Meskipun umur mereka hanya terpaut beberapa bulan, Nasya tetap memanggilnya dengan sopan karena status pria itu sudah sah menjadi suaminya.
"Nggak haus."
Nasya mengangguk, kembali menyalami tamu yang naik ke atas pelaminan. Hingga malam hari resepsi pernikahan itu barulah selesai.
Tidak ingin pusing, setelah acara selesai Airil langsung pergi ke kamar tanpa meminta bantuan.
Dari jarak beberapa langkah di belakang Airil, Nasya menyusul dengan kesusahan membawa gaunnya. Bukan seperti ini pernikahan yang diimpikannya. Ia tidak mempersalahkan perihal cinta, mereka sudah sama-sama dewasa. Kalau tidak cinta setidaknya mau saling menerima.
Dihadapkan keadaan seperti ini Nasya jadi bingung harus bersikap seperti apa. Yang jelas Airil sudah memberikan ultimatum tidak akan memberikan kebahagiaan untuknya. Lalu untuk apa pernikahan ini kalau bukan bahagia yang menjadi tujuannya.
"Nasya," panggil perempuan yang biasa gadis itu panggil Bunda.
"Iya Bun," Nasya menoleh. Menghentikan langkahnya menyusul sang suami ke kamar.
"Nasya bisa ya Sayang, kalau Nasya ada masalah dan nggak bisa cerita sama Ummi Sya cerita sama Bunda saja." Perempuan paruh baya itu memeluk gadis yang sudah seperti putrinya sendiri. Ia dapat melihat kesedihan dari pancaran mata yang sejak tadi berusaha terus tersenyum.
"Makasih Bun, Nasya akan berusaha menjadi istri yang baik." Jawab Nasya dengan tersenyum ceria.
"Bunda selalu doain Nasya."
Lagi-lagi Nasya tersenyum, "Nasya tahu. Banyak orang yang doain Nasya," sebutnya dengan yakin.
"Ayo Bunda antar," perempuan setengah baya itu mengangkat ekor gaun Nasya.
Nasya tidak menolak, melanjutkan langkahnya menyusul sang suami ke kamar. Ia memang tidak melakukan perdebatan setelah Abi Adnan menyatakan sudah menerima lamaran dari keluarga Airil. Juga tidak bercerita tentang ancaman Airil padanya.
"Jadikan ini jalan surgaku Ya Allah," sebelum masuk kamar Nasya berdoa dalam hati. Semoga dirinya diberi kesabaran seluas samudra untuk menghadapi apapun perlakuan suaminya.
Ditengah maraknya issue KDRT, jujur Nasya takut akan hal itu. Tidak cinta tapi kalau mau menjaga perasaan pasangan tidak masalah. Tapi untuk kasus pernikahan mereka, ini sedikit berbeda.
"Bismillah Nasya pasti bisa," sebelum pergi perempuan yang menemani Nasya itu memberikan pelukannya.
Nasya mengangguk kecil, kemudian masuk ke kamar yang dihias indah. Di tempat tidur kamar presiden suite itu terdapat dua handuk yang dibuat menjadi angsa dan saling dipertemukan sehingga membentuk love. Di sekitarnya di kelilingi kelopak mawar merah yang juga di bentuk love.
Perhatian Nasya teralihkan pada pria yang menatap kosong ke arah luar jendela sambil melepas jas.
"Assalamualaikum Mas, mau aku bantu." Tawar Nasya kala melihat Airil kesulitan melepas jasnya.
"Bisa sendiri."
"Kalau perlu bantuan bilang ya Mas," Nasya masuk ke bathroom menyiapkan air panas di bathtub. Namun setelahnya tersadar, suaminya tidak mungkin berendam di bathtub. Jadinya Nasya hanya menyiapkan handuk dan pakaian ganti saja.
"Boleh kopernya aku buka, mau carikan baju ganti kamu."
"Aku bisa mengambil sendiri," jawab Airil ketus.
Nasya tidak membantah, duduk di sofa memperhatikan dari jauh apa yang suaminya lakukan. Ketika Airil masuk kamar mandi baru ia merapikan koper yang dibuat suaminya berantakan. Dan membersihkan tempat tidur dari kelopak bunga mawar.
"Maaf ya kalian harus aku singkirkan," gumam Nasya sedih. Memasukkan kelopak-kelopak mawar itu ke tempat sampah.
Meskipun Airil tidak menyukai kehadirannya, Nasya tetap bersikap lemah lembut. Bahkan tidak banyak kata yang terucap saat mereka berada dalam satu ruangan.
Sadar dengan kehadirannya yang tidak diharapkan Nasya tidak memusingkan semua hal itu. Ia hanya menjalankan kewajibannya mengurus suami. Karena itu sudah menjadi tanggung jawabnya mulai saat ini.
Nasya mengawasi saja suaminya yang berpindah sendiri dari kursi roda ke tempat tidur. Dirasa tidak ada masalah, baru ia bergantian mandi.
Keluar dari bathroom Nasya melihat pria yang baru saja menjadi suaminya itu telah tertidur. Dengan langkah pelan kakinya mendekati tempat tidur, menyelimuti Airil dan mematikan lampu.
Agar tidak mengganggu suaminya, Nasya mengambil bantal dan selimut kemudian berbaring di sofa. Begini lebih baik.
Wanita itu tersenyum getir memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Akan sesulit apa perjalanan pernikahan ini nanti. Semoga aku selalu kuat menjalaninya Ya Allah." Doa Nasya kemudian memejamkan mata.
Sebelum sholat subuh Nasya sudah terbangun, mandi dan merapikan bekas tidurnya.
"Mas sudah Adzan, sholat subuh dulu yuk." Dengan sabar Nasya membangunkan suaminya.
Airil membuka mata, melirik tempat tidur di sampingnya yang masih rapi. Netranya menemukan selimut dan bantal di sofa. Baguslah, itu artinya perempuan ini sadar diri. Tidak perlu susah-susah mengusir dari tempat tidurnya.
...🍀🍀🍀 ...
"Sarapan dan minum obat dulu Mas."
Piyama katun berwarna maroon membalut rapi tubuh Nasya. Wanita yang sudah berubah status menjadi istri Airil itu menyiapkan segala keperluan suaminya dengan baik. Setelahnya ia sarapan di balkon sendirian.
Untung Nasya menyelipkan laptop dalam koper. Jadi bisa bekerja untuk membunuh rasa bosan. Ia sudah memasrahkan semuanya. Mau bagaimanapun nanti perlakuan Airil padanya, terserah saja.
Dulu Abi dan Umminya menikah karena perjodohan. Tapi dari kedua belah pihak saling menerima. Sehingga tidak ada masalah seperti yang dialaminya.
Jika Nasya sedang sibuk memeriksa laporan rencana anggaran dari manajer-manajernya. Begitu juga Airil, sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga dua insan yang baru resmi menjadi suami istri itu tidak terlibat banyak pembicaraan.
Pelan-pelan nanti Nasya akan mencari celah untuk meluluhkan hati Airil. Pertama-tama ia akan meminta bantuan Nefa.
"Hah!!" Dengus Airil ketika kesulitan menggunakan celana.
"Aku bantu Mas," Nasya dengan sigap mendekat ketika mendengar suara frustasi dari suaminya.
"Jangan sentuh!!" Airil menepis kasar tangan Nasya yang ingin membantunya.
Sambil mengusap wajah kasar, Nasya pergi ke balkon. Menarik napas berulang kali. Di balkon ia termenung, terus mengingatkan hatinya agar tetap bersabar.
"Argh!!"
Airil menarik rambut frustasi karena harus terjebak dengan perempuan sebaik Nasya.
Nasya mengacuhkan suara erangan itu sambil memainkan ponsel. Kalau mendekat, takutnya ia akan ikut terbawa emosi.
"Kakak lagi ngapain?" Tanya Yara, istri dari Key.
"Kemarin Yara kaget banget lihat Bang Airil serem gitu sama Kakak. Padahal sama kita manis banget. Kakak gak diapa-apain kan. Yara mau demo Abi kalau sampai Kakak disakitin."
Nasya sontak terkekeh membaca pesan dari adik iparnya yang cerewet. Hiburan untuk hatinya yang tengah gusar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!