Prang!
Sebuah vas bunga keramik hancur berhamburan di atas lantai setelah seorang gadis melemparkan itu dengan amarah meluap-luap. Azizah, gadis cantik berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku kelas 12 SMA itu marah karena perkataan dari kedua orangtuanya.
"Ai enggak mau nikah, Bunda. Ai itu masih mau sekolah. Ai masih mau have fun sama temen-temen Ai. Kenapa sih Bunda sama Ayah selalu enggak adil sama Ai, apa karena Ai enggak lebih baik dari Kak Ima apa karena Kak Ima lebih bisa membuat kalian bangga! Kalian itu jahat! Kalian enggak adil. Yang kalian pikirkan dan kalian prioritaskan hanya Kakak. Aku ini cuma anak pungut buat kalian."
Plak!
Satu tamparan pelak mendarat di pipi Azizah, perempuan yang sejak tadi mengoceh itu mendadak bisu. Bibirnya tersenyum miring saat rasa panas menjalar di area pipinya. Ia menepis tangan bundanya ketika wanita paruh baya itu ingin merangkulnya.
"Maafkan Bunda, Sayang. Bunda minta maaf, Bunda enggak sengaja," ucapnya tulus. Air mata merembes keluar, tangan wanita itu bergetar, menyesal karena sudah kelepasan sampai membuat Azizahnya terluka.
"Arghhhhhhh!" Bu Sahla ikut frustasi, ia menjambak rambutnya seraya meraung-raung menangis di depan Azizah. "Bunda capek, Azizah. Bunda capek harus terus memaklumi kenakalan kamu. Lebih dari tiga kali dalam seminggu Bunda harus mendatangi kepala sekolah. Kenapa? Kenapa kamu harus bersikap seperti ini?" lirih Bu Sahla kesal. "Oke! Kalau kamu mau bilang ini wajar enggak masalah karena ayah sama bunda masih hidup, kami masih bisa menaungi kamu, kami bisa memaafkan kamu dan memaklumi kesalahan kamu. Tapi kalau kami udah enggak ada gimana Azizah?" lirih Bu Sahla dengan suara yang sangat memilukan.
"Bunda enggak pernah minta kamu buat jadi yang terbaik, tapi jangan terlalu nakal, Nak. Kamu itu anak perempuan. Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama kamu hah? Bagaimana?"
Pak Haidar ikut berjongkok, memeluk istrinya yang semakin lama semakin menyedihkan. Bu Sahla memiliki riwayat penyakit asma, jika tidak segera dihentikan tangisannya, itu akan sangat berbahaya.
"Nak! Lihat Bunda kamu, Bunda sampai seperti ini, kita mau menikahkan kamu bukan karena kita enggak sayang, kita sayang sama kamu dan kita harap kamu bisa belajar untuk memperbaiki sikap. Tolong Nak! Menikah dengan Ustadz Farhan, beliau adalah Ustadz kepercayaan kakek kamu. Kamu enggak akan menyesal karena menikah dengannya. Kamu masih tetep bisa sekolah."
Azizah tertawa sinis, dia tidak mau menikah muda, tapi melihat ibunya seperti itu, ada sedikit ketakutan dalam hatinya kalau ibunya akan sakit. Terlebih, ancaman dari Bu Sahla tidak main-main. Beliau mengatakan akan mencoret Azizah dari kartu keluarga jika tidak menikah dengan laki-laki pilihan kakeknya.
"Baiklah!" jawab Azizah dengan suara bergetar menahan tangis. "Azizah akan menikah jika itu memang keinginan kalian!"
Brak!
Pintu kamar kedua orangtuanya dibanting kasar oleh Azizah, gadis itu tertegun di ambang pintu ketika ia melihat sosok kakaknya tengah menatap ke arahnya dengan tatapan kasihan, padahal, Azizah selalu berpikir jika kakakya lah yang pantas dikasihani sebab, sejak kecil, kakaknya itu selalu memakai tongkat untuk membantunya berjalan.
"Puas! Kakak puas liat aku diasingkan kayak gini hah? Puas karena sekarang Kakak bisa menguasai semuanya, kasih sayang ayah sama bunda gak akan terbagi lagi, mainan, makanan, semuanya ... semuanya buat Kakak. Ambil itu dan bahagialah di atas penderitaan orang lain."
Azizah melengos pergi menyenggol bahu kakaknya sampai perempuan itu hampir terjatuh. Ima meringis, air matanya menitik membayangkan kekacauan yang terjadi di rumah ini adalah karenanya. Ima tidak menyangka jika adiknya akan semarah ini karena rasa cemburu yang berlebihan.
** ** **
Di sebuah pesantren yang sangat besar, malam itu terjadilah sebuah akad pernikahan sederhana, tidak ada pesta atau lain sebagainya karena pernikahan itu pun dilangsungkan di malam hari. Saksi-saksi hanya sebatas penghuni pesantren sebab mempelai wanita masih sangat muda, masih berstatus pelajar dan sepertinya tidak terlalu baik jika mengekspos pernikahan ini terlalu jauh.
Seorang pengantin perempuan tengah menatap nanar pantulan dirinya dari cermin besar di depannya. Azizah kembali menitikkan air mata, perempuan itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan agar terbebas dari semua ini. Kabur? Tidak mungkin, Azizah tidak mau berakhir menjadi penyebab meninggalnya sang ibu.
"MasyaAllah, cantik banget anak Bunda, kamu beruntung karena menikah dengan Ustad Farhan, beliau ternyata sangat tampan, gagah dan idolanya para santri wati di pesantren ini," ujar Bu Sahla dengan senyum di bibir. Ia benar-benar tidak bisa membaca raut wajah tertekan Azizah, saking inginnya membuat Azizah keluar dari lingkaran hitam, orang yang seharusnya tidak suka melihat air mata anaknya, kini malah menjadi sumber penyebab hancurnya hati darah dagingnya sendiri.
"Kamu mau lihat fotonya Ustadz Farhan enggak? Cakep lho. Bunda ambil ya!"
Azizah menggelengkan kepalanya. "Enggak usah Bunda. Azizah baik-baik aja. Toh meskipun enggak ganteng, meskipun Ustadz Farhan sudah tua, Azizah tetap tidak bisa menolak pernikahan ini bukan?"
Bu Sahla tertegun, lidahnya mendadak kelu mendengar suara lirih anak bungsunya. Jika saja Azizah tidak nakal, Bu Sahla tidak mungkin membiarkan Azizah menikah si usainya yang masih sangat muda. Anak remaja melakukan kenakalan memang sudah bisa, tapi Azizah ini telah melampaui batasan. Bukan satu dua kali ia memergoki Azizah ada di klub malam dengan teman-teman sebayanya, tapi berkali-kali. Jika terus dibiarkan, Bu Sahla takut kedepannya akan semakin sulit dan semakin buruk.
"Maafkan bunda, Sayang," batin Bu Sahla berseru lirih.
Sementara itu, di tempat lain, yaitu di aula pesantren. Aula yang sudah sangat ramai itu mulai senyap ketika penghulu di pernikahan Ustadz Farhan dan Azizah mulai bersuara.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq.”
"Sah?" tanya penghulu pada seluruh saksi di acara pernikahan tersebut.
"Sah!" jawab mereka semua serempak.
“Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jama'a bainakumaa fii khoir.” Kiyai Juhairu nepuk pundak Ustadz Farhan, lega dan bangga. Itulah yang Kiyai rasakan saat ini. Ustadz Farhan adalah Ustadz kebangganya, selain kepahaman Ustadz Farhan terhadap ilmu agama sangat dalam, Kiyai merasa sangat bahagia sebab ia sudah menganggap Ustad Fattan seperti keluarganya sendiri.
"Kiyai!" panggil Bu Sahla kepada ayahnya. Dia mendekat ke arah Kiyai, suaminya, dan juga Ustad Hanan yang sekarang sudah menjadi menantunya.
"Kenapa? Ada apa lari - lari seperti itu hah? Mana obat kamu?" panik Kiyai sebab beliau hafal betul jika anak perempuannya itu tidak bisa terlalu lelah sebab asmanya bisa kambuh tiba-tiba.
"Enggak ada waktu, Kyai. Azizah, Azizah pingsan. Azizah pingsan di kamar."
"Inalillahi!" Orang-orang itu, termasuk ustadz Farhan langsung berlarian menuju dimana tempat Azizah berada, mereka langsung membuka pintu kamar, dan memeriksa keadaan Azizah.
"Nak! Hei! Bangun Sayang, ini Ayah Nak!" ucap Pak Haidar mengguncang bahu sang anak pelan tetapi tidak ada respon sama sekali.
"Kiyai!" panggil Ustadz Farhan memperlihatkan toples kecil berwarna putih yang sepertinya adalah obat-obatan.
"Astagfirullah, Ai!" gumam Bu Sahla membekap mulutnya tidak percaya.
"Ini hanya obat tidur, Azizah masih meminumnya dalam kadar yang normal!" kata seorang dokter. Bersyukurnya sebab saat itu memang ada beberapa kenalan Kiyai yang sudah mapan dan memiliki pekerjaan di berbagai bidang termasuk kedokteran.
"Alhamdulillah," ujar semua orang lega. Mereka pikir Azizah kenapa.
"Tapi, sebaiknya jangan berikan obat ini setiap saat, jika Azizah tidak meminumnya sesuai anjuran dokter, ini akan sangat berbahaya."
Orang-orang di sana mengangguk paham, obat itu pun diambil oleh orangtuanya Azizah agar tidak disalahgunakan. Mereka sendiri tidak tahu kenapa Azizah sampai harus mengonsumsi obat tersebut.
** **
Keadaan di sana menjadi sangat hening setelah semua orang pergi dan Ustadz Farhan bisa beristirahat, pakaian Azizah pun telah diganti oleh Bu Sahla, jadi tidak perlu Ustadz Farhan yang mengurusnya malam ini.
Pria itu berbaring menyamping di sisi Azizah, menatap wajah damai di depannya lekat. Ia masih tidak menyangka jika hubungan pernikahannya harus berakhir seperti ini. Namun, sebuah pepatah dari seseorang membuat Ustadz Farhan harus ikhlas dan rhido menerima ketetapan dari-Nya.
Ia masih bisa mengingat dengan jelas satu kalimat ini. "Menikahi yang dicintai itu adalah harapan, sedang, mencintai yang dinikahi adalah sebuah kewajiban."
Ustadz Farhan berharap, ia bisa menunaikan tanggungjawabnya, untuk menjadi suami dan juga menjadi guru dalam segala aspek untuk istri kecilnya, karena, memang itu tujuan mereka menikahkannya dengan Azizah.
Ustadz Farhan masih mengingat dengan jelas, bagaimana dia menolak pernikahan ini tegas. Bukan karena takut Azizah tidak cantik, tapi ia merasa masih belum bisa menjadi imam yang baik.
Namun, ketika ayahnya mengatakan kalau keluarga Kiyai Juhairu memiliki peranan penting untuk mereka, Ustadz Farhan menerima perjodohan itu, awalnya memang terpaksa, tapi setelah mendengar bagaimana nakalnya Azizah, Ustadz Farhan tahu kalau mungkin, ini memang tugas yang Allah berikan untuknya karena dia mampu dan dia bisa.
Beberapa hari yang lalu ... Ustadz Farhan masuk ke rumahnya dengan perasaan tak menentu, ia benar-benar bingung karena baru saja menolak permintaan Kiyai Juhairu untuk menikahi cucunya.
"Kenapa Nak?" tanya Pak Ziyad kepada putra sulungnya. Ia duduk di depan Ustadz Farhan dan tak lama setelah itu, Bu Fahima datang membawakan teh hangat untuk keduanya.
"Minum dulu," ujar Bu Fahima.
Kedua laki-laki itu berterima kasih lantas meminum teh buatan wanita yang sangat mereka cintai.
"Pak Kiyai, Abi. Beliau meminta Farhan untuk menikah dengan salah satu cucunya. Katanya, beliau ingin Farhan membimbing cucu perempuannya karena perempuan itu sulit untuk dinasehati."
"Terus?" tanya Ummi Fahima penasaran.
"Farhan tolak!"
"Hah?" cengo keduanya tidak percaya. "Alasan kamu menolak karena apa, udah punya calon istri?"
Ustadz Farhan menggelengkan kepalanya. "Bukan itu, Abi. Tapi Farhan takut mengecewakan Kiyai. Farhan ini bukan orang baik, Farhan takut aja."
Pak Ziyad pun mengangguk seraya tersenyum. "Sebenarnya, kalau Kiyai minta kamu buat jadi suami cucunya, kamu harus bersyukur, kamu itu beruntung lho, Han. Banyak ustadz ustadz muda di pesantren, tapi kalau kamu yang dipilih, kamu beruntung. Lagipula, sebenarnya kita itu punya hutang budi sama keluarga Kiyai, kamu juga tahu kan saat dulu sekali Abi terlilit banyak hutang? Yang nolongin adalah Kiyai Juhairu."
Ummi Fahima mengangguk. "Ya kalau kamu enggak keberatan, sebaiknya kamu terima lamaran Pak Kyai, InsyaAllah, selain kamu bisa mendapatkan pasangan yang baik nasabnya, kamu juga bisa meraup banyak pahala, Nak. Bismillah, kalau enggak dijalani dulu, mana bisa kamu tahu kamu sanggup atau enggak."
Ustadz Farhan pun mengangguk mengerti. Benar, keluarga Kiyai memang sudah memberikan banyak hal untuk keluarganya, akan tidak baik jika dia menolak permintaan Kiyai. Apalagi, tujuannya adalah tujuan yang mulia, ingin membawa seseorang ke jalan yang lebih baik agar terhindar dari buruknya pergaulan zaman sekarang.
"Baik, Ummi, Abi. Farhan akan menerima pinangan Kiyai Juhairu."
"Alhamdulillah!"
Ummi dan Abi Ziyad saling menatap lantas tersenyum. Mereka sama-sama bernapas lega, akhirnya, ada yang bisa mereka lakukan untuk keluarga Kiyai Juhairu.
** **
Azizah melirik jam di samping tempat tidur, jam masih menunjukkan pukul 4: 30 malam. Saat itu, Azizah tersenyum. Ia menatap si pria dengan hati berbunga-bunga. "Pangeran Subuh," ucap gadis itu. Namun, bukannya bangun, ia malah kembali tertidur, menarik selimut dan meringkuk seperti anak bayi di dalam rahim ibunya.
Ustadz Farhan bukannya marah malah tersenyum, pria itu duduk di tepian ranjang, menarik selimut Azizah tapi kembali ditarik oleh perempuan itu.
"Dek bangun, Yuk! Mas udah siapkan air hangat buat kamu mandi."
"What? Mandi? Pagi-pagi buta seperti ini?" pikir Azizah heran, perempuan itu hendak memukul kepala orang di dekatnya, tapi pergelangan tangan itu ditahan oleh Ustadz Farhan.
Kelopak matanya melebar seketika. Azizah langsung terduduk, menatap pria itu dengan bibir ternganga. "Kamu siapa? Kenapa kamu ada di kamar saya?" Ia menarik selimut sampai ke dadanya. Perempuan itu juga meraba surai panjangnya, celingukan mencari kerudung tapi tidak ada.
"Kamu mau ngapain? Kenapa saya enggak pake kerudung!"
Pria itu tersenyum, merekahlah sedekah pagi darinya. "Mas suami kamu, Dek. Bukankah kemarin malam kita baru saja menikah?"
"What?!" pekik Azizah yang langsung berdiri menjauh dari suaminya.
Tunggu, ini tidak mungkin, suami? Suami siapa? Azizah terlihat sangat kebingungan, perempuan itu berusaha mengingat apa yang terjadi seraya meraih kain apa pun yang bisa menutupi kepalanya.
"Kita emang udah nikah, Dek. Coba lihat cincin di jari manis kamu!" pinta Ustadz Farhan, menarik kain yang Azizah gunakan untuk menutupi rambutnya. "Mas halal lihat rambut kamu, sudah tidak masalah kalau mas lihat aurat kamu, begitupun sebaliknya."
"Enggak mungkin," sahut Azizah kembali mundur. Ia tidak percaya kalau dirinya memang sudah memiliki suami. Namun, saat bayangan dimana sura seseorang mengucapkan ijab kabul, Azizah menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Aku sudah menikah?" gumamnya yang dibalas anggukan oleh sang suami.
"Inalilahi wainailaihi rojiun!" ucap Azizah spontan. Mimpi buruk, ini adalah mimpi buruk untuknya.
** **
Perempuan itu celingukan, menyusuri sudut rumah yang tidak terlalu besar itu. Rumah ini masih ada di area pesantren, setahunya, dulu rumah ini adalah rumah yang dibangun untuk guru fikih di pesantren tersebut.
"Sarapan dulu, Dek! Nanti berangkat sekolah sama mas aja ya."
"No!" pekik Azizah cepat. Namun, saat Ustadz Farhan menatap, ia langsung memalingkan wajah gelagapan. "Ma-maksudnya Ustad kan harus mengajar di sini, kenapa harus ke sekolah. Saya bisa berangkat sendiri kok."
Kembali Ustadz Farhan tersenyum, pria itu mempersilahkan Azizah untuk duduk dan menyodorkan sepiring nasi goreng juga ada buah apel yang sudah dia kupaskan.
"Saya mengajar pelajaran Agama Islam di sekolah kamu, Dek. Jadi sekalian aja."
Hahhhh ... semakin tercengang lah Azizah, perempuan itu benar-benar tidak akan bisa melakukan apa pun jika terus berada dalam pengawasan suaminya 24 jam, jadi guru di sekolah, ustad di pesantren dan suami di rumah. Azizah merinding membayangkan bagaimana terkekangnya ia saat ini.
"Hehehe ... kok bisa kayak gini, Ustadz," gumam Azizah dengan senyum dipaksakan. Jauh di dalam lubuk hati terdalam, Azizah justru tengah mengumpat dan menyumpah serapahi suaminya, perempuan itu tidak boleh kalah.
"Kita lihat, aku akan pastikan, kalau dalam waktu satu minggu, kamu akan menceraikanku, Ustadz Farhan!" gumam Azizah dengan smirk menakutkan di wajahnya.
Mata perempuan itu memincing, melihat Ustadz Farhan yang sedang membereskan meja makan. Ia yang hendak meletakan piring ke dalam wastafel melirik piring itu kembali, cukup lama ia berpikir sampai pada akhirnya.
Prang!
"Astaga ...!"
Azizah memekik, perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan. Ekspresi wajahnya ia buat senatural mungkin, sebagaimana orang terkejut dan merasa bersalah.
"Kenapa?" tanya Ustadz Farhan khawatir.
"Itu, Ustadz, maafkan aku. Tanganku lemah, jadi piringnya malah jatuh, aku enggak sengaja." Azizah merengek dan dia buat itu seperti alami, tidak ada akting. Namun, saat Ustadz Farhan melihat ke arah pecahan piring tersebut, Azizah tersenyum miring.
"Kau pasti marah bukan? Kau akan berpikir kalau aku adalah gadis ingusan, tidak becus dan teledor! Ayok ceraikan aku, Ustadz Farhan. Talak tiga juga aku ikhlas," batin Azizah. Harapan gadis itu sudah setinggi gunung, seluas samudra dan sebulat tekadnya untuk berpisah dari ustadz Farhan.
"Inalillahi wainailaihi rojiun. Segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah, mereka semua memiliki ajal, termasuk piring-piring ini. Sudah, sekarang kamu siap-siap. Lima menit lagi kita berangkat. Saya bereskan ini dulu ya."
"Hah?" cengo Azizah. Wajahnya menunjukkan ekspresi luar biasa bodoh. Tidak mungkin, ibunya saja akan sangat marah saat dia memecahkan tatakan cangkir kecil, kenapa ustadz Farhan malah bisa sesabar ini.
"Saya bilang kamu siap-siap dulu! Kamu enggak papa kan? Apa ada yang terluka?" Ustadz Farhan baru akan memeriksa Azizah, tapi perempuan itu dengan cepat mundur seraya mengibaskan tangan.
"Aku baik-baik saja, Ustadz. Aku akan pergi!" ujarnya langsung berlari. Azizah terlihat sangat gugup dan takut.
"Hah!" Ia bernapas ngosh-ngosahan setibanya di kamar. Ini tidak masuk akal, Ustadz Farhan tidak bisa diremehkan, dia memiliki kemampuan bertempur di luar dugaan. "Ini baru pertama, aku yakin masih ada kesempatan lain, banyak yang bisa aku lakukan untuk membuatnya jengkel." Azizah berseru dengan semangat juang 45.
** **
"Kita mau naik ini?" tanya Azizah kepada suaminya. Tidak mungkin Ustadz Farhan mengajaknya untuk menaiki motor bukan? Kalau panas bagaimana? Yang lebih parah, bagaimana jika hujan? Ya ampun, ini benar-benar di luar nurul pikirannya Azizah.
"Lebih enak naik motor, lebih cepat juga Dek. Paling cuma 15 menit nyampe. Yuk Naik!" Ia menyodorkan helm untuk Azizah. "Ini milik adik perempuan saya. Pakailah!" katanya langsung mendekat ke arah Azizah, memakaikan itu untuk sang istri karena Azizah malah mematung seperti orang bodoh tulen.
"Naik!" titah Ustadz Farhan.
"Enggak mau!"
"Mau telat atau bagaimana? Saya ada kelas pagi!"
"Aku enggak mau naik motor, apa Bunda enggak kasih inventaris, mobil misalnya?"
Ustadz Farhan tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Naik sekarang atau saya hukum kamu nanti malam."
"What? Hukum? Dengan cara apa? Lebih baik hukum aku saja!" Azizah masih berusaha untuk menolak karena memang dia tidak bisa keluar rumah dengan motor, apalagi harus dibonceng laki-laki ini. Azizah malu.
"Baiklah! Kalau begitu tunggu saya di rumah. Mandi biar wangi!"
Azizah yang sudah berbalik dan melangkahkan kakinya menghentikan itu. Keningnya mengerut, bola matanya berputar berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh suaminya. Dan, ketika ia sadar hukuman apa yang suaminya maksud, barulah perempuan itu berbalik, menatap Ustadz Farhan tajam tapi pria itu malah mengangkat kedua bahunya acuh.
Mau tidak mau Azizah menuruti sang suami meskipun hatinya dongkol bukan main. Sedang pria yang ada di depannya malah tersenyum karena hal tersebut.
Tidak sampai di sana, perdebatan terus berlanjut. Azizah memaksa untuk diturunkan karena dia tidak mau penghuni sekolah tahu jika dia sudah menikah dengan pria yang usianya 10 tahun lebih tua darinya.
"Ustadz! Udah di sini aja!"
"Kenapa?" tanya Ustadz Farhan menepikan motornya. Pria itu menerima helm yang disodorkan oleh sang istri.
"Ustadz enggak berniat mengumumkan pernikahan kita kan? Aku enggak akan minta banyak, Ustadz. Cukup jaga rahasia kita baik-baik. Saya juga menikahi Ustadz karena terpaksa, orang-orang enggak perlu tahu, kalau kita bercerai, akan sulit menjelaskan semuanya kepada mereka."
"Bercerai?" tanya Ustadz Farhan tidak mengerti.
"Iya, bercerai. Aku enggak niat nikah di usia muda Ustadz. Jadi tolong, hargai keputusanku."
Setelah mengucapakan itu, Azizah melengos meninggalkan Ustadz Farhan begitu saja. Ia sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan sang suami, tidak bisa menyaring kata-kata dan Azizah bertingkah seolah-oleh hanya dia yang memiliki hati.
"Astagfirullah ... semoga Allah mudahkan segalanya untuk kita Dek."
** **
"Assalamu'alaikum, Pak!" beberapa siswa dan siswi di sekolah tersebut menyapa Ustadz Farhan ramah.
"Wa'alaikumsalam," sahutnya. "Bagaimana dengan tugas yang Bapak berikan, sudah hafal semu?"
Anak-anak itu banyak yang mengangguk tapi ada juga yang menggelengkan kepalanya.
"Siap-siap aja! Jam pelajaran kedua saya tes kalian satu-satu! Paham!"
"Na'am, Pak!"
Ustadz Farhan tersenyum, pria itu pun pergi ke ruang guru untuk memulai harinya.
Sampai di lorong pun, Ustadz Farhan masih terus menjawab sapaan beberapa guru dan juga anak-anak didiknya.
Tak jauh dari sana, Azizah, gadis yang baru keluar dari kantor kepala sekolah langsung bersembunyi di belakang tembok, perempuan itu mengintip bagaimana cara suaminya berinteraksi dan bagaimana hebohnya anak-anak perempuan saat melihat Ustad Farhan.
"Pak Han memang selalu menjadi idola anak-anak di sekolah ini. Selain karena tampan, ilmu dan akhlak beliau terlalu sempurna untuk ukuran manusia pendosa seperti kami."
Azizah mengangguk-anggukan kepalanya. Perempuan itu mengerti kalau yang mereka lihat dari tampang dan ilmu, tapi Ustadz Farhan itu terlalu kolot untuk mereka yang masih duduk di bangku SMA. Ekh, ia menoleh ke arah sumber suara. "Pak Kepsek," kaget Azizah terkejut karena kepala sekolahnya sudah ada di belakang. "Saya permisi dulu, Pak!" Gadis itu membungkuk dan lari menuju kelasnya.
Sesampainya di kelas, Azizah dibuat celingukan melihat sekitar, meja yang penuh dengan coretan, juga ruangan kumuh itu membuatnya merasa kurang nyaman. Buru-buru ia mengambil masker karena tidak ingin hidungnya terkontaminasi debu dan menyebabkan sesak napas dadakan.
Para murid yang ada di kelas tersebut menatap ke arah Azizah dengan tatapan heran, aneh. Satu kata yang bisa mereka berikan untuk murid baru di kelas mereka.
"Pak Farhan datang!" pekik murid perempuan ... orang-orang yang masih berada diluar mulai berhamburan masuk ke dalam kelas, mereka benar-benar sangat ribut dan kasar. Bahkan, segerombolan murid itu menyenggol bahu Azizah sampai tasnya jatuh dan tumblr di saku tas itu menggelinding ke arah pintu.
"Astaga ... para brengsek kecil ini," keluh Azizah, ia mau tidak mau berjongkok untuk mengambil tasnya. Namun, saat ia berdiri dan hendak mengambil tumblr miliknya, tangan kekar itu terulur dengan begitu apik, ia menatap tangan dan tumblr itu cukup lama, ingin berterima kasih, tapi niatnya luntur begitu melihat sepasang manik mata hitam berkilau bak black jade tengah menatapnya lekat.
"Hati-hati!" ucap Ustadz Farhan dengan senyum terbaik yang dia miliki.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!