ROSELINE ELIZABETH SMITH/ ROBERTSON, 18 tahun. Genius dan jago bela diri. Gadis yang berkuliah di salah satu universitas ternama dengan beasiswa penuh. Rose atau gadis itu sangat suka dipanggil dengan sebutan Line yang artinya garis lurus.
Rose atau Line memakai baju kemeja besar dengan celana kulot lebar. Rambutnya pendek dan sangat pemberani. Sebenarnya ia anak dari seorang ceo ternama bernama Edrick Alexander Smith.
Namun semenjak sang ibu meninggal dunia dan ayahnya memutuskan menikahi sekretarisnya. Line keluar dari rumah besar di mana ia di besarkan.
“Jangan kau injakkan kakimu di kediaman ini jika kau masih keluar dari tempat ini Elizabeth!” teriak sang ayah.
“Sayang ... jangan seperti itu,” ujar Elena sang istri barunya.
“Aku tau ... ibuku meninggal karena kau berselingkuh dengan wanita murahan itu!” teriak Rose langsung menuding perempuan yang menenangkan ayahnya.
“Jangan menuduh sembarangan ... aku menikahinya karena aku mencintainya!” teriak Edric.
“Janjimu palsu pada ibuku! Kau bilang tak ada wanita yang lain dapat menggantikan Mama. Tapi kau!’ sentak Rose menunjuk ayahnya.
“Kau langsung menikah padahal ibuku belum lama meninggal!’ teriaknya lagi melanjutkan.
“Jaga bicaramu Rose ... aku wanita baik-baik!” tekan Elena tak suka.
“Cis ... mantan penari striptis menjadi wanita baik-baik?’ sindir Rose mencemooh Elena.
“Itu masa laluku!’ teriak Elena.
“Jaga bicaramu Rose!’ teriak Edric.
“Aku bersumpah atas nama ibuku. Kau akan menderita seumur hidupmu!” sumpah Rose pada ayahnya.
Rose pergi dengan tas besar, banyak maid menggeleng menyayangkan betapa keras kepalanya nona mudanya. Mereka juga sangat tidak nyaman setelah sang majikan perempuan berganti.
Gadis itu menanggalkan nama Smith di belakang namanya. Ia memakai nama Robertson, nama belakang ibunya. Rose pindah ke sebuah kota besar di mana ia bebas menuangkan semua karyanya.
Sejak saat ia mengetahui perselingkuhan ayahnya dengan sekretaris bodoh pria itu. Rose anti pati pada namanya pria, bukan karena sang ayah yang berselingkuh tetapi kekasihnya juga berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Rose waktu itu hendak pergi ke rumah sang pacar. Dengan segudang kesedihan ia mendatangi sebuah hunian sederhana.
“Sepatu Adelle?”
Rose melihat alas kaki bertumit tinggi milik sahabatnya tergeletak sembarangan. Tadinya ia tak berpikir macam-macam hingga ditemukan helai demi helai pakaian yang berserakan bahkan pakaian pelindung dada milik Adelle.
Rose mendekati kamar sang pacar dan mendengarkan suara-suara yang aneh. Gadis itu sedikit mengintip pada celah pintu yang terbuka.
Matanya membesar di mana ia melihat sang kekasih dan sahabatnya bergumul dan bersatu tubuh dengan begitu liar.
Tanpa basa-basi, Rose membuka lebar pintu itu dan mendapati gaya yang membuat Rose jijik. Dua manusia beda jenis kelamin itu spontan kaget dan melepaskan diri.
“Line ... aku bisa jelaskan ...,” Adelle berusaha membujuk sahabatnya.
“Ini semua salahnya sayang ... aku dijebak ... aku ...,” Deon berusaha membela diri.
“Hei ... kau juga menikmatinya!” sahut Adelle tak mau disalahkan.
“Diam kalian!’ desis Rose dengan wajah datar.
“Rose ... kau pasti percaya padaku kan? Aku sahabatmu ... aku ...”
Plak! Satu tamparan keras di daratkan pada pipi mulus Adelle. Deon tersenyum penuh kemenangan ia mendekati kekasihnya.
“Kau berbuat benar sayang ... sudah kubilang aku tak menyukai dia dari awal ... dia sangat ....”
Plak! Giliran Deon kena tamparan Rose hingga mukanya berpaling.
“Sayang?” ujarnya bingung sambil menggosok pipinya yang perih.
“Manusia sampah!” hina Rose pada dua manusia bugil itu.
“Aku tak sudi melihat wajah kalian!” lanjutnya lalu pergi dari rumah sederhana itu.
Rose keluar dari kota kecil yang membesarkannya, meninggalkan banyak kenangan manis di sana. Tetapi setelah kematian ibunya, ia merasa hidupnya tak semanis dulu.
“Mom ... aku pergi ... tapi aku pastikan kembali dan membuat semua orang membayar perbuatannya!’ ujarnya bertekad.
Rose adalah seorang yang paling mudah beradaptasi. Ibunya mengajari banyak hal pada gadis itu, walau dilimpahi gelimang harta. Sang ibu mengajarinya bagaimana hidup sederhana.
MARK PHILIP ORTEGA, 27 TAHUN. Sosok tampan dengan karisma luar biasa. Tubuhnya tegap dan berotot. Pembawaannya yang begitu dingin membuat banyak wanita membeku ketika menatapnya.
Ayahnya bernama Marcus Eduardo Ortega dan sang ibu bernama Maria Louissa Farnkfrut. Marcus adalah pebisnis kaya raya, ia pengendali dan menjadi momok seorang monopoli bisnis. Sang istri juga tak kalah jet set, lahir dari keluarga bangsawan, Maria Louissa sangat cerdas dalam melihat peluang yang ada.
Sayang, mereka membesarkan seorang putra yang dilimpahi semua fasilitas yang ada. Mark sangat arogan dan malas. Ia tak mau bersentuhan dengan apapun, ia hanya mengandalkan uang ayahnya untuk menyelesaikan semua masalah.
“Untuk apa bekerja keras jika punya uang. Bayar orang yang berkompeten tinggi dan kita tinggal menunggu hasilnya,” ujarnya beralasan.
Mark datang ke perusahaan ayahnya hanya sebagai hiasan belaka, banyak penjilat di depannya namun pria itu tentu tak mau tau dan tak peduli.
Soal wanita, jangan tanya bagaimana ia mendapatakan mereka. Mark hanya tinggal menjentikkan jari maka berpuluh-puluh wanita seksi datang menyerahkan diri.
Pria itu sangat mahir memanjakan wanita dan membuat kaum hawa melayang akibat cumbuannya. Walau tak pernah sampai pada penetrasi. Tapi Mark mampu membuat wanita bertekuk lutut di bawah kukungannya.
“Mark ... apa ini?” tanya sang ayah ketika melihat laporan perusahaan yang kacau.
“Entah lah!” sahut pria itu tak acuh.
“Astaga nak ... apa kau pikir uang itu bisa ditanam dan berbuah?” desis Marcus tak habis pikir.
“Jangan salahkan aku ... itu salah manager yang korup. Ia tak berpikir dua kali untuk membuatnya kaya dua kali lipat!” elak Mark tentu tak mau disalahkan.
Marcus mengurut keningnya, ia terpaksa menutup perusahaan dan memenjarakan manager yang bermain nakal.
“Buatkan aku perusahaan lagi dad. Aku yang memilih orang-orangnya. Aku yakin dalam jangka setahun bisa membuatnya maju pesat!” ujar Mark begitu yakin.
“Ini sudah perusahaan yang ke dua puluh kau hancurkan hanya dalam dua tahun terakhir ini ...,” keluh sang ayah bergumam.
“Ini yang terakhir dad ... aku janji!’ Mark bersumpah.
Marcus tak menanggapi permintaan anak semata wayangnya itu. Mark mengambil benda pipih dari saku celananya.
“Hai mom ... where are you?’ tanyanya sejurus kemudian setelah telepon tersambung.
“Ah ... baiklah!” seru Marcus langsung.
“Thanks dad, you’re the best!’ ujarnya lalu mengecup pipi sang ayah dan pergi dari ruangan itu.
Marcus menggeleng, ia memang sangat mencintai istrinya. Maria terlalu memanjakan putranya, wanita itu akan marah besar jika Mark ada yang menyakiti sedikit saja.
“Sayang ... kau memanjakan putramu sangat terlalu. Aku tak tau kehidupan kedepannya kelak. Aku harap masih bisa menyokongnya hingga ia benar-benar berubah,” gumamnya lirih.
Sedang di tempat lain. Sosok wanita cantik tampak bersin.
"Nyonya apa anda tak apa-apa?" tanya sang asisten khawatir.
"Ck ... apa lagi yang dilakukan putraku itu Ryn?" tanya Maria mengeluh.
"Tuan muda baru saja membuat bangkrut satu perusahaan nyonya," jawab Ryn Anastasia, sang asisten.
Maria menghela napas panjang. Ia sangat yakin jika putranya berhasil membujuk suaminya membuat perusahaan baru.
"Semoga kau cepat belajar nak!' harapnya bergumam.
Bersambung.
Hai ... ini novel baru othor .
Mohon dukungannya ya, makasih!
Next?
Mark mengendarai mobil mewahnya. Kendaraan itu berhenti di sebuah klub malam.
Pria itu memang sangat menyukai hingar bingar. Mark melepas kacamatanya. Iris birunya menembus pandangan siapapun yang menatapnya.
Ia akan sedikit menyunggingkan senyumnya hingga para wanita histeris dan mulai mengikutinya.
"Hai tampan ... apa aku bisa menemanimu?" tanya seseorang wanita menawarkan diri.
Walau penyuka wanita, Mark sangat pemilih. Dirinya tak mau jika bercumbu dengan penjaja cinta atau sejenisnya. Ia lebih suka jika gadis itu adalah wanita baik-baik.
"Kau tampan sekali!" puji wanita tadi hendak menyentuh lengannya.
Mark menepis tangan itu dengan mengibaskan tangannya sendiri. Ia menepis-nepis lengan jasnya seakan-akan membersihkannya dari debu.
"Ish ... menyebalkan sekali!" gerutu wanita bertubuh seksi itu ketika Mark melewatinya.
Sampai pada ruang penuh dengan asap. Beberapa pelayan membungkuk hormat pada pria itu.
Di tengah-tengah ruangan banyak alat-alat untuk berjudi. Seperti rolet, kartu dan slot.
Satu-satunya bisnis Mark yang berhasil. Di paling ujung dua penari tiang meliuk-liuk kan tubuhnya yang hanya berbalut kain tipis.
Banyak pria hidung belang menikmati pertunjukan itu. Tak sedikit wanita juga menontonnya.
"Tuan, selamat datang ...."
Mark mengangkat tangan dan menghentikan pria yang hendak berbicara padanya.
Mark terus berjalan menuju ruangannya. Di sana ia mengawasi semua melalui monitor kamera pengintai.
"Nona Broks ...."
"Biarkan dia bersenang-senang Paul!" potong Mark.
"Biar dia bersenang-senang, lalu kuras uangnya perlahan-lahan!' lanjutnya lirih dengan seringai sadis.
Angela Broks adalah kekasih yang kesekian Mark. Bisa dibilang wanita itu yang menganggap Mark kekasihnya. Tetapi bagi Mark Angela hanya komoditas pemuas nafsunya saja.
"Sayang!" teriak wanita itu tak lama kemudian.
Angela kalah telak. Setelah tiga hari memenangkan judi sampai dua digit. Kini ia menelan kekalahan melebihi kemenangannya.
Mark mengusir Paul, asistennya. Paul membungkuk hormat dan pergi kemudian menutup pintu.
"Ada Angela!?" tanya Mark pura-pura tak tahu.
"Aku kalah!" rengek Angela lalu duduk di pangkuan pria yang ia klaim sebagai kekasihnya.
"Puaskan aku sayang," pinta Mark.
Dengan cepat Angela melakukan apa yang diminta pria tampan itu.
Sementara di tempat lain, Line nampak menghela napas. Ia baru saja selesai bekerja paruh waktu.
"Thanks Matilda!" seru gadis itu ketika pulang dari toko kue milik seorang kebangsaan Afrika-Amerika.
"Iya sayang, hati-hati!" teriak wanita berkulit eksotik itu.
Matilda mengenakan penutup kepala yang dililitkan. Khas wanita Afrika. Ia tersenyum puas dengan kinerja sang gadis dalam mengolah kue buatannya.
Line atau Rose berjalan melewati lorong sepi. Tak ada yang berani menyentuhnya karena preman di sana segan padanya.
"Nona ... aku antar ya!' tawar Rudolph salah satu preman berkulit gelap.
"Thanks, tapi tak usah Rud!" tolak Line tegas.
"Ah ... baiklah!" ujar Rudolph kecewa.
"Ini, kau bagikan untuk yang lain juga ya!" ujar Line menyerahkan satu paper bag berisi banyak roti pada pria itu.
"Ah ... kau sangat paham sekali Nona!" kekeh Rudolph yang memang lapar.
"Apa kau juga ada?" tanyanya dan Line menunjukkan paper bag satunya lagi.
Gadis itu melambaikan tangan pada preman lain di sana. Salah satu tangan ketuanya masih digips, dan itu hasil ulah Line atau Rose.
Hanya butuh satu kali naik bus umum. Rose sudah turun dan sampai pada kediaman kecilnya.
Gadis itu masuk, seekor kucing melompat ketika ia masuk dan langsung dalam gendongan gadis itu.
"Hai Mark ... how are you? Are you hungry?" tanyanya pada sang kucing.
"Meong!"
Mark sang kucing oranye tentu tak akan lapar. Tempat nasinya bisa terisi secara otomatis begitu juga air minumnya.
Setelah bermain sebentar dengan Mark. Rose pun membersihkan diri.
Usai membersihkan diri, gadis itu melihat kertas selembar. Besok ia harus berpergian menuju tempat wisata bersama teman-teman kuliahnya.
Rose tetap punya banyak teman. Tapi gadis itu tak mau lagi memiliki sahabat, is sedikit trauma. Padahal banyak teman yang benar-benar tulus padanya.
"Aku harus panggil Sofia untuk mengurus Mark lagi besok seharian," gumamnya pelan.
Rose atau Line adalah gadis genius. Ia tak kepayahan mencari uang. Banyak karya yang bisa ia jual dan memenuhi pundi-pundi rekeningnya.
Walau sang ayah tak pernah memblokir kartu unlimited-nya. Tapi gadis itu tak pernah sekalipun menggesek kartu hitam itu.
"Meong!" Mark naik ke ranjang Line.
"Meong!" teriak anabul menggemaskan itu memerintahkan sang gadis untuk segera beristirahat.
"Baiklah Mark!" sahut Rose atau Line tersenyum.
Ia merebahkan diri sambil menarik selimut. Mark langsung masuk dan bergelung di sisi sang gadis.
Tak lama hewan lucu itu mengeluarkan dengkuran khas yang membuat nyaman siapa saja. Rose pun terlelap tak lama kemudian..
Pagi menjelang, Mark terbangun dengan telanjang dada. Ia menggeliat, seluruh tubuhnya sedikit kaku.
"Astaga perempuan itu benar-benar maniak!" gumamnya mengingat aksi liar Angela tadi malam.
Pria itu melepas celana piyamanya. Berjalan bugil ke kamar mandi dan membasuh seluruh tubuhnya.
Angela kembali tak berhasil membuat pria itu melakukan penetrasi. Mark menatap senjatanya yang besar.
"Kau hebat sekali!" pujinya dengan seringai menyebalkan.
Setelah mandi dan berpakaian. Pria itu menyambar dompet.
Prak! Sebuah proposal jatuh dari meja. Pria itu menoleh, tadinya Mark tak mau ambil pusing.
Namun ia melihat satu gambar yang terselip dan itu menarik perhatiannya.
"Apa ini?" tanyanya pada diri sendiri.
Foto menunjukkan keindahan alam yang luar biasa. Mark sedikit tertegun melihat pemandangan itu.
"Proposal apa yang menawarkan tempat seindah ini?" tanyanya lagi.
Mark membaca proposal untuk pertama kalinya. Mimiknya pun begitu serius menelusuri kata demi kata.
"Pembuatan villa penginapan?" Mark mulai tertarik.
"Aku coba ke sana dan melihatnya sendiri!" lanjutnya lalu menyambar kunci mobil.
Sementara di tempat lain, rombongan mahasiswa dan mahasiswi turun dari bus yang mereka tumpangi.
Line atau Rose turun dan membenahi kacamata tebalnya. Gadis itu langsung bisa menikmati alam.
"Aku dengar, di sini ada situs kuno yang terletak di tengah hutan," ujar salah satu gadis.
"Katanya jika kita bicara sembarangan di sana maka kita akan dapat sialnya!" lanjutnya berapi-api.
"Ah ... aku tak percaya!" sahut lainnya.
Rose tak peduli yang lain jika ia merasa nyaman. Bahkan peringatan dari petugas wisata gadis itu tak mendengar sama sekali.
Di tempat lain, Mark menghentikan mobil besarnya. Ia turun dan memakai kacamata hitamnya.
"Ah ... segar sekali!" ujarnya lalu merentangkan tangan dan menghirup rakus udara di sekitarnya.
Ia pun berjalan menyusuri jalan setapak. Pria itu menuju satu rumah besar di sana.
"Halo apa ada orang?"
Tak ada satu jawaban. Rumah tampak kosong. Mark memindai tempat itu dan memilih mengelilingi lokasi.
Rose berjalan mendaki jalanan yang sedikit naik. Gadis itu adalah pemegang sabuk hitam taekwondo.
Tak terasa ia berpisah dari rombongan. Gadis itu terus berjalan dengan menatap pemandangan hingga.
Bruk! Dua tubuh bertubrukan. Mark menatap manik hijau yang ada di bawah dagunya.
"Hai cantik!" sapanya menggoda.
Mark 9 bulan.
Bersambung.
Eh ...
next?
"Hai cantik!" sapa Mark menggoda.
Kerling mata membuat tatapan Rose menajam. Gadis itu memang sangat anti pada pria terlebih pria genit macam Mark.
"Siapa kau?" desisnya bertanya.
Rose memperbaiki kacamatanya sambil menjauhkan diri dari tubuh wangi pria itu.
Mark menatap gadis itu dengan kening berkerut. Banyak wanita berbagai cara menarik perhatiannya termasuk tak mengenalinya dan sok tak mau berdekatan dengannya.
"Aku Mark ... Mark Ortega!" ujarnya memperkenalkan diri dengan nada bangga di ujung kalimat.
"Oh ...," sahut Line tak peduli.
Gadis itu menatap sekeliling, ia memindai jalan. Otaknya yang genius tentu bisa melihat jalan yang tadi dilaluinya.
"Rupanya aku berpisah dengan rombongan," ujarnya pelan.
Line atau Rose berjalan meninggalkan Mark. Pria itu tentu bingung bukan main. Ia mengejar langkah sang gadis.
Mark berjalan bersisian dengan perempuan yang belum ia ketahui namanya itu.
"Kau kesini dengan siapa?" tanya Mark ramah.
Ia adalah sang penakluk wanita. Tak ada yang bisa menjauh dari pesonanya walau gadis kutu buku macam manapun. Pria itu menyangka jika sang gadis akan tertarik padanya setelah beberapa lama.
Line hanya diam, ia hanya menikmati pemandangan sekelilingnya. Sesekali ia menfoto hewan-hewan yang ada di sana.
"Hei ... aku bertanya padamu!" sentak Mark marah.
"Singkirkan tanganmu!" sentak Line balik.
Gadis itu menepis kuat tangan Mark yang mencengkeramnya. Mark terkejut dengan hal itu.
"Ck!" decak Line setengah marah.
"Jangan begitu manis ... kau makin menggemaskan jika seperti itu?" Mark malah makin tertantang.
Rose tak peduli, gadis itu terus melangkah. Perlahan ia mulai berjalan cepat. Mark masih terus mengganggunya.
Bahkan pria itu makin berani menggoda sang gadis.
"Sayang ... jangan lari ... kau akan tersesat!' kekeh Mark makin usil.
Line berlari, Mark mengejarnya. Pria itu benar-benar ingin menggoda sang gadis. Hingga tak terasa mereka sudah terlalu jauh berlari ke arah hutan.
"Jangan lari!" teriak Mark.
Tentu saja pria itu kesulitan mengejar Line. Ia salah pakai kostum jika ingin berolahraga sore. Tapi Line juga sudah terengah-engah.
"Sudah jangan berlari lagi ... hossh ... hossshh!" ujar Mark lalu melonggarkan dasinya.
Keduanya menenangkan diri. Mark memindai sekeliling, ia tak mengenali daerahnya.
"Apa ini sudah di tengah hutan?" tanya pria itu.
Line ikut memindai. Gadis itu kini benar-benar kehilangan jejak pulang. Semua area berubah dan ia tak mengenal sama sekali tempat itu.
"Kita sepertinya dari arah sana?" ujar Line menunjuk jalan.
Keduanya melangkahkan kaki, hingga entah siapa yang salah. Tiba-tiba kaki salah satu dari mereka merosot.
"Eh!" teriak Mark dan Line bersamaan. "Arrrgghhh!"
Bruukk! Keduanya jatuh bertindihan. Line menindih tubuh Mark. Pria itu asik memeluk sang gadis dan meraba punggung sang gadis.
"Berengsek!' maki Line gegas berdiri dari tubuh yang hangat itu.
'Sial!' umpatnya dalam hati.
"Aah!" pekik Mark kesakitan ketika berdiri.
"Kakiku terkilir!" ujarnya lalu memegangi kakinya.
Line berdecak kesal, mau tak mau ia memapah tubuh besar pria itu. Beruntung, Line sosok yang kuat.
"Kita ada di mana?" tanya Mark melihat sekitarnya.
Sedang di tempat lain. Marcus tampak panik, ia kehilangan kontak dengan sang putra.
"Kenapa kau tak mengikutinya Paul!" teriaknya pada ajudan sang putra.
"Tuan muda tak menelepon saya Tuan besar ...."
"Mestinya kau mengikutinya kemanapun bodoh!" maki Markus lagi.
Maria sudah berkali-kali pingsan. Wanita itu mendapat kabar jika sang putra tidak mendatangi ruang kerja sang ayah untuk penyerahan perusahaan baru.
"Putraku ... mana putraku!' pekiknya meraung.
"Sayang ... tenanglah!" pinta Marcus pada istrinya.
"Bagaimana bisa tenang. Putraku ada di luar ... aku tak tau apa yang terjadi padanya!" teriak Maria lagi emosi.
"Sayang ...."
"Pecat dia! Dia tak becus menjaga tuan mudanya!" teriak Maria lagi sambil menunjuk Paul.
Paul hanya menunduk, entah berapa kali Maria memecatnya. Tetapi Paul selalu kembali di sisi tuan mudanya.
Paul Walker, 26 tahun. Pria berpostur sedang dan berparas tampan. Ia satu-satunya karyawan Mark yang masih bertahan dan setia juga loyal.
"Tuan muda tengah bercinta dengan Nona Broks ... bagaiman saya mengikutinya?" desah Paul lemah.
"Sudah ... kau pergilah sana," suruh Marcus pada asisten putranya itu.
Paul membungkuk hormat. Maria kembali tak sadarkan diri. Para medis langsung menangani wanita itu.
Sementara di lokasi wisata. Para mahasiswa mencari keberadaan Rose yang menghilang.
"Line!" pekik Bella salah satu teman dekat gadis itu.
"Ah ... anak itu!" gerutu salah satu dosen.
"Hanya mentang-mentang garis lurus. Ia tak menganggap keberadaan semuanya di sini!" lanjutnya mendumal.
"Sebentar lagi malam, kita rasa harus melapor pada petugas penyelamat jika salah satu mahasiswi kita hilang!" ujar salah satu mahasiswa memberi saran.
Hari terus beranjak. Matahari mulai condong ke barat. Langit mulai kemerahan.
"Sepertinya kita harus melakukan itu sebelum hari benar-benar gelap!" ujar salah satu Dekan.
Akhirnya, mereka melapor pada pos penjaga. Beberapa pria dengan peralatan khusus mulai naik dan masuk ke dalam hutan.
Sedangkan Mark dan Line tampak menatap batuan dengan berbagai ukuran dan bentuk.
Batu-batu itu seperti sengaja disusun sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran.
"Kita ada di mana ini?" tanya Mark lagi.
Pria itu masih dipapah oleh gadis yang belum juga ia ketahui namanya.
"Kenapa aku seperti berada di sebuah pusat sekte rahasia?" lanjutnya bertanya.
"Kau duduklah di sini. Aku akan cari tau tempat apa ini!" ujar Line lalu mendudukkan Mark di sebuah batu yang seperti tempat duduk.
"Aaah!" keluh Mark kesakitan.
Rose menoleh, gadis itu melihat pria mengurut kakinya.
"Sini biar kulihat?" ujarnya lalu berjongkok di depan sang pria.
Mark menatap raut wajah mungil gadis di depannya. Rambutnya yang pirang hanya sepanjang di bawah telinga.
Line membuka sepatu Mark dan juga kaus kakinya. Pergelangan kaki pria itu sedikit biru.
"Aaah ... sakit!" teriak Mark ketika Line menekan bagian memar.
"Ih ... manja!" ledek Line sebal.
"Hei ... kau yang membuat kita ada di sini!" sengit Mark kesal.
"Eh ... kau menyalahkan aku?" sengit Line juga kesal.
"Aaauuu!" pekik Mark kesakitan ketika Line memijat kakinya yang terkilir.
"Diam lah manja!" sentak Line melirik pria itu tajam.
"Sakit!" rengek Mark cemberut.
"Tahan sedikit, ini hanya perlu memutar seperti ...."
"Aaaarrrggghhh!" pekik Mark kesakitan ketika Line memutar kakinya.
"Ini ... sekarang gerakkanlah!" perintah gadis itu sangat puas.
"Eh ... kok nggak sakit lagi?" tanya Mark bingung.
Line memutar mata malas. Gadis itu hendak berdiri sampai ia melihat satu garis yang menarik perhatiannya.
"Apa ini?" tanyanya lalu menyibak rumput yang menutupi garis itu.
Line berdiri di tengah-tengah altar. Jika dilihat dari atas. Gadis itu berdiri di pusat titik. Bangunan bebatuan semacam persembahan dengan lingkaran-lingkaran hingga terpusat pada Line.
"Apa situs kuno itu benar-benar ada?" tanyanya dalam hati.
Bersambung.
dukung karya othor ya makasih
Next?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!