NovelToon NovelToon

Hujan Di Bulan Juni

My Life

Namaku Aynara Atmariani. Aku menikah di usia yang masih terbilang cukup muda. Setelah lulus kuliah di salah satu universitas di Semarang, yah tepatnya di usia dua puluh satu tahun aku memutuskan untuk mengakhiri masa lajangku. Aku menikah dengan kakak angkatan di kuliah, umur kami selisih lima tahun. Prayoga Eka Putra adalah nama suamiku, aku biasa memanggilnya mas Yoga. Setelah menikah suamiku di terima bekerja di Jakarta di sebuah kantor pemerintahan pusat. Mau tidak mau kami harus pindah dari Semarang ke Jakarta. Sedih rasanya harus meninggalkan kota kelahiran dan orang - orang terdekat kami.

Awal hidup di Jakarta sangatlah susah. Adaptasi dan juga biaya hidup yang mahal membuat kami harus mengencangkan ikat pinggang. Kami sementara tinggal di sebuah kontrakan kecil yang dekat dengan tempat mas Yoga bekerja. Kesepian? Tentu saja. Tapi itu tidak berlangsung lama karena aku mengandung buah cinta kami. Seorang anak laki - laki yang membawa kebahagiaan dan tentu saja rejeki istimewa untuk kami.

"Nara."

"Ya mas." jawab Aynara sambil menggendong Kenzie.

"Letakkan Kenzie di kasur." perintahnya.

"Ada apa sih?"

"Aku ingin  memelukmu." Yoga menelentangkan kedua tangannya.

Aynara tersenyum melihat tingkah Yoga suaminya. Ia menuruti perintah tanpa membantah sepatah kata pun.

"Sudah." ucap Aynara.

Yoga langsung menghambur ke dalam pelukan istrinya. Ia memeluknya dengan erat. "Aku naik jabatan."

"Benarkah?" tanya Aynara seakan tidak percaya.

"Iya. Lihat ini." Yoga memperlihatkan selembar kertas berisi surat keputusan pengangkatan jabatan.

Setelah membaca, Aynara menjadi percaya dengan perkataan suaminya.

"Kita tidak akan tinggal di sini lagi. Kita akan pindah di rumah dinas yang jauh lebih luas dari ini." ucap Yoga dengan rona bahagia. "Ayo ikut aku,"

"Kemana sih mas?"

Yoga tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ia terus menarik tangan istrinya keluar. "Lihat itu."

"Motor?"

"Iya. Motor. Kantor memberiku fasilitas kendaraan roda dua. Kita sekarang bisa jalan - jalan bersama Kenzie tanpa harus berdesak - desakan di dalam bus."

Aynara memeluk suaminya. "Selamat ya mas." ucapnya bahagia.

"Aku beruntung memilikimu Nara. Kau lah pembawa keberuntungan dalam hidupku. Aku berjanji hidup kita akan membaik sedikit demi sedikit. Aku akan membahagiakanmu."

"Terima kasih mas." mata Aynara berkaca - kaca. Walaupun ia hanya seorang ibu rumah tangga, ia berusaha sebaik - baiknya mengelola keuangan dalam rumah tangganya sehingga dengan gaji yang terbilang masih kecil mereka bisa terus bertahan di tengah mahalnya hidup di ibukota.

Aynara tidak pernah menuntut apapun dari suaminya termasuk ketika suaminya tidak mengijinkannya bekerja. Begitu Aynara lulus kuliah ia langsung menikah dengan Yoga. Orang tuanya tidak mau mereka berpacaran terlalu lama karena Aynara anak perempuan satu - satunya di keluarganya, kakak laki - lakinya sudah meninggal ketika ia berumur sepuluh tahun karena sakit.

Aynara duduk di teras sambil menggendong Kenzie. Ditatapnya bayi laki - laki yang baru berumur tiga bulan itu dengan penuh kasih sayang. "Kau lihat sayang, kita akan pindah ke rumah yang lebih besar dan lingkungan yang lebih bersih. Terima kasih kau sudah hadir dan membawa kebahagiaan untuk kami." Aynara mencium kening bayinya.

Besok pagi mereka akan pindah ke rumah dinas yang diberikan kantor untuk Yoga Setelah menidurkan bayinya Aynara segera membantu suaminya berkemas. Memang barang yang mereka punya tidak terlalu banyak, mungkin hanya dengan menggunakan mobil pickup cukup untuk membawa semua barang mereka. Tidak masalah, Aynara sangat menikmati prosesnya.

☔☔☔☔

Yoga demi mewujudkan mimpinya untuk membahagiakan Aynara dan keluarga kecilnya bekerja membanting tulang. Kehidupan ekonomi mereka sedikit demi sedikit menjadi lebih baik.

"Nara, besok Mama mau melihat rumah baru kita."

"Menginap?"

"Iya. Perjalanan kan jauh."

"Mama sendirian mas?"

"Nanti di antar Dina. Kamu kan tahu adikku satu - satunya itu kepingin jalan - jalan di Jakarta. Nanti kamu ajaklah mereka sekali - kali."

"Siap." jawab Aynara. Setelah menidurkan Kenzie, Aynara mulai membereskan kamar yang semula digunakan untuk gudang. Ia juga membelikan kasur dan almari baru untuk mertuanya itu.

Sebenarnya hubungannya dengan Mama mertua kurang baik. Awalnya Mama tidak setuju dengan pernikahan mereka karena masih terlalu muda. Mama ingin Yoga konsentrasi ke kariernya terlebih dahulu. Tapi memang Yoga memaksa untuk mempercepat pernikahan ini karena desakan dari orang tua Aynara. Saat itu ayah sakit keras, ia ingin anak gadis satu - satunya menikah. Karena hubungan mereka sudah berjalan selama dua tahun maka ayah meminta Yoga untuk segera menikahinya.

"Kok melamun? Kenapa? Takut ketemu Mama?" Yoga memeluk istrinya dari belakang.

"Iya mas, aku takut Mama tidak suka dengan kamarnya."

"Jangan terlalu di pikirkan, Mama itu sudah luluh karena kehadiran Kenzie sebagai cucu pertamanya."

"Tapi, mas Yoga kan tahu kalau sebenarnya Mama masih ragu dan tidak setuju dengan pernikahan ini."

"Nara.. yang menjalani pernikahan ini kan kita berdua. Jadi baik buruknya rumah tangga kita itu adalah tanggung jawab kita sendiri bukan orang tua. Jadi jangan terlalu kau pikirkan pendapat orang lain." Yoga mencium istrinya.

"Terima kasih mas sudah selalu memberikan aku semangat."

"Tidak usah berterima kasih. Itu sudah kewajibanku." Yoga tiba - tiba menggendong istrinya.

"Heeii... Mas Yoga mau apa?"

"Mumpung Kenzie tidur." bisiknya.

Aynara tersenyum, memang suaminya itu orang yang paling bisa membuatnya tersenyum.

☔☔☔☔

Pagi ini Yoga sudah berangkat naik taksi untuk menjemput mama dan adiknya di bandara. Jadwal pesawatnya jam sepuluh pagi, jadi siang nanti mereka sudah sampai di Jakarta.

"Mama." peluk Yoga. Ia kemudian berpindah ke adiknya.

"Dina, sudah besar kamu." Yoga memeluk adik satu - satunya itu.

"Iya mas, aku sudah mau kuliah nih." ucap Dina sambil melepas pelukan Yoga.

"Kamu tambah ganteng saja." puji mama. "Cuman___."

"Cuman kenapa Ma?"

"Kenapa sekarang kamu punya kantong mata?"

"Aku banyak lembur dikantor, Ma."

"Huh kamu ini. Memang istrimu kemana? Minimal suruh dia bekerja. Kerja sambilan apa gitu atau bisa juga jualan. Bisa membantu perekonomian kalian." ucap Mama sedikit emosi. Yoga menghela napas mendengar perkataan Mama.

"Kan Mama sudah bilang jangan nikah dulu. Kalian itu masih terlalu muda. Nah akhirnya begini kan. Hidup kalian pas - pasan." lanjutnya.

"Ma, Sudah Ma." Yoga berusaha membuat Mamanya tenang. "Jangan bahas masalah itu di sini. Kita pulang saja yuk, Nara sudah masak banyak khusus untuk Mama."

"Mama mau makan di luar saja."

"Kenapa?" Yoga keheranan melihat raut muka Mama yang masih terlihat cemberut. Mungkin saja capek.

"Mama itu nggak boleh makan asin oleh dokter."

"Terus?"

Mama melirik ke arah Dina.

"Mbak Nara itu kalau masak suka asin, bisa - bisa darah tinggi Mama kambuh." sahut Dina.

"Mama punya darah tinggi?" tanya Yoga keheranan.

"Iya, sejak mas Yoga menikah dengan mbak Nara darah tinggi mama kambuh terus."

"Mama jangan terlalu banyak pikiran."

"Orang tua mana yang nggak akan sedih melihat anaknya hidup pas - pasan kayak gini. Istri kamu itu benalu."

"Ma, jangan berkata seperti itu. Aku sangat mencintai Nara. Kehidupan kami sedikit demi sedikit menjadi lebih baik. Aku yakin Nara adalah sumber kebahagianku."

"Heh.. Lihat saja nanti. Aku yakin pikiranmu akan berubah setelah melihat sifat aslinya."

Yoga hanya menghela napas. Ia pusing memikirkan bagaimana merubah pikiran Mama agar menjadi baik dengan istrinya. "Ya sudah kita makan di luar ya." ucap Yoga. "Mama mau makan apa?"

"Sudah lama Mama tidak makan steak."

"Baiklah. Kita kesana."

Mereka bertiga berangkat menuju restoran khusus menyajikan steak. Yoga hanya ingin membuat Mamanya tenang dan bahagia. Oleh sebab itu apapun permintaan Mama nya pasti akan ia penuhi.

☔️☔️☔️☔️

"Kenapa sudah malam begini mereka belum sampai ya? Apa pesawatnya delay? Mas Yoga juga tidak mengangkat teleponku." gumam Aynara. Ia mondar mandir di ruang tamu.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Aynara melihat dari balik tirai dan benar saja jika itu taksi yang membawa suami dan mertuanya. Ia segera membuka pintu dan menyambut kedatangan mereka.

"Selamat datang di rumah kami, Ma." sambut Aynara. Ia mengulurkan tangannya tapi Mama hanya diam dan masuk ke dalam.

Yoga yang melihat istrinya kecewa berusaha menenangkannya. "Mama capek. Jangan sedih."

"Iya mas." Aynara berusaha tetap tersenyum. Ia menyusul mertuanya masuk sambil membawa koper. "Ma, aku dan mas Yoga sudah menyiapkan kamar untuk Mama istirahat."

"Makasih." jawab Mama.

"Kopernya aku taruh di kamar ya Ma?" tanya Aynara.

Mama mertuanya hanya menjawab dengan anggukan.

"Dina, kamu bantu mbak mu menaruh koper di kamar." perintah Yoga. Tanpa banyak membantah Dina menuruti permintaan kakaknya.

Setelah menaruh koper di kamar, Aynara kembali lagi dengan segelas teh hangat untuk mertuanya. "Di minum Ma. Mumpung masih hangat."

"Tidak usah, air putih saja." jawab Mama tanpa ekspresi.

"Oh, sebentar aku ambilkan di belakang." Aynara dengan cepat ke belakang mengambilkan segelas air putih. "Ini Ma air putihnya."

Mama mengambil gelas dan akan meminumnya. "Kenapa dingin sih?! Kamu mau aku sakit flu."

"Maaf Ma. Aku ganti airnya."

"Sudah tidak usah! Seharusnya kamu itu tahu seleraku. Karena aku ini Mamanya Yoga."

"Maaf Ma."

"Ma, sudahlah. Masalah air jangan di besar - besarkan." sahut Yoga.

"Tidak memperbesar tapi aku memberi pelajaran agar besok tidak salah lagi." jawab Mama. "Kalau kamu memanjakan istrimu terus ya gini ini jadinya. Tidak becus bekerja."

Aynara menarik napas panjang. Sabar Nara sabar ucapnya dalam hati. Ia memberi semangat untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak apa - apa mas. Justru aku yang minta maaf karena kurang maksimal dalam melayani Mama di sini."

"Bagus kalau kamu tahu diri."

"Ma." Yoga bernada agak tinggi. Dengan segera Aynara memegang bahu suaminya. Ia melarang Yoga untuk membantah Mamanya sendiri.

"Mama mau makan? Aku tadi sudah masak ayam goreng dan sayur sop kesukaan Mama."

"Aku sudah makan tadi. Suamimu ini sungguh tahu kesukaan ku."

"Tadi kami sudah makan di luar." ucap Yoga.

"Aku tadi makan steak. Nah sekarang kamu tahu kan kalau aku suka makan steak."

"Iya Ma." ada raut kecewa di wajah Aynara. Ia berusaha melakukan yang terbaik agar mertuanya senang. Tapi justru yang ada adalah ia tidak di hargai sama sekali. Tapi mau bagaimana lagi ia adalah orang tua suaminya. Mau tidak mau harus ia hormati seperti orang tuanya.

"Sudahlah, aku capek. Mau istirahat." Mama beranjak dari duduknya dan pergi menuju ke kamar.

Yoga langsung memeluk istrinya.

"Kenapa kamu tadi tidak bilang kalau sudah makan diluar. Aku kan nggak masak sebanyak ini."

"Maaf, Nara. Tadi aku sibuk menuruti permintaan Mama."

Aynara melihat meja makan yang penuh masakan dengan tatapan kosong. Sepertinya ia harus ekstra lagi untuk bisa mengambil hati Mama mertuanya.

☔️☔️☔️☔️

Mama Mertua

Yoga memeluk istrinya dari belakang. "Perkataan Mama jangan diambil hati." bisiknya di telinga Aynara.

"Nggak apa - apa mas." jawab Aynara. "Aku beresin meja makan dulu, ya." ia berusaha mencari kesibukan agar rasa kecewanya tidak terlihat oleh suaminya. Agar ia cepat melupakan rasa sakit hatinya. Tapi Yoga tahu istrinya itu memendam semuanya.

"Mas, di panggil Mama tuh." Dina datang menemui kakaknya.

"Ada apa?"

"Mana aku tahu." jawab Dina. Ia duduk di meja makan sambil mengambil makanan di meja.

"Aku menemui Mama dulu." pamit Yoga ke istrinya. Aynara hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman.

Sepeninggal Yoga, Dina memandang tajam ke arah kakak iparnya.

"Mbak Nara."

"Ya."

"Kok mbak betah sih dengar cacian Mama? Kalau aku jadi mbak, sudah pasti aku minta cerai."

Aynara menghela napas. Ini ibu anak kok sama saja pikirnya. "Din, tidak semua masalah dalam rumah tangga di selesaikan dengan perceraian. Dan aku yakin suatu saat Mama akan luluh padaku dan menerima aku sebagai menantunya."

"Sulit mbak."

"Maksudmu?"

"Sebenarnya sejak awal mas Yoga dan mbak Nara pacaran, Mama itu yang menolak paling keras. Tapi karena mas Yoga mencintai mbak Nara jadi Mama terpaksa mengalah."

"Tapi sikap Mama padaku selama kami menjalin hubungan selalu baik."

"Aku ralat, bukan baik tapi biasa dan kesannya lebih ke tidak peduli. Ya karena status kalian masih pacaran. Orang pacaran kan bisa putus. Eh tidak tahunya malah lanjut ke pernikahan."

Aynara sedikit kaget mendengar perkataan Dina adik iparnya. Tapi ia yakin suatu saat akan bisa menaklukkan hati mertuanya.

"Sekeras apapun mbak Nara mencoba, aku yakin Mama tidak akan luluh."

"Aku yakin aku bisa Din. Apalagi kami sudah ada Kenzie."

"Dengan Kenzie iya, tapi tidak dengan mbak Nara." Dina beranjak dan pergi meninggalkan Aynara dalam kekalutan.

Ya tuhan aku mohon kuatkan dan teguhkan hatiku untuk menghadapi semua ini. Aynara segera pergi ke dapur, setelah membereskan semuanya ia pergi ke kamar dan tidur di samping Kenzie. Tidak membutuhkan waktu lama ia tertidur karena kelelahan hatinya.

☔️☔️☔️☔️

Aynara terbangun karena mendengar Kenzie menangis. "Aduh, jam berapa ini?" ia tampak terkejut melihat jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Ia mencari bayinya dan tidak ia temukan di kamar, dengan cepat ia segera keluar. Ia melihat suaminya sedang menenangkan Kenzie.

"Kenapa mas?"

"Mungkin haus."

"Kenapa tidak membangunkan aku?"

"Aku lihat kamu kecapekan, aku tidak tega membangunkanmu."

Aynara mengambil Kenzie dari gendongan Yoga. Ia segera menyusui bayi itu. "Maaf mas, aku bangunnya telat."

"Tidak apa - apa. Aku masak nasi goreng dulu." Yoga bergegas menuju ke dapur.

Tak lama kemudian Mama dan Dina keluar dari kamar menuju meja makan.

"Yah, nggak ada makanan Ma. Aku lapar." keluh Dina kecewa.

Dengan spontan Mama menoleh ke arah Aynara yang sedang menyusui.

"Baru bangun ya?" tanya Mama yang melihat penampilan Aynara yang awut - awutan. Muka bantal dan rambut yang tidak tersisir rapi.

"Maaf Ma, semalam aku___."

"Alasan!" cibir Mama. "Bilang saja kamu malas."

"Nara tidak malas Ma. Semalam Kenzie rewel jadi pagi tadi dia bisa baru tidur." sahut Yoga dari dapur sambil membawa nasi goreng.

"Sudah resiko jadi ibu memang seperti itu." Mama duduk di meja makan. "Nah akibat istrimu yang malas, kamu juga kan yang akhirnya masak. Dulu waktu Papamu masih hidup aku tidak membiarkannya masuk dapur selelah apapun itu."

"Aku ikhlas Ma. Ini inisiatifku sendiri. Aynara sudah capek mengurus Mama, Kenzie, masak, mencuci. Sudah lah jangan memperpanjang masalah ini. Lebih baik kita sarapan."

Setelah Kenzie tertidur Aynara segera melayani mertua dan suaminya yang berangkat kerja.

"Titip Mama ya." pesan Yoga. "Tidak usah kau masukkan ke dalam hati setiap perkataan Mama." peluk Yoga. Ia mencium lembut kening istrinya.

"Iya mas." jawab Aynara. Duh mana bisa aku tidak mendengarkan ucapan Mama, pasti selalu memojokkanku pikir Aynara. Tapi Bismillah aku bisa.

Setelah mengantar suaminya pergi bekerja sampai depan pintu, Aynara kembali masuk ke dalam. Ia melihat Mama dan Dina sedang menyantap nasi goreng buatan Yoga suaminya.

"Ma, untuk makan siang Mama mau di masakin apa?"

"Daging."

Aynara sempat terkejut dengan permintaan Mama. Daging kan mahal, ia saja dan suaminya jarang makan itu. Tapi karena pesan dari suaminya untuk membahagiakan Mama sebaiknya ia turuti saja keinginan Mama. "Baik, nanti mau di masak apa?"

"Rendang saja mbak." sahut Dina.

Aynara segera masuk ke kamar, ia bersiap mau pergi ke pasar dekat rumah dinasnya. Bisa di tempuh dengan jalan kaki.

"Din, aku ke pasar dulu. Titip Kenzie ya. Nanti kalau dia bangun susunya ada di freezer. Tolong nanti kami panasi."

"Aduh ribet amat mbak. Kenapa nggak di bawa ke pasar sih?"

"Di pasar kotor dan juga panas. Lagian Kenzie kan juga baru tidur. Aku akan secepatnya pulang. Tolong yah."

"Iya.. Iya." jawab Dina sambil mainan HP.

Aynara segera pergi ke pasar membeli daging dan sayuran. Tapi entah kenapa perasaannya nggak enak. Ia segera mempercepat langkahnya.

"Oh, baru pulang kamu. Dasar ibu tidak bertanggung jawab." bentak Mama di depan pagar. Ia sedang menggendong Kenzie yang sedang menangis.

"Maaf Ma, aku tadi sudah menitipkan Kenzie sama Dina."

"Jangan bohong! Dina itu sedang keluar."

"Maaf Ma."

"Kamu itu selalu minta maaf. Makanya kalau mau apa - apa itu di pikir dulu."

Aynara segera mengambil alih Kenzie ke dalam gendongannya. Ia masuk ke dalam dan menyusui anaknya.

"Sudah jam segini lagi. Biasanya aku kalau di rumah sudah mulai makan siang. Kalau begini terus aku bisa sakit maag."

Tanpa banyak bicara Aynara memasak sambil menggendong Kenzie. Ia merebus daging dan membuat sayur sop.

"Ma, makanannya sudah siap."

"Huh, lama." gerutu Mama.

Aynara meletakkan Kenzie di tempat tidur tak lama kemudian Dina masuk dan langsung ikut makan siang tanpa memberikan penjelasan apa - apa.

"Dina, kau tadi pergi kemana?" tanya Aynara.

"Aku cari universitas buat aku kuliah nanti."

"Kenapa kamu tidak bilang? Kalau tahu kamu akan pergi tidak mungkin aku menitipkan Kenzie padamu."

"Salah sendiri perginya lama." gumam Dina.

"Nah, yang salah berarti kamu kan? Masih saja berusaha menyalahkan orang lain." sahut Mama.

"Tapi aku perginya cuma tiga puluh menit ma. Itu juga karena di pasar antri." Aynara berusaha membela diri.

"Pintar alasan kamu. Kalau Yoga tahu kamu menyudutkan kami seperti ini pasti dia akan marah padamu. Ingat dia di luar sedang berjuang, hargailah perjuangan suamimu."

Aynara menarik napas panjang berulang kali dan berusaha menahan emosinya. Ia mengepalkan tangannya sebagai bentuk rasa jengkel yang dia tahan. Setelah di rasa tidak perlu berdebat panjang toh yang ada dia juga yang harus minta maaf, Aynara memilih pergi.

☔️☔️☔️☔️

Sore itu Yoga duduk santai di teras. Aynara datang mendekat sambil membawa secangkir kopi.

"Terima kasih sayang." Yoga menyeruput kopi dan kembali menghisap rokok.

"Kamu sekarang merokok mas?" tanya Aynara keheranan.

"Biar nggak ngantuk. Pekerjaanku di kantor banyak."

"Jangan terlalu banyak merokok. Nggak baik buat kesehatan."

"Iya.. Iya.. Nanti kalau aku sudah berhasil naik jabatan lagi dan pekerjaanku tidak sebanyak ini, aku akan berhenti merokok."

Aynara tersenyum melihat suaminya yang dari wajahnya tampak lelah. "Mas."

"Hmmm.."

"Aku mau bicara."

"Soal apa?"

"Soal uang belanja."

"Memangnya kenapa dengan uang belanja? Kurang?"

"Iya."

"Kok bisa?" tanya Yoga. Ia memandang ke arah istrinya. "Tumben kamu boros. Biasanya tidak kurang kan?"

"Iya, biasanya tidak. Itu karena____."

"Karena apa? Terus terang Nara, jangan menggantung begitu."

"Selama Mama tinggal di sini, beliau selalu minta di masakkan daging."

"Daging?"

"Iya mas. Sekarang harga daging di pasar juga baru mahal - mahalnya." Aynara tertunduk sambil beberapa kali memainkan kuku nya. Itu adalah ciri khas dia kalau sedang gugup.

"Hei! Dasar menantu kurang ajar!" teriak Mama tiba - tiba dari dalam. "Kau menuduhku menghabiskan uang bulananmu. Dasar kau ini ya. Ternyata pintar main fitnah."

"Sudah Ma.. Sudah! Jangan ribut di depan malu kalau tetangga dengar."

"Biar saja mereka tahu kelakuan bejat istri kamu. Ia sama sekali tidak menghormati aku."

"Bbukan itu maksudku Ma." ucap Aynara yang matanya berkaca - kaca.

"Heleh, jangan bersilat lidah kamu!" umpat Mama. "Kamu itu sudah beruntung di peristri oleh anakku. Dulu banyak sekali wanita yang mendekatinya. Sungguh di sayangkan dia memilih istri yang membawa sial seperti kamu!"

"Ma.. Jangan berkata seperti itu. Nara ini menantu Mama lo."

"Aku tidak sudi punya menantu seperti dia!"

Yoga segera menarik Mama masuk ke dalam. Ia tidak mau tetangganya dengar dan itu menjadi konsumsi publik.

Aynara mengikuti mereka dari belakang.

"Lepaskan! Kau menyakiti Mama!"

"Maaf Ma." Yoga memeluk Mama. "Aku mohon jangan marah Ma." Yoga berusaha menenangkan Mama karena ia takut darah tinggi nya akan kambuh.

"Besok Mama mau pulang. Ternyata selama satu bulan tinggal di sini sudah di anggap merugikan oleh istrimu."

"Nara ayo minta maaf ke Mama." perintah Yoga. "Cepat."

Aynara yang sebenarnya enggan untuk meminta maaf karena ia sama sekali tidak bersalah dengan terpaksa mengikuti perintah suaminya.

"Tunggu apalagi. Ayo cepat." desak Yoga.

Aynara menarik napas panjang. "Maafkan aku Ma."

"Ma, Nara sudah meminta maaf. Aku mohon jangan pulang. Tinggallah di sini sampai Mama bosan."

Mama terdiam cukup lama dan akhirnya. "Ya sudah Mama maafkan."

"Terima kasih, Ma." ucap Yoga sambil memeluk Mamanya. "Dina tolong bawa Mama ke kamar."

Yoga segera menggandeng tangan istri masuk ke dalam kamar.

"Maafkan Mama, kamu nggak apa - apa kan?"

"Aku tidak baik - baik saja mas. Semua yang aku katakan tadi fakta. Uang belanja habis karena Mama suka makan daging, kalau malam juga kadang jalan - jalan bersama Dina. Makan di mall itu mahal mas."

"Iya.. Iya aku tahu. Di sini aku yang salah. Seharusnya aku tidak menanyakan kenapa uang cepat habis. Sudah kewajibanku mencukupi semua kebutuhanmu. Tapi aku mohon pengertianmu, aku ingin membahagiakan Mama. Aku janji akan bekerja lebih keras lagi untuk membahagiakanmu, mama dan juga Kenzie."

Aynara tahu, dalam agamanya anak laki - laki memiliki kewajiban merawat orang tuanya. Jadi ia tidak perlu mengeluhkan hal sepele seperti itu. "Iya, mas." jawab Aynara. "Apa menurutmu aku kerja sambilan saja?"

"Tidak usah. Fokuslah merawat dan mendidik kenzie." jawab Yoga.

Aynara memeluk erat tubuh suaminya. karena saat ini ia butuh sekali dukungan dari keluarganya. Hatinya serasa lelah.

☔️☔️☔️☔️

Naik Jabatan

Sudah tiga bulan ini Mama dan Dina tinggal di Jakarta. Aynara mengurangi interaksi dengan mertuanya itu. Ia sekarang di sibukkan dengan perkembangan Kenzie yang sudah mulai merangkak. Untuk mencukupi kebutuhan akhirnya Yoga mengijinkan Aynara kerja sambilan. Sementara ini ia hanya bisa membuat kue pisang di rumah yang biasa ia titipkan di warung - warung. Hasilnya bisa untuk menambah kebutuhan mereka walaupun sedikit.

Selama hidup bersama dengan Mama dan Dina, Aynara benar - benar harus pintar mengatur keuangan. Keinginan mertua dan adik iparnya itu sangat berlebihan. Dari makanan hingga pakaian, bahkan untuk memanjakan hidupnya sendiri pun ia tidak sempat. Beruntung Kenzie minum ASI sehingga ia  tidak perlu uang tambahan untuk beli susu.

"Yoga, Mama mau bicara."

"Soal apa, Ma?" Yoga meletakkan koran yang di bacanya dan memilih fokus dengan Mama.

"Besok Mama mau pulang."

"Kok tiba - tiba. Apa aku dan Aynara berbuat salah sama Mama."

"Tidak.. Tidak.. Mama hanya tidak ingin menambah beban kalian saja."

"Mama itu bukan beban buat kami. Justru dengan aku bisa merawat Mama itu suatu ladang pahala buatku dan Aynara."

Mama menarik napas panjang. "Hmmm.. Begini, Ga." tampak keraguan menyelimuti Mama. "Adikmu ini kan mau kuliah di Jakarta."

"Ya, terus."

"Kamu kan tahu jika uang pesangon papa mu hanya cukup untuk kebutuhan sehari - hari. Apalagi mama tidak bekerja. Oleh sebab itu Mama mau kamu membiayai kuliah adikmu."

Wajah Yoga pias, kuliah di Jakarta pasti membutuhkan biaya yang mahal. "Dina tidak mau kuliah di Semarang saja, Ma?"

"Kamu kan tahu sifat adikmu itu bagaimana. Kalau sudah punya kemauan harus di turuti."

"Aku pikir kalau dia mau kuliah di Semarang biayanya pasti tidak akan mahal. Dan aku sanggup untuk membiayainya."

"Ga, dia itu adikmu satu - satunya lo." bujuk Mama. "Oleh sebab itu Mama memilih untuk pulang agar biaya hidupmu tidak banyak di sini."

Yoga hanya terdiam mendengar permintaan Mama nya. Terus terang ia bingung, ia dan istrinya sudah bekerja mati - matian. Ia kasihan melihat istrinya yang tidak sempat merawat diri. "Coba nanti aku bicarakan dulu dengan Nara, Ma."

"Buat apa?"

"Dia kan istriku jadi harus tahu  uangku akan kemana saja."

"Dia harus setuju. Dan ingat salah sendiri kamu baru saja kerja sudah berani nikah. Ini kan hasilnya. Hidup kalian jadi susah begini. Coba kalau kamu dulu meniti karier terlebih dulu, tentu tidak akan begini ceritanya." gerutu Mama.

Aynara yang tidak sengaja mendengar percakapan mereka menitikkan air mata. Ya tuhan setelah perjuangannya mati - matian memenuhi semua keinginan Mama ternyata sama sekali tidak meluluhkan hatinya, jerih payahnya sama sekali tidak di hargai. Benar dengan apa yang di katakan Dina tempo hari. Mama memang dari awal tidak suka dengannya. Apapun yang di lakukannya tidak bisa meluluhkan hati mertuanya yang sekeras batu. Ia kemudian memilih pergi ke dapur dan membuat kue lagi.

Tak berapa lama Yoga menghampirinya. "Nara, aku mau bicara."

"Soal kuliah Dina?"

"Kamu tahu?"

"Iya, maaf mas aku tadi tidak sengaja mendengar percakapan mas Yoga bersama Mama saat aku mau keluar."

"Bagaimana menurutmu? Kalau kamu tidak setuju, aku akan bicara baik - baik ke Mama dan Dina agar kuliah saja di Semarang. Toh juga sama bagusnya."

"Tidak usah mas. Turuti saja keinginan Mama. Toh itu kewajiban kamu sebagai anak laki - laki. Ingat Papa sudah tidak ada. Hanya kamu yang mereka punya." Aynara menjawab dengan suara bergetar. Yoga tahu istrinya itu berusaha kuat menerima permintaan Mama yang ia rasa sangat memberatkan rumah tangganya. Yoga merupakan tipe pria yang tidak suka berhutang. Ia memilih hidup sederhana apa adanya dari pada hidup mewah tapi hasil berhutang.

"Terima kasih sayang, kau sudah mau mengerti aku, sudah mau berkorban demi keluargaku."

"Sama - sama, Mas. Bukankah kita satu keluarga. Keluargamu juga keluargaku begitu pula sebaliknya."

Yoga mengecup kening istrinya dengan lembut. Ia memeluknya dengan erat dan merasa sebagai pria paling beruntung sedunia memiliki istri yang penyabar seperti Nara.

Yoga segera menemui Mama dan menyatakan setuju membayar kuliah Dina selama di Jakarta.

☔☔☔☔

Tanpa terasa sudah satu tahun ini Dina adik Yoga tinggal bersama mereka. Walaupun Dina orang yang ketus, tapi tidak separah mama dalam menghina Aynara. Dina lebih banyak diam dan tidak suka kehidupan pribadinya di usik. Hanya saja ia sekarang sering keluar malam bersama temannya dan itu yang membuat Aynara khawatir. Ia merasa ikut bertanggung jawab atas Dina karena Mama sudah menyerahkan semua kepada Yoga dan dirinya.

Malam ini Yoga pulang malam karena ada lembur di kantor. Aynara beberapa kali mengecek Handphone nya dan mondar mandir di halaman depan.

"Sudah jam sebelas malam, kemana perginya Dina." gumamnya sendiri. Ia kembali berusaha menghubungi adik iparnya itu lewat Handphone.

Tak berapa lama sorot lampu sebuah mobil menyilaukan matanya. Ia melihat Dina keluar dengan beberapa temannya. Ada laki - laki dan ada perempuan.

Dina berjalan masuk ke halaman rumah.

"Dari mana saja Dina? Kenapa teleponku tidak diangkat? Aku khawatir."

"Halah jangan berlagak sok perhatian di depan teman - temanku deh mbak."

"Tadi mas Yoga itu tanya - tanya terus, Lagian ini sudah jam sebelas malam.  Mana ada kuliah sampai jam segini?"

"Ada, nyatanya aku pulang jam segini kan."

Aynara menarik napas panjang. Ia benar - benar menahan emosinya apalagi pria yang mengantar Dina pulang terus merangkul Dina tanpa memiliki rasa sungkan terhadapnya. "Masuk ke dalam, istirahatlah." Aynara berbicara dengan nada rendah.

"Temanku mau main sebentar."

"Tidak boleh!"

"Memang mbak siapa? Pemilik rumah ini? Ingat ya, ini rumah hasil jerih payah mas Yoga, kakakku!"

"Iya memang benar dan mas Yoga adalah suamiku. Jadi aku juga memiliki hak yang sama." ucap Aynara dengan nada penuh penekanan. "Masuk."

"Huh Dasar wanita penyihir! Tukang pelet!" gerutu Dina. Ia kemudian berpamitan pada teman prianya. "Sayang aku masuk dulu, sampai ketemu besok." mereka berciuman di depan Aynara tanpa malu.

"Hei cukup!" teriak Aynara yang sudah hilang kesabaran.

Pria itu tersenyum ke arahnya. "Pengen? Aku bersedia memberikan bibirku pada wanita secantik anda." ucapnya.

"Kurang ajar!" teriak Aynara.

Pria itu justru tersenyum smirk.

"Hei, jangan macam - macam ya." ancam Dina.

"Tidak sayang aku tidak akan berpaling darimu, goyanganmu malam ini membuatku tidak bisa lupa." pria itu memeluk Dina dan kemudian pergi bersama teman - teman yang lain.

Dina langsung masuk tanpa berbicara lagi dengan Aynara dan langsung menutup pintu.

Tepat jam dua belas Yoga pulang. Aynara belum menceritakan soal itu pada suaminya. Karena Yoga yang sangat capek ia memutuskan berdiskusi besok pagi saja.

☔☔☔☔

"Mas."

"Hmm."

"Masih sibuk?"

"Nggak. Aku hanya mengecek email yang masuk saja. Siapa tahu ada yang penting."

"Aku mau bicara soal Dina."

Yoga meletakkan Handphonenya, ia siap mendengarkan istrinya berbicara.

"Dina akhir - akhir ini sering pulang malam."

"Tugas kuliahnya banyak mungkin."

"Oke. Mungkin itu bisa jadi alasan. Tapi pulangnya selalu bersama teman prianya yang menurutku sikapnya kurang ajar sekali."

"Kurang ajar bagaimana?"

"Mereka berani berciuman bibir di depanku. Dan sikap pria itu seperti anak urakan tidak punya sopan santun. Tattonya ada dimana - mana, pakai anting juga. Siapa coba yang tidak khawatir melihat Dina berteman dengan orang seperti itu."

"Dina sudah kau nasehati?"

"Sudah berulang kali, tapi sepertinya ia tidak mau mengindahkan perkataanku." jawab Aynara. "Mama sudah menyerahkan Dina di bawah kepengawasan kita, jadi aku harap mas mau bicara baik - baik dengan Dina."

"Baiklah, nanti kalau dia pulang aku akan menemuinya."

Aynara melanjutkan membuat kue, akhir - akhir ini ia banyak mendapatkan pesanan. Kemarin ia sudah belajar membuat beberapa jenis kue yang baru tapi masih gagal. Sayup - sayup ia mendengar suaminya berbicara dengan seseorang dan sepertinya Dina sudah pulang. Ia mendengar mereka berdebat, Aynara memilih untuk tidak ikut campur.

Terdengar suara kursi di tendang.

"Dasar tukang ngadu! Penyihir! Tukang pelet!" teriak Dina sambil mendorong Aynara.

Aynara kaget tapi beruntung ia bisa menjaga keseimbangan sehingga ia tidak terjatuh.

"Dina!" teriak Yoga. "Apa yang kamu lakukan! Dia itu kakakmu."

"Kakakku cuma mas Yoga dan itu pun sekarang berbeda, semua gara - gara tukang pelet ini."

"Masuk kamar!" teriak Yoga.

"Mas sudah mas." Aynara berusaha menenangkan suaminya.

"Benar katamu. Dia semakin menjadi pembangkang."

Yoga masuk ke dalam kamar berusaha menenangkan diri.

☔️☔️☔️☔️

Pagi ini Aynara di sibukkan dengan pesanan kue tetangga depan yang akan ada acara arisan. Selama beberapa hari ini Dina bersikap dingin dan tidak banyak bicara. Ia juga tidak pulang malam. Mungkin lebih baik seperti itu.

Walaupun seperti itu sikapnya Aynara bersyukur bahwa nasehat dari Yoga berhasil membuat Dina merubah sikapnya.

Beberapa kue pesanan tetangga depan sudah jadi ia bergegas mengantarnya.

"Selamat siang bu Anggis."

"Eh, Nara. Ayo masuk."

Bu Anggis tetangga depan mereka berasal dari keluarga yang berada. Jadi ia juga sering membeli kue buatannya. Nara tersenyum dan mengikuti keinginan bu Anggis.

"Mau mengantar kue."

"Oh, ayo bawa sini." perintah bu Anggis. "Nah taruh di meja itu.

"Delapan puluh roti pisang kan?"

"Iya. Aku memang sengaja memilih kue buatanmu karena lembut dan pisangnya yang manis."

"Terima kasih bu pujiannya."

"Oya, aku membeli beberapa ruko. Rencananya akan kami buat kafe. Nanti kamu yang isi kue - kuenya ya?"

"Siap bu. Kapan bisa di mulai?"

"Hmmm masih agak lama sih. Kira - kira satu tahun. Ada beberapa ruko yang masih harus di renovasi."

"Tidak apa - apa, bu. Di saat nanti sudah siap bu Anggis bisa memberitahuku."

"Iya, itu pasti." ucap Aynara. "Maaf bu saya harus pulang, takut Kenzie terbangun."

"Ya sudah."

Aynara masuk lagi ke dapur kali ini membuat kue untuk di kirim warung - warung.

"Nara! Nara! Nara!" panggil Yoga.

"Aku di dapur mas." jawab Aynara.

Yoga langsung menuju ke dapur dan memeluk istrinya yang masih belepotan tepung.

"Ada apa sih mas, nanti bajunya kotor kena tepung."

"Biar.. Biar saja kotor."

"Kok kayaknya mas lagi bahagia."

"Iya.. Aku memang lagi bahagia." Yoga mencium kedua pipi Aynara dengan gemas.

"Jadi penasaran aku."

"Coba tebak apa?"

"Hmm.. Dapat bonus dari kantor?"

"Hampir."

"Apa ya? Bikin penasaran." gumam Aynara.

"Aku naik jabatan jadi kepala Sub Bagian Keuangan."

"Benarkah?" mata Aynara berbinar. "Jangan bohong ah."

"Lihat ini." Yoga menyerahkan surat yang dari tadi di bawanya.

Aynara membaca pelan - pelan dan kemudian memeluk suaminya. "Selamat ya mas."

"Akhirnya jabatan ini bisa aku peroleh dengan kerja kerasku." ucap Yoga. "Aku bersyukur akhirnya aku bisa membahagiakanmu. Kehidupan rumah tangga kita lambat laun akan meningkat."

"Iya, mas. Aku sangat bersyukur, kerja kerasmu membuahkan hasil."

"Oya ada satu lagi kejutan untukmu."

"Lihat ini." Yoga menyerahkan sebuah kunci.

"Kunci apa ini mas?"

"Rumah baru kita."

"Benarkah?"

"Iya kita akan pindah ke rumah yang lebih besar."

"Aku sangat bahagia kau memberiku sebuah rumah." Aynara mencium pipi suaminya. Ia sangat bahagia, akhirnya jernih payah mereka membuahkan hasil.

☔️☔️☔️☔️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!