NovelToon NovelToon

Love For Ambariana

1. Ambariana

..."Semesta mengetahui semua hal buruk apa yang kita rencanakan. Jika malaikat bersedih pada apa yang kita dendamkan, maka iblis mendukung tiada henti."...

...-Alter Ego...

Suara musik EDM yang di mainkan DJ perempuan berpenampilan sexy menggema di ruang utama sebuah tempat hiburan malam. Puluhan manusia dari berbagai kalangan berkumpul jadi satu di dance floor tempat hiburan tersebut, asik meliuk-liukan tubuh mengikuti ritme musik yang dimainkan DJ. Larut dalam kesenangan dunia, melepas segala beban rutinitas ataupun istirahat sejenak dari masalah kehidupan yang mereka alami. Atau ada pula yang hanya sekedar mencoba hal baru, iseng.

Tidak sedikit juga pengunjung memilih duduk santai di kursi yang tertata rapi di pinggiran ruangan tersebut. Dengan sesekali menyesap minuman yang salah satu ingredients-nya adalah alkohol, tentu saja sambil mendengarkan musik dan menikmati pemandangan indah di dance floor.

Di salah satu kursi depan bar, sesosok gadis duduk dengan kaki menyilang. Celana jeans dengan beberapa sobekan di lutut dan paha membuat kulit sawo matangnya sedikit terlihat. Untuk atasannya sendiri, gadis itu mengenakan tangtop putih yang dilapisi jaket kulit hitam. Sedangkan rambut hitam legamnya dibiarkan tergerai. Outfitnya itu membuat si gadis terlihat begitu tomboy, sangat berbeda dengan kebanyakan gadis di tempat hiburan yang menggunakan pakaian sexy ditambah make-up bold. Gadis tomboy yang memiliki nama Ana itu bahkan tidak memakai make-up sedikitpun!

Tidak terganggu dengan udara tempat hiburan yang tercemar asap rokok dan bau memuakkan lainnya, Ana begitu tenang di tempatnya. Sedangkan netranya menyapu ke seluruh ruangan, mengamati setiap pengunjung. Cukup lama gadis itu diam, sampai pada saat dimana Ana melihat cowok yang menarik perhatiannya sedang duduk seorang diri di pojok ruangan. Ana langsung memutar kursinya, memanggil bartender untuk memesan minuman.

"Cocktail please," pinta Ana.

Bartender mengangguk, "tunggu sebentar darling."

Cocktail atau koktail dalam bahasa Indonesia, adalah minuman aroma beralkohol. Dalam buku Bartender's Guide or How to Mix Drinks yang diterbitkan tahun 1862, beberapa bahan dasar koktail selain alkohol adalah gula, air, dan bitters.

Dengan lihai, bartender meracik koktail pesanan Ana. Menuang wiski dan vermouth manis dengan perbandingan satu banding satu, lalu di tambah bitters. Ketiga bahan itu di aduk dengan es hingga dingin dan disaring, kemudian dituang dalam lowball--gelas khusus koktail, tanpa es. Sebagai garnish, bartender menambahkan buah ceri kalengan yang masih bertangkai.

Bartender menaruh gelas berisi koktail itu di meja, tepat di depan Ana. "Manhattan manis, semanis gadis dihadapanku." Manhattan adalah jenis koktail yang dibuat bartender yang saat ini tengah tersenyum sambil menaikturunkan alisnya, menggoda Ana.

Ana hanya mengangguk untuk merespons godaan tidak bermutu si bartender. Gadis itu mengambil beberapa lembar uang di saku jaket dan menaruhnya di meja, kemudian mengambil koktail pesanannya. Tanpa mengucapakan apapun, Ana pergi, menghampiri cowok yang sukses menarik perhatiannya itu. Di tengah jalan, Ana berhenti sejenak dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah botol kaca kecil yang ditengahnya terdapat tulisan GHB.

GHB atau Gamma Hydroxybutyrate di kenal sebagai ekstasi cair. GHB ini adalah senyawa yang berfungsi sebagai penenang dan membantu pembentukan otot. Karena sifatnya yang memabukkan GHB sering disalahgunakan oleh remaja dan orang dewasa di bar, pesta, atau kelab. Dan jika sudah tercampur dengan alkohol, efeknya akan lebih terasa.

Ana membuka tutup botol kaca yang berisi cairan tidak berbau itu. Di tuangkannya sedikit cairan ke dalam gelas dan diaduk menggunakan ceri agar bercampur rata dengan koktail.

Ana menyimpan kembali cairan GHB yang masih tersisa. Untuk sesaat Ana menyeringai, sebelum akhirnya melanjutkan langkah. Begitu sudah dekat, gadis yang terus melihat targetnya asik bermain ponsel, melirik sejenak ke arah meja. Di depan cowok itu terdapat gelas yang di dalamnya masih terdapat cairan bening. Ana akhirnya berbalik dan mulai meliuk-liukan tubuhnya mengikuti musik EDM. Walau begitu, Ana tetap menjaga keseimbangan gelas dalam genggamannya. Sambil berjoget, gadis itu berjalan mundur. Terus mundur sampai tubuhnya membentur meja si cowok, yang membuat gelas terguncang dan akhirnya jatuh ke lantai. Gerakannya begitu lues, tidak terlihat bahwa itu semua hanya setting-an

Cowok yang sedang sibuk dengan ponselnya itu langsung terkejut, fokusnya pada ponsel kini beralih ke lantai dimana gelas minumannya sudah pecah berserakan. Lain dengan Ana yang berbalik dan pura-pura terkejut. Gadis itu menatap lantai sesaat, kemudian menatap si cowok. Matanya membulat dengan bibir melongo.

Kejadian itu membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh, penasaran dengan apa yang terjadi. Namun hanya sebentar.

"A-aku minta maaf," ucap Ana merasa bersalah. Sorot matanya terlihat sangat menyesal. Lain dengan hatinya yang tertawa senang. Apalagi saat melihat cowok itu langsung menatapnya dengan sorot mata kagum. Sudah dipastikan aksinya kali ini akan sangat mudah!

"It's okey, santai aja." Cowok itu tersenyum. Melupakan gelas minumannya yang sudah pecah berserakan.

Ana menunduk, mengamati gelas yang dibawanya. Sedetik kemudian kembali menatap cowok di depannya. "Ini! Ini punyaku, buat gantiin minuman kamu." Ana menyodorkan gelas minumannya. Saat melihat tanda-tanda penolakan, Ana kembali berbicara. "Ambil aja, belum aku minum kok. Nanti aku bisa pesen lagi."

Walaupun awalnya ragu, cowok itu akhirnya menerima koktail pemberian Ana. "Terimakasih."

"Nggak perlu terimakasih, itu memang sudah menjadi kewajibanku." Ana tersenyum lebar.

Setelahnya, Ana meminta agar cowok itu pindah tempat duduk, sedangkan dirinya memanggil pekerja untuk membersihkan pecahan gelas. Cowok itu menurut. Begitu duduk di kursi yang lain, Ana mendekat dan ikut duduk di samping si cowok.

"Sekali lagi aku minta maaf ya," ucap Ana

Si cowok menoleh, "santai aja. Lagi pula sudah kau ganti," terangnya, sambil mengangkat koktail pemberian Ana. Menggoyangnya sejenak sebelum akhirnya meminum setengah isinya. "Bay the way, aku Arav, namamu siapa?"

Ana kembali tersenyum, gadis itu bergeser agar duduknya semakin dekat dengan Arav. "Panggil saja Ana." Bisiknya tepat di telinga Arav, yang langsung membuat tubuh cowok itu meremang.

Ana tersenyum melihat reaksi Arav. "lemah!" serunya dalam hati.

Tidak ingin rencananya gagal, Ana mencari topik untuk perbincangan mereka, dan beruntungnya, Arav menikmati perbincangan itu. Malahan, cowok itu yang lebih menguasai perbincangan. Sesekali Ana tertawa karena lawakan dari Arav. Rupanya cowok itu tipe-tipe cowok humoris.

Saat tawa terakhir mereka, Ana kira akan terjadi keheningan. Namun dugaannya salah, ternyata Arav melayangkan pertanyaan singkat.

"Kau tau?"

Ana menggeleng, gadis itu terus diam. Menunggu Arav meneruskan kalimatnya.

"Ini kali pertama aku pergi ke club."

Ana pura-pura terkejut. "Wow..." gadis itu menepuk pundak Arav. "Yang benar saja?!"

"Aku tidak berbohong. Ini memang pertama kalinya aku pergi ke sini, itupun karena dare dari teman-temanku." Arav mengalihkan tatapannya ke dance floor. Menunjuk dua cowok yang sedang berjoget ria dengan dagunya. "Lihat yang menggunakan kaos polo dan yang sedang bertelanjang dada ... Mereka itu temanku."

Tatapan Ana mengikuti arahan Arav. Mengamati sejenak dua cowok dengan penampilan berantakan itu. Si cowok shirtless yang penuh dengan keringat, dan sinar kerlap-kerlip lampu membuatnya terlihat mengkilap. Sedangkan cowok satunya lagi, beberapa kali mendongak dengan mata terpejam karena di depannya ada gadis yang juga berjoget dengan tubuh saling menempel. Gerakan si gadis begitu sensual, kentara sekali kalau sedang menggoda cowok dengan kaos polo yang merupakan teman Arav itu.

Ana kembali menatap Arav. "Sebaiknya kau suruh temanmu untuk mencari kamar," ucapnya memberi saran.

Mengerti dengan maksud Ana, Arav merinding. "Gilaaaa! Mataku, pikiranku tercemar sudah." Cowok itu meletakan gelas koktail di meja, kemudian menunduk sambil mencengkam kepalanya. Efek GHB rupanya sudah mulai bereaksi. "Seharusnya aku sedang rebahan di kamar sambil menonton anime."

Ana tersenyum, "aku tidak menyangka akan bertemu cowok sepertimu di tempat seperti ini."

Arav masih diam, tubuhnya perlahan kehilangan daya. "Tempat ini membuatku aneh," lirihnya.

Karena kesadaran Arav yang kian menipis dan tubuhnya mulai lemas, Ana bergegas melancarkan rencana selanjutnya. Ana mengangkat kepala Arav, menangkup wajah itu agar melihatnya. "Sepertinya kau butuh cuci muka, ayo ku antar ke toilet!"

Begitu Arav mengangguk pelan, Ana langsung membantu Arav berdiri. Memapah cowok itu untuk pergi ke toilet. Ana tidak merasa kesulitan membawa tubuh yang lebih besar dari dirinya itu, tidak ada ringisan karena pundaknya sakit. Ana sudah terbiasa, jadi sudah kebal.

Sesampainya di toilet, Ana melepas tangannya yang merengkuh pinggang Arav. Pun dengan tangan Arav yang berada di bahunya, membuat cowok yang sudah benar-benar tak berdaya itu jatuh ke lantai toilet. Ringisan pelan terdengar dari mulut Arav.

Ana berjongkok di depan Arav, memandang cowok itu tanpa ekspresi apapun. Sama sekali tidak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan Arav.  "Maaf boy, pengalaman pertamamu di club menjadi buruk."

Setelah mengatakan itu, Ana langsung merogoh saku pakaian Arav. Sasaran utamanya adalah dompet. Begitu ketemu, Ana membuka dompet tersebut. Ada begitu banyak kartu yang tersemat di sana, namun hanya satu kartu yang begitu menarik perhatiannya.

Tangan lentik Ana menarik kartu berwarna biru yang tak lain adalah KTP, mengamati dengan serius foto berserta data diri Arav. Belum genap semenit, Ana kembali memasukkan KTP Arav dan beralih pada lembaran-lembaran uang berwarna merah di dompet itu. Dari banyaknya kartu dan uang yang ada di sana, Ana menyimpulkan kalau korbannya kali ini merupakan anak orang kaya. Tanpa babibu lagi, Ana langsung mengambil semua uang di dompet Arav dan menyimpannya di saku jaket.

Ana meletakan kembali dompet itu di tempat semula. Bibirnya tersenyum dengan netra tertuju pada wajah damai Arav. Gadis itu memperhatikan Arav sejenak sebelum beranjak dari tempatnya.

"Terimakasih Arav." Ana menepuk-nepuk pelan pipi Arav. "Kau baik sekali."

Setelah itu, Ana meninggalkan Arav sendirian di toilet. Membawa serta uang hasil curiannya malam ini. Dalam hati berharap semoga dirinya tidak bertemu dengan cowok itu lagi.

Dengan langkah santai, Ana melewati puluhan pengunjung dan mengabaikan beberapa cowok yang memandangnya penuh minat. Ana terlihat begitu sombong.

Ana keluar dari tempat hiburan itu sekitar pukul 12 lebih 30. Ana berjalan sendirian lewat gang sepi untuk sampai di jalan utama. Dan barulah gadis itu bisa memesan ojek online untuk kembali ke tempat tinggalnya. Tidak ada rasa takut sedikitpun. Sekali lagi Ana sudah terbiasa.

2. Gadis kecil

Alarm dari sebuah ponsel terus berdering. Membuat pemiliknya mengerang, kemudian terbangun karena merasa terganggu. Beberapa kali netranya mengerjap akibat sinar matahari yang masuk lewat celah korden yang tersingkap.

Gadis itu terlonjak kaget saat menyadari dirinya bangun kesiangan. Tangannya refleks meraih ponsel. Mematikan alarm yang di-setting bertahap dan berakhir pada pukul setengah tujuh.

"Bangun terlambat lagi! Astaga ...." serunya bercampur kesal.

Selesai mematikan alarm, gadis itu lagi-lagi terkejut saat melemparkan ponselnya ke ranjang, lebih tepatnya mendarat di atas jaket kulit yang terletak di ranjang. Dahinya mengerut, walaupun sudah tahu kejadian apa yang menimpa dirinya, tapi gadis itu tetap merasa penasaran.

Sedetik kemudian kepalanya menggeleng kuat. Saat ini prioritasnya bukan rasa penasaran, melainkan kewajibannya sebagai pelajar.

Selesai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan seragam sekolah, gadis itu mengambil tas dan memasukkan beberapa buku catatan serta buku paket sesuai jadwal hari ini. Kemudian merapikan tempat tidur. Mengambil jaket kulit dan menggantungnya di balik pintu kamar.

Gadis yang tak lain adalah Ambar itu berlari menuju sekolah, tidak ada waktu untuk mencari tumpangan. Lagi pula jarak dari kontrakannya menuju sekolah tidak begitu jauh. Ambar membungkuk begitu sampai di gerbang sekolah, mengantur napasnya yang memburu.  Walaupun sudah berusaha berlari sekencang mungkin, waktu tetap saja berjalan normal. Pintu gerbang sudah di tutup, dan satpam tidak terlihat di tempatnya.

Seperti sudah biasa akan hal ini, Ambar memilih bersandar di gerbang, menunggu satpam datang. Gadis itu mengambil sesuatu di dalam tas, sebuah kacamata dengan bingkai tebal lalu memakainya. Bukan karena matanya bermasalah, Ambar hanya berpikir hal itu perlu dilakukannya.

Beberapa menit bersandar, seorang cowok datang dengan motor sport. Berhenti tepat di depan Ambar. Cowok itu membuka helm, menatap Ambar dengan serius.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

Ambar sebenarnya enggan berbicara, namun tatapan cowok itu benar-benar membuatnya risih. Bukankah tidak sopan memperhatikan seseorang dengan tatapan begitu Intens? Tanpa berkedip dan seperti menilai?

"Kau, wajahmu tidak asing. Seperti pernah melihatnya." Cowok itu mengatakan sejujurnya.

"Jelas kau pernah melihatku. Kita sekolah di tempat yang sama," jelas Ambar.

Belum puas dengan jawaban Ambar, cowok itu kembali bertanya, "siapa namamu?"

"Ambar."

Cowok itu mengangguk paham. Terlalu fokus keduanya berinteraksi, suara satpam yang keras membuat mereka menoleh bersamaan.

"Kalian! cepat masuk. Bu Heni sudah menunggu di ruangannya," titah Satpam tersebut setelah membuka pintu gerbang. Dengan patuh, keduanya mengikuti instruksi.

Setelah memarkirkan motor, cowok itu menyusul Ambar menuju ruang BK, dimana Bu Heni tengah menanti dengan sabar. Di belakang keduanya, si satpam ternyata diam-diam mengawasi. Takut tidak sampai ke tempat tujuan. Mungkin keduanya mendadak lupa arah atau apapun itu yang penting dapat terhindar dari ruang BK.

"Ambar lagi?" tanya Bu Heni dengan raut wajah seolah-olah kaget. Pasalnya dalam seminggu ini sudah 2 kali gadis itu terlambat masuk sekolah.

"Maaf Bu." Ambar menunduk, terlihat begitu pasrah. "Semalam kepala saya kembali pusing dan paracetamol membuat tidur saya tiba-tiba pulas, sampai tidak mendengar alarm."

Bu Heni mengangguk paham. "Dan ini?" guru itu menatap wajah si cowok sebelum akhirnya membaca name tag. "Arav Sanjaya?"

"Ya, Bu." Cowok yang ternyata bernama Arav itu mengangguk. Cara dia berdiri begitu tenang dan santai.

Bu Heni bersedekap. "Kenapa terlambat?" Netranya tidak lepas dari sosok Arav.

"Tidur terlalu larut," jawab Arab jujur.

"Alasan klasik," sergah Bu Heni.

Arav mengangguk, itu memang alasan klasik. Tapi dirinya berkata apa adanya. "Tapi memang itu kenyataannya. Lagi pula ini kali pertama saya datang terlambat," jelas Arav membela diri.

Tidak ingin terpancing suasana panas yang ditimbulkan Arav. Bu Heni ber-oh ria. Diam-diam memikirkan hukuman apa yang pantas diterima keduanya.

Hening beberapa saat, ketiganya sama-sama terdiam. Hanya terdengar suara dari luar, yang timbul dari kegiatan belajar mengajar.

"Baik, setelah jam belajar berakhir jangan lupa datang ke kebun belakang sekolah. Saya tunggu kalian di sana." Bu Heni akhirnya memutuskan, keduanya mengangguk paham.

......................

Di Rooftop, Ambar bersandar di tepi pembatas sambil menyaksikan suasana sekolah pada saat jam istirahat. Gadis itu mengabaikan perut kosongnya. Bukannya tidak ingin makan, Ambar lupa membawa bekal. Gadis itu juga sedang tidak mood pergi ke kantin yang pastinya ramai.

Ambar tidak terlalu suka suasana ramai. Dirinya lebih baik menyelinap pergi ke Rooftop daripada harus merasa pusing ditengah kumpulan manusia dan menahan lapar.

Hembusan angin siang hari menerbangkan anak rambut Ambar, gadis itu memejamkan netranya. Menikmati angin yang menusuk-nusuk kulit membawa rasa segar dan sedikit merinding. Sedangkan pikirannya mulai berkelana dimasa lalu. Masa dimana dirinya masih berumur 7 tahun.

Ambar kecil tengah mengikuti gerak-gerik ayahnya dengan rasa penasaran yang tinggi. Gadis itu terus memperhatikan saat ayahnya mengambil semua foto yang terdapat dirinya, dan menyimpannya disebuah kotak. Hanya menyisakan foto-foto Ayah dan Ibunya saat masih berpacaran sampai saat menikah.

Ambar bertanya pada Ayah kenapa foto dirinya disimpan dalam kota. Ayah Ambar tersenyum, menatap Ambar sesaat sebelum menyimpan kotak itu di bawah kasur.

Selesai menyimpan kotak tersebut, sang ayah berbalik. Membawa Ambar duduk di pinggir ranjang, sedangkan beliau menekuk kaki di depan Ambar.

"Fotonya mau diganti, besok kita sama Ibu pergi ke studio foto yaa?"

Ambar kecil berbinar, kepalanya mengangguk dengan semangat. "Ambar pengen foto sama ayah sama Ibu di kebun binatang, seperti foto keluarga temen Ambar, Yah." gadis kecil itu berceloteh dengan riang. Netra cerahnya menatap ayah penuh permohonan.

Ayah Ambar mengangguk. "Besok kita berangkat ke kebun binatang setelah Ambar pulang sekolah."

Wajah ceria Ambar memudar, gadis itu berpikir dirinya akan libur satu hari untuk pergi ke kebun binatang. "Tapi lama ayaaaaah," rengek Ambar.

Sang ayah mengelus rambut Ambar dengan sayang. "Ambar kan sedang tes. Hari terakhir pasti pulangnya lebih awal."

"Tapi besok beneran kan Yah? Janji?" Ambar mengulurkan tangannya, mengacungkan jari kelingking di depan Ayah.

Ayah Ambar mengikuti kemauan Ambar, mengikat janjinya. Ambar kemudian memeluk Ayahnya dengan sayang. Entah mengapa beberapa hari ini mereka terlihat begitu akrab. Ayah dan Ibunya juga sering tidur memeluk Ambar.

Kegiatan Ayah dan anak itu terhenti saat Ibu Ambar datang dan menyuruh keduanya untuk makan malam sama.

Ambar turun dari ranjang, berlari kecil meraih tangan sang Ibu. Gadis kecil itu mendongak, menatap Ibunya. "Besok Ambar, Ayah, dan juga Ibu mau ke kebun binatang."

"Benarkah?" Ibu Ambar menatap anaknya dengan senyum hangat, menanggapi putrinya dengan antusias.

"Yapp! iya kan Ayah?" Ambar menoleh ke belakang, menunggu respon Ayahnya.

"Ya, besok kita akan foto bersama di kebun binatang."

"Wahh, kalau begitu besok Ibu akan menyiapkan bekal yang enak-enak untuk putri Ibu dan Ayah."

Ibu Ambar mengusap puncak kepala Ambar dengan sayang.

Mereka akhirnya pergi ke tempat makan dengan perasaan bahagia, terutama Ambar. Gadis kecil itu tidak sabar menunggu hari esok, membayangkan keseruan mereka di kebun binatang membuat Ambar tambah bersemangat.

"Kebun binatang, Ambar dataaaang!" seru Ambar dalam hati."

3. Kelam

Hari yang dinanti-nanti tiba, Ambar kecil melambaikan tangannya ke atas, menyapa Ayah yang tengah menyebrangi jalan. Ambar yang sedang berdiri di samping gerbang sekolah, berjalan beberapa langkah mendekat ke tepi jalan raya.

"Bagaimana hari terakhir mengerjakan tes?" tanya Ayah Ambar begitu sampai di depan putri kecilnya. Pria itu masih mengenakan setelan kantor saat menjemput Ambar.

"Mudah! Ambar yakin akan mendapat nilai bagus," ucap Ambar penuh percaya diri. Kedua tangannya memegang erat strap tas sekolah sedangkan tubuh bergerak ke kanan dan kiri bergantian.

Ayah Ambar menaikkan alis. "Masa?"

Ambar mengangguk, membenarkan ucapannya. "Yapp... Hari ini jadi kan Yah?"

"Let's go baby Ambar."

Keduanya kembali menyebrangi jalan, menuju mobil yang terparkir di depan mini market. Sepanjang jalan menuju rumah, Ambar bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Bercerita tentang rencana liburan teman-temannya, juga tugas membuat cerita bertema liburan.

Ayah Ambar merespons cerita putrinya antusias, dengan tidak melalaikan fokusnya untuk menyetir. Sekita 15 menit diperjalanan, mobil mereka sampai juga di halaman rumah. Dengan semangat, Ambar turun dari mobil. Berlari meninggalkan Ayahnya.

Ambar kecil berseru memanggil Ibunya, namun tidak ada respon apapun. Ambar berkeliling ke penjuru rumah, namun hasilnya tetap nihil. Ibunya tidak ada. Gadis kecil itu mulai panik memikirkan kenapa ibunya tidak ada di rumah? kemana perginya sang ibu?

"Ayahh!"

Akhirnya Ambar kembali ke depan, memanggil sang ayah untuk menanyakan keberadaan Ibu.

Sedangkan di luar, Ayah Ambar yang hendak membuka pintu mobil, seketika membeku saat netranya melihat ada mobil lain yang terparkir di belakang mobilnya. Jaraknya kurang lebih 40 meter.

Memang mobil itu sudah ada di sana sejak tadi, bahkan Ayah Ambar sempat melewati. Namun saat melihat yang ke-2 kalinya, beliau terkejut sebab mobil itu ternyata tidak asing baginya. Ayah Ambar sering melihatnya di parkiran kantor.

Tersadar dari keterdiamannya, Ayah Ambar bergerak turun dari mobil. Langkahnya tergesa, apalagi saat melihat putrinya hendak berjalan keluar.

Dengan perasaan yang tak menentu, Ayah Ambar menarik Ambar kecil menuju ruang tengah. Ekspresi wajahnya yang tak biasa tentu membuat Ambar kecil penasaran, setitik rasa takut muncul di hatinya. Seakan bertanya 'kenapa tatapan Ayah seperti itu? ada apa ini?'

Ayah Ambar merendah di depan putrinya. "Ayah punya tantangan untuk Ambar. Jika Ambar berhasil melewati tantangan ini, nanti sehabis ke kebun binatang Ayah akan membelikan Ambar boneka kelinci yang besar."

"Ayah janji?" melihat Ayahnya mengangguk, Ambar merasa senang. Namun hanya sesaat, gadis kecil itu tiba-tiba teringat ibunya. "Ayah, dimana ibu?"

"Ibu sedang pergi ke warung sebentar. Ayo, sekarang Ambar ikuti tantangan Ayah yaa..."

Ayah Ambar membuka nakas berukuran 70×50×70 yang di salah satu pintunya terdapat tulisan 'untuk di-loak-an.' Mengeluarkan kasur lipat usang beserta bantal dan guling. Beliau menaruh seperangkat alat tidur itu di atas nakas.

Fokusnya kini beralih menatap putrinya. "Ambar harus berdiam diri dalam nakas, tidak boleh mengeluarkan suara apapun sampai Ayah menyuruh Ambar keluar."

"Tapi, kenapa Ayah?

"Ayah ingin menguji kesabaran Ambar," ucapnya dengan senyum ringan.

"Tenang saja, Ayah tidak akan mengunci pintu nakas. Dan jangan takut gelap ... Lihat lubang-lubang kecil pada ukiran di pintu ini." Ayah Ambar menunjuk ukiran minimalis pada pintu nakas. "Udara dan cahaya akan masuk lewat sini."

Ambar mengangguk paham. "Baik Ayah." Gadis kecil itu akhirnya masuk ke dalam nakas, duduk dengan kaki melipat, mencari posisi nyaman untuk berdiam diri sesuai perintah Ayahnya.

"Ingat, tidak boleh bersuara dan keluar sebelum Ayah sendiri yang memanggil Ambar. Jika mendengar suara yang Ambar tidak suka, Ambar bisa menutup telinga rapat-rapat."

Tatapan mereka saling mengunci, seakan terhipnotis, Ambar mengangguk seperti robot. gadis itu diam tanpa ekspresi.

Melihat itu, Ayah Ambar tersenyum. Tangannya kemudian mengelus puncak kepala Ambar sesaat sebelum akhirnya menutup pintu tersebut.

Di dalam nakas, Ambar masih bungkam. Tatapan gadis kecil itu menelisik melewati lubang kecil-kecil pada ukiran pintu. Lurus memperhatikan kepergian Ayahnya, menuju depan.

Dalam keheningan itu, suara detik jam dinding dan detak jantung Ambar terpacu beriringan. Pikirannya kacau entah kemana arahnya.

......................

Di ruang tamu, saat Ayah Ambar hendak menutup pintu, sosok yang membuatnya resah berdiri tepat di depannya, bersama 2 orang berpenampilan seperti preman di belakangnya.

Tatapan Ayah Ambar dan ketiga orang itu saling beradu. Arogan dan merendahkan, itulah yang Ayah Ambar rasakan.

"Apa yang membuat Pak Haris meluangkan waktunya yang berharga untuk datang ke kediaman saya?" tanya Ayah Ambar basa-basi.

Sosok yang ternyata bernama Haris itu, tersenyum remeh. "Rumahmu cukup nyaman," ucap Haris tidak nyambung. Tanpa diminta, pria berusia 35 tahun itu melangkahkan kakinya ke dalam kediaman Ayah Ambar. Netranya menyapu seluruh ruang.

Ayah Ambar mundur perlahan, hatinya semakin gelisah. "Jika ingin membahas sesuatu sebaiknya jangan di sini, ayo kita bertemu di luar, Pak Haris."

"Saya tidak akan lama... Jan, cepat lakukan tugasmu." Haris menoleh ke belakang sejenak. menyuruh anak buahnya itu bergegas.

Pria berpenampilan preman yang bernama Ijan lantas mendekati Ayah Ambar. Dibantu seorang temannya, mereka mencengkram erat kedua lengan Ayah Ambar, mendorongnya pada dinding. Ijan menarik pisau pada saku jaket kemudian menghunuskan benda itu pada perut Ayah Ambar. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Sedangkan temannya menarik kepala Ayah Ambar untuk kemudian dibenturkan pada dinding.

Ayah Ambar tidak sempat memberontak, semua itu terjadi begitu cepat. Tidak ada teriakan menggema, hanya ada rintihan yang tertahan. Bahkan disaat-saat seperti ini, beliau tidak ingin putri tercintanya mendengar suara-suara mengerikan yang dia timbulkan. Tidak ingin membuat putri tercintanya ketakutan.

Semua tertahan sampai kesadarannya perlahan menghilang. Sedangkan Haris, pria itu hanya menatap Ayah Ambar tanpa ekspresi. menyaksikan seseorang meregang nyawa dengan tenang.

"Itu akibat jika tidak mengikuti permainanku, bersikap sok suci dan berusaha melengserkan jabatanku," desis Haris.

Pria itu ternyata menyimpan dendam pekerjaan pada Ayah Ambar. Merasa posisinya sebagai manager terancam sebab Ayah Ambar tidak menerima fasilitas tambahan darinya.

Tidak semua perusahan seperti itu, namun ada beberapa oknum yang menyediakan fasilitas tambahan berupa party mewah yang akan dilakukan setiap beberapa kali dalam sebulan, terjadwal. Tidak hanya itu, para oknum ini juga memberi mereka wanita bayaran secara cuma-cuma.

Haris memandang sinis pada Ayah Ambar yang sudah tidak bernyawa lagi. Pria itu kemudian menyuruh anak buahnya membawa Ayah Ambar ke ruang tengah, menidurkannya di sofa.

Belum merasa puas, Ibu Ambar pun ikut menjadi korban. Kejadiannya hanya beberapa menit setelah mereka memindahkan Ayah Ambar.

Ibu Ambar yang sedang menenteng barang belanja, tanpa rasa curiga menarik pintu, membukanya lebar-lebar saat ingin memasuki rumah. Sedetik kemudian anak buah Haris membekap mulutnya dan menarik Ibu Ambar ke ruang tengah.

Pemberontakan Ibu Ambar sia-sia, tenaganya tidak lebih besar dari kedua orang yang menjagalnya. Wanita itu melotot saat netranya melihat kondisi suaminya.

Tanpa basa-basi, kedua anak buah Haris melakukan hal yang sama pada Ibu Ambar. Menusuk dan membenturkan kepala di dinding beberapa kali.

Cekalannya terlepas, Ibu Ambar tersungkur dilantai yang dingin.

Setelah eksekusinya selesai, Ijan memasukan pisau tersebut pada kantong plastik untuk dibakar nantinya. Dengan perintah Haris, keduanya sedikit mengacak-acak rumah tersebut dan mengambil beberapa barang berharga.

Sedangkan Haris, pria itu mengamati sejenak pasangan yang kini telah merenggang nyawa di hadapannya. "Tenang-tenang kalian di alam baka," ucapnya. Kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, menatap foto nikahan mereka dengan intens, mengecek kamar dan ruangan lainnya.

Setelah dirasa cukup aman, ketiganya pergi meninggalkan rumah itu dengan santai. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!