NovelToon NovelToon

SEPARUH SAYAP

MOS

"Zia, ayo berangkat!"

Teriakan Hana tepat diluar pintu kamar nomor 27, kamar yang Hana dan Zia tempati. Asrama putri pagi itu ramai oleh siswi yang bersiap ingin berangkat MOS (Masa Orientasi Siswa).

"Iya, ayo!" Dengan buru-buru Zia memakai sepatu yang dibawanya dari dalam kamar.

"Buruan, pake sepatu aja lama." Desak Hana.

"Udah, nih. Ayo!"

Mereka berdua pun tergopoh-gopoh keluar asrama menuju sekolah barunya yang hanya berjarak lima menit jika dilalui dengan berjalan kaki.

Deg.

Di halaman asrama, baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba saja Hana mematung sepersekian detik.

"Hmm." Hana mengatupkan kedua bibirnya sambil melirik Zia dengan perasaan was-was.

"Apa? Pasti ada yang ketinggalan, kan?" Selidik Zia penuh curiga.

"Hehe..." Hana nyengir tanpa rasa bersalah, "Maaf, Zia, plis tungguin aku, aku ambil barangnya sebentar! Tungguin, ya!"

Tanpa menunggu persetujuan Zia, Hana pun berlari dan masuk kembali kedalam asrama. Zia sama sekali tidak heran dengan tingkah laku Hana yang terkadang membuatnya kesal sendiri, selain karena mereka sudah bersama sejak kecil, juga pada dasarnya sifat mereka sebelas-duabelas alias hampir sama saja.

Tak selang berapa lama, Hana pun muncul dengan papan nama dari kardus berukuran 10×20 sentimeter yang bertuliskan Hana Sastika tepat ditengahnya.

"Hadeh, padahal kamu yang ribut nyuruh aku cepet-cepet, sendirinya malah yang bikin lama!" Gerutu Zia.

Hana yang melihat sahabatnya mengomel hanya bisa nyengir untuk kedua kalinya, menampakkan gigi gingsulnya yang membuat gadis bertubuh mungil itu terlihat semakin manis.

Sampai di SMA Garuda Bangsa, lautan calon siswa dikumpulkan di lapangan utama, berkumpul berdasarkan kelompok yang sebelumnya telah ditentukan. Begitu pun Hana dan Zia, mereka bergabung kedalam kelompoknya masing-masing, mereka berbeda kelompok.

"Hei, aku Inung, nama kamu siapa?" Seseorang mencolek lengan Hana dari belakang.

"Eh?" Hana terkejut, menoleh kearah lawan bicaranya, "Aku Hana."

"Ooh, namamu Hana. Salam kenal, ya."

"Iya, salam kenal juga, Inung."

"Oh iya, besok-besok kamu jangan telat, ya! Nanti satu kelompok kita dihukum semua."

"Eh, Iya." Hana menjawab dengan kikuk menyadari kesalahannya. Baru hari pertama sudah ditegur, batinnya.

Kegiatan MOS hari itu diisi dengan pengenalan lingkungan sekolah, para calon siswa kini dikumpulkan di satu aula untuk seminar, sistemnya masih seperti di lapangan sewaktu apel pagi. Setiap kelompok berbaris sesuai nomor, nomor tersebut dibawa oleh ketua kelompok yang biasanya berada di barisan paling depan, kemudian diikuti para anggota dibelakangnya.

Seminar MOS berisi sejarah sekolah, struktur organisasi, fasilitas, berbagai macam kegiatan akademik maupun non-akademik, motivasi untuk para calon siswa, dan info seputar sekolah lainnya.

Pada menit-menit pertama Hana masih semangat mendengarkan penjelasan pemateri di depan, karena begitu antusiasnya ia akan berganti status menjadi anak SMA.

Penjelasan demi penjelasan disampaikan, namun lama-kelamaan hal tersebut hanya terdengar seperti ocehan-ocehan yang membuat Hana mulai merasa bosan, apalagi Zia berada jauh diujung sana, dan ia masih sangat malu untuk mengawali obrolan dengan orang asing.

Hana mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekelilingnya, sebagian mereka tengah mencatat apa yang pembicara katakan, sebagian lagi malah asyik bercanda hingga beberapa kali ditegur oleh panitia.

Malas memperhatikan ceramah tentang sekolah yang begitu panjang, Hana memilih menghabiskan waktu dengan mencoret-coret tidak jelas buku ditangannya, dan pada kebosanan selanjutnya, Hana pun mulai menggambar manga.

Seorang anak laki-laki bertubuh ramping yang duduk di sebelah Hana ternyata diam-diam mengamati, sepertinya ia tertarik dengan gambar Hana.

"Hei! Pssttt!"

Tidak ada jawaban.

"Hei! Kamu yang lagi gambar!" Setengah berbisik ia kembali berusaha memanggil Hana.

Merasa terpanggil, Hana pun menoleh kearah sumber suara.

"Aku?" Hana menunjuk kearah dirinya sendiri.

"Iya. Kamu suka ngegambar manga? Anime?"

"Hmm, suka, tapi nggak terlalu."

"Terus itu apa? Kalo nggak begitu suka ngegambar manga, tapi kok bagus?"

"Aku bosen aja dari tadi materinya nggak selesai-selesai."

"Tenang, sebentar lagi waktunya istirahat."

Hana mengangguk. Sangat asing baginya ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang mengajaknya bicara dengan topik khusus.

"Namaku Aji. Jurusan IPA." Sambil menyodorkan tangannya, anak laki-laki bernama Aji itu perlahan mengambil buku Hana tanpa seizin sang pemilik.

"Eh?!" Hana terkejut.

"Namamu siapa?"

"Aku Hana."

"Siapa? Suzanna?"

"Hana!"

"Ooh, oke Hana."

Jam menunjukkan pukul 10.30, panitia mengumumkan sudah waktunya beristirahat dengan syarat tidak boleh keluar dari gedung aula, mereka hanya diperbolehkan berada di dalam gedung sambil menikmati makanan yang sudah ditentukan menunya, menu yang mereka bawa sendiri sesuai tema dari panitia.

***

Masih dalam euforia kegiatan MOS, malam itu Hana dan Zia mulai membicarakan hal-hal yang mereka temui saat berada dalam keramaian.

"Han, kamu tahu nggak, cewek yang tinggi, putih, di kelompok kamu?"

"Novi yang cantik itu?"

"Iya cantik, sih. Tapi masih cantikan aku lah ya." Zia berlagak centil.

"Idih, idih." Hana mengejek sahabatnya yang mulai berlagak didepannya.

"Dia tuh, kan, jadi omongan satu kelompok aku, tahu! Katanya dia blasteran. Emang iya?"

"Mana kutahu, aku belum terlalu akrab sama temen satu kelompok." Hana menyondongkan badannya kearah Zia dan memulai pergosipan. "Tapi denger-denger begitu. Terus penampilannya mendukung nggak, sih? Kaya nggak seumuran sama kita, kelihatan kaya anak kuliahan gitu."

"Nah, iya tuh! Lagian dia masih seumuran kita, tapi dia udah pinter dandan."

"Eh, tapi si Novi masih mending, tadi aku lihat ada tiga anak cewek yang dandanannya lebih cetar, alisnya digambar, lho."

"Masa sih? Kok aku nggak lihat, ya?" Zia penasaran.

"Iya, bener. Besok deh kukasih tahu."

Kamar asrama yang berisikan dua siswi itu mendadak menjadi ruang gosip, mereka membahas apapun sembari menunggu kantuk datang.

Tok tok tok.

Suara ketukan terdengar persis didepan pintu kamar Hana dan Zia saat ini berada, seketika mereka berdua diam, dan salah satu dari mereka membukakan pintu.

"Hai, aku Novi, baru pindah di kamar sebelah." Ucap seorang gadis yang sedang berdiri berhadapan dengan Zia.

"Hai, salam kenal, aku Zia. Sini masuk dulu."

Saat Novi masuk, Hana dan Zia saling melemparkan pandangan satu sama lain. Baru beberapa saat lalu mereka membicarakannya, tiba-tiba saja Tuhan mengirimkan langsung orang tersebut didepan mata mereka.

"Hai, Hana, tadi kata temenku ada yang satu kelompok MOS sama aku, jadi langsung aku samperin aja kesini, biar besok berangkatnya bisa barengan." Novi tersenyum manis.

"Oh, Novi. Ya udah, boleh deh. By the way, kamu kapan datang kesini?"

"Aku dari tadi sore udah di asrama, tapi keluar sebentar sama kakakku cari kebutuhan buat aku. Sebenernya udah dari kemarin pengen kesini, tapi kakakku baru ada waktu hari ini." Jelas Novi.

"Emang nggak sama orang tua kamu?" Tanya Zia ingin tahu.

"Enggak, soalnya orang tuaku tinggal diluar pulau, mereka kerja disana."

"Kalau orang tuamu tinggal diluar pulau, kenapa kamu nggak sekolah disana aja? Kenapa jauh-jauh kesini? Emangnya nggak bakalan kangen?" Tanya Zia lagi.

"Iya, lho. Aku aja yang masih satu kota aja kangen sama orang tua." Timpal Hana berusaha bersimpati.

"Kakakku dua-duanya kuliah dan kerja disini, disini juga masih ada saudara, kok. Kalau semisal kangen kan tinggal telpon, gampang aku tuh."

"Ooh, gitu, ya."

Novi mengangguk.

"Oh iya, aku bawain martabak nih buat kalian, dimakan, ya. Aku cabut dulu."

"Loh kok cabut? Baru aja mampir." Ucap Zia basa-basi ala ibu-ibu komplek.

"Iya, nih. Mau rapihin kamar dulu, nggak enak sama temen satu kamarku kalau kutinggal lama-lama pas kamar masih berantakan gara-gara barang bawaanku."

Dalam sekejap Novi menghilang diantara pintu.

"Hampir jantungan aku Han. Tiba-tiba nongol dia. Mana dia cerewet banget." Mata Zia membelalak lucu.

"Boleh tuh Zi kalau dicoba buat ngomongin mantanmu, siapa tahu dia tiba-tiba muncul kaya Novi barusan." Hana terkekeh.

Zia meraih bantal tidur miliknya, dilemparkannya kearah Hana dan tepat mengenai wajah Hana.

"Sialan kamu, Zi!"

Secepat mungkin Hana mengambil bantal yang baru saja terlempar, memukulkannya berkali-kali ke tubuh Zia. Tak mau kalah, Zia pun membalas pukulan demi pukulan yang Hana lontarkan. Mereka saling bercanda seiring makin larutnya malam.

MOS (Masa Orgil Siswa)

Hari kedua MOS Hana sedikit merasa kesal, pasalnya kostum hari itu membuat ia terlihat seperti orang yang kurang waras. Bagaimana tidak, mereka diwajibkan memakai rompi menggunakan plastik bergaris hitam putih, sandal jepit karet dengan kaos kaki berwarna hitam di sebelah kanan, dan putih di sebelah kiri, rok tutu yang terbuat dari tali rafia yang disuwir, tidak lupa topi kerucut yang pada ujung runcingnya diberi hiasan berupa suwiran tali rafia juga.

Mau tahu yang lebih ekstrim lagi?

Untuk murid perempuan, mereka diintruksikan untuk menguncir rambutnya sesuai dengan banyaknya bilangan bulan lahir, dan untuk laki-laki, mereka harus berkreasi sedemikian rupa untuk membuat diri mereka seolah memiliki kumis.

"Untung sesuai bulan lahir, coba kalau tanggal lahir, udah kayak orang gila beneran aku!" Gerutu Hana yang lahir tanggal 30 april.

"Punyamu masih mending kuncir empat, belum gila-gila banget lah. Coba lihat punyaku! Huaaa!" Rengek Zia yang terdapat sebelas kunciran di kepalanya.

Hana tergelak melihat penampilan konyol sahabatnya, meskipun penampilannya sendiri sama konyolnya dengan Zia.

"Udah, syukuri aja, masih sebelas ini. Belum dua belas."

"Enteng banget lagi nyuruh orang bersyukur. Aku sumpahin besok disuruh kuncir rambut sesuai tanggal lahir!" Zia mendengus kesal.

Zia berani menantang seperti itu karena ia memiliki tanggal lahir 2 November, yang dimana jika perkataan Zia terwujud, Zia hanya akan menguncir rambutnya sebanyak dua ikat, sementara Hana akan menguncir rambutnya sebanyak 30 ikat.

"Jangan, dong. Ngebayanginnya aja udah nggak sanggup aku. Ngelihat kamu yang kuncir sebelas aja udah konyol banget." Hana terus meledek Zia yang sedari tadi tidak berhenti mengeluh.

Pagi ini Hana dan Zia berjalan santai menuju sekolahnya, mereka berangkat lebih pagi dari hari kemarin yang dijalani dengan penuh kekacauan.

Seperti ucapan Novi kemarin, ia berangkat bersama Hana dan Zia, berjalan berderet tiga dari pintu keluar asrama hingga ke lapangan sekolah.

Dalam hati Hana bergumam, 'oh begini ya rasanya jalan bersampingan sama murid famous?'

"Hana, Novi, aku pergi ke kelompokku dulu, ya! Bye." Zia berlalu pergi sambil melambaikan tangan, kemudian hilang membaur ditengah keramaian.

Kegiatan yang berlangsung diisi dengan acara jalan santai dimana para pesertanya mengenakan kostum yang dianggap Hana sebagai pakaian abnormal dan sangat freak, kemudian para murid berjalan sesuai rute yang telah diatur oleh panitia. Dimulai dari halaman depan sekolah, melewati taman kota, gang-gang sempit, jembatan, dan berakhir di gedung aula.

Hari begitu panas, matahari sangat terik menyengat kulit, membuat tubuh Hana seperti ingin mendidih, membuat tenggorokannya menjadi sangat kering. Ia segera berjalan menuju aula, niat hati ingin mengambil air minum untuk meredakan dahaganya.

Saat Hana hendak minum air dari botol yang tengah ia genggam, seseorang tiba-tiba saja menabraknya dari belakang sehingga membuatnya tersedak. Hana kesulitan bernafas, ia merasa paru-parunya seperti dipenuhi oleh air. Dengan susah payah ia mengatur nafas. Dada dan tenggorokannya terasa sangat perih, kepalanya berkunang-kunang. Hana masih bisa melihat sekitar, namun ia tidak bisa merespon sekelilingnya.

"Kamu udah bisa dengar kakak?" Ucap seorang laki-laki berkalung name tag bertuliskan panitia OSIS, sudah lima menit lamanya ia berusaha menyadarkan Hana.

Beberapa saat setelah kesadarannya mengambang, Hana yang perlahan mulai bisa mendengar hal itu pun langsung menganggukkan kepala.

"Bawa ke UKS!" Perintah laki-laki tersebut kepada rekannya yang lain.

Sesampai di ruang UKS, terlihat ada Novi disana, dua orang murid baru, dan tiga orang panitia. Seorang panitia perempuan sibuk menyambut Hana, dan dua orang lagi--termasuk seorang laki-laki yang menabrak sekaligus menyelamatkan Hana saat tersedak tadi sedang menunggui Novi.

'Buset, yang hampir dibikin celaka, kan aku? Kenapa yang ditungguin si Novi pula?'

Hari itu, semua orang berlomba-lomba berkenalan dengan Novi, mencoba beramah-tamah dengannya, dan juga meminta nomor handphonenya.

'Orang cantik selalu dapat perhatian lebih ya?' Gumam Hana lagi. Terkadang ia merasa iri, namun ia sudah terbiasa menerima kenyataan bahwa memang sewajarnya hal seperti itu terjadi, dia yang merupakan gadis biasa-biasa saja ini pun hanya bisa sadar diri.

Karena waktu Hana masuk UKS dengan jam pulang MOS berdekatan, ia memutuskan untuk keluar pada saat kegiatan sudah dibubarkan, Hana hanya perlu menunggu beberapa menit lagi.

"Hana si cewek manga?" Menunjuk Hana yang tengah duduk di bangku depan UKS.

"Oh, Hai." Hana ingin menyapa namanya, namun ia lupa siapa, akan sangat malu dan canggung bila ia bertanya nama lagi.

"Aku cari-cari dari tadi nggak kelihatan, tahunya disini. Kamu ngapain disini? Nungguin siapa?" Cerocos makhluk bernama Aji tersebut.

"Aku habis dari UKS, pas mau keluar, eh udah waktunya pulang, ya udah aku nungguin temen aku dari sini."

"Dari UKS? Kamu sakit?"

"Enggak. Tadi ada kejadian kecil, nggak apa-apa, bukan hal besar, kok."

"Hmm. Oke, lah."

"Kamu ada apa cari aku?"

"Nggak apa-apa, cuma mau balikin buku kamu yang kemarin aku ambil. Habis aku buat contekan, hehe."

"Contekan apa? Kan isinya cuma gambar nggak jelas, sama catetan asal yang lebih nggak jelas lagi."

"Nah, itu dia."

"Itu dia?" Hana terheran dengan jawaban Aji.

"Aku nyontek keenggakjelasan kamu."

"Ada-ada aja."

Begitulah mereka berdua menjadi akrab, Aji dengan tingkahnya yang diluar nalar serta kekanak-kanakan, dan Hana yang iya-iya saja alias tidak keberatan menerima teman baru yang tidak kalah anehnya dengan Zia, sahabatnya dari lama.

"Hana!" Panggil Zia dari jauh.

Tangan Hana melambai pada Zia yang setengah berlari kearahnya.

"Ini temen yang kamu maksud?" Tanya Aji.

"Iya, namanya Zia, anak IPS."

Aji menyodorkan tangannya, membuat gestur ingin menyalami Zia yang baru saja datang.

"Salam kenal, Zia. Aku Aji, jurusan IPA."

"Aku Zia, anak IPS." Zia menyambut jabat tangan Aji dengan penuh percaya diri.

"Ya udah, Ji. Aku sama Zia duluan ya."

"Oke, sip."

Hana dan Zia berlalu pergi tanpa menoleh.

Hembusan angin siang itu tak cukup untuk mendinginkan tubuh mereka berdua dari teriknya matahari. Bagaikan tersihir, langkah kaki mereka tiba-tiba saja berhenti, mereka saling berpandangan.

"Es serut?"

Zia mengangguk.

***

Di asrama yang Hana tempati tak ubahnya kost-kostan putri biasa, yang membedakan hanyalah jam wajib belajar yang dilakukan bersama-sama seluruh penghuni asrama mulai pukul tujuh hingga sepuluh malam. Selain itu, mereka bebas melakukan apapun kecuali keluar asrama melebihi pukul enam petang.

Asrama dengan fasilitas satu kamar berisi dua orang itu tidak memiliki lebih dari lima puluh penghuni karena tidak diwajibkan untuk semua siswa, melainkan hanya disediakan bagi siswa yang minat saja.

Meskipun masih berada dalam satu kota, dan jarak antara rumahnya dengan asrama hanya sekitar satu jam perjalanan menggunakan kendaraan, Hana memutuskan untuk masuk asrama karena mengetahui Zia telah lebih dulu pergi.

"Han, cowok yang tadi sama kamu itu siapa? Crush barumu?"

"Maksud kamu Aji?"

"Iya. Jarang-jarang loh kamu cepet akrab sama orang."

"Crush apaan, enggak lah. Aku akrab sama dia juga gara-gara dianya yang aktif sama banyak ngomong. Kalo aku ketemu yang sama-sama pemalu kaya aku, pastinya nggak bakal akrab secepet itu."

"Kalo dia naksir sama kamu gimana, Han? Wah, keren tuh kayak yang di drama-drama."

Tukk!

Hana memukulkan pensil tepat ditengah dahi Zia.

"Naksir mbahmu!"

Zia meringis kesakitan, dielusnya bagian kepala yang terkena pukulan maut Hana.

"Tangan kamu enteng banget, heran. Sakit tahu!"

"Mulut kamu tuh, Zi. Kalo ngomong enteng banget. Kalau aku baper beneran gimana?"

"Ya bagus lah. Siapa tahu jodoh. Ya, kan? Ya, kan?"

"Mulai deh, ngelantur ngomongnya. Aku pengen fokus sekolah adaa aja makhluk sesat yang godain. Jauh-jauh sana!"

"Nye, nye, nye!"

Hana masih belum tahu ingin mempelajari apa pada malam itu, hanya ada materi MOS di buku catatan kecil miliknya yang ia punya, sebenarnya catatan itu bisa saja berguna untuk berjaga-jaga ketika ada kuis saat kegiatan, namun Hana terlalu malas mempelajarinya secara serius karena besok sudah hari terakhir kegiatan MOS berlangsung, lagi pula ia tidak suka dirinya terlihat sebagai siswi aktif.

Begitulah Hana, ia hanya ingin memiliki kehidupan yang datar.

Tidak terdengar suaranya beberapa menit, ternyata Zia sudah tertidur di meja aula tempat para penghuni asrama sedang belajar.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, masih sisa satu jam lagi untuk Hana dapat kembali ke kamarnya, padahal ia sudah sangat bosan karena tidak kunjung mendapat ide tentang apa yang ingin dipelajari. Sedangkan sahabatnya yang suka sekali mengoceh kini sudah tertidur tepat di belakang Hana. Hana sengaja membelakangi Zia ketika gadis itu mulai berbicara tentang kehaluannya beberapa saat lalu.

Jemari lentik Hana kembali membuka lembar kosong dari buku yang tiga jam lamanya tidak bertambah satu coretan pun.

Hana menghembuskan nafas kasar sebelum akhirnya ujung pensil di tangannya mulai menyentuh halaman kosong, kemudian membentuk garis, dan lama-kelamaan membentuk sebuah objek. Rumah. Entah kenapa tangannya seolah memiliki nyawa sendiri untuk menciptakan goresan tersebut.

Apakah karena ia merindukan rumah?

Belum pernah Hana merasa sejauh ini dari rumah, bahkan ketika menginap di rumah neneknya pun Hana merengek meminta pulang.

Ataukah karena ia merindukan orang tuanya?

Seharusnya Hana bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya, namun kali ini ia seperti belum rela jauh dari kedua orang tuanya meskipun sedari kecil ia sangat sering ditinggal di rumah saudara, sementara orang tuanya bekerja di luar kota, bahkan mungkin di luar pulau. Entahlah, Hana hanya belum terbiasa dengan suasana yang menurut Hana asing itu.

Beruntung Hana masih punya Zia, sahabatnya sejak sekolah dasar. Jarak rumah mereka pun tidak terlalu jauh, hal ini membuat Hana merasa aman.

Banyak sisi lain dari diri Zia yang Hana suka, namun lebih sering tertutup oleh keabsurdannya dalam berperilaku yang terkadang diluar prediksi.

***

Putih Abu-abu

Ini merupakan hari terakhir Hana menjalani serangkaian repotnya kegiatan MOS. Hana sudah tidak sabar ingin merasakan bagaimana rasanya belajar di bangku SMA. Ia penasaran apakah akan memiliki sistem yang sama seperti saat dia di SMP? Ah, atau mungkin berbeda? Orang bilang masa terindah itu adalah sewaktu SMA, dan Hana sedang berusaha mencari hal itu.

Sebagian orang mempercayai bahwa hari Jumat adalah hari yang pendek, kali ini Hana setuju, pasalnya MOS hari ini berakhir lebih awal dari dua hari sebelumnya yang ia rasa berjalan sangat lama.

"Han, kalo Sabtu Minggu libur, enaknya ngapain ya? Pulang aja yuk?" Celetuk Zia memecah keheningan di kamar yang sejak pulang MOS hanya berisi mereka berdua.

"Males ah, nggak ada yang jemput. Harus ijin pengawas asrama pula."

"Ya tinggal minta jemput apa susahnya? Terus kalo masalah ijin, ya tinggal ijin lah."

"Nggak dulu deh."

"Emangnya kamu nggak kangen rumah? Satu minggu disini berasa satu tahun, aku pengen banget pulang. Aku udah terlalu lama hidup disini. Oh, Tuhan!" Zia berpura-pura sedih, seolah menjadi manusia paling malang di dunia, Zia berdrama, ia terkadang memang suka hiperbola.

"Kangen, sih. Tapi baru satu minggu, peraturan asrama kalau pulang minimal sebulan sekali."

"Oh iya, aku lupa."

Hana menatap Zia yang sibuk mempercantik kukunya dengan manicure set, tipe gadis pecicilan namun masih memperhatikan penampilan. Lain sekali dengan Hana, ia sangat cuek dengan penampilannya.

"Ini serius kita bakalan nggak ngapa-ngapain sampai Minggu?"

"Kan udah aku bilangin, Han. Hmm, kalo aja bisa pulang."

"Ya udah deh, mari kita bermalas-malasan."

Zia sama sekali tidak menyahuti perkataan Hana, ia masih sibuk dengan cat kuku dengan warna hampir senada dengar kuku aslinya. Sesekali ia menggembungkan pipinya, meniup perlahan jemari lentiknya.

***

Hari berlalu, berubah menjadi hari Senin, hari pertama sekolah pun tiba. Ini pertama kalinya Hana mengenakan seragam OSIS namun dengan warna rok dan logo yang berbeda, bukan putih biru lagi melainkan putih abu-abu.

'Wah, aku sudah SMA.' Batinnya.

Setelah upacara selesai, para murid menyebar menuju kelas masing-masing, pun sama halnya dengan Hana.

Suasana kelas 10 IPA menjadi sangat riuh ketika 40 orang murid mengoceh dengan topiknya masing-masing. Selayaknya pertemuan pertama, mereka mencoba akrab satu sama lain, tidak jarang ada juga murid yang hanya sedikit bicara, Hana salah satunya. Dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru, Hana membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari kebanyakan orang pada umumnya.

Dari sekian banyak orang, Hana baru mengenal dua nama, Aji dan Inung. Aji yang ia kenal lewat kegabutannya ketika MOS, sementara Hana mengenal Inung karena satu kelompok saat MOS, kebetulan Inung lah yang menjadi ketuanya.

"Hana, kamu udah dapet temen satu bangku?" Tanya Inung.

"Belum."

"Sama aku ya?"

Hana menganggukkan kepala.

"Disana." Inung menunjuk meja di barisan paling depan, dua deret dari kiri.

"Kenapa di depan banget?" Hana sedikit keberatan.

"Mataku kayaknya agak minus. Kalau di belakang nanti nggak kelihatan tulisannya. Apa mau dibelakangnya satu? Itu masih kosong."

"Oh, ya udah di depan aja nggak apa-apa, kok."

"Kamu yakin?"

Hana memindahkan tasnya kearah meja yang dimaksud, "iya, serius."

Tak lama kemudian dari arah pintu masuklah seorang pria dewasa berumur sekitar tigapuluhan yang menenteng sebuah buku bersampul mika, dan sebuah spidol board marker dengan dua warna yang berbeda.

Seketika seisi kelas menjadi sunyi.

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa laki-laki tersebut.

"Pagi, Pak!" Jawab para murid serentak.

"Perkenalkan nama saya Agung Permana, saya yang akan jadi wali kelas kalian di 10 IPA ini, juga mengajar mata pelajaran Biologi. Bisa kalian perkenalkan diri satu persatu?"

Sebanyak 40 murid memperkenalkan dirinya masing-masing dari barisan depan sampai belakang tanpa terkecuali. Adatnya di SMA Garuda Bangsa, setiap murid baru diminta berkenalan dengan cara yang sama oleh setiap guru mata pelajaran yang baru pertama kali masuk. Hal ini dimaksudkan agar mereka cepat mengenal satu sama lain.

"Berhubung baru awal sekali masuk, bagaimana kalau kita menetukan ketua kelasnya terlebih dahulu?"

"Setuju, Pak!" Sahut seorang siswa laki-laki yang berada di barisan paling ujung.

"Oke, siapa nama kamu?"

"Aji, Pak. Yunanda Setiaji."

Pak Agung membuka tutup spidol board marker berwarna hitam yang sejak tadi berada ditangannya, menuliskan kata 'CALON KETUA KELAS' di papan tulis putih berukuran 120×240.

Di bawah tulisan tadi, Pak Agung menulis angka satu dan dibubuhi titik di belakangnya, kemudian lanjut menulis nama Aji setelah angka tersebut.

"Loh kok saya, Pak? Saya nggak mau."

"Kan masih calon, berarti masih ada calon yang lain." Pak Agung tersenyum hangat, "ada usulan lagi siapa yang mau dijadikan calon ketua kelas?"

Seluruh murid terdiam dan saling melempar pandang.

"Kalau tidak ada lagi, nanti Aji yang akan jadi satu-satunya calon ketua kelas disini."

"Ruri, Pak!" Sergap Aji secara tiba-tiba, ia tidak rela dirinya menjadi ketua kelas secara terpaksa.

"Ruri mana orangnya? Coba angkat tangan."

Dengan semangat, Aji menunjuk Ruri yang sedang duduk dengan tenang di meja seberangnya. Aji seolah tidak bisa membiarkan orang lain hidup dengan tenang.

"Oke. Dua orang lagi, kali ini yang perempuan."

"Hana, Pak!" Seru Inung yang berada di barisan paling depan, dan duduk tepat di samping Hana.

"Hah?" Hana terkejut saat namanya tiba-tiba saja disebutkan.

"Iya Pak, Hana!" Sambung Aji.

"Wah, Hana ini belum apa-apa sudah banyak yang dukung ya?" Goda Pak Agung.

"Saya minta satu nama lagi!"

Tidak ada jawaban.

"Ya sudah, kalau tidak ada yang menjawab, saya pilih acak dari absensi." Pak Agung memilih-milih nama yang akan dijadikan kandidat dengan nomor urut empat. "Ainun Nawa."

Inung mengangkat tangan. "Panggil saja Inung, Pak."

"Baiklah, Inung." Pak Agung mengambil beberapa potong kertas kecil di mejanya, "saya akan membagikan kertas, nanti kalian tulis nama calonnya disitu ya. Aji, bantu bapak membagikan kertas ini, Nak!"

"Baik, Pak." Dari mejanya di ujung belakang, Aji berjalan mengambil kertas yang Pak Agung maksud, lalu membaginya keseluruh isi kelas.

Para murid menuliskan nama jagoan mereka masing-masing. Pak Agung memperhatikan mereka secara seksama, dilihatnya satu-satu para murid yang masih terlihat lugu itu.

"Sudah selesai, anak-anak?" Tanya Pak Agung.

"Sudah, Pak!"

"Sekarang Ruri coba kumpulkan kertasnya. Lalu Aji, Hana, dan Inung, silahkan berbaris di depan."

Murid dengan nama yang disebutkan Pak Agung segera maju ke depan, berjejer menghadap kearah tempat duduk murid lain. Pak Agung mengajak para murid menghitung perolehan suara dari keempat kandidat.

"Ruri, Aji, Hana, Inung." Pak Agung menyebutkan nama dari perolehan suara tertinggi ke perolehan suara terendah.

Karena Ruri memperoleh suara tertinggi, otomatis ia menjadi ketua kelas 10 IPA, dan Aji yang menduduki posisi kedua menjadi wakilnya. Lalu Hana dipilih menjadi sekretaris, sementara Inung menjadi bendahara kelas. Disinilah awal mula kedekatan mereka berempat.

"Kamu pilih siapa tadi?" Tanya Inung berbisik saat sudah kembali duduk di kursinya.

"Ruri." Jawab Hana.

"Kenapa?"

"Kelihatan kalem aja anaknya."

"Bukannya kalau ketua kelas itu harus pecicilan kaya Aji itu ya?"

"Pecicilan? Maksud kamu aktif?"

"Kalo Aji mah, dibilang aktif aja nggak cukup deh, kayaknya."

"Emang tadi kamu pilih siapa?"

"Pilih kamu lah." Inung terkekeh.

"Ih, kamu mah jahil! Padahal aku nggak pengen jadi apa-apa, eh malah disuruh jadi sekretaris."

"Udah, nggak apa-apa, Han. Coba aja dulu."

"Masalahnya aku tuh dulu pernah jadi sekretaris selama tiga tahun waktu SMP, makanya aku bosen dan nggak pengen jadi apa-apa."

"Oh, gitu ya. Bagus dong malahan, kamu udah nggak bingung lagi sama tugas kamu."

Jam pelajaran yang masih tersisa banyak itu langsung dimanfaatkan Pak Agung untuk diisi materi Biologi, Pak Agung tipe guru yang teliti dan tidak suka membuang waktu, perangainya begitu lembut dan tegas dalam waktu bersamaan. Karena sifatnya yang humble, Pak Agung menjadi cepat akrab dengan anak didiknya di kelas. Tidak hanya murid perempuan, Pak Agung juga pandai mengambil hati para murid laki-laki.

Selang empat puluh menit berlalu, jam pelajaran Pak Agung pun habis.

"Ada yang ingin ditanyakan?" Pak Agung mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas.

"Tidak, Pak."

Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Agung menutup pertemuan mereka hari itu. "Kalau tidak ada, materi hari ini saya cukupkan. Oh iya, setelah ini ketua kelas ikut saya ke kantor, guru yang mengampu mata pelajaran selanjutnya akan terlambat hadir."

Ruri membuntut di belakang Pak Agung, dan saat Ruri kembali ke dalam kelas, ia sudah membawa buku yang akan dipelajari setelahnya, buku itu hampir sama tebal seperti halnya buku yang dibawa Pak Agung beberapa saat lalu.

Ruri berjalan kearah meja Hana, meletakkan buku dengan tulisan Matematika terpanjang di sampulnya.

"Kamu sekretaris, kan? Disuruh nulis ini dulu di papan tulis, biar nanti pas gurunya udah dateng, beliau cuma tinggal ngejelasin aja."

Secara bergantian, Hana memandang sekilas kearah Ruri, lalu berpindah kearah buku yang bertengger di mejanya, kemudian ia menangguk mengiyakan komando dari sang ketua kelas.

Tanpa berlama-lama, Hana beranjak dadi duduknya menuju papan tulis. Karena sudah terbiasa menjadi sekretaris kelas, ia pun langsung mengerti apa yang akan di tulisnya. Beberapa materi di buku itu sudah ditandai, itulah yang akan Hana tulis.

Hana perlahan mulai menulis materi, kata demi kata, rumus demi rumus tidak terlewat satu pun. Tulisan tangan Hana begitu rapi bak cetakan komputer, bahkan lebih rapi lagi ketika ia menulis di buku tulisnya sendiri.

Alasan dari mengapa tulisannya sebegitu rapi ialah salah satu guru SMP-nya dahulu, guru itu pernah mengatakan kepada muridnya sewaktu di kelas, "jadi orang itu harus cantik, harus ganteng. Kalau nggak bisa, minimal tulisan kalian harus dibuat rapi dan secakep mungkin. Jadi ada hal yang bisa dibanggakan."

Hana tidak begitu yakin itu merupakan kalimat motivasi atau hanyalah olokan belaka, menurut Hana semuanya terdengar sama saja. Entah mengapa hatinya begitu sakit mendengar hal tersebut, walaupun ia tahu kalimat itu ditujukan bukan hanya untuk dirinya. Kala itu Hana sedang berada di masa puber-pubernya, wajahnya yang semula mulus perlahan muncul jerawat, kulitnya menjadi lebih kusam dan gelap dari sebelumnya. Rasa insecure memenuhi dirinya kala itu.

Sudah berbagai cara Hana lakukan untuk memperbaiki penampilan, namun hasilnya tetap tidak jauh berubah. Ia merasa putus asa, dan sejak itulah ia mulai memperbaiki tulisan tangannya agar 'cakep' seperti kata guru SMP-nya.

Beberapa saat kemudian, papan tulis sudah dipenuhi oleh tulisan Hana. Ia menutup spidol kemudian meletakkannya di ujung papan tulis, lalu Hana menaruh buku yang berisi materi di atas meja guru. Ia kembali ke tempat duduknya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!