Perempuan muda itu menatap benda pipih berwarna biru sambil menghela nafas berat. Tak perlu menunggu hasilnya, ia sudah tahu kalau alat test pack itu akan menunjukkan hasil negatif. Sambil menguatkan diri, ia pun keluar kamar mandi dan siap menghadapi hujatan mertua dan adik iparnya
Inggit Katharina, wanita cantik yang terlihat polos namun memancarkan kecantikan alami yang dimilikinya. Sudah 3 tahun Inggit menjalani biduk rumah tangga dengan seorang Fandi Haran, pengusaha sukses pemimpin Haran Group. Wajah bahagia Inggit saat dinikahi oleh Fandi Haran ternyata hanya bertahan sementara, sisanya berganti wajah sedih karena sering meneteskan air mata dan tertekan menjalani hari-harinya.
"Mana hasilnya?" tagih Mama Olla -Mama Fandi- dengan tak sabar. Mama Olla bak tukang tagih bagi Inggit. Membuat Inggit merasa takut bak orang yang memiliki banyak hutang saja.
"Paling hasilnya negatif lagi, Ma," celetuk Dara, adik kandung Fandi yang kalau berbicara selalu pedas dan tak pernah memperdulikan perasaan orang lain. Sejak awal menikah, Dara tak pernah menyukai Inggit. Dara selalu berkata pedas dan berbuat seenaknya seakan Inggit adalah asisten rumah tangga mereka dan bukan kakak iparnya.
Mama Olla melihat test pack pemberian Inggit dan langsung murka. "Masih negatif juga? Kapan hamilnya kamu? Jangan-jangan kamu sebenarnya memang mandul ya? Mama tak mau tahu, Mama mau secepatnya menggendong cucu!" desak Mama Olla. Dilemparkannya alat test pack tersebut dengan kencang ke lantai.
"Tapi, Ma-"
Belum sempat Inggit menyampaikan protes, Mama Olla sudah memotong ucapannya. "Jangan banyak alasan kamu! Kamu tuh sudah Mama angkat derajatnya menjadi menantu keluarga Haran. Memangnya kamu punya apa sampai berhak menjadi menantu keluarga Haran? Kamu kaya? Banyak uang? Tidak! Kamu tuh cuma anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan pinggir Jakarta. Bukannya membalas budi baik keluarga kami. Apa susahnya sih memberi Mama cucu? Kalau kamu tak juga hamil, akan Mama suruh Fandi ceraikan kamu dan menikahi wanita lain yang rahimnya lebih berguna daripada rahim milikmu yang kering kerontang!" ancam Mama Olla.
Inggit menundukkan wajahnya. Bulir air mata terasa panas menetes di pipinya. Rasanya sakit sekali dikatai mandul dan selalu direndahkan karena miskin. Setelah mertua dan adik iparnya pergi, Inggit duduk di lantai sambil menangis. Mau sampai kapan hidupnya begini terus?
Rumah tangganya dengan Fandi memang terlihat baik-baik saja dari luar namun sebenarnya menyimpan banyak rahasia di dalamnya. Fandi yang Inggit pikir mencintainya ternyata menipunya habis-habisan. Fandi hanya bersikap romantis dan mesra di depan orang lain namun saat berdua Inggit di kamar, ia akan menjaga jarak. Tak pernah sekalipun Inggit disentuh Fandi, sampai saat ini saja Inggit masih suci tak terjamah.
Fandi bahkan jarang mengajak Inggit mengobrol. Saat berada di kamar, mereka bak dua orang asing saja. Inggit selalu makan hati dengan perlakuan Fandi, Inggit berharap Fandi akan berubah suatu hari nanti namun semua hanya tinggal harapan. Fandi tak pernah berubah, selalu acuh dan tak peduli akan semua yang Inggit alami.
Inggit yang sudah sakit hati pun menceritakan apa yang terjadi pada Fandi, suaminya. Tak peduli Fandi akan mendengarkan apa yang dikatakannya atau tidak. Inggit mau Fandi tahu apa yang keluarganya sudah perbuat terhadapnya. "Mas, setiap bulan Mama selalu menyuruh aku menggunakan test pack. Mau di test pack berapa kali pun hasilnya tetap sama. Bagaimana aku bisa hamil kalau selama ini Mas tidak pernah menyentuhku?" kata Inggit dengan emosi.
"Sst! Jangan kencang-kencang kalau bicara. Mama bisa dengar!" Fandi menutup bibir mungil Inggit dengan tangannya. Fandi takut keluarganya tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan rumah tangganya. Sia-sia sudah usahanya selama ini kalau Mamanya sampai tahu.
Inggit menepis tangan Fandi dengan kesal. "Sudah tiga tahun kita menikah, Mas. Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar bagiku untuk menahan kesabaran atas semua hinaan keluargamu. Aku tahu aku memang miskin, Mas, aku akui itu dan aku terima. Aku memang anak yatim piatu yang tak memiliki orang tua. Namun kalau aku dikatai mandul oleh Mamamu terus, aku tak terima. Aku sehat, hasil lab membuktikan semuanya. Aku normal. Aku subur. Kamu yang bermasalah, Mas. Kamu yang tak pernah menyentuhku. Mau sampai kapan kamu menyuruhku diam mendapat perlakuan seperti ini? Mau sampai kapan Mas bersikap egois dan membiarkan aku menanggung semua permasalahan yang mendera rumah tangga kita?" Inggit berkata sambil menangis. Lelah hatinya menghadapi mertuanya yang selalu berkata kasar dan adik iparnya yang tak tahu sopan santun dan gemar memperlakukannya bak pembantu.
"Mas, apa selamanya Mas akan bersembunyi di belakangku? Apa selamanya Mas mau berpura-pura seakan Mas yang benar dan aku yang salah dan hina? Mas mau membunuhku pelan-pelan? Enak sekali kamu, Mas. Setiap hari aku yang dihina, setiap bulan aku yang ditagih harus hamil sama Mama kamu. Enak saja, Mas. Aku tak mau begini terus! Lebih baik kukatakan saja semua ini pada Mama! Bukan aku yang mandul tapi anaknya yang jijik menyentuhku!" Inggit menangis sambil memukul dadanya yang sesak. Inggit menumpahkan semua amarahnya yang selama ini ia pendam pada Fandi.
Fandi memejamkan matanya memikirkan solusi untuk semua masalah mereka. Tinggal lebih lama lagi bersama keluarganya akan membuat fakta kalau dirinya tak pernah menyentuh Inggit akan terbongkar. "Tenanglah. Jangan sampai Mama mendengarnya. Kamu sabarlah sebentar lagi," bujuk Fandi.
"Aku tak mau, Mas. Terlalu lama berada di rumah ini membuatku gila! Aku capek dan aku tak sanggup lagi!"
Fandi menarik tangan Inggit dan menahan langkahnya. "Apa mau kamu? Aku akan turuti tapi tolong jangan katakan pada Mamaku apa yang terjadi di rumah tangga kita."
"Aku mau pindah! Aku tak mau tinggal di rumah ini lagi!" jawab Inggit.
"Oke. Aku turuti kemauan kamu. Secepatnya kita akan pindah rumah. Kalau kita pindah, Mama tak akan menggangu kamu lagi. Bukankah ini yang kamu mau?"
****
Inggit terbangun dengan peluh di keningnya. Ada sebuah mimpi yang terus menerus hadir dalam tidurnya. Mimpi yang begitu nyata seakan semuanya memang terjadi di hidup Inggit.
Rasa sakit saat kepalanya terbentur aspal jalanan yang keras kembali Inggit rasakan. Inggit berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Siapa yang akan ia temui? Kenapa Inggit merasa ia sudah melupakan hal yang penting?
"Kenapa? Mimpi buruk lagi?" Fandi yang tidur di sampingnya jadi merasa terganggu.
"Maaf ya, Mas, aku telah mengganggu tidur kamu," kata Inggit yang merasa tak enak hati.
"Tidurlah, besok kita akan pindah ke rumah baru! Jangan ganggu lagi tidurku!" Fandi melanjutkan tidurnya dan mengacuhkan Inggit seperti biasanya.
****
Inggit menatap rumah baru yang akan ia tempati bersama Fandi mulai sekarang. Rumah berkonsep minimalis dengan cat warna putih itu terletak di dalam komplek perumahan yang hanya berisikan beberapa unit rumah saja. Fandi benar-benar menepati janjinya untuk mengajak Inggit pindah rumah dan tak tinggal lagi bersama Mama dan adiknya.
"Bagaimana, suka rumahnya?" tanya Fandi dengan ekspresi datar seperti biasanya.
"Suka! Suka banget, Mas. Terima kasih," jawab Inggit.
"Syukurlah! Ingat, jangan lagi berulah, sok mau mengancamku dengan memberitahu Mama!" Fandi masuk ke dalam rumah dan menunjukkan bagian dalam rumah tersebut pada Inggit. "Kamar ini adalah kamar kamu dan di sebelahnya kamar aku."
Senyum di wajah Inggit menghilang saat mendengar perkataan Fandi. "Kamar kita terpisah, Mas?"
"Iya, memang kenapa?" tanya balik Fandi. "Memang itu tujuan kita pindah dari rumah Mama bukan? Agar bisa hidup tenang tanpa tekanan. Bukan hanya kamu yang butuh hidup tenang, aku juga."
"Tapi, Mas-" Belum selesai Inggit bicara, Fandi sudah memotong ucapannya.
"Aku mau mengurus yang lain. Kamu bereskan saja pakaian kamu. Biar nanti pakaianku, aku yang urus!"
Inggit terdiam di kamarnya yang baru. "Enggak bisa begini nih. Tujuan aku pindah dari rumah Mama Olla bukan hanya ingin mendapatkan ketenangan, namun aku ingin hubunganku dengan Mas Fandi semakin erat. Kenapa kami jadi pisah kamar? Bukankah ini malah menjadi kemunduran bagi hubungan kami?" gumam Inggit.
"Pokoknya, aku akan membuat Mas Fandi benar-benar memperlakukanku seperti istrinya. Lihat saja, pernikahan pura-pura ini akan menjadi pernikahan yang sesungguhnya dan Mas Fandi tak akan jijik lagi saat menyentuhku!" tekad Inggit.
Inggit pun memulai misinya menjadi istri sesungguhnya untuk Fandi. Pagi hari setelah Inggit menyiapkan sarapan untuk Fandi, Inggit masuk ke dalam kamar Fandi dan menyiapkan pakaian untuk Fandi bekerja. Inggit bertindak seperti biasa saat masih tinggal di rumah mertuanya.
"Loh, ngapain kamu di kamar aku?" tanya Fandi yang terkejut mendapati Inggit di kamarnya. Fandi baru saja selesai mandi. Ia hanya memakai handuk putih yang dililitkan ke pinggangnya. Ia cepat-cepat menutupi bagian dadanya dengan kedua tangannya.
"Menyiapkan pakaian kerja buat kamu, Mas. Aku ini istri kamu, sudah tugas aku menyiapkan pakaian untuk kamu pakai. Kamu mau yang warna apa? Biru muda atau putih garis-garis biru?" Inggit mengangkat dua buah kemeja untuk Fandi pilih sambil tersenyum.
"Biru muda saja," jawab Fandi tanpa senyum. Fandi mengambil kemeja di tangan Inggit dengan kasar. "Mulai besok tak perlu menyiapkan pakaian kerja untukku lagi, aku bisa sendiri. Satu lagi, kalau mau masuk kamarku tolong ketuk pintu dulu dan jangan masuk sebelum aku ijinkan! Tak sopan namanya main masuk ke kamar orang tanpa ijin!"
Fandi mengusir Inggit dari kamarnya lalu mengunci pintu. Tak putus asa, Inggit melancarkan aksi menggoda Fandi di meja makan. Inggit membuka dua kancing blouse yang ia kenakan dan menampilkan buah sintal miliknya yang kencang dan menggoda. Inggit menemani Fandi sarapan sambil sesekali memamerkan aset miliknya. Sengaja mencari perhatian agar Fandi melihat miliknya dan berharap Fandi akan tergoda.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...." Fandi sampai tersedak dengan ulah Inggit. Cepat-cepat Fandi menghabiskan sarapan paginya agar tak berada di dekat Inggit lebih lama lagi.
Inggit mengantar Fandi sampai depan rumah sambil bergelayut manja di lengan suaminya. Inggit sengaja menempelkan dadanya di lengan Fandi agar suaminya semakin tergoda oleh pesonanya. "Mas, nanti pulang kerja mau aku masakkin apa?" tanya Inggit dengan nada manja.
Fandi melepaskan tangan Inggit. "Aku lembur. Tak perlu menungguku," kata Fandi dengan dingin.
Inggit memeluk Fandi dari belakang, membuat Fandi terkejut dan secara tak sengaja membentak Inggit seraya melepaskan tangan Inggit dengan kasar. "Ngapain sih kamu peluk-peluk aku segala? Gerah tau! Lebay banget sih, aku mau kerja bukan mau pindah rumah! Lepasin aku! Aku enggak suka kamu kayak begini, norak tau!" kata Fandi dengan pedas.
Sambil menahan sakit hatinya, Inggit melepaskan pelukannya. Lepas dari pekukan Inggit, Fandi cepat-cepat pergi ke kantor setelah membanting pintu mobilnya dengan kencang. Inggit terdiam mematung di tempat. Pagi ini ia sudah mendapat penolakan tapi Inggit bertekad akan terus mendekati Fandi sampai Fandi mau menghamilinya.
"Ehem!"
Inggit menoleh dan melihat seorang pria sedang menatap ke arahnya. "Hi! Kamu penghuni rumah baru ini ya?" tanya laki-laki tersebut dengan ramah.
Inggit menatap lelaki di depannya seraya bertanya-tanya siapa lelaki di depannya? Inggit pun menganggukkan kepalnya. "Iya, aku penghuni baru rumah ini. Kamu ...."
"Aku Dalvin Haris, tetangga sebelah rumah kamu." Dalvin tersenyum ramah. Kedua lesung pipinya terlihat membingkai senyumnya. Alis matanya yang hitam lebat dengan rahang yang tegas membuat wajahnya terlihat makin tampan. Dalvin mengulurkan tanganya pada Inggit sebagai tanda perkenalan.
"Aku Inggit. Senang berkenalan dengan kamu." Inggit membalas uluran tangan Dalvin.
****
Entah sudah berapa kali Inggit menguap. Ia menunggu Fandi pulang kerja namun suaminya tak kunjung pulang. Sejak Inggit menggoda Fandi pagi itu, suaminya selalu pulang larut malam dan semakin menghindar bertemu Inggit.
Suara deru mobil di depan rumah membuat Inggit berdiri dan menyambut kedatangan Fandi, sayang bukan Fandi yang datang melainkan Dalvin, tetangganya yang tampan dan suka menyapanya dengan ramah. Raut wajah kecewa Inggit tak bisa ia sembunyikan lagi.
"Masih menunggu suamimu pulang?" tanya Dalvin begitu turun dari mobil miliknya. Bukan sekali dua kali Dalvin melihat Inggit menunggu suaminya dan akan keluar rumah begitu mendengar suara deru mobil miliknya yang mirip mobil suaminya. Tatapan sedih dan wajah kecewa milik Inggit seakan tak bisa Dalvin lupakan begitu saja.
Inggit mengangguk lemah. "Mas Dalvin baru pulang?" tanya balik Inggit sekedar berbasa-basi.
"Iya. Kamu sudah makan malam belum?" tanya Dalvin.
Inggit menggelengkan kepalanya. "Aku menunggu suamiku pulang agar bisa makan malam bersama, Mas."
Kasihan. Satu kata yang Dalvin berikan pada Inggit. Kurang apa Inggit sebagai istri? Cantik, sopan dan perhatian pada suaminya, lalu kenapa suami Inggit seolah tak peduli padanya.
"Kalau suamimu pulang pagi, kamu akan tetap menunggu sampai kamu kelaparan?" tanya Dalvin lagi.
"Ya ... aku akan tidur saja kalau begitu."
"Bodoh!" gumam Dalvin pelan. Sudah ia duga Inggit akan menjawab begitu. Entah kenapa saat melihat Inggit, Dalvin akan teringat dengan cinta pertamanya dulu saat sekolah. Dalvin seakan tak rela melihat Inggit disia-siakan oleh suaminya sendiri.
Dalvin membuka pintu mobil miliknya dan mengeluarkan sekotak pizza yang sengaja ia beli untuk Inggit. "Kalau temani aku ngemil pizza mau 'kan?"
***
Inggit mulai kesepian berada di rumah seorang diri. Fandi semakin hari semakin bersikap dingin padanya. Fandi selalu pulang malam hari dan akan mengunci pintu kamarnya selama berada di rumah. Untuk mengisi waktu senggang, Inggit memutuskan untuk melukis, hobby yang membuatnya lupa waktu dan tak terlalu merasa sepi karena Fandi selalu menghindarinya.
Belum selesai menghadapi sikap dingin Fandi, masalah kembali datang. Sekitar jam 10 pagi Mama Olla datang bersama Dara. Bak nyonya besar yang punya kekuasaan, Mama Olla datang dengan angkuh dan menatap Inggit dengan pandangan mencemooh.
"Sudah satu bulan kamu tinggal di sini, sekarang coba kamu test pack! Apakah ada perubahan atau tidak?" Perintah Mama Olla.
Inggit mengambil benda pipih berwarna biru yang diberikan oleh Mama Olla dengan malas dan menuruti perintah mama mertuanya tersebut. Tentu saja tak pernah ada perubahan, selama Fandi tidak pernah menyentuh Inggit, maka hasil test pack itu akan tetap negatif. Jangankan menyentuh Inggit, Fandi saja sekarang selalu pulang malam. Inggit sudah menyiapkan diri menghadapi kemarahan mertuanya.
Mama Olla kembali murka dan kecewa dengan hasil yang diberikan oleh Inggit. "Masih negatif juga? Kapan kamu positif hamil? Selalu negatif terus! Apa sih kelebihan kamu? Hamil aja kok enggak bisa? Lihat saja orang lain di luar sana, begitu mudahnya hamil. Kenapa kamu sulit sekali sih? Sudah 3 tahun loh kamu menikah dengan Fandi, usaha apa kek. Kamu tuh sudah meminta rumah yang bagus ini sama Fandi, kasih dong timbal balik. Jangan mau enaknya saja minta ini itu sama suami kamu! Kamu pikir Mama akan melepaskan kamu begitu saja? Tidak. Tugas kamu adalah hamil anak Fandi. Mama mau secepatnya kamu hamil anak Fandi atau Mama akan memilihkan wanita lain untuk Fandi nikahi!" omel Mama Olla panjang lebar.
Inggit hanya menundukkan kepalanya menahan amarah yang sekuat tenaga ia tahan. Inggit memilih diam menyembunyikan semuanya. Kalau saja mertuanya tahu alasan kenapa dirinya tak kunjung hamil, mungkin semuanya akan berubah. Mungkinkah mertuanya akan bersikap baik kalau Inggit mengatakan semuanya dengan jujur?
"Percuma mengomeli dia, Ma. Seharusnya Kak Fandi nikah sama Kak Naura saja. Cantik, baik dan pasti bisa memberi Mama cucu. Kak Fandi juga bodoh sih, apa salahnya menunggu Kak Naura sebentar eh malah memilih wanita miskin ini jadi istrinya. Enggak guna! Jauh sekali dia bila dibandingkan dengan Kak Naura, bagai bumi dan langit!" Dara semakin memanasi suasana dengan perkataan pedasnya.
"Sudah, lupakan saja si Naura itu. Jangan sampai Kakak kamu mendengar namanya disebut lagi, bisa-bisa kamu kena marah dia," tegur Mama Olla pada Dara.
Mama Olla kembai menatap Inggit dengan tatapan sebal. "Mama jadi lapar nih kebanyakan ngomel sama kamu, buatkan Mama makan siang. Sekarang. Enggak pakai lama!" Bak seorang bos besar, Mama Olla seenaknya saja mengomeli dan memerintah Inggit.
Dara juga ikut-ikutan dengan Mamanya. "Panas banget sih nih rumah, enggak pakai AC di setiap ruangan apa? Pelit banget sih. Aku jadi gerah kalau berada di sini. Aku haus, aku mau jus alpukat. Cepat buatkan!" perintah Dara.
"Aku enggak punya buah alpukat, Dara. Kalau jus jeruk saja, mau?" tawar Inggit.
"Aku enggak mau tahu, pokoknya aku mau jus alpukat ya jus alpukat, seenaknya saja kamu mau ganti dengan jus jeruk. Sudah, kamu pergi saja ke minimarket depan dan belikan aku alpukat lalu kamu buat jus sendiri. Masa sih begitu saja harus aku ajari. Sudah miskin, bodoh pula!" perintah Dara dengan seenaknya.
"Tunggu apa lagi? Kamu mau anak saya kehausan? Pergi sana! Jangan malas jadi orang. Sudah mandul, miskin, tidak berguna eh malas pula!" cibir sang mertua dengan pedasnya.
"Baik, Ma. Aku pergi dulu beli alpukat." Dengan terpaksa Inggit pergi ke supermarket depan untuk membelikan alpukat yang Dara minta. Untunglah ada supermarket di seberang komplek tempat tinggalnya berada.
Peluh mulai bercucuran di kening Inggit. Kalau naik kendaraan memang tidak terlalu jauh tapi kalau berjalan kaki ternyata lumayan jauh. Cuaca yang terik membuat tenggorokan Inggit terasa kering.
Tiin!
Suara klakson mobil membuat Inggit terkejut dan reflek menoleh ke belakang. Jendela mobil pun diturunkan dan ternyata yang mengklakson Inggit adalah Dalvin, tetangga sebelah rumahnya yang baik hati dan ramah.
"Hai, Inggit! Kamu dari mana?" tanya Dalvin dengan senyum tampannya yang dihiasi lesung pipi yang sangat indah tersebut.
"Aku habis dari supermarket depan." Inggit mengangkat kantong plastik berisi alpukat yang ia beli. "Aku mau buat jus."
"Naiklah! Aku juga mau pulang ke rumah. Mataharinya terik sekali, nanti kulit kamu hitam loh berjalan di siang hari yang terik ini!" ajak Dalvin.
Inggit pun menerima tawaran Dalvin. Inggit mengajak Dalvin mengobrol agar tidak canggung. "Mas baru pulang kerja? Mas Dalvin kerja apa sih? Kok jam kerja Mas tidak beraturan ya?" tanya Inggit.
"Ya ... namanya juga kerja serabutan. Jam kerja aku tidak menentu. Kadang bisa kerja seharian tanpa henti, kadang cuma perlu datang sesekali dan sisanya di rumah aja," kata Dalvin merendah.
Inggit masih ingin bertanya namun mereka sudah sampai di depan rumah. Setelah mengucapkan terima kasih, Inggit pun masuk ke dalam rumah.
"Lama banget sih disuruh beli alpukat saja? Ngegosip dulu ya? Sudah haus nih! Cepat buatkan!" perintah Dara.
"Mama juga lapar, masakan kamu sudah dingin. Buatkan lagi untuk Mama yang baru!" perintah Mama Olla.
****
Inggit mengadu pada Fandi tentang perbuatan keluarganya. "Apa susahnya sih beliin alpukat di supermarket depan komplek? Kamu saja yang malas! Pakailah motor di garasi kalau kamu tidak mau pergi jalan kaki. Jangan kebanyakan menceritakan keburukan keluargaku hanya karena kamu tak menyukai mereka!"
"Tapi, Mas, apa yang keluarga kamu lakukan sudah keterlaluan, mereka-"
"Aku pergi dulu!" Fandi pergi dan mengacuhkan Inggit. Mendengarkan perkataan Inggit saja Fandi tak mau. Inggit benar-benar seorang diri, tak ada suami yang peduli padanya.
"Kalau kamu tidak suka, lawan! Jangan diam saja!" Kedatangan Dalvin yang tiba-tiba membuat Inggit terkejut.
"Mas Dalvin?"
"Kenapa sih kamu pasrah banget jadi orang? Dihina, diperlakukan seenaknya dan diacuhkan oleh mereka cuma kamu balas dengan sabar gitu? Ih aku sih ogah! Kalau kamu terus lemah begitu, mereka akan semakin menjajah kamu. Lawan, Git. Kamu berhak membela diri kamu sendiri. Jangan mau diperlakukan begitu sama mereka!"
"Terima kasih atas sarannya, Mas. Ini urusanku, Mas tak perlu ikut campur!" Inggit kembali masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Dalvin.
"Kenapa sih kamu masih bertahan dengan suamimu yang tak bersyukur itu?" gumam Dalvin. "Lemah sekali jadi perempuan!"
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!