NovelToon NovelToon

SUKI

01. Miss Uki

Suki bukan artis kelas.

Suki bukan anak organisasi.

Suki bukan pegurus kelas.

Suki bukan anak OSN.

Suki bukan anak FLS2N.

Suki bukan anak cupu, apalagi anak nakal.

Tapi Suki adalah Suki. Dia anak biasa yang tidak bisa dideskripsikan apa istimewa dan kekurangannya.

Suki hanya terlalu biasa.

Terlalu datar sehingga tak ada naik atau turun, lurus. Bukannya Suki tidak niat hidup, namun prinsip dan tingkah lakunya memang sudah seperti itu.

Suki tak bisa mengubah ataupun diubah.

Hingga saat ini, Suki masih hidup lurus. Semuanya dilakukan sesuai aturan dan keinginannya. Suki tidur jam delapan malam dan bangun jam empat pagi. Selalu membawa bekal dan membawa uang pas. Punya jadwal keramas dan makan es, dan hal lainnya.

Mungkin terlihat membosankan, tapi Suki benar-benar menikmati hidupnya yang lurus ini.

Hari ini hari Senin kedua di semester pertamanya menginjak kelas sebelas. Semuanya masih lancar dan Suki tak mendapat masalah yang membuat hidupnya rumit.

Suki berangkat pukul enam lewat sepuluh seperti biasa dengan diantar Grab andalannya.

Pelataran depan gerbang masih lumayan sepi saat Suki tiba. Hanya ada beberapa anak rajin yang Suki hafal mukanya, namun tidak dengan namanya. Ada juga OSIS yang kebagian piket dan beberapa staf kebersihan sekolah.

Suki lanjut berjalan melewati lapangan Voli menuju kelasnya, 11 MIPA 2 sambil memakai earphone, mendengarkan kombinasi suara dari Seventeen. Langkah kecil Suki baru membuatnya tak sampai dua perdelapan lapangan saat tiba-tiba sebuah tas melayang melewati tepat di depan wajahnya yang membuat Suki melotot kaget dan berhenti.

"JAGAIN TAS GUE, LIK!" teriak sebuah suara dari lapangan yang masih bisa Suki dengar.

Suki menoleh ke lapangan. Di sana ada dua orang lelaki yang sedang bertengkar. Mereka saling memukul pipi satu sama lain, kadang yang satu menjotos perut yang lain. Suki hanya menonton tak bisa berkutik.

Suki seperti melihat film aksi secara langsung saja.

Mereka juga terlalu cepat. Pukul pipi kanan, tendang perut, saling menyerunduk. Kadang mengumpat dan mengiris.

Jam yang masih pagi membuat keberadaan mereka tak ditemukan dan tak ada orang yang menghentikan mereka.

Suki tidak bisa bergerak, kaki tiba-tiba kaku. Suki tak bisa berkata, lidahnya tiba-tiba kelu seolah ada yang menahan.

Apa gue datang terlalu pagi? Apa harusnya tadi gue lari aja? Batin Suki kebingungan. Lama ia menonton perkelahian itu, tanpa sadar ia memungut tas tadi dan memeluknya erat, lalu berlari secepat mungkin menuju kelasnya, meninggalkan lapangan tempat dua orang tadi berkelahi.

Suki tak mau terlibat dan membuat semuanya jadi ribet. Suki hanya harus berada di belakang garis, tak terekpos dan sebisa mungkin tersembunyi dari segala yang jahat.

Keringat sudah menghiasi pelipis Suki saat dia masuk ke kelasnya yang masih sepi. Helaan napasnya yang terengah terdengar jelas.

Saat Suki sampai di mejanya, dekat jendela dan paling belakang, ia baru sadar bahwa ia membawa sebuah tas asing. Dan begitu ia melihat jendela, terlihat pemandangan lapangan yang sudah diisi oleh beberapa anak dan penjaga sekolah serta guru.

Suki tersentak melihatnya. Namun begitu bersyukur saat jalan yang ia pilih benar.

Lari dan tak terlihat.

Baru saja sebentuk senyum muncul di wajah Suki, raut kaget dan was-was menggantikannya.

Tas asing itu ada di atas meja Suki.

*

Pikiran Suki tidak sinkron dengan dunia nyata selama beberapa jam pelajaran berlalu. Teman-temannya sempat bertanya tas milik siapa yang ia bawa, namun Suki menggeleng cepat dan menjelaskan bahwa mereka tak perlu ambil pusing.

Suki tak ingin kena masalah seandainya di tas ini ada barang-barang tawuran dan jika mereka serta guru-guru tau, bisa mati Suki.

Seharusnya Suki tidak memungut tas ini sehingga tak perlu jadi seperti ini. Masalahnya Suki tak tau pemilik tas ini dan ia terlalu khawatir untuk tidak memikirkan resiko dari eksistensi tas ini di mejanya.

Peringai Suki memang suka berlebihan dalam menghadapi masalah kecil, maka pikiran bahwa pemilik tas ini adalah berandal, membuat Suki berkeringat dingin.

Mungkin saja orang tadi kini berada di ruang BK dan mendapat poin buruk. Suki tak mau ketularan poin buruk jika berinteraksi dengannya.

Suara bel tanda jam istirahat pertama membuat lamunan Suki buyar dan sadar anak-anak sudah berisik ke kantin. Suki menghela napas dan mengalihkan pandang ke lapangan, di mana terdapat firasat bahwa si pemilik tas ini ada di sana.

Namun, firasat Suki salah. Orang wajahnya aja gatau, masa bisa langsung menemukannya.

Lagi, Suki menghela nafas, mengambil kotak makannya dalam tas dan meletakkannya di atas meja. Suki bukan tidak punya teman ke kantin, tapi ia lebih suka sendirian dan makan makanan dari rumah. Lebih sehat dan terjamin.

Menu makannya tak jauh dari brokoli, wortel, telur rebus, sayap pedas, nasi goreng, mie goreng, martabak telur, martabak mie, telur mata sapi dan ayam goreng. Tak banyak yang bisa Suki masak sendiri, tapi dia puas dengan hari ini memakan nasi goreng dengan serpihan sosis, telur, wortel, otak-otak dan kecap.

Porsinya biasa karena Suki tak bisa diet ataupun over. Kalau ngemil, Suki bisa banyak sambil nonton atau streaming.

Kelasnya tidak terlalu sepi karena ada beberapa yang mengerjakan tugas untuk jam berikutnya, ada yang baca novel dan yang lainnya main ponsel. Suki biasa makan sepuluh menit dan setelah itu minum kemudian demus sampai masuk lagi.

Namun, saat tiga menit menjelang bel berbunyi dan anak-anak kelas hampir semuanya ada di kelas, tiba-tiba ada lima lelaki asing di mata Suki masuk kelas dengan lagak berandal.

Suki melotot kaget dan segera melepas earphonenya. Ia melihat Selena di ambang pintu, mungkin hendak masuk namun tak jadi karena ada lima lelaki ini yang seperti punya pengaruh, karena anak-anak kelas juga diam.

"Ekhm," mulai seorang lelaki berjaket merah duduk di atas meja. Sementara empat lainnya mulai berpencar mendominasi kelas seperti mencari sesuatu. "Kita minta waktunya sebentar. Kalau kita kerjasama, gue yakin nggak ada yang bakal dirugikan."

Lelaki itu tersenyum manis, tapi membuat Suki merasakan aura jahat. Pasti mereka adalah salah satu dari yang tadi berkelahi.

Suki meneguk ludah.

Pasti mereka mencari tas ini.

Suki makin berdebar saat seorang lelaki bergelang tengkorak mendekati mejanya. Ia melirik Suki dingin, kemudian menoleh pada lelaki jaket merah di meja guru di depan sana.

"Lik," katanya memanggil si jaket merah.

Lelaki berjaket merah itu melompat dari meja guru dan menghampiri meja Suki. Membuat Suki hampir kehabisan nafas sementara anak-anak kelas melihatnya was-was serta penasaran.

"Hm," gumam si jaket merah melihat tas di atas meja Suki. Lalu ia melirik Suki datar. "Lo gak liat isinya kan?"

Suki menggeleng cepat hingga beberapa rambutnya kusut dan acak-acakan ke depan.

Si jaket merah tertawa kecil. "Yakin?"

Kini Suki mengangguk kelewat cepat dan kaku. Ini pertama kalinya Suki dikerubungi dua lelaki asing bertampang berandal. Suki sudah *** roknya kelewat kuat hingga buku-buku jari tangannya memutih.

"Ck," decak si jaket merah sambil membasahi bibirnya, lalu ia duduk di kursi kosong di depan meja Suki, mengintip wajah Suki yang menunduk. "Jangan takut, anggap temen aja. Kita bukan orang jahat."

Perlahan, Suki mengangkat kepalanya, menatap wajah si jaket merah dengan ragu.

Senyum lebar muncul di wajah lelaki itu. "Gitu dong. Btw, makasih ya udah bawain tas ini," katanya berubah ramah. Matanya menyipit mencoba membaca tulisan kecil di sampul buku Suki di sebelah tas.

"Uki," katanya tersenyum lebih lebar, kemudian berpaling pada mading di belakang kelas. "11 IPA 2."

Ia bangkit berdiri dan mengambil tas hitam di atas meja Suki kemudian melirik empat temannya. "Ayo, To, Ri, Vi, balik ke kelas. Pelajaran Pak Oka."

Setelah itu, Suki hanya mampu melihat punggung-punggung asing itu keluar kelas. Begitu mereka hilang, kelas kembali bersuara dan Suki dilontari banyak pertanyaan membingungkan yang ia tidak tahu jawabannya.

Banyak sekali yang Suki bingungkan.

Tapi satu yang Suki sadari, lelaki berjaket merah tadi tidak bisa mengenali huruf S.

*

02. Starry Night

"Lihatlah langit berbintang ketika kamu rindu seseorang, barangkali dia juga melihat lagit yang sama."

*

Dulu, saat Suki kecil, ia berjanji bahwa apapun jalan yang akan Suki ambil di masa depan, Suki kecil akan menerimanya jika hal itu tidak merugikan dan mengganggu waktunya di rumah.

Suki masih suka berdiam di rumah dan beraktivitas di sana. Tak apa tanpa teman, tanpa bincangan remaja ataupun rencana kencan bersama lawan jenis. Suki suka kesunyian dan ia menikmati kesendirian.

Juga menghindari berhubungan dengan orang asing yang tak jelas lebih dari satu hari.

Suki hanya ingin hidup damai, tanpa hambatan dan rasa mengganjal.

Tapi seberapa banyakpun Suki mencoba berpikir tenang, bayangan kejadian tadi siang masing hangat di ingatannya. Malam ini dingin, namun Suki berkeringat dan berdebar saat membayangkan hari esok.

Mungkin, sangat mustahil si jaket merah tadi akan menemui Suki lagi-

"Huuuuuuft," keluh Suki was-was.

-jika kini tak ada jam tangan asing berada di tangan Suki!

Suki tak tahu apa yang membuatnya mudah memiliki barang asing. Suki juga tak tahu bagaimana caranya sebuah jam tangan asing berada di saku roknya. Entah saat Suki mengambil tas hitam milik si jaket merah atau memang ada saat Suki tanpa sadar memasukkan jam tangan itu ke saku roknya.

"Ini gimana?" khawatir Suki melihat jam tangan hitam di atas meja belajarnya. "Kenapa gue hari ini sih?"

Suki melirik jam dinding, baru pukul enam lewat tigapuluh malam. Menghela napas sekali lagi, perempuan berambut sebahu itu melangkah dekat jendela dan membukanya. Membuat poni dan anak rambutnya bergerak diterpa angin malam yang sejuk.

Gadis itu menutup matanya, mencoba rileks. Menghirup udara dengan pelan, kemudian mengeluarkannya perlahan. Setidaknya Suki harus bisa lebih tenang sejenak untuk menghadapi hari esok.

"Ah, ada bintang," gumam Suki tersenyum tipis melihat langit malam yang dihiasi kerlip bintang.

Lama Suki memandanginya.

Matanya menyendu ketika teringat seseorang. Suki menghela napas sebelum bicara pada langit berbintang itu. "Gue nggak tau jenis-jenis atau rasi bintang yang selalu lo omongin, tapi gue harap sekarang lo lagi lihat langit. Bintangnya cantik-cantik."

Satu bulir air mata menitik di pipi kiri Suki. Ada yang menyendat hatinya dan membuat Suki tiba-tiba sulit bernapas. Napasnya terengah, dan akhirnya Suki menangis terisak kecil.

"Suparman, kapan sih lo dateng," kata Suki disela isak tangisnya yang pelan. "Gue kangen," katanya menatap langit berbintang seolah meminta permohonan.

Hanya hening yang menyambut permohonannya.

Suki menghela napas lelah sebelum menutup kembali jendela dan menghapus jejak air mata di pipinya. Entah sejak kapan Suki menjadi serapuh ini, tapi ini pertama kalinya Suki benar-benar membutuhkan kehadiran Suparman.

Suparman selalu jadi pendengar dan penasihat cerita hidup Suki. Suparman selalu menemaninya, Suparman membuatnya bahagia. Kehadirn Suparman melengkapi hidupnya. Tapi, Suparman harus pergi dan membuat Suki kesepian selama dua tahun ini.

Dan malam ini Suki kembali mengingat Suparman karena melihat bintang di langit.

Dulu, ada saat di mana Suparman mengajak Suki ke taman setelah acara sukuran di rumah teman. Suki mengajak Suparman langsung pulang ke rumah, namun Suparman mengatakan bahwa ia ingin diam dulu di taman.

Tak tega membuat Suparman sendirian dan karena baru pukul enam malam, Suki ikut duduk di sebelah ayunan yang Suparman dudukki.

Suparman menegadah ke langit. "Liat, Ki, ada bintang," katanya senang menunjuk salah satu bintang yang paling terang.

Suki melihat senyum Suparman lalu ikut melihat arah yang sama. Seulas senyum terbentuk repleks di wajahnya. "Cantik."

"Cantik karena dilihat sama temen."

"Emang kalau dilihat sendiri gimana?"

Suparman menggedikkan bahu. "Gatau soalnya gue nggak pernah nyobain. Tapi gue rasa nggak akan lebih berkesan daripada kalo dilihat sama temen."

Suki hanya tersenyum menanggapi perkataan Suparman. Malam itu adalah malam pertama Suki melihat bintang dengan teman.

Dan malam ini adalah pertama kalinya Suki melihat bintang tanpa teman. Senyum pahit terukir di wajahnya.

Iya, lo bener. Rasanya nggak lebih berkesan dibanding saat gue melihatnya sama lo. Batin Suki.

Mungkin Suparman tak tahu, tapi Suki senantiasa menanti kedatangannya kembali. Dan ketika saat itu tiba, Suki akan mengatakan segalanya.

Segala rasa yang Suki punya untuk Suparman.

Suki hanya perlu menunggu Suparman.

Suara getar ponsel di atas meja membuat lamunan Suki pecah. Di layar tertera nama sang penelepon, Selena. Tak memakan waktu lama, Suki sudah duduk di kursi belajarnya dengan ponsel menempel di telinga, menjawab panggilan.

"Ada apa, Sel?"

"Eh, lu, Suki. Gue pengen ketemu langsung sama lo biar leluasa, tapi sayangnya nyokap gue gak ngijinin karena dia takut sendirian di rumah. Yaudah gue jadi gak bisa ke rumah lo."

"Iya, terus?"

"Jangan. Nanti nabrak."

Suki menghela napas sabar. "Selena. Bilang apa keperluan lo atau gue tutup teleponnya."

"Et dah, galak amat, pantesan jomblo terus."

Suki berdecak dan Selena cepat-cepat merespon kelewat heboh. "Eh, jangan! Jangan! Jangan! Jagan ditutup dulu, gue mau tanya sesuatu yang penting nih."

"Iya, apa?" ketus Suki.

"Untung lo sepupu gue, udah bagus gue perhatiin, eh, balesannya gak jauh indah dari tai ayam."

"Please ya, kalo lo bacot no sense lagi gue langsung tutup."

"Iya, iya, gue mau serius sekarang." Selena berdeham di sana. "Lo inget tadi gue mau ke kelas lo tapi gak jadi?"

"Eh-hm, terus?"

"Lo tau kenapa?"

"Karena tiba-tiba kebelet pipis jadi lo balik lagi?" tebak Suki.

"Bukan," balas Selena seperti menahan amarah. "Itu karena ada Felik sama temen-temennya di kelas lo?"

"Hah?"

"Ada lima cowok yang masuk ke kelas lo pas gue mau nyamperin lo buat minjem catatan bahasa inggris."

"Oh mereka."

"Iya! Mereka ngapain ke kelas lo?"

Suki tak mau membahas lebih lanjut, tapi Selena langsung bersuara. "Cerita aja, Ki. Gue jadi sepupu lo buat apa? Buat nemenin lo kalo ada masalah, kalo ada kesusahan. Lo boleh aja bahagia tanpa gue, tapi jangan sekalinya lo sedih sendirian."

Suki terperangah, merasa amat tersentuh sampai air matanya hampir keluar lagi. Dadanya sakit, tapi senyum senang merekah di wajahnya.

Air mata Suki meleleh, ia menutup mulutnya mencoba menghentikan tangis.

"Dan lagi tadi gue liat Felik ngerubungin meja lo. Itu kenapa?" tanya Selena lagi. "Gue sengaja nggak tanya ke orang lain, karena gue mau cerita yang sebenarnya dari lo."

"Selenaaa......" lirih Suki menangis. "Gue takut."

"Takut kenapa? Lo diapain sama Felik?" tanya Selena khawatir.

"Jadi gini....." akhirnya Suki bercerita bagaimana pertama kali ia mengambil tas asing secara tak sadar dan kini ada jam tangan asing di tangannya. "Btw, Felik itu siapa sih? Yang pake jaket merah?"

"Iya. Dia anaknya bandel, pokoknya lo jangan berurusan sama dia atau temen-temennya. Ba. Ha. Ya."

"Iya, gue juga pengennya gitu." Suki berdecak melirik jam tangan hitam itu. "Tapi masalahnya ini jam tangan. Pasti Felik datangin kelas gue lagi."

"Tinggal kasih doang elah."

"Takut, Selena. Gue takut. Gue gak biasa hadap-hadapan sama anak yang suka gelut. Tadi pagi aja gue keringet dingin liat yang gelut di lapang."

"Oh, lo liat yang gelut?"

"Iya." Suki mengangguk, walau tau Selena tak bisa melihatnya. "Si Felik kan?"

"Ck, bukan. Lo ini kudet banget sih, anak bandel yang terkenal gitu aja kagak tau. Mereka ditakuti karena suka mukul orang, juga ngebully mereka yang lemah atau nentang." Selena jadi mengomel, membuat Suki cemberut kesal. "Yang gelut itu Zidan sama Opik, gue denger mereka sekarang dihukum bersihin kantin sama lapangan. Zidan di lapangan, Opik di kantin."

"Terus Felik siapa?"

"Temennya Zidan."

"Oh."

"Oh doang?"

"Terus gue harus apa?"

"Zidan tuh berandalan, galak, sensian dan nyeremin. Felik sih mendingan. Kalo diibaratkan, Felik tuh masih beruang, sedangkan Zidan tuh udah Singa." Selena bercerita panjang. "Sentuh dikit, abis lo."

"Kan ada lo. Temenin ya."

"Ck." Selena seperti menahan kesal. "Besok gue gak sekolah karena mau ke nenek dan gak bisa nemenin lo."

Suki berubah was-was lagi. "Gue harus menanggung sendiri?"

"Siapin aja mental dan jiwa raga, besok Zidan pasti ke kelas lo. Soalnya, jam tangan itu."

"Jam tangan itu?"

"Ada plester batiknya gak?"

Suki melirik jam tangan itu dan baru menyadari ada plester batik awan biru melekat di sana. "Ada."

"Fixs. Itu jimatnya Zidan."

Malam ini, berkat perkataan Selena, Suki bergadang dengan pikiran tak tenang semalaman sampai pagi menjelang.

*

03. Udi, Uki, or ...?

Esoknya, Suki sampai di sekolah pukul 06.30 setelah malamnya terjaga.

Pelataran depan gerbang sedikit berbeda saat Suki tiba di sana. Biasanya sepi, tapi kini jalanan mulai padat oleh siswa-siswi dan Suki tak menyukainya.

"Eh, kemaren gue liat Dina sama Albi jalan, gila, mereka ternyata sepupuan!"

"Kemaren gue dikasih jam tangan sama Aldo, lucu banget njir, dikadoin gitu, ada suratnya."

"Alay, bagusan gue dikasih donat, martabak sama mochi cokelat favorit gue."

"Pulang sekolah anter beli tas, kuy!"

"Ntar hot wings, yak!"

Suki merasa sangat minder mendengar percakapan anak-anak yang mberjalan di sampingnya, ia membasahi kedua bibirnya. Dengan kepala menunduk, ia berjalan cepat menuju kelasnya.

Epik High School punya banyak wajah rupawan, barang-barang mewah dan tubuh ideal, sementara Suki anaknya biasa aja dan hal itu membuat Suki tak percaya diri serta sedih. Namun, karena pesan Ayah Ibu dan perjuangan mereka menyekolahkannya di sini membuat Suki setidaknya berusaha.

Berusaha menjadi tak terlihat dan tidak mendapat ejekan. Tujuan Suki hanya satu, lulus dengan nilai standar atau jika bisa, melebihi standar. Suki hanya tak ingin ribet dan mempunyai masalah dengan orang lain.

Memang, ada segelintir orang baik hati seperti Selena dan teman-temannya, tapi ada juga yang bersikap sebaliknya.

Seperti di film-film gitu, anak cupu, dekil dan rendah seperti Suki dibully oleh ratu atau penyihir jago nyinyir.

Suki tak mau mengalaminya hari ini. Maka dari itu, Suki sampai dibuat erengah-engah saat sampai di kelasnya yang baru didatangi oleh sepuluh orang demi terhindar dari mara bahaya.

"Oy, Ki! Kenapa keringetan gitu?" tanya Udi langsung ketika melihat Suki. Napas Suki yang terengah membuat Udi mengalihkan pandangan penasaran dari ponselnya. "Abis marathon? Sprint? Renang? Atau lompat jauh?"

Suki hanya tersenyum meringis. "Nggak, kok, hehehe."

Lalu Suki berjalan ke arah kursinya melewati Udi yang kini kembali sibuk main Hago di mejanya yang dekat pintu masuk kelas.

Alasan mengapa Suki selalu datang pagi adalah karena ia tak mau menjadi perhatian atau objek visual anak-anak EHS. Lalu kini Suki datang dua puluh menit lebih telat dari biasanya, benar-benar sebuah perubahan.

Dan yang mengubahnya adalah Selena.

Iya, ini salah Selena. Mengapa dia berkata tentang sesuatu yang membuat Suki membayangkan hal buruk yang tak berujung.

"Ki," panggil Rana, cewek yang duduk di samping Suki yang sedari tadi memerhatikan Suki karena ada yang ingin ia sampaikan.

Suki menoleh setelah menyimpan tasnya di samping meja. "Iya?"

"Tadi ada yang nyariin."

"Siapa?"

"Hm," Rana tampak berpikir sebentar, lalu akhirnya mengangkat bahu tak tahu. "Gue gak yakin siapa namanya, tapi dia cowok. Kayaknya jahat, galak, bandel dan liar."

Mata Suki membulat. "Felik?"

Rana mengernyit. "Lo tau bakal dicariin?"

"Hah?" raut wajah Suki berubah tegang, tapi detik berikutnya ia tersenyum sok tenang. "Nggak. Gue juga nggak tau ada apaan dan kenapa dicariin."

Rana mengangguk dan kembali memainkan ponselnya. Suki duduk kaku di tempat duduknya dengan banyak pikiran muncul di otaknya.

Suki mengambil napas, kemudian mengeluarkannya seolah membuang asumsi negatif yang muncul.

Jangan libatkan banyak orang, tenang dan hadapi Felik atau Zidan kalau udah waktunya. Oke, Suki, fighting!

*

"Siapa namanya?" tanya Zidan tanpa basa-basi ketika Felik nongol ke kelas. Raut wajahnya ketus seperti biasa.

"Siapa namanya?" tanya Felik balik, tak mengerti. Cowok berhodie abu itu menaruh tasnya di depan meja Zidan yang kini wajahnya sudah makin masam.

"Ck, yang ngambil tas gue kemaren."

"Oh, dia."

"Iya, siapa namanya, Likku sayang," jawab Zidan tersenyum lebar yang terkesan dipaksakan. Merasa masih perlu kesabaran lebih buat berteman dengan Felik ini padahal sudah tiga tahun bersama.

"Uki," jawab Felik yakin sambil duduk di kursinya, tak merespon tabiat baperan Zidan karena ia memang sudah seperti itu, tak bisa diubah. "Gue liat di bukunya, namanya Uki anak 11A2. Cewek."

"Nggak ada tuh, yang ada Udi, cowok lagi," balas Zidan sewot sambil melempar buku absen kelas 11 IPA 2 pada Felik. "Noh, baca sendiri."

Felik mengerutkan dahi menangkap buku absen itu. Kemudian tersadar akan sesuatu setelah meneliti buku yang ada di tangannya.

Cowok itu berdiri dramatis dengan wajah terkejut. "BUSET, LO NYOLONG ABSEN KELAS ORANG? MABOK LU YAK?"

Anak-anak kelas langsung menoleh ke arah Felik dengan tatapan terganggu sekaligus bosan.

"Lik, masih pagi, sayang, jangan berisik."

"Felik ke UKS dulu sana."

"Gila, Felik suara lo emas. Kenapa nggak ikutan DMD?"

"Bacot kalian," balas Felik kebawa emosi. "Dan, ini lo serius nyolong?"

Zidan hanya meringis, menggosok-gosok kupingnya yang seperti pecah habis menangkap gelombang suara lumba-lumba milik Felik.

"Bukanlah, Ege. Gue nggak nyolong, cuma minjem bentar doang."

"Bilang dulu nggak?"

"Kagak."

"Hadeh, itu namanya nyolong, Sayangku Cintaku menak jinggo," keluh Felik menimpuk keningnya sendiri dengan telapak tangan. "Gue punya temen gini amat, Lord."

"Orang di sana cuma lima orang," jawab Zidan enteng. "Gak bakal ribet mereka, orang cupu semua. Disentil dikit, musnah."

Felik melongo mendengar ocehan Zidan. Ia tak bisa berkata-kata lagi.

Mengabaikan reaksi Felik, cowok bermata sipit lelah itu kemudian bangkit dan menatap Felik serius.

"Pokoknya, sekarang lo balikkin absen itu, gue mau kantin dulu," katanya tanpa ekspresi, kemudian tanpa aksi lebih lanjut, Zidan keluar kelas meninggalkan Felik yang masih dibuat kaget.

"Gila, gaulnya terlalu tinggi dia, songong bener berasa tuan sultan," gerutu Felik kesal.

Cowok itu dengan kesal duduk di kursinya sambil membaca daftar nama kelas 11 MIPA 2. Hanya ada dua puluh orang, tapi tak ada nama Uki di sana setelah Felik membacanya tiga kali.

"Ini Udi, ini Dudi, terus Luki, kok gak ada Uki?"

Alis Felik bertaut tanda berpikir keras.

"Hmmm."

Felik membaca absen tersebut lebih teliti.

"Gue salah baca apa gimana?" heran Felik menyerah dan akhirnya menutup buku absen itu. Ia bangkit dari duduknya sambil merapikan baju seragamnya serta hodienya.

Mungkin gue harus pipis dulu, biar lebih konsentrasi, batin Felik segera keluar kelas dan berjalan cepat menuju toilet.

Malam tadi ia minum dua kotak susuk UHT yang lusa kedaluwarsa dan belum buang air.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!