Sore hari, Nadira sudah menentukan janji temu dengan seorang temannya di pinggir jalan yang agak sepi. Merasa tak ada kepastian, ia membuka aplikasi percakapan di ponselnya lalu menekan tombol panggilan guna menanyakan keberadaan temannya itu.
Belum sempat teleponnya tersambung, tiba-tiba saja dari arah kanan, seorang pria asing yang berpakaian serba hitam menodongkan pistol ke arahnya, membuat tubuh gadis berhijab cokelat itu gemetar.
"K-kau siapa? Jangan bunuh aku! Aku hanya numpang parkir di sini. Ak-aku sedang menunggu teman, nih coba lihat ponselku, aku sedang meneleponnya" ujarnya agak terbata sambil menunjukkan ponselnya.
Pria itu mendelik, tak peduli. Dari arah berlawanan ia berdiri, segerombol orang berlari ke arahnya sambil mengacungkan pistol. "Cepat masuk!" perintahnya, Nadira yang tak tahu kondisi sebenarnya hanya mematung kebingungan.
"Masuk ke mobil atau kau akan mati di sini" tanpa menunggu reaksi dari Nadira, pria itu langsung mendorong Nadira masuk sedang ia sendiri mengambil alih kemudi.
Begitu memastikan Nadira sudah duduk ia langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan orang-orang yang mengejarnya di belakang. Belum sempat Nadira menetralkan detak jantungnya, tiba-tiba dari arah belakang mobilnya ditabrak dengan keras. Menimbulkan goncangan yang membuatnya terantuk ke depan.
"Pakai sabuk pengaman dan menunduklah!" ujar pria asing itu masih fokus menatap ke depan. Merasa tak punya pilihan, Nadira akhirnya menuruti perkataan sang pria, meski dalam hati ia merutuki pria asing di sampingnya.
"Ya Tuhan, apa salahku di masa lalu hingga Engkau menempatkan aku dalam situasi sulit seperti ini?" batinnya.
Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan kian nyaring, memekak telinga Nadira yang tak biasa mendengar desing peluru, gadis itu menutup telinganya dengan kedua tangannya kuat-kuat. Matanya terpejam rapat, lisannya tak henti merapal doa. Ya Tuhan, selamatkanlah hamba...
Kemudian, mobil melaju dengan cepat, beberapa kali menukik tajam hingga kepala Nadira terbentur dashboard. Namun tak ia hiraukan itu, fokus kepalanya hanya tertuju pada apakah ia akan selamat atau tidak. Bahkan janji temu yang ia buat terlupakan sepenuhnya.
Hingga beberapa menit berselang, akhirnya mobil mereka lolos dari kejaran pembunuh bayaran tersebut. Arsen menatap gadis yang masih tertunduk itu dengan heran. "Kau sudah boleh membuka matamu," katanya.
"Hah? Apa?" tanya Nadira dengan bingung. Matanya mengerjap, "su-sudah lolos?" ia lantas duduk dengan tegap dan menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa. "Mereka tadi itu, siapa?" Arsen menoleh, menatap gadis itu dari atas sampai ke bawah. Menelisik.
Ia menatap Nadira sekilas "Pembunuh," jawabnya singkat dan kembali fokus pada jalanan di depannya.
"APA? PEMBUNUH? KOK BISA?"
"YA TUHAN AKU BELUM MAU MATI. KENAPA HIDUPKU BERUBAH DRASTIS GINI, MINIMAL KASIH PAHAM DULU LAH" Nadira mulai meracau tak jelas soal hidup dan mati. Di samping, Arsen memijat pelipisnya.
"Baru saja lolos dari pembunuh" batinnya. Ia lalu menghentikan mobil guna menjelaskan posisinya saat ini kepada Nadira agar gadis itu tidak salah paham.
"Siapa namamu?" Nadira beralih, "Ha? Eh, Na-Nadira" jawabnya gugup, matanya bertemu tatap dengan Arsen, untuk beberapa detik keduanya saling menatap. Merasa gugup ditatap pria asing, Nadira lebih dulu memalingkan wajah.
"Oke, Nadira. Dengarkan saya, sebelumnya saya minta maaf telah melibatkan kamu dalam situasi sulit ini. Tapi, saya janji saya akan bertanggung jawab padamu nanti."
"Saya akan jelaskan kondisi saya saat ini dan saya harap kamu mengerti, ya. Saya sedang dikejar oleh pembunuh bayaran. Nyawa saya dan mungkin kamu juga dalam bahaya sekarang."
"Saya minta kamu untuk mengikuti saya dan jangan jauh-jauh dari saya, are you listen?" Nadira mengangguk. Meski ia tak paham dan tak tahu bagaimana situasinya, tapi Nadira mencoba patuh. Bagaimana pun ini menyangkut nyawanya.
"Okay, good girl. Sekarang saya ada urusan penting di dalam sana," jarinya menunjuk ke dalam bangunan tua di dalam hutan. Nadira bergidik ngeri.
"Saya harus mengambil sesuatu. Kamu tunggu di sini sa-"
"Ikut! Saya ikut pokoknya!" desaknya cepat, ia takut kalau orang-orang tadi mengejar mereka. Lalu ia jadi sasaran empuk untuk ditembak.
"Bagaimana jika orang-orang tadi mau membunuh saya? Saya belum mau mati, Pak. Tolong ... " kata Nadira memohon dengan gemetaran. Arsen tampak menimbang resiko dan sebab akibat jika seandainya gadis itu ikut dengannya.
"Kamu pernah belajar menembak?" tanya Arsen kemudian, Nadira menggeleng keras. Ia tak pernah berurusan dengan pistol, tembak menembak atau apapun itu, kecuali pistol air yang sering ia mainkan saat kecil.
"Bela diri?" Nadira kembali menggeleng. Arsen tampak pasrah. "Tapi saya bisa pukul-pukulan, kok. Apalagi soal tendang-menendang, saya jago banget," kata Nadira kemudian. Ia harap pria di hadapannya mau membawanya.
"Aish, ya sudahlah. Ingat saja untuk menjaga diri sendiri, jangan membuat susah!" ucap Arsen pada akhirnya, tak memiliki pilihan.
Nadira mencebik. "Yang bikin orang susah sebenarnya siapa?" Arsen mengabaikannya, lalu segera berjalan pergi.
"Kamu pernah belajar menembak?" tanya Arsen kemudian, Nadira menggeleng keras. Ia tak pernah berurusan dengan pistol, tembak menembak atau apapun itu, kecuali pistol air yang sering ia mainkan saat kecil.
"Bela diri?" Nadira kembali menggeleng. Arsen tampak pasrah. "Tapi saya bisa pukul-pukulan, kok. Apalagi soal tendang-menendang, saya jago banget," kata Nadira kemudian. Ia harap pria di hadapannya mau membawanya.
"Aish, ya sudahlah. Ingat saja untuk menjaga diri sendiri, jangan membuat susah!" ucap Arsen pada akhirnya, tak memiliki pilihan.
Nadira mencebik. "Yang bikin orang susah sebenarnya siapa?" Arsen mengabaikannya, lalu segera berjalan pergi.
Arsen tampak menarik napasnya kasar. Mungkin melibatkan gadis ini adalah sebuah kesalahan besar yang pernah ia lakukan.
"Kamu boleh ikut. Tapi ingat, jangan jauh-jauh dari saya, jangan menimbulkan suara, berteriak ataupun melakukan sesuatu yang dapat membahayakan kita. Kamu mengerti?" Nadira mengangguk-angguk paham.
"Saya janji! Walaupun mobil saya jadi korban" ucapnya sambil mengangkat tangannya. "Demi Tuhan, yang jiwa saya berada dalam genggaman-Nya"
Arsen merogoh pistol yang ia simpan di dalam jaket kulit hitamnya. "Pegang ini untuk berjaga-jaga" ia memberikan pistol model terbaru itu kepada Nadira.
Dengan gemetar Nadira memegang pistol di tangannya, "I-Ini untuk apa?" tanyanya, alih-alih menjawab, Arsen menatapnya tajam membuat Nadira kian getar. Jantungnya berdetak tak karuan.
Arsen mulai melangkah dengan sangat hati-hati, matanya waspada menatap sekitar. Di belakangnya, Nadira mengekor bagai kucing yang takut kehilangan Ibunya. "Ya ampun, Pak, ini tempat apa sih? Seram amat!" celetuk Nadira asal.
"Menunduk!"
Dor! Dor! Dor! Tembakan dilesatkan ke arah semak-semak.
"Astaghfirullah! Astaghfirullah! Allahu Akbar!" teriak Nadira yang berjongkok takut.
Arsen menatap perempuan itu dengan tatapan yang tak terbaca. "Ayo jalan cepat" ujarnya lalu meninggalkan Nadira yang masih bertanya-tanya. Yang tadi ditembak Arsen itu manusia atau setan?
"Eh, tu-tunggu! Aduh!" sialnya, di saat-saat genting seperti ini kakinya malah tersandung akar tanaman rambat. Melihat itu, Arsen berdecak kesal. "Ck, jalannya yang benar!"
Arsen berjongkok untuk membantu Nadira, namun, tiba-tiba dari belakangnya seorang datang menyerang. Nadira berteriak keras, "Awas!" dengan cepat Arsen menangkisnya. Keduanya terlibat aksi saling pukul.
"Cepat pergi!" perintahnya pada Nadira yang tengah menonton perkelahian sengit itu. Arsen terus memintanya pergi dari sana, namun mana mungkin ia bisa meninggalkan Arsen sendirian?
Dengan akal cerdiknya, Nadira mengambil sebongkah kayu, di film yang sering ia tonton juga ada kejadian seperti ini. Sang protagonist perempuan akan memukul penjahat dan membantu sang tokoh laki-laki.
Namun sayang, sebelum ia sempat membantu, penjahatnya sudah lebih dulu kalah.
Arsen menatap Nadira yang sudah mengangkat kayu tinggi-tinggi. "Terima kasih, tapi tidak perlu. Ayo cepat!" Nadira urung jadi pahlawan perempuan. Ia membanting kayu itu ke tanah lalu menyusul Arsen.
Keduanya memasuki gudang tua yang terbengkalai selama bertahun-tahun. Mata Arsen bagai Elang, begitu waspada. "Hati-hati, perhatikan langkahmu"
"Tempat apa ini, seram banget!" komentar Nadira. Baru saja Arsen mengatakan untuk berhati-hati, namun bukan Nadira namanya jika tidak ceroboh. Ia tersandung dan menubruk punggung Arsen, hingga laki-laki itu terjatuh ke depan.
"Pak, maaf, kesenggol" ia mengulurkan tangannya untuk membantu, namun ditepis oleh Arsen. "Cih, masih mending mau bantu"
"Ssst, dengar suara tidak? Sembunyi, cepat!" Arsen menarik Nadira ke balik lemari tua yang tak terpakai dan mendesaknya ke ujung. Membuat gadis itu terjepit, "Ak--" ucapannya tertahan karena mulutnya dibekap kuat oleh tangan Arsen.
Matanya melotot, Arsen belum menyadari posisi mereka. Matanya sibuk memerhatikan gerak-gerik segerombol orang yang lewat. "Mereka keluar dari arah sana, kemungkinan besar barangnya disimpan di dalam sana" ucapnya bermonolog.
Lalu, ia beralih pada Nadira yang sudah pias. Arsen refleks melepaskan tangannya. Nadira langsung menghirup napas kuat. Dadanya kembang kempis karena kurangnya pasokan oksigen. "Pak bisa gak kasih aba-aba dulu? Ini kalau pun saya selamat dari tembakan, saya pasti mati karena kehabisan napas!"
Arsen tak memedulikan protes Nadira. "Tunggu di sini dan tetap bersembunyi." Ucapnya langsung berlari ke arah pintu, ia menendang pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi berdebam yang kuat. Ia lalu mengambil kunci dan chip yang tergeletak di meja usang tersebut.
Baru saja ia berbalik, tujuh orang berbadan kekar sudah mengelilinginya. "Sial! Ternyata jebakan" Arsen memasang kuda-kuda, bersiap menyerang.
Tujuh orang berbadan kekar mengelilingi Arsen, kesemuanya tampak siap menghabisi laki-laki itu kapan saja. "Kembalikan barang itu!" pinta pria berkepala botak seraya menodongkan pistol ke hadapan Arsen.
"Atau akan kutembak kepalamu sampai hancur," ancam yang lain berusaha membuat Arsen takut dan berakhir dengan menyerahkan barang yang berada di tangannya kepada mereka.
Arsen memiringkan kepalanya, tersenyum meremehkan. Sorot matanya tak kalah tajam, salah jika mereka mengira Arsen akan takut. Laki-laki itu bahkan tak gentar sedikit pun. "Ambil saja jika kau mau," ucapnya langsung melempar barang tersebut jauh ke belakang.
Ketujuh orang tersebut berhambur ke belakangnya, mencoba mencari chip rahasia yang sangat penting itu. Merasa mendapat kesempatan, Arsen buru-buru pergi dari sana. "Dasar orang-orang bodoh," hinanya lalu pergi meninggalkan tempat dan orang-orang tersebut.
"Ayo cepat pergi dari sini!" perintahnya dengan nada agak keras, membuat Nadira tersentak. Belum juga reda rasa kagetnya, Arsen langsung menariknya, gadis itu tergopoh-gopoh mengimbangi langkah besarnya.
"Tu-tunggu, Pak! Tolong istirahat sebentar. Saya ... Saya gak sanggup lari lagi!" Nadira terengah-engah. Ia lalu duduk dengan asal di rerumputan. Keduanya berhasil keluar dari dalam gedung tua tersebut.
Arsen menatap Nadira tak berkedip. Wajah kemerahan Nadira dengan hijab yang sedikit berkibar diterpa angin tampak menarik dalam pandangan Arsen.
Duarrr!!!
Suara ledakan terdengar, memalingkan pandangan keduanya ke arah gedung tua itu. Mata Nadira melotot tak percaya, berbanding terbalik dengan Arsen yang tak peduli.
"Ledakan," ujar Nadira lemah lalu jatuh pingsan. Shock. Nadira terlalu terkejut hingga ia kehilangan kesadaran dirinya. Di tepi, Arsen berdecak kesal, "Ck! Perempuan itu merepotkan!" kesalnya.
Tak ingin berlama-lama di sana, ia akhirnya menggendong tubuh ramping Nadira ke mobil, lalu merebahkan tubuh tersebut di jok belakang mobil.
Arsen sendiri mengambil duduk di kursi kemudi, lalu menyandarkan kepalanya, lelah. Dering ponselmya berbunyi, ia menatap lama layar pipih itu sebelum menerima teleponnya.
Meletakkan ponselnya di telinga, ia lalu mendengarkan suara seseorang yang berbicara di ujung telepon. "Ya, aku sudah berhasil," jawabnya cepat lalu memutus telepon tersebut secara sepihak.
Kemudian, ia menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan tempat itu dengan kecepatan sedang.
***
Mengerjapkan matanya perlahan, Nadira mendapati dirinya terbangun di sebuah kamar hotel, ia mengucek matanya pelan saat cahaya matahari menyusup lewat celah jendela, tepat menyorot wajahnya yang cantik.
Ia menetralkan penglihatannya lalu menatap sekeliling kamar. "Ini ... Hotel? Astaga!" berjingkat kaget, sontak ia meraba-raba tubuhnya, bernapas lega karena masih berpakaian rapi.
Jujur saja ia sangat takut, ia memijit pelipisnya yang terasa sakit. Kembali mengingat apa yang terjadi padanya. "Pasti dia yang membawaku ke sini!"
Tangannya meraba nakas, "Jam berapa sekarang?" sebelah tangannya terulur meraih jam di atas nakas. Pukul delapan pagi. "Subhanallah! Mampus, Lo, Nad." Gadis itu langsung beranjak dari tempat tidur.
Ia mencari-cari ponselnya namun nihil, yang ia temukan justru sebuah kartu ATM dan sebuah catatan, "Sebagai ganti rugi."
Nadira menatap catatan itu lama dengan kening mengkerut dalam, "Ini maksudnya apa, sih? 532614 nomor apa?" monolognya, membolak-balikkan kartu tersebut.
"Nomor telepon? Gak mungkin, nomor telepon kan minimal 11 digit. Ini ... Password?!" matanya terbelalak.
Nadira menepuk keningnya sendiri, "Duh, Nad!" ia menghentakkan kakinya ke lantai, merasa kesal sendiri. "Bodoh banget!"
"Berantakan, semuanya berantakan. Mobil, ponsel, pekerjaan. Argh! Hidup Lo kenapa gini banget, sih, Nad?" Nadira mulai menggerutu seperti biasanya saat ia merasa bingung.
"Take a deep breath, Nad ... Tenang, sabar," Nadira mengusap-usap dadanya pelan.
"Namanya juga hidup, gak lepas dari ujian dan masalah. Lo harus tenang, dan hadapi dengan berani!" katanya menyemangati yang lebih terdengar sebagai kalimat penenang.
"Now, better you bath and then, going to office," ujarnya bermonolog. Ia lalu menyambar handuk di dalam lemari dan tak sengaja menatap beberapa setelan kerja di sana. "Yah, baguslah, minimal gak perlu pakai baju yang sama dua kali."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!