NovelToon NovelToon

Suamiku Guru Dingin

SGD-01

Tepat hari ini, statusku dari lajang berubah menjadi seorang istri. Aku tidak menyangka mamaku menjodohkanku dengan guruku sendiri, Guru dingin yang diidolakan di sekolah, tetapi tidak denganku karena aku sangat tidak suka sikap dinginnya.

Mulutnya hanya bicara panjang lebar ketika menjelaskan, tetapi setelahnya ia irit bicara. Mana tugas-tugas yang diberikannya mengocok isi otakku.

Mario Fahreza, suamiku sekaligus guruku. Bayangkan berdua di kamar dengannya saja membuatku bergidik ngeri. Aku tidak tahu bagaimana sikapnya, selain yang aku tahu dia dingin.

Teman-teman wanita sekelasku sering menjulukinya ‘Hot Daddy’ katanya pria dewasa seperti Pak Mario sangat menggoda. Otak temanku tidak pernah negatif, selalu berpikir tiga positif.

Ceklek.

Aku segera melempar diri ke dalam selimut dan berpura-pura tidur. Aku mendengar suara derap langkah kakinya dekat dan menjauh kemudian. Suara gemercik air di dalam kamar mandi membuatku membuka mata.

Aku kembali memejamkan mata saat mendengar suara ganggang pintu kamar mandi diputar. Mengintip di cela-cela bulu mataku.

Mataku sukses melotot saat melihat punggung Pak Mario. Bahunya lebar dan punggungnya seperti kasur yang nyaman untuk ditiduri. Astaga otakku mulai eror.

Aku memejamkan mata saat dia berbalik. “Ayolah Salsa. Kamu tidak boleh melihatnya,” batinku. Godaan yang sungguh berat untukku. Meski dia sudah halal. Aku merasa tabu untuk melihat hal-hal seperti itu secara live.

Aku merasakan samping kasurku tertekan. Pasti Pak Mario ikut berbaring. Dadaku berdegup kencang. Bayangan malam pertama yang diceritakan kedua sahabatku, Afiah dan Sakina terlintas.

“Aku akan mematikan lampu,” ujarnya. Aku langsung membuka mata. Dia tahu aku berpura-pura tidur?! Malunya!

“Jangan, Pak!” teriakku. Tidur dengan lampu yang dimatikan membuatku langsung terbayang-bayang dengan film horor. Bayangan setan mulai masuk dan menarik kakiku, membuatku bergidik ngeri.

“Aku tidak bisa tidur, Pak. Terasa ada setan yang masuk,” jelasku. Ia hanya berdehem dan memejamkan mata.

Aku menatap wajahnya yang terlihat tenang. Selalu tenang, tetapi kali ini terlihat damai. Ekspresi dinginnya pudar. Sungguh aku akan mengira dia titisan Nabi Yusuf andai aku tidak ingat sikapnya yang dingin.

Setelah puas memandanginya, aku terlelap. Siapa tahu dalam tidurku aku bisa bertemu dengan aktor-aktor tampan di Korea atau Boy Band dari negera Ginseng, seperti Taehyung.

***

06:30

Aku sudah selesai mandi. Setelah mandi aku memakai seragamku. Di kamarku, Pak Mario sudah tidak ada. Sehabis Shalat subuh, dia memang tidak tidur. Bisa jadi, dia lebih awal selesai bersiap-siap.

Aku memoleskan bedak tabur di wajahku dan juga memakai lipting begitu tipis. Setidaknya wajahku harus terlihat fresh.

Aku meraih ranselku dan juga sepatuku. Di bawah, mama, papa dan Pak Mario sudah duduk. Aku menghampiri mereka dan menyapa mama dan papa, serta Pak Mario.

Setelah sarapan aku dan Pak Mario pamit untuk ke sekolah. Kemarin sebelum menikah, kami memutuskan untuk beraktivitas seperti biasa.

***

“Pak, turunkan aku di sini saja,” ujarku kepada Pak Mario.

“Kenapa?” tanyanya.

“Nanti ada yang melihat aku turun dari mobil Bapak. Pasti banyak yang bergosip,” jelasku. Dia berhenti. Aku dengan ragu mengulur tangan. Dia memberikan tangannya dan aku cium.

“Cincinmu,” ujarnya. Hampir aku lupa dengan cincinku. Aku mengangguk dan turun.

Mobil Pak Mario pergi dan aku membuka kalungku. Menjadikan cincinku sebagai anak kalung. Aku jalan kaki menuju sekolahku. Jaraknya sudah dekat.

***

“Salsa!” pekik Afiah. Ia mendekat ke arahku bersama Sakina. Tampak raut wajah ingin tahu.

“Bagaimana malam pertama dengan Hot Daddy?” tanyanya pelan.

“Ya, berapa ronde?” tanya Sakina.

“Aku tidak melakukannya,” ujarku membuat mereka terlihat lesu.

“Kenapa?” tanya Afiah, “bukankah pasti tubuh pak Mario sangat menggiurkan?”

Benar sekali. Hanya punggungnya saja aku lihat, imanku terasa goyah. Apalagi kalau—astaga! Otakku sangat terdeteksi virus ******.

“Selamat pagi!” Afiah dan Sakina langsung ke tempat duduk mereka di belakangku. Teman-temanku satu per satu mulai mengatur duduk mereka. Di dekatku, datang Gio. Dia ketua kelas di sini.

Gio meminta kami baca doa, setelahnya kami serentak mengucap salam kepada Pak Mario. Dia menjawabnya dan tanpa basa-basi menanyakan kabar kami, dia langsung masuk ke materi.

“Kalian bisa kerja kelompok. Hanya empat orang dalam satu kelompok.”

Aku dan Gio langsung menoleh ke belakang. Memutar kursiku bersama Gio. Aku sekelompok dengan Gio, Sakina dan Afiah.

Rasanya sudah panas. Aku menarik-narik seragamku berharap ada angin yang masuk dan mengusir gerah yang aku rasakan. Afiah sendiri menjadikan bukunya sebagai kipas angin.

“Panas banget,” ujarku. Di dalam kelas ada dua kipas angin besar, tetapi posisiku yang berada di samping tembok tempat kipas angin dipasang, tidak dapat membuatku merasakan angin.

“Sudah. Kumpul,” ujar Gio. Enaknya kalau sekelompok dengan Gio. Otaknya encer, tidak sepertiku. Rasanya otakku langsung membeku jika belajar matematika.

***

Kringgggg ....

Akhirnya jam istirahat. Aku, Sakina dan Afiah ke kantin. Di kantin terasa penuh dan sesak. Banyak sekali adik kelas yang mengisi kantin.

Saat masuk ke dalam dan memasang bakso, aku duduk bersama kedua sahabatku. Saat aku menikmati baksoku, aku melihat Pak Mario masuk bersama Bu Eva.

Jika Pak Mario menjadi guru laki-laki tertampan di sini, maka Bu Eva adalah guru perempuan tercantik di sini. Walau yang kutahu Bu Eva adalah janda. Namun, aku tidak pernah lupa dengan kata ‘Janda lebih menggoda’ apalagi dia baik, ramah dan tentunya lebih dewasa.

“Hot Daddy bersama Bu Cantik,” ujar Afiah.

Aku menusuk baksoku. Ada perasaan tidak rela melihat mereka berdua makan bersama. Bukan sekali mereka bersama, bahkan ada rumor jika mereka berdua pacaran. Akan tetapi, keduanya tidak pernah mengatakan apa pun.

Awalnya aku bodo amat, sebelum bodo amatku berubah menjadi peduli. Awalnya aku hanya kagum, sebelum kagumku mendadak naik level berubah jadi rasa sayang.

“Dasar bodoh. Ingat pernikahan ini hanya perjodohan. Pak Mario tidak mencintaiku,” batinku.

***

Bersambung ....

SGD-02

Jatuh cinta itu mudah, bagian tersulitnya adalah bertahan.

.

Aku kembali ke dalam kelas bersama kedua sahabatku. Perasaanku berantakan. Aku mulai penasaran tentang hubungan mereka.

Perasaanku bertambah runyam saat Bu Eva masuk. Ia tersenyum kepada kami. Iriku berkali lipat kepada dia.

Di dalam kelas aku tidak konsentrasi selama beliau menjelaskan. Semakin buyar saat aku Bu Leni datang. Mereka berbincang-bincang.

“Bu Eva ikut nanti malam ke acara kumpul-kumpul, dong. Sudah lama kita enggak kumpul bareng teman-teman lain. Mumpung malam minggu,” ajak Bu Leni kepada Bu Eva.

“Hehehe, nanti dilihat, Bu. Soalnya mobil saya mau bawa ke bengkel,” ujar Bu Eva.

“Bareng sama Pak Mario saja. Dia akan datang nanti malam. Pak Mario pasti tidak keberatan menjemput Bu Eva. Kalian ‘kan juga sering keluar bersama.”

Perkataan Bu Leni membuat lututku lemas. Aku menekuk wajah semakin ke dalam. Mereka sering keluar bersama? Sejauh apa hubungan Hot Daddy dengannya?

Kringggg!

Bunyi bel terdengar nyaring. Kami membenahi buku kami masing-masing dan pamit kepada Bu Eva dan Bu Leni.

***

Aku melihat mobil Pak Mario tidak ada di tempat parkiran guru. Sepertinya dia sudah pulang. Aku tersenyum miris.

Terpaksa aku jalan kaki. Alisku tersentak saat melihat mobil Range Over miliknya berada di jalan yang tadi pagi saat menurunkanku.

Aku menghampirinya dan membuka pintu mobilnya. Dia menjalankan mobilnya tanpa kata. Jangan harap dia membuka suara.

Setiba di rumah, aku dan Pak Mario ke kamar. Aku segera mandi dan turun ke bawah. Membantu mamaku memasak.

“Sa, kamu hari ini pindah ke Apartemen suamimu?” tanya Mama.

“Enggak tahu, Ma. Pa—Kak Mario tidak mengatakan apa pun,” ujarku. Hampir saja aku menyebutnya bapak di depan mamaku.

“Kata Papa kamu, Nak Mario mau pindah ke Apartemennya hari ini.”

Apa Pak Mario terburu-buru mau pergi dari sini karena dia ingin bebas keluar tanpa sungkan ada mama dan papa?

***

Aku diminta memanggil Pak Mario, tetapi dia sudah turun lebih dulu. Ia tampak rapi. Aku hanya memerhatikannya saja. Lalu, kami duduk makan bersama.

Ternyata benar, Pak Mario mengajakku pindah hari ini. Orang tuaku mengizinkan kami pindah. Padahal aku berharap mama melarangku pindah.

Bisa apa aku dengan Pak Mario di Apartemennya? Hanya berdua. In lebih seram dari film horor. Setannya lebih nyata.

***

Apartemen Pak Mario luas. Kamarnya sangat nyaman. Banyak buku-buku berjejer di rak. Aku menyusun bukuku di sana juga.

Beberapa tasku aku gantung dan bajuku kususun rapi di lemari Pak Mario. Di tengah menyusun Pak Mario menghampiriku.

“Saya mau keluar dulu,” ujarnya. Apa dia sedang pamit kepadaku?

“I—iya, Pak,” jawabku.

Aku meraih tangannya. Dia meninggalkanku sendiri di Apartemennya. Aku termenung. Dia meninggalkanku demi Bu Eva.

Aku memutuskan berbaring. Malam minggu yang membosankan. Banyak notif masuk dari temanku. Aku membukanya satu per satu.

Room Chat.

[Malam minggunya enak sama Hot Daddy.] Pesan dari Afiah.

[Uwwu, bayangin saja aku ngiri.] Balasan dari Sakina. Lengkap dengan emot ngiler miliknya.

[Aku sendiri. Dengar sendiri di kelas tadi. Dia pasti menjemput Bu Eva. Kalah sama Janda.] Aku membalasnya dengan wajah lesu.

Aku berbaring dengan kaki yang aku gantung di kepala ranjang.  Toh, aku sendiri di sini.

Ceklek.

Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Aku menoleh dan melihat Pak Mario di sana. Sontak aku langsung menurunkan kaki. Malunya.

“Pa—Pak Mario kenapa pulang?” tanyaku gugup.

“Kamu tidak suka saya pulang?” tanyanya dengan dingin. Tentu saja aku senang dia pulang. Tandanya dia tidak keluar bersama Bu Eva.

“Ti—tidak. Saya kira Bapak ada urusan,” liriku, dengan Janda itu, tambahku dalam hati.

***

Ternyata dia keluar membeli martabak telur. Kesukaanku sekali. Kami duduk di sofa dengan jarak lumayan jauh.

Seramnya mulai muncul. Hanya diam-diaman. Aku tidak tahu mengajaknya bicara. Topik apa yang bagus untukku mengajaknya mengobrol.

Selama mengenalnya, aku hanya berinteraksi di kelas. Itu juga karena pelajaran. Otakku buntu untuk menghadapi es kutub di sampingku.

“Kalau ada kebutuhan kamu yang kurang sampaikan kepada saya,” ujarnya. Aku mengangguk kikuk.

“Papa masih kirim uang buat aku, Pak,” ujarku.

“Tanggung jawab Papa kamu sudah lepas,” ujarnya. Wajahnya datar sekali.

“Jadi, aku makan apa, dong?” tanyaku panik, “kenapa Papa melepas tanggung jawabnya? Aku belum bisa cari uang.”

Tidak sadar aku sudah melepas martabakku. Menatapnya panik. “Kamu tanggung jawab saya. Saya yang akan membiayai kamu.”

“Kenapa?” tanyaku begitu saja.

“Karena kamu istri saya,” jawabnya membuat dadaku terasa meletup. Perutku terasa digelitik. Ada ribuan kupu-kupu yang terbang di perutku.

Istri?

Aku tidak bisa mengelak tentang rasa yang timbul untuk Pak Mario. Ia menyebut aku sebagai istrinya dengan suara dingin, tetapi terasa hangat.

“Lalu, kenapa kita belum melakukan malam pertama?” tanyaku memberanikan diri.

Matanya menyipit, “Kamu belum mengerti.”

“Aku mengerti, Pak. Bapak jangan lupa, generasi sekarang sudah dewasa sebelum usianya.” Apakah aku terlalu agresif?

“Melakukannya bukan hanya sekali atau dua kali. Ketika melakukannya, seterusnya akan dilakukan. Aku pria dewasa yang punya nafsu tinggi dan kamu—“ Dia mendekat ke arahku. Membuatku panik. “Belum bisa mengimbangiku.”

Shit! Dia benar-benar Hot Daddy! Napasnya menerpa wajahku. Bulu-bulu tanganku berdiri. Aku meremang. Seperti saat aku takut dengan hantu.

Aku masih menahan napas. Sebelum aku melepasnya dan mundur. Terlalu tidak baik untuk kesehatan jantungku.

“Hot Daddy,” gumamku.

“Apa?” tanyanya.

“Ap—apa? Aku mengatakan apa?” panikku.

“Hot Daddy,” jawabnya.

Aku segera berlari ke kasur dan menyembunyikan tubuhku di balik selimut. “Selamat malam, Pak.” Aku merutuki sikapku. Mulutku harus dilem. Bayangan wajahnya di depan wajahku mulai membuat pipiku terbakar.

Otakku sudah dipenuhi dengan plus-plus. Aku mengeratkan selimutku saat merasakan Pak Mario bergabung.

“Baru saja di depan wajahmu, kamu sudah ketakutan. Bagaimana jika—“ gumamnya.

“Jika ... jika apa?!” Kenapa dia tidak meneruskan kalimatnya?! Aku jadi berpikir yang liar. Di mana wajahnya selain di depan wajahku?!

Aku frustrasi. Bayangan punggungnya membuatku bergerak gelisah. Takut, tetapi ingin.

Mario, kamu sukses membuat setiap perasaan dalam diri ini memulai mekar. Ingin diri membakar perasaan agar berharap kepadamu tidak datang. Takutku, ketika aku dalam sayang-sayangnya, kamu pergi. Itu bagian dari patah hati yang tak berdarah, tetapi sakitnya mendarah daging.

“Jika, aku tidak takut pasti aku bisa melihat—“ Aku menggelengkan kepala dengan suara batinku. Baru begitu saja, aku sudah ketakutan. Sekarang, aku akan menganggap dia titisan Hantu.

***

Bersambung ....

SGD-03

Dingin, tetapi ia yang mampu membuat masa bodohku berubah menjadi peduli.

.

Mentari bersinar terang. Tampak senyum cerahnya. Matahari yang selalu menyinari dunia, membawa panas yang membakar kulit. Tak peduli panasnya, ia akan tersenyum.

Dalam hidupku, aku tidak pernah menyukai namanya pelajaran matematika. Aku yakin bukan aku satu-satunya yang tidak menyukai pelajaran matematika.

Orang pintar dalam kelasku saja tidak menyukainya. Matematika tidak sulit, tetapi memahaminya yang sulit.

Tetapi, setelah menjadi istri dari guru matematika, aku selalu menanti pelajaran matematika. Ada rindu yang muncul ketika sehari dilewatkan tanpa ada Pak Mario.

“Sa, katamu Hot Daddy keluar semalam. Dia bersama Bu Cantik?” tanya Afiah. Kami di dalam kelas, dan teman-temanku sudah keluar karena jam istirahat. Hanya beberapa saja. Itupun main bermain game, dan ada yang tidur di belakang.

“Dia keluar, tapi untuk beli martabak,” ujarku.

“Aku melihat postingan Bu Eva tadi malam di SW-nya. Dia sangat cantik sekali.” Aku masam mendengar perkataan Afiah. Sakina mengeluarkan gawainya dan memperlihatkan padaku.

“Cantik,” batinku. Wanita dewasa seperti dia menjadi sainganku? Berpengalaman di atas kasur. Untuk Pak Mario yang katanya punya nafsu tinggi, tentu Bu Eva bisa mengimbanginya. Berbeda denganku, tidak ada pengalaman sekali.

Ketika aku menonton drakor yang sedang ciuman, dan ada papa sama mama, aku akan salah tingkah. Pura-pura menutup mata. Padahal, di kamar selama sendiri aku akan melihatnya.

“Mukanya jangan kusut, Sa. Kenapa Pak Mario belum menyentuh kamu?” tanya Sakina.

“Dia mengatakan aku belum mengerti dan tidak bisa mengimbanginya,” ungkapku membuat Sakina dan Afiah heboh sendiri.

“Wah! Dia benar-benar Hot Daddy. Aku membayangkan seberapa liar Pak Mario,” terang Afiah.

Bayangan semalam melintas. Dia baru mendekatkan wajahnya saja membuatku ketakutan. Dingin, tapi liar, itulah Pak Mario.

Otakku mulai dirasuki virus plus dari kedua sahabatku. Membayangkan bagaimana jika aku dan dia melakukannya. Seliar apa dia?

Saat membayangkannya, Gio datang. Kami tidak melanjutkan obrolan kami karena pernikahanku hanya diketahui Afiah dan Sakina.

“Sa, nanti kita kumpul di Aula sepulang sekolah. Ada rapat bersama anak OSIS. Ketua kelas dan sekretaris diminta ikut serta.”

“Iya. Rapat apa, Gio?” Gio menggeleng tidak tahu. Aku harus mengirim pesan kepada Pak Mario.

[Pak, aku sepulang sekolah harus ikut rapat di Aula. Bapak pulang lebih dulu saja.]

[Ya.]

Aku menyimpan gawaiku. Kata ‘ya’ selalu mengakhiri sebuah pesan. Dua huruf singkat untuk tahu bahwa pesan kita tidak penting atau membosankan.

***

Pulang sekolah aku ikut dengan Gio. Kami masuk ke Aula sekolah. Duduk bagian tengah-tengah bersama Gio.

Di depanku beberapa guru berjejer. Mataku membulat melihat Pak Mario masuk. Dia berdiri di samping Bu Eva. Aku salah kalah untuk urusan jarak.

Aku tidak fokus dengan ucapan ketua OSIS. Kulihat Pak Mario dan Bu Eva berbincang. Senyum malu Bu Eva membuatku meremas tangan Gio tanpa sengaja.

“Sa, aw sakit,” ringis Gio.

Aku melepas tanganku dan cengengesan. Begini ternyata tingkahku ketika merasa cemburu. Sial sekali. Aku tidak suka cemburu, tetapi dia membuatku cemburu.

Kami pulang setelah jam 16:43 sore. Gio menawar untuk mengantarku. Aku menolaknya dengan lembut.

Berjalan kaki menuju jalan biasa Pak Mario menurunkanku. Aku membuka pintu mobilnya dan masuk menyalaminya.

Tidak ada kata yang pas untuk membuka percakapan di antara kami. Ekor mataku melirik ke arahnya. Dia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Kancing atas bajunya terbuka. Memperlihatkan dada bidangnya datar.

Aku mengumpat dalam hati saat mataku tidak bisa kujaga untuk tidak melihat ke bawah. Terkadang mataku menatap hal-hal tabu bukan atas inginku. Reaksi alami.

***

Aku membuka sepatuku dan menyimpannya di rak sepatu. Menuju kamar kami. Menyimpan tas, ambil handuk dan mandi. Biar otakku tidak mengarah ke hal-hal plus.

Setelah mandi, Pak Mario masuk ke dalam kamar mandi. Aku tidak bisa berpikir negatif. Semua positif. Termasuk penasaran bagaimana ketika ia mandi.

“Hot Daddy membuatku panas dingin,” gumamku.

Tidak aku sangka Pak Mario keluar hanya mengenakan handuk. Aku menatapnya dengan kedua mata hampir keluar.

Dada bidang, perutnya roti sobek dan tetes air yang mengalir di tubuhnya membuatku mangap.

“Tutup mulutmu,” ujarnya membuatku mengalihkan tatapanku, tetapi tetap kulirik. Sayang dilewatkan. Pemandangan langka.

“Apa kamu begitu ingin melakukannya?” tanya mendekat. Aku dilanda rasa gugup. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa melihatnya lebih jelas.

“Me—melakukan apa?” tanyaku gagap. Dalam gagap pun, aku tetap menatap tubuhnya.

“Malam pertama,” ujarnya dengan suara berat nan serak. Jiwa jomblo yang selama ini terkurung meronta-ronta minta dilepaskan.

“Hahahah Pak Mario ada-ada saja. Ini Sore bukan malam,” ujarku memaksakan tawa.

“Kita tunggu selesai Isya,” ujarnya.

Glek.

“Apa kamu takut?” Bibirnya menyeringai mengejek.

“Tentu saja tidak. Kenapa Pak Mario selalu lupa dengan perkataanku. Aku ini berpengalaman. Semua aku tahu dan tentunya untuk urusan ber—“

Cup.

Mataku membulat. Aku mendorongnya kuat. Aku melompat ke atas kasur dan menyelimuti tubuhku. Dia—merebut first kissku.

“Ck, sangat berpengalaman,” ejeknya.

Aku tidak bisa membalas perkataannya. Napasku mendadak tidak bisa aku atur. Pipiku memanas. Aku menggelengkan kepala.

Aku baru tahu, dinginnya bisa mencari berubah menjadi hangat. Sangat hangat hingga membuat sekujur tubuhku memanas. Mario—guru dinginku yang liar.

***

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!