"Ariana, bangun! Ini udah pagi dan kamu belum sholat shubuh," Bagas menatap putrinya dari pintu kamar gadis itu. Tanpa membuka matanya, Ariana bergumam,
"Iya, Dad,"
Eva datang kemudian mengusap bahu suaminya. Ia bertanya pada Bagas melalui tatapannya.
"Susah banget dibangunin. Padahal anak perempuan tapi kalau tidur kayak kerbau aja," Gerutu ayah satu anak itu seraya mengusap tengkuknya bingung. Iya, Bagas bingung Anaknya itu mewarisi sifat siapa. Manja, susah bangun pagi, dan sedikit egois.
Melihat tak ada pergerakan apapun dari Ariana, Bagas menarik napas panjangnya, mempersiapkan diri untuk...
"Ariana!!"
Bagas berteriak marah saat anaknya itu masih bergelung dalam selimut.
"Kamu jangan teriak pagi-pagi!"
Sekarang malah Eva yang kesal. Bagas bingung sebenarnya siapa yang salah sekarang?
Bagas menghampiri anaknya yang tertidur seperti orang hilang kesadaran.
"Heh! Bangun atau mau Daddy siram pakai air?"
Eva yang mendengar suaminya mengancam pun langsung maju. Tak terima dengan sikap otoriter suaminya itu.
"Enak aja mau siram anak aku! Emangnya dia tanaman apa?!" Sewot Wanita itu dengan wajah sinisnya.
Bagas sadar ada yang kurang dari ucapan istrinya. Dia berseru tak ingin kalah.
"Ariana juga anak aku!"
"Ya udah kenapa harus di siram segala? Dia bukan pohon, Mas!!"
Gigi Bagas beradu. Bagaimana lagi caranya mengatur kedua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya itu. Mereka sama-sama saling melindungi bila Bagas memarahi salah satunya karena melakukan kesalahan. Itu menyulitkan Bagas dalam memberi pelajaran.
"Biar Ariana berubah, Sayang. Dia udah keterlaluan. Mana ada anak gadis belum bangun jam segini?"
Eva merasa tersindir. Dulu juga Eva seperti itu kebiasannya. Tapi memang tidak sesulit Ariana bila dibangunkan tiap pagi.
"Kamu juga dulu begitu,"
Bagas berdecak setelah tahu darimana kebiasaan buruk putrinya itu berasal. Bagas memang tidak menampik kalau dia juga mempunyai kebiasaan buruk seperti, suka buang angin sembarangan, mengigau ketika tidur bahkan sampai mengeluarkan suara-suara menjengkelkan di kala tidur yang kadang membuat Eva sampai menutup mulut suaminya itu agar berhenti mengganggu tidurnya. Saat Bagas merasa sedikit kehabisan napas, Eva baru melepaskan bekapan mulutnya. Wanita itu memang kejam dalam waktu-waktu tertentu.
"Pantes aja kelakukan anak kamu kayak gitu,"
"Tadi katanya anak kamu juga?"
"Ya makanya jangan kasar kayak gitu sama Ariana, Mas. Aku gak terima ya,"
"Siapa yang kasar sih, Sayang? Aku kan gak pernah main tangan sama anak aku walaupun aku udah marah banget,"
Eva memutar bola matanya. Memang Iya Bagas tidak pernah meluapkan amarahnya dengan cara murahan seperti itu.
"Tapi mulut kamu itu, lho,"
"Ya terus aku harus kayak gimana lagi ngajarin dia bangun pagi? Capek aku,"
Kedua orang tua itu melupakan anaknya yang kian terbang ke alam mimpi. Mereka malah sibuk berdebat sementara Ariana sudah mencapai langit ke tujuh di alam mimpinya.
"Aku aja deh yang bangunin,"
Eva ingin mendekati putrinya. Namun Bagas menahannya dengan jeratan tangan dan tatapan tegas.
"Hari minggu, tugas kamu bangunin Ariana biar aku yang ambil alih,"
Bagas duduk di tepi ranjang Ariana lalu menarik selimutnya. Tahap awal, Bagas akan mengganggu ketenangan tidur putrinya.
"Aduh dingin,"
Bagas tersenyum saat mendengar rengekan Ariana. Benar saja gadis itu merasa kedinginan ketika selimutnya tidak berada di tempat yang seharusnya.
Ariana berdecak dengan mata terpejam Ia berusaha meraih selimutnya dengan tangan yang menggapai-gapai di udara. Hal itu mengundang tawa Eva juga Bagas.
"Mana sih selimutnya?!" Gumam gadis itu dengan kesal. Bahkan dalam tidur pun sikap ketusnya tidak hilang.
"Bangun, Ariana!!"
Bagas mencubit gemas wajah Ariana hingga pemiliknya menjerit tertahan. Kesadarannya mulai pulih ketika Bagas menambah cubitan di wajahnya yang lain. Bagas dibuat sangat gemas dengan putrinya yang manja itu.
"Bangun sekarang sebelum Daddy marah!!"
Usai mengikat rambutnya asal, gadis cantik itu bangkit dari ranjang dan mengangkat alisnya saat Jino masih berdiri di sebelah ranjangnya.
"Ariana udah bangun. Ngapain Daddy masih di sini?"
"Kali aja kamu balik lagi ke sini untuk lanjutin tidur,"
Ariana menggerutu dalam hati,
'Kenapa sih bokap gue pinter banget. Tau aja niat gue,'
"Udah, Mas. Kita pergi aja biar Ariana mandi,"
Ariana membulatkan matanya, Eva menarik lengan suaminya untuk keluar dari kamar Ariana.
"Aku gak mau mandi sekarang. ‘Kan bukan hari sekolah jadi mandinya siang aja atau kalau perlu sore deh. Biar sekalian hemat air,"
Bagas dan Eva menghela napas pelan. Mereka menepuk dahi tidak habis pikir dengan anak mereka yang luar biasa malas dalam urusan mandi dan bangun pagi. Untungnya dalam hal belajar, Ariana tidak malas.
Ariana mengelilingi komplek perumahan menggunakan sepedanya. Ia tersenyum ketika beberapa orang menyapanya.
"Ariana sendiri aja? Mommy dan Daddy kemana?" tanya salah seorang tetangga dekatnya yang kebetulan bertatap muka dengannya saat ini.
"Ada di rumah, Tante,"
Wanita setengah baya itu mengangguk. Ia mengangsurkan sebungkus bubur ayam di tangannya pada Ariana.
"Buat Ariana. Makan dulu biar semangat main sepedanya," ucapnya dengan senyum manis.
Ariana menggeleng halus. Ia membalas senyuman itu sebelum berkata, “Tadi Ariana udah makan, Tante. Buat Tante aja buburnya," tolak Ariana dengan lembut tanpa berniat untuk menyakiti hati wanita yang juga dekat dengan Eva itu.
"Tante gak suka bubur. Tadi Tante beliin bubur untuk Aldo aja tapi karena gak ada kembalian uangnya jadi beli satu lagi deh,"
"Tante..."
Wanita itu menggantungkan kantung plastik bubur tersebut di bagian depan sepeda Ariana.
"Gak boleh nolak rezeki," ucapnya pada gadis cantik itu dengan tegas.
"Makasih banyak, Tante," ucap Ariana dengan senyuman manisnya. Lalu menunduk sebentar untuk berpamitan.
"Ariana duluan ya, Tante. Tante hati-hati,"
"Jangan lama-lama main sepedanya,"
Ariana mengangguk patuh sebelum akhirnya membunyikan lonceng sepeda sebagai tanda perpisahan.
***********
Ariana duduk di bangku taman. Ia mengusap dahinya yang berkeringat menggunaan handuk kecil yang tak lupa Ia bawa setiap bersepeda seperti saat ini.
Matanya beralih pada pemberian Indah tadi. Keluarga Ariana memang bertetangga baik dengan Indah dan suaminya, Revan. Mereka selalu memperlakukan Ariana dengan baik bahkan ketika rumah gadis itu mengalami kebakaran kecil, Indah bersedia menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara untuk Ariana yang saat itu sedang ditinggal oleh kedua orang tuanya ke luar negeri untuk menjenguk Ayah Bagas yang sakit keras.
Mereka memperlakukan Ariana layaknya anak sendiri. Katanya mereka mempunyai dua orang putra yang sedang menuntut ilmu di negeri orang.
Ariana yang sudah sarapan tadi pun memilih untuk membawa buburnya ke rumah. Ia meneguk air hangat yang dipersiapkan Eva untuknya.
Ariana meraih ponselnya di saku celana training. Ariana memotret suasana taman di pagi ini yang lumayan ramai untuk di upload sebagai status diaplikasi obrolannya.
"Heh!! sepedanya pinggirin dong. Jangan sibuk foto-foto! Sepeda lo ganggu jalan umum tau gak?!"
Ariana terkejut saat seorang lelaki memarahinya. Sama halnya dengan Ariana, Dia juga menunggang sepeda sportnya yang berwarna biru tua.
Ariana bangkit lalu memindahkan sepedanya ke tempat yang lebih aman. Bukan di jalan umum seperti kata lelaki tadi. Padahal Ariana menempatkan sepedanya sudah dalam posisi yang baik.
"Lain kali jangan kayak gitu lagi!!"
Lelaki itu masih sewot dengan Ariana yang masih diam berusaha untuk menahan rasa kesalnya.
"Untung sepeda gue nggak nabrak sepeda butut lo,"
Saatnya Ariana mengeluarkan tanduk. Ia tidak terima sepeda mahal pemberian Daddynya dikatakan sepeda butut.
"Heh! jaga mulut lo ya!! sepeda gue mahal nih. Belinya bukan di bumi," ucap Ariana dengan angkuh mengangkat dagunya.
"Mahalan juga sepeda gue," selak lelaki yang dengan sombong menabrabkan ban sepedanya dengan pelan ke arah ban sepeda Ariana.
Gadis itu makin emosi dibuatnya. Baru kali ini Ariana bertemu dengan orang seaneh itu.
"Bodo amat. Gue nggak nanya,"
"Ah berisik lo! minggir!! sepeda mahal gue mau lewat,"
*************
Ariana membawa masuk sepedanya ke dalam garasi rumah khusus sepeda. Hatinya masih jengkel dengan hal yang berhasil membuat nya langsung pulang tanpa basa-basi. Ariana tidak mood lagi untuk melanjutkan kegiatannya.
Ariana melihat Bagas yang sedang menikmati udara pagi seraya menyesap kopi hangatnya. Daddy nya itu tengah sibuk membaca buku. Ariana memilih untuk menghampiri Jino.
Ia duduk di sebelah Bagas dengan tidak santai membuat Bagas langsung melepas kacamatanya untuk menatap Ariana.
"Kenapa?" tanya Bagas saat melihat wajah murung anak perempuannya.
"Aku kesel,"
Bagas mengerinyit pada Ariana yang berteriak menyebalkan sampai telinganya berdengung.
"Kesal kenapa, Nak?"
Bagas berusaha menjadi sosok Ayah yang baik. Ia siap menjadi tempat curhat gadis itu, Mendengar keluh kesah anaknya lalu memberi solusi untuk permasalahan yang ada adalah tugasnya sebagai orang tua.
"Tadi ada yang bilang sepeda aku butut, Daddy. Padahal Daddy belinya sampe jual ginjal kan?"
Bagas melotot mendengar ucapan Ariana yang sembrangan. Ia menatap putrinya tidak terima.
"Enak aja! Daddy punya banyak uang ngapain jual ginjal? mulutnya pengin di sumpal pakai meja kerja Daddy kali ya?"
"Kok Daddy kesel sih?"
Kalau Ia tidak ingat Ariana adalah anaknya, sudah dipastikan gadis itu akan di beri pelajaran. Kenyataannya Bagas tidak bisa sekejam itu.
"Memangnya siapa yang bilang begitu? Terus gara-garanya kenapa?"
"Dia bilang sepeda aku ganggu jalan umum. Padahal gak kayak gitu,"
"Kamu parkirnya salah tempat?" tebak Bagas. Namun putrinya menggeleng.
"Aku parkirnya udah bener, Daddy,"
Bagas berusaha memahami akar permasalahn yng menimbulkan kekesalan anaknya itu.
"Terus siapa yang salah?"
"Dia yang salah," tanpa pikir panjang Ariana langsung menjawab pertanyaan Daddynya.
Bagas mengusap tengkuknya. Ia bergumam sesuatu yang membuat amarah putrinya kian meledak.
"Cewek emang selalu benar. Gak ada yang mau disalahin,"
"Daddy, gak usah antar aku ya,"
Ariana tampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia menuruni tangga karena Eva sudah memanggilnya untuk segera sarapan.
Ariana harus datang lebih pagi karena akan melaksanakan upacara bendera seperti biasa. Hari ini juga jadwal mata pelajarannya banyak. Oleh karena itu, senin adalah hari yang melelahkan untuk Ariana.
"Emang kenapa? biasanya juga selalu minta diantar,"
Bagas menyantap nasi goreng buatan Istrinya dengan santai. Berbeda dengan Ariana yang kegiatannya banyak, hari ini Bagas akan mengikuti rapat saja.
"Aku mau bareng temen-temen aku,"ucap gadis itu dengan kerlingan matanya.
Eva duduk usai menuangan air minum suaminya. Kemudian mengambil nasi goreng untuknya.
"Laki-laki atau perempuan?" tanya Bagas dengan pandangan menyelidik.
Ariana tertawa melihat sikap Daddy nya itu. Sangat over protective dengannya. Dalam hal pertemanan, Bagas memang menjaga ketat putri tunggalnya dari hingar bingar negatif. Usianya yang masih remja menjadikan Bagas lebih waspada dalam mendidik Ariana.
"Perempuan, Daddy," jawab Ariana dengan tenang. Lagipula siapa lelaki yang ingin menjemputnya. Kekasih saja Ia belum pernah memilikinya. Ya, Ariana memang sepolos itu. Belum pernah berada di dalam lingkaran sebuah hubungan lebih dari teman.
Ariana tidak ingin ambil pusing dengan mempunyai pasangan. Ia memilih untuk fokus pada masa depannya. Perjalannya menuju kesuksesan masih panjang. Saat ini Ia masih menduduki bangku kelas tiga SMA. Ia harus membuat kedua orang tuanya bangga dengan pencapainnya. Ariana adalah satu-satunya harapan untuk Bagas dan Eva.
"Ya sudah hari ini kamu berangkat dengan teman,"
Ariana bersorak senang. Tak lama, Eva menegurnya untuk segera menghabiskan sarapannya karena waktu terus berjalan.
**************
"Ar, gue mau cerita nih,"
Sinta melajukan mobilnya membelah jalanan padat pagi ini. Sinta adalah sahabat Ariana sejak mereka menginjak kelas tiga bulan lalu. Mereka sangat dekat padahal belum terlalu lama saling mengenal. Hanya Sinta yang belum diperkenalkan oleh Ariana pada kedua orang tuanya. Sementara sahabat Ariana yang satu lagi, Dona sudah pernah bertemu dengan Bagas dan Eva yang saat itu sedang menemani Ariana ke salah satu pusat perbelanjaan.
"Cerita apa?"
"Gue suka sama cowok,"
Ariana tertawa menatap Sinta. Tawanya menyebalkan hingga gadis berkuncir satu itu menggerutu tidak terima.
"Kok ketawa sih? kan gue belum cerita,"
"Suka sama siapa?"
"Ada deh cowok,"
"Ya iyalah cowok. Masa iya lo suka sama cewek," ujar Ariana seraya memutar bola matanya.
"Kemarin dia juga bilang suka sama gue,"
"Hah?"
Ariana bingung menanggapinya bagaimana. Ia mengusap tengkuknya sebelum berkata,
"Bagus dong? berarti kalian saling suka? dia minta Lo buat jadi pacarnya?"
Sinta mengangguk malu-malu. Ariana senang sahabatnya sudah mau membuka diri. Berdasarkan ceritanya, Sinta pernah putus cinta hingga membuat Ia harus lebih pilih-pilih dalam mencari pasangan.
"Terus sekarang kalian pacaran?"
Sinta menggeleng pasti. Kening Ariana langsung mengernyit ketika melihat Sinta menggelengkan kepalanya yang berarti jawabannya adalah tidak.
"Kenapa?"
"Gue belum berani punya komitmen,"
"Coba aja dulu,"
Ariana hanya bisa memberi saran. Tanpa berniat untuk ikut campur.
"Lagi pula gue belum di bolehin pacaran lagi sama orang tua,"
Ariana berusaha menarik kesimpulan dari ucapan temannya.
"Jadi kalian cuma sebatas saling suka aja gitu?"
"Iya,"
"Dulu Lo pacaran juga diem-diem kan?"
Ariana teringat dengan segala curhatan Sinta selama ini.
"Iya dan gue nyesel. Ternyata bener kalau bantah orang tua itu pasti ada akibatnya,"
Ariana mengangguk dalam diam. Ia setuju dengan itu. Sejauh ini Ia takut akan perkataan orangtua. Kalau sudah dilarang, artinya memang tidak baik. Dan kalau melanggar, kemungkinan besar ada akibatnya. Sebab orangtua tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Dan sebagai anak harus paham soal itu.
"Gue hampir di perkosa kan, Ar,"
Ariana membulatkan matanya terkejut. Bagian itu tidak pernah di ceritakan Sinta padanya. Ariana tidak tahu kalau Sinta mempunyai pengalaman pahit dengan mantan kekasihnya.
"Dulu gue di larang buat deket sama mantan gue itu. Tapi gue tetep aja pacaran sama dia. Malam itu masa depan gue hampir rusak,"
Kisah Sinta akan dijadikan pelajaran untuk Ariana. Ia akan menyimpan baik-baik pelajaran itu sebagai pengingat untuknya agar kelak hal yang sama tidak terjadi pada dirinya.
"Kalau Lo belum siap untuk buka hati lagi, ya gue saranin gak usah di paksa. Sekarang fokus belajar aja dulu,"
"Iya, Ar. Gue yakin kalau jodoh gak akan kemana,"
"Masalah jodoh udah ada yang ngatur,"
"Lagipula gue mau tahu dia itu cowok yang setia nunggu atau enggak. Kalau ternyata dia bukan tipe cowok yang setia, Yaudah get out aja dari hidup gue,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!