Saat perempuan memasuki usia 20 akhir, dari situlah segala hal menjadi problematik. Entah itu karir, jodoh, kesehatan, keluarga dan berbagai hal lainnya.
Sepertinya itu berlaku juga buat gue. Yap, gue Nadhira Gayatri. Bulan ini, umur gue genap 27 tahun dan itu membuat orang tua dan orang-orang sekitar resah dengan status jomblo gue.
Hampir setiap hari gue harus menulikan telinga mendengar pertanyaan-pertanyaan, ataupun basa basi tetangga yang begitu nyinyir.
“Nadhira temannya Syifa ya? Sekarang Syifa udah mau lahiran anak kedua loh, kamu kapan mau nyusul, Nduk?”
“Iya loh, padahal udah umur 27 kan ya nduk? Udah cukup itu buat nikah. Gak baik nolak-nolak jodoh. Kalo ada yang datang langsung gas aja, Nduk.”
“Iya bener, takutnya nanti jadi perawan tua,” lanjut ibu-ibu yang siapa namanya pun, gue tidak tau.
Kenapa orang-orang ini sebegitu perhatiannya sama gue, sampai paham sekali dengan umur gue. Perihal nikah juga bukan hal yang gampang tinggal nikah. Perjalanan panjang bukan hanya dua orang, tapi juga dua kepala, dan dua keluarga. Tidak segampang itu.
Belum selesai dari situ, sampai rumah pun, gue ditodong pertanyaan yang kurang lebih sama dari ibu gue.
Pulang kerja badan ini terasa lelah dan ingin cepat-cepat untuk tidur, malah mendapat suatu hal yang tambah memusingkan. Gue yang memang sudah muak dari jalan tadi, tampak menjadi semakin kacau.
“Iya Bu, doain aja ya,” jawab gue seadanya mencoba untuk tidak terpancing emosi.
“Ya itu udah pasti dong, Ra. Kamu kan anak Ibu udah pasti di doakan. Tinggal kamunya aja yang usaha. Kamu kurang usahanya sih,” cecar ibu.
“Ibu, aku lagi capek baru pulang kerja. Biarin aku bebersih dulu baru nanti ngobrol lagi ya,” jawab gue mencoba meredam emosi yang sudah siap untuk meledak.
“Iya, Bu. Biarin Nadhira untuk bebersih dulu. Jangan langsung di cecar seperti itu,” bela ayah.
“Ya karena Ayah sih belain Nadhira terus, jadinya dia kayak gitu, gak mikirin orang tua. Ibu malu, Yah!"
"Anak-anak seumurannya udah pada nikah, punya anak. Sedangkan Nadhira?"
"Boro-boro nikah, bawa cowo aja buat kenalin ke kita gak ada! Kerja ya cuma gitu-gitu aja,” cerca ibu.
Gue hanya diam, menenangkan diri gue sendiri. Hal seperti ini bukanlah hal yang baru buat gue. Ibu yang dominan dan ayah yang mencoba menenangkan keadaan. Ibu memang suka meladak-ledak, dan satu-satunya hal yang membuat aku bertahan di rumah ini hanya karena bakti sebagai anak.
Gue melihat ibu yang mulai memerah menahan amarah yang sepertinya juga siap untuk meledak.
“Aku bukan gak mau nikah, Bu. Cuma mungkin belum waktunya aja. Kalo udah waktunya, pasti nikah kok,” ucap gue masih dengan berdiri di dekat pintu.
“Iya. Kapan waktunya itu? Kemarin di kenalkan sama temennya Devi tetangga sebelah kenapa gak mau?” lanjut ibu gue menggebu-gebu.
“Bukan gak mau, Bu. Aku udah mau buat kenalan dulu. Tapi namanya gak cocok, mau gimana lagi?" bohong gue.
Karena pada kenyataannya, bukan karena itu.
Gue enggak bilang yang sebenernya ke orang tua gue, perihal Rio, temannya Devi. Bahwa sebenarnya si Rio ini sudah punya pacar, janda. Namun karena orang tua si Rio ini enggak setuju, akhirnya mau enggak mau, Rio mau di kenalin ke gue. Tetapi ya namanya juga terpaksa, akhirnya ketahuan dan Rio menceritakan yang sebenarnya ke gue. Maka dari itu, gue enggak berlanjut sama si Rio.
“Kamu sok iya, bilang gak cocok. Dasar kamunya aja yang pemilih,” cetus ibu.
Gue mulai terpancing emosi mendengar nada cetus ibu. Ayah yang melihat gue akan meledak segera menghampiri gue, dan mengusap lembut lengan gue. Gue tersenyum ke ayah, karena usapan lembutnya begitu ampuh buat gue kembali tenang.
Akan tetapi itu tidak berlangsung lama, ketika gue kembali mendengar lontaran kalimat ibu yang menurut gue begitu menyakitkan buat di dengar. Gue masih anaknya, tapi kata-katanya sungguh sampai membuat gue berpikir kalau gue hanya anak pungut. Atau mungkin gue yang terlalu sensitive.
“Bisanya cuma jadi beban aja, mending kamu tinggal di rumah nenek kamu itu, dari pada di sini bikin malu keluarga,” bentak ibu gue yang mulai berdiri meninggalkan ruang keluarga.
Sebegitu malunya kah punya anak perempuan yang tak kunjung menikah?
Apa selama ini gue hanya jadi beban buat mereka?
Ucapan ibu tersirat kekecewaan dan juga pengusiran. Apa yang selama ini gue perbuat, hingga sebegitu kecewanya ibu sama gue. Tak terasa air mata gue menetes, tapi cepat-cepat gue hapus. Gue gak mau ayah dan Nathan adik gue, melihat sisi lemah gue.
“Aku bebersih dulu ya, Yah,” pamit gue mencoba tersenyum ke ayah dan melangkah pergi menuju kamar, tak lupa juga gue memberi senyuman kepada Nathan yang masih berdiri menatap ke arah gue.
Setelah perdebatan panjang tadi malam. Hari ini gue memutuskan untuk mengirim surat resign, di toko tempat gue bekerja. Cukup lama gue memikirkan ini, dan akhirnya hari ini gue membulatkan tekad untuk keluar dari tempat di mana ruang gerak gue sempit.
Bukan ingin bebas tanpa aturan, karena bebas-sebebasnya juga enggak baik buat hidup. Namun jika terus berada di sini, akan hanya menambah rasa sakit di hati gue. Gue hanya takut membenci orang yang tidak sepatutnya gue benci.
Dengan modal beberapa lembar uang di dompet dan tabungan di rekening, gue yakin masih cukup untuk satu bulan ke depan melanjutkan hidup sendirian.
Sekitar jam 8 pagi, gue keluar dari kamar berniat untuk berpamitan ke orang tua gue. Nathan yang hari ini sedang libur sekolah, tiba-tiba keluar dari kamarnya setelah sekilas melihat gue keluar kamar dengan tas ransel di punggung.
Gue tersenyum geli melihat kerut di keningnya, begitu bingung melihat gue yang tidak seperti biasanya.
Saat tiba tepat di hadapan ayah dan ibu, gue melirik sekilas ke arah Nathan, yang ternyata membuntuti gue ke tempat ayah dan ibu.
Ekspresi ayah tak jauh berbeda dengan Nathan, berbeda sekali dengan ibu, yang kini hanya memasang wajah datar. Entahlah gue tidak begitu mengerti dengan sikap ibu ke gue selama ini.
Gue tidak mau menerka-nerka hal yang tabu, apalagi itu bersangkutan dengan orang yang masih sedarah dengan gue.
“Nadhira mau pamit,” ucap gue dalam satu tarikan nafas.
Gue melihat ibu sedikit melirik, dan ayah yang sepertinya sudah tidak sabar untuk bertanya.
“Nadhira mau kerja ke luar kota,” lanjut gue yang masih memerhatikan setiap ekspresi dari ketiga orang yang paling berharga ini.
“Nadhira tidak minta apa-apa, hanya minta doa dari Ibu dan Ayah, semoga Nadhira bertemu dengan orang-orang baik dan sehat “
“Kakak udah yakin?” tanya Nathan.
Gue tersenyum menatap adikku yang paling gue sayang ini.“Iya, Dek.”
“Baik-baik ya, Kak. Semoga semua berjalan lancar dan Kak Dhira bahagia,” ucapnya bijak.
Gue tersenyum mendengar ucapan bijak Nathan. Ayah masih tertegun, dan berdiri mendekati gue. “Kamu nanti sama siapa? Dunia luar itu tidak seindah bayangan kamu. Kamu mau ninggalin, Ayah?” ucapnya lembut.
“Maka dari itu, Dhira minta doa Ayah sama Ibu biar bertemu dengan orang-orang baik,” jawab gue tersenyum mencoba menenangkan kekhawatiran ayah.
Ibu masih terdiam di tempatnya. Gue mulai berpamitan, mencium tangan ayah dan memeluknya. Nathan pun memelukku dan menahan isakannya, karena gue lihat matanya mulai memerah. Dia menengadah untuk menghalau air mata yang akan keluar. Begitu pula ayah, dia mencoba terlihat tenang meski gue tahu, gerak geriknya sarat akan kecemasan.
Gue mengulurkan tangan ke ibu, cukup lama menunggu, akhirnya gue menatap ibu yang sekarang mulai berdiri dan membelakangi gue. “Keluar dari pintu, jangan pernah kembali lagi sebelum kamu membawa kesuksesan,” ucapnya dingin dan pergi memasuki kamarnya.
Gue menatap kepergian ibu dengan getir. Sekali lagi gue memeluk ayah dan mulai melangkah ke arah luar rumah. Namun, Nathan tiba-tiba mengejar gue dan memeluk gue begitu eratnya.
“Jangan terlalu pikirin omongan Ibu. Kakak baik-baik di sana. Pulang kalo kiranya kakak butuh pulang. Nathan sayang, Kak Dhira,” ucapnya yang kini mulai terisak di bahu gue.
Dan setelah itu, gue berangkat. Gue pergi meninggalkan semua yang ada di sini, meninggalkan kota kelahiran yang penuh dengan kenangan ini sendiri.
Hari pertama di kota baru, gue memutuskan untuk mencari loker. Bermodalkan ojek dan turun di pusat kota, gue berjalan kaki mengelilingi deretan pertokoan, kantor, kafe, perpustakaan, hotel dan restoran.
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Akhirnya gue mengakhiri pencarian loker untuk hari ini. Mungkin belum rezekinya. Siapa tahu besok ada di bagian barat kota.
Gue istirahat di kamar kos sepetak yang gue sewa dengan harga yang cukup terjangkau dari tempat lain. Gue harus irit sebelum dapat pekerjaan.
Makan sekali dan hidup seadanya bukan hal baru buat gue, jadi gue masih bisa mengatasinya untuk sekarang. Namun gue berdoa semoga secepatnya gue dapat pekerjaan.
Hidup memang tidak mudah, gue paham sekali. Dan kali ini sudah hampir setengah bulan gue cari pekerjaan, namun tak kunjung gue dapetkan.
Rasanya gue ingin menangis sekencang-kencangnya. Akan tetapi gue sadar, sekarang bukan waktunya menyerah.
Gue kembali bangkit dari tempat duduk di salah satu taman, dan berkeliling lagi untuk mencari pekerjaan. Dengan tekad yang bulat dan semangat, gue terus merapalkan doa dalam hati. “Tuhan ... please apa pun asal halal, mohon beri gue pekerjaan.”
Kini hari mulai sore, perut sudah terasa lapar, dan kaki gue mulai kesemutan. Gue baru sadar kalau gue belum mengisi perut, terakhir mie instan tadi pagi.
Dengan menyeret kaki yang telah lelah, gue terus melangkah, entah untuk mencari loker atau pun tempat makan terdekat.
Bagaikan mendapat oasis di ujung dahaga, mataku berbinar senang mendapati papan kotak yang ditempel di pintu restoran, di depan mata gue. Tepatnya sih harus menyeberangi jalan terlebih dahulu.
Dicari pegawai part time segera!
Waitress
Laki-laki/perempuan
Usia minimal 18 thn
Bisa bekerja sama dengan tim
Mau belajar dan cakap dalam bekerja
Shift :18.00-22.00
Segera saja gue melangkah dengan cepat memasuki restoran itu, melupakan perut lapar dan lelah yang kini menghilang seketika.
Bersyukurnya, hari ini juga, gue sudah bisa langsung bekerja. Gue di beri arahan, cara menyambut pengunjung, bagaimana cara berbicara dengan pengunjung dan terakhir gue diberi seragam.
Gue tidak henti-hentinya bersyukur, dan kelihatan sekali dari raut wajah gue yang memamerkan senyum pepsodent ke siapa pun yang lewat dari pandanganku.
Staff dapur dan pekerja sesama waitress di sini baik dan juga ramah. Walaupun selama bekerja terjadi intonasi suara yang tinggi, namun itu menyenangkan. Semuanya bekerja sama dengan baik, tidak ada senior-junior. Semuanya saling membantu dalam bekerja.
Gue merasa mendapat keluarga baru. Apalagi saat ditengah-tengah bekerja tadi, tiba-tiba perutku berbunyi yang begitu nyaring, membuat salah satu staf dapur. Lebih tepatnya, Assisten Head Chef Theo tertawa terpingkal-pingkal.
Padahal keadaan lagi genting, banyak sekali pengunjung, namun Theo malah sempat-sempatnya pergi ke bagian belakang tempat penyimpanan makanan, guna mengambil roti untuk dia berikan ke gue.
Gue sempat menolaknya, karena ini masih dalam jam kerja. Apalagi gue masih anak baru di sini. Akan tetapi jawaban dengan suara bass, serta gaya tengilnya membuat gue bungkam dan menerima roti itu.
“Dari pada lo pingsan, kan tambah repot. Mending lo makan dulu roti ini, baru lanjut kerja lagi. Makan roti gak bakal ngabisin waktu 3 jam kerja lo kan.”
Jarum jam menunjukkan angka 10, kini semua staff mulai beberes, dan segera bergegas untuk pulang. Begitu pula gue, namun gue masih membuka aplikasi ijo untuk mencari ojek.
Fika, Dika, Sisil rekan waitress gue kini telah berpamitan untuk pulang, begitu pula Chef Reymond, dan Chef Adrick menyapa gue dan segera pergi. Para Assisten Chef satu persatu juga telah pulang.
Gue masih sibuk mencari ojek, hingga bunyi pintu restoran tertutup mengagetkan gue. Menengok ke belakang, gue mendapati Theo sedang mengunci pintu restoran.
Theo melangkahkan kakinya ke arah gue. Bukannya gue geer ya, tetapi arah parkiran sebelah kanan restoran, dan gue berada di depan restoran, tepatnya sih pinggir jalan. Raut mukanya tengil sekali. Padahal menurut gue, Theo ini termasuk kategori ganteng. Rambutnya yang sedikit ikal, hidung bak perosotan, mata sipit dan tajamnya, juga kulit putih yang bersih. Bisa di simpulkan, jika Theo ini sepertinya punya darah mix, blasteran gitu.
“Arah tempat lo tinggal ke mana?” tanyanya tiba-tiba.
“Ke kiri,” jawab gue reflek menunjuk kesisi kiri jalan.
“Ok, tunggu bentar. Gue mau ngambil mobil dulu. Kita bareng aja ya?” tambahnya dan segera berlari kecil ke tempat parkir, tanpa menanti jawaban gue. Bahkan mulut gue masih mangap saat akan membalas perkataannya.
Kini gue berada di dalam mobil yang sama dengan Theo. Sesuai dugaan gue, si Theo ini memang tipe yang banyak bicara. Hal apa pun bisa menjadi panjang jika berbicara dengannya. Itu sebuah nilai plus. Bisa berbaur dengan mudah dan dengan siapa saja. Topik pembicaraan tidak akan mati.
“Lo orang sini, bukan?” tanyanya.
“Bukan, Chef” jawab gue kikuk.
“Santai aja kalo sama gue. Gak usah kaku gitu. Ini di luar jam kerja juga,” jelasnya sambil tersenyum.
Ini orang suka banget senyum, heran banget gue. Padahal kita kenal belum ada 24 jam. Sangat tidak baik buat kesehatan jantung gue. Ok ... abaikan!
Gue cuma sekedar kagum saja, tidak lebih. Gue cukup tau diri kok, untuk tidak menyukainya. Dia terlalu langit untuk gue yang tanah.
“Lo emang pendiem ya orangnya?” lanjutnya mencoba mencairkan suasana.
Gue tertawa canggung mendengarnya. “Gue tergantung orangnya aja sih, kalo gue nyaman, gue rame.”
“Jadi gue bikin lo gak nyaman?” tanyanya lagi.
“Bukan gitu!” panik gue takut dia tersinggung.
Theo tertawa melihat respon gue. “Panik banget sih,” ledeknya. “Gue ngerti kok, lo belum terbiasa aja bareng gue. Kita kan baru kenal. Iya kan?”
“Iya seperti itu,” jawab gue dengan bernafas lega.
“Eh iya ... lo kan belum makan ya. Kita muter-muter aja dulu kali ya, cari makan. Kebetulan gue juga laper nih,” usul Theo dan mulai memindai tempat makan yang masih buka.
Gue bingung mau ngomong apa, jadinya gue cuma diem saja seperti anak penurut yang ikut dengan induknya.
Tibalah kita di salah satu lesehan pinggir jalan tidak jauh dari tempat kos gue. Seperti halnya tadi, Theo banyak bercerita dan mencoba memancing obrolan dengan gue.
Perlakuannya yang santai itu membuat gue akhirnya mulai menyeimbangi obrolannya. Kita pun makan dengan diselingi obrolan-obrolan ringan dan juga tertawa.
“Lo udah lama tinggal di sini, apa masih baru aja?”
”Gue baru setengah bulan lah di sini. Dan gue juga udah muter-muter cari kerjaan, karena duit gue udah mulai menipis. Syukurnya dapet pekerjaan juga hari ini,” jelas gue panjang lebar.
“Lo merantau ke sini, sendiri?” tanyanya lagi.
“Iya sendiri. Lo udah lama di sini?” tanya gue memberanikan diri.
“Nah gitu dong, saling tanya biar gak canggung kita,” jawabnya heboh. “Gue udah lumayan di sini, 3 tahun ada kali ya,” lanjutnya.
“Kenapa lo tadi yang ngunci restorannya?”
“Oh ... itu, pemilik restoran itu temen gue. Jadi gue yang di beri kepercayaan buat megang kuncinya,” jawabnya santai dengan menikmati menyesap kopi hitam.
Mengalirlah obrolan random malam itu yang tak terasa, hingga gue diantar pulang. Begitu pun Theo yang juga kembali ke tempat tinggalnya, yang ternyata tidak jauh dari tempat kos gue.
Hari yang melelahkan, namun gue cukup senang mendapati teman kerja dan tempat kerja yang baik.
Waktunya gue beristirahat guna esok hari lebih segar dan semangat lagi.
Tak terasa, sudah dua bulan gue ada di perantauan. Gue rasa tidak terlalu buruk juga, meskipun harus pontang-panting, pagi hari bekerja di swalayan hingga sore dan malamnya lanjut di restoran.
Memang tidak semudah itu. Namun gue merasa lebih damai, seorang diri. Bukan berarti gue selalu sendirian terus ya.
Gue udah dekat banget sama Sisil, Fika dan Dika teman gue di restoran. Lalu di toko ini, gue cukup akrab sama Vani. Ada satu orang lagi sih di swalayan ini, cuma gue tidak terlalu dekat. Orangnya begitu pendiam, tapi baik kok. Namanya Anton.
Gue mulai kerja di swalayan ini baru sebulan, sekitar dua minggu setelah gue kerja di restoran.
Rutinitas gue sebulan belakangan ini, hanya kerja, kerja dan tidur. Eh, tidak juga sih. Tiap hari minggu pagi, gue selalu direcoki oleh Theo.
Dia selalu on time di depan pintu kos gue, untuk mengajak gue olahraga. Jiwa-jiwa malas gue meronta-ronta. Untuk kali pertama, gue sungkan untuk menolak. Tetapi tidak di minggu berikutnya. Gue benar-benar lelah dan capek. Akan tetapi, tetap saja gue diseret paksa dengan dalih olahraga sehat untuk badan.
Weekend menurut gue adalah hari yang sangat pas buat gue untuk re-charger diri gue, alias rebahan. Sendirian tanpa bertemu siapa pun jenis manusia.
Akan tetapi keinginan gue harus pupus, saat gedoran di pintu kamar kos gue, tak kunjung berhenti.
Dengan ogah-ogahan gue membuka pintu, dan ya, ada seonggok manusia yang sudah gue duga sebelumnya, kini telah memamerkan senyum lebarnya. Tak lupa juga 2 kantong plastik makanan.
Muka gue sudah kusut sejadi-jadinya, saat Theo menyerobot masuk dalam kamar kos gue.
“Ngeliat tampang lo kusut bener, tapi kamar lo rapi,” sindir Theo begitu masuk ke dalam kamar kos gue.
Ya begitulah aslinya si Theo ini, suka ngeselin. Mana seperti rumah sendiri, langsung nata makanan yang dia bawa, tanpa tanya dulu ke gue.
Gue mendengus melihat tingkahnya, “Serasa rumah sendiri ya, Pak?”
Dia hanya menoleh dan berdecak mendengar balasan sindiran dari gue.
“Gue tuh mau me time, Theo. Lo gak ada kerjaan apa, pagi-pagi udah nangkring di tempat kos gue,” ucap gue dan memilih duduk di kasur melihat Theo yang sibuk sendiri menata makanan yang dia bawa.
Theo membawa makanan itu tepat di depan gue, alias lesehan. “Justru itu, karena gue tau lo bakal me time, jadinya gue ke sini bawain lo makanan. Takutnya lo mager buat makan,” dalihnya.
“Kalo gue laper, gue bakalan makan juga kali, gak bakal mager,” sungut gue.
“Ya gak ada yang tau kan, lo kan magernya kebangetan, jadinya gue inisiatif ke sini. Habis ini lo juga bisa me time. Sekarang temenin gue makan, itung-itung terimakasih ke gue,” balasnya cengengesan.
Gue mendengus mendengar jawabannya, namun tak alih gue memakan makanan yang dia bawa. Soto ayam di pagi hari, tidak buruk juga. Kuahnya bikin segar.
By the way, Theo tidak hanya membawa soto, ada jajanan pasar juga. Seperti kue pukis, dan kue lumpur. “Lo pagi-pagi udah keliling ke mana aja sih, kok udah bawa jajanan pasar juga,” tanya gue dengan menikmati kuah soto yang begitu segar.
“Ya dari pasar dong. Makanya gue bawa jajanan pasar. Gue kan rajin gak kayak lo,” ledeknya.
Gue memutar mata malas mendengar ledekannya.“Habis ini lo pulang,” ucap gue.
“Gitu banget sih, Dhir! Sampek ngusir. Lagian gue cuma bentaran kok, libur dulu kita olahraganya."
“Gue tanya ya, bukan ngusir. Lo mah baperan.”
“Cie lo takut gue tinggal ya?” ucapnya sambil menaik turunkan alisnya.
“Bodo, Yo bodo!” sahut gue memilih untuk menikmati kembali sarapan gue.
Theo yang sudah menyelesaikan sarapannya tertawa terbahak mendengar gue yang mulai kesal. Gue gak menghiraukannya.
“Gue pulang dulu, Dhir. Gak usah kangen gue loh ya,” pamitnya.
Gue hanya memandangnya sinis. “Eh nanti gue masuk malem, soalnya masih ada urusan, gue jemput lo deh nanti. Kita barengan. Biar lo gak nahan kangen ke gue,” lanjutnya.
“Serah lo dah. Dah sana pergi. Hushh hush,” usir gue.
Sesaat kepergian Theo, gue beresin alat makan dan kembali menyapu kamar gue biar bersih. Gue pun bergegas mandi dan tidur. Dalam keadaan perut kenyang dan badan yang telah bersih membuat gue sesegera mungkin masuk dalam mimpi.
Theo menepati ucapannya, jam masih menunjukkan pukul 17.00 dan dia sudah nangkring di kosan gue. Untung gue sudah mandi dan rapi siap untuk berangkat. Akhirnya, kita pun berangkat bareng ke restoran.
Begitu sampai di tempat parkir, kita turun dari mobil. Bagai pasangan kekasih yang hendak dinner romantis di penghujung minggu. Padahal kita mau nguli. Pikiran absurd gue ada-ada aja.
Begitu sampai di depan pintu restoran, gue sontak melotot melihat ke dalam restoran dan tanpa sengaja menahan lengan Theo. Gue menarik lengan Theo ke tempat parkir.
Theo hanya mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan tingkah laku gue.
Saat sampai di tempat parkir, gue menatap Theo yang ternyata dia sedang menatap gue bertanya-tanya.
“Restoran ini gak ada pintu belakang yaa?” tanya gue panik.
“Ada kok. Cuma gue lagi gak bawa kuncinya. Kenapa?” jawabnya santai.
Gue yang semula senang kembali menelan kecewa.
“Ada pintu samping kalo lo lupa,” lanjutnya.
Mendengar itu gue berbinar senang karena baru teringat pintu samping restoran.
“Tumbenan lo takut ke pengunjung,” tanyanya lagi dengan mengangkat sebelah alisnya.
Gue bingung mau menjawab apa. Haruskah gue jujur atau bohong ke Theo. Tapi buat apa juga Theo tahu hal kayak begini. Akan tetapi gue enggak pintar berbohonh. Mana Si Theo mulai mengintimidasi juga.
“Bukannya takut sih, Yo. Cuma kan gak enak gitu, lagi penuh pengunjung di dalam,” kelit gue.
“Gak usah berkelit deh. Ada siapa sih di dalem?” tanyanya dengan menyipitkan mata. “Rentenir ya, lo punya hutang ya, Dhir! Lo nunggak berapa lama?” lanjutnya menebak dengan hebohnya.
Rasa-rasanya gue ingin sekali untuk menggeplak kepalanya si Theo. Bisa-bisanya orang ini berpikir sejauh itu. “Lo mikirnya kejauhan.”
“Ya terus kenapa?” tanyanya mulai memaksa.
Gue tarik lagi tangannya, enggak peduli gue, meskipun dia salah satu atasan gue di restoran. Dari pada kelakuannya menjadi-jadi, bisa-bisa kita telat masuk.
“Udah deh, kita lewat pintu samping aja. Keburu telat,” ajak gue.
“Ya gak di seret gini juga, Dhir!"
"Elah berasa karung gue di seret kek gini,” protesnya.
“Ya udah diem dulu deh, Yo. Jangan berisik! Nanti ngeganggu pengunjung yang lagi menikmati makannya,” sungut gue.
“Lo sih gak ada jiwa kemanusiaannya sekali, pakek nyeret gue segala,” balasnya.
“Ya kan gak sengaja! Lagian juga biar cepet,” ucap gue berkilah.
“Alah ... alasan aja lo. Bilang aja mau pegang-pegang gue kan, lo,” ucapnya yang bikin gue tambah kesel.
Ingin rasanya gue mencakar wajahnya yang tampan tapi otaknya minim itu. Namun gue masih bisa berpikir jernih, bawa makhluk jadi-jadian di depan gue ini masih atasan gue.
“Udah ya, Yo! Ini udah mau jam enam, kurang lima menit lagi,” desak gue lagi-lagi menyeretnya.
Gue enggak sadar, jika sedari tadi kita sudah jadi bahan tontonan para pengunjung. Saat gue melihat sekeliling dengan kaku, ternyata kita sudah berada di dalam restoran, tepatnya baru masuk dari area samping.
Tidak jauh berbeda dengan Theo. Gue rasa, dia juga enggak sadar saat masuk ke dalam restoran dengan masih ribut. Namun apa-apaan dengan tampangnya itu, yang tampak biasa saja. Malah memamerkan senyuman.
Lantas gue pun menunduk memohon maaf kepada pengunjung karena telah membuat keributan. Gue hendak melangkah dan menyeret Theo lagi, saat terdengar seseorang yang suaranya masih tidak berubah sejak dulu, memanggil nama gue.
“Nadhira?”
“Mampus,” ucap gue dalam hati.
“Siapa?”
Itu bukan suara gue, melainkan Theo yang kini memandang gelagat aneh gue dan orang itu secara bergantian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!