NovelToon NovelToon

Akan Indah Nantinya

Bab 1

“Lo gimana sih?! Masa kayak gitu aja nggak becus!”

Shena sudah biasa dibentak oleh Dio, suaminya. Semenjak mereka menikah dua bulan lalu, Dio terbilang sering membentaknya walaupun kesalahan yang Ia buat sangatlah tidak berarti.

Kali ini Shena tak sengaja menjatuhkan baki yang Ia gunakan untuk membawa lima gelas berisi jus jeruk. Shena tak sengaja menjatuhkan karena ditabrak oleh salah satu anak dari sepupu Dio. Shena tidak menyalahkan keponakan Dio itu, Ia tahu anak kecil memang kerap bergerak sesuka hati mereka maka dari itu Ia maklum.

“Maaf, aku nggak sengaja,”

“Masa disenggol anak kecil aja langsung jatuh semua tuh gelas Mama,”

“Dio! Shena nggak sengaja. Nggak usah marah-marah begitu dong, lagian Shena jatuhin itu karena disenggol sama Kila, dan Kila anak kecil jadi dimaklumi aja, nggak usah salahin siapa-siapa,”

“Kila, makanya bisa diam dong, Nak. Jangan lari-larian, akhirnya Aunty Shena kena omelan Om kamu tuh,”

“Shena, aku minta maaf ya,”

“Iya nggak apa-apa, Kak Nov,” ujar Shena dengan senyum hangatnya. Shena tidak marah, Ia hanya kaget saja karena tiba-tiba suaminya membentak.

Novia sebagai Ibu dari Kila langsung mengurung Kila dengan kedua kakinya. Novia tidak mau anaknya berbuat ulah lagi.

“Udah biarin aja, Nak. Biar Bibi yang bersihin,”

Ardina, mama Dio langsung melarang Shena yang akan mengangkat pecahan-pecahan gelas di lantai. Ardina tidak akan membiarkan menantunya itu melakukannya, karena ada Bibi yang bisa Ia mintai tolong. Ardina mengerti perasaan Shena sekarang. Pasti Shena masih kaget akibat Ia tak sengaja memecahkan gelas, ditambah lagi dibentak oleh suaminya di depan keluarga yang sekarang ini menatap ke arah Shena dengan sorot mata tidak tega. Mereka tidak menyangka kalau Ardio akan membentak istrinya karena permasalahan kecil.

“Nggak apa-apa, Ma. Aku aja yang bersihin, ini ‘kan aku yang mecahin. Aku minta maaf ya, Ma. Aku benar-benar nggak sengaja mecahin gelas punya Mama,”

“Ya Allah, kamu jangan ngomong begitu. Mama paham kok. Lagian gelas banyak di rumah ini, ngapain mikirin gelas-gelas itu? Kalau pecah ya udah biarin aja,”

Ardina merasa sedih ketika menantunya meminta maaf. Sungguh ardina tidak mempermasalahkan gelas-gelasnya pecah, malah yang Ia cemaskan sekarang adalah perasaan Shena.

“Bi, tolong bersihin ini ya, Bi,”

“Siap, Bu,”

Bibi dipanggil oleh Ardina untuk menyingkirkan pecahan-pecahan gelas yang tersebar di lantai. Ardina menyuruh Shena untuk berhenti melakukannya akan tetapi Shena merasa itu adalah tanggung jawabnya.

“Udah biarin Bibi aja, Mba Shena,”

“Nggak apa-apa, Bi, kita barengan ya,”

Shena tidak mau membiarkan Bibi mengerjakannya sendiri. Apa kata Ardio nanti kalau Ia diam saja? Bisa jadi Ardio akan kesal lagi kepadanya.

“Mba, itu tangannya berdarah! Udah stop, Mba,”

Bibi panik melihat tangan Shena yang terluka hingga mengeluarkan darah. Ucapan Bibi sontak membuat yang lain terutama mamanya Ardio panik.

“Ya Allah, Shena, kamu jangan susah dibilangin dong, Nak. Mama bilang jangan ya jangan, kok kamu masih aja bersihkan tu sih? Udah-udah stop!”

Ardina memegang kedua bahu Shena supaya berdiri tegap. Ardina merangkum pipi menantunya itu dan menatapnya tegas.

“Udah ya, sekarang ayo obatin luka kamu takut infeksi,”

“Ayo aku bantu, Shena,”

“Nggak usah, Kak Nov, aku obatin sendiri,”

Shena tersenyum lembut menolak Novia yang akan mengobati tangannya. Shena langsung pamit naik ke lantai atas untuk mengambil obat luka di kamarnya.

Di perjalanan menuju kamar, Shena tak bisa menahan air matanya agar tidak turun. Bukan karena sakit di tangannya, tapi mengingat bentakan Ardio tadi di depan keluarganya membuat hati Shena merasa sakit, ditambah dengan rasa malunya di depan keluarga Ardio. Sejak tadi Shena sudah menahan air matanya supaya tidak jatuh, karena Ia pasti akan tambah malu. Tapi setelah menjauh dari keluarga suaminya yang hari ini datang karena ada arisan keluarga, air matanya otomatis terjatuh.

*****

“Kamu kenapa sih sampai marahin Shena? Kasian Shena, Dio. Sekarang kamu samperin Shena sana, bantu obatin tangannya,”

Dio menghembuskan napas kasar ketika dihampiri oleh mamanya yang menyuruh Ia untuk menghampiri Shena dan mengobati Shena yang tadi terluka.

“Shena ‘kan udah dewasa, Ma. Dia bisa ngobatin dirinya sendiri. Lagian cuma luka karena ketusuk beling aja ‘kan,”

“Cuma kamu bilang? Jangan ngeremehin gitu dong, takut infeksi. Sana ke kamar!”

Dio melirik keluarganya yang sudah mencair tak tegang seperti tadi lagi. Ada yang mengobrol dan bermain ponsel termasuk dirinya yang tadi langsung bermain game setelah Shena naik ke lantai atas. Seolah tak terjadi apapun.

Karena melihat Dio diam saja, tidak merasa bersalah sedikitpun, makanya Ardina menghampiri anaknya. Ardina pikir sang anak akan berinisiatif menghampiri Shena di kamar tapi ternyata tidak.

“Nggak, Ma,”

“Ardio, kamu kenapa sih? Hargai dong istri kamu, sana ke kamar! Obatin lukanya Shena,”

Ardio berdecak tak bisa membantah lagi setelah melihat mamanya, Ardina menatap dengan tajam. Ia tidak mau Ardina lebih marah daripada ini.

Ardina sangat menyayangi menantunya, ketika Shena terluka atau sedih pasti Ardina akan maju paling depan.

“Ya udah nih aku ke kamar sekarang,”

“Jangan cuma ke kamar aja, obatin tangannya, dan minta maaf ke Shena, paham kamu?”

“Iya, Ma,”

Dio langsung bergegas meninggalkan sofa. Kakinya berat sekali ingin ke kamar tentu saja diberatkan oleh rasa gengsi. Entah apa kata Shena nanti kalau Ia benar-benar menuruti apa yang dikatakan oleh Mamanya. Meminta maaf dan mengobati? Rasanya sulit untuk dilakukan oleh Dio kepada perempuan yang sudah Ia buat terluka hatinya tadi.

******

“Tante, aku benar-benar minta maaf ya Kila udah bikin riweuh tadi,”

Novia masih memikirkan kejadian tadi, dan lagi-lagi Ia meminta maaf pada istri dari pamannya yang tadi dengan terang-terangan membela menantunya, karena memang Shena tidak salah. Semua terjadi begitu cepat, dan tidak ada satupun yang menginginkan itu. Apalagi sampai melihat Dio membentak istrinya karena perkara kecil.

“Akhirnya Dio sampai marah ke Shena, kasian Shena jadinya,”

“Nggak apa-apa, Nov. Wajar kok, namanya juga anak kecil. Dio aja yang berlebihan, kayak gitu aja sampai marah-marah, padahal ya nggak ada yang salah dalam kejadian tadi,”

“Dio berlebihan ya, Tante,” sahut Lina, sepupu Dio yang merasa tak habis pikir juga tadi ketika sepupunya membentak Shena.

Ardina menundukkan kepalanya. Jujur Ardina malu karena anaknya itu tidak bisa menghargai istrinya. Keluarga menilai Dio berlebihan dalam mengambil tindakan menegur Shena tadi, dan Ardina akui itu memang benar.

*****

Dio membuka pintu kamarnya dengan hati-hati, Ia pikir Shena sedang istirahat. Bagus kalau Shena tidur, Ia tidak perlu bersikap baik atau mencurahkan perhatiannya karena jujur itu sulit untuk Ia lakukan.

Dio masih belum bisa menerima kehadiran Shena di hidupnya. Sementara Shena berkebalikan dari itu. Meskipun mereka menikah karena dijodohkan tapi Shena menerima dengan hati yang lapang. Karena apa kata orangtuanya, berarti itu yang baik untuknya, Ia percaya akan hal itu.

“Lho, kemana dia? Kok nggak ada?”

Ternyata setelah Dio membuka pintu kamarnya, Dio tak menemukan keberadaan istrinya. Dio mengedarkan pandangan di seluruh sudut kamar, tapi Ia tidak menemukan Shena, maka dari itu Ia memanggil-manggil Shena sambil berjalan ke kamar mandi yang tertutup pintunya, dan juga balkon. Tapi Ia tetap tidak menemukan Shena.

“Shena kemana sih? Masa iya dia kabur? Tapi kalau kabur juga nggak apa-apa sih, itu ‘kan pilihan dia,”

Bab 2

Shena memilih kamar lain untuk berdiam sebentar, karena Ia yakin Dio akan masuk kamar mereka, dan Dio bisa melihat Ia sedang tidak baik-baik saja.

Maka dari itu Ia memilih untuk menyendiri di kamar yang lain supaya bisa lebih tenang tanpa diganggu oleh siapapun termasuk suaminya.

Bayangan ketika Dio membentaknya tadi masih terus berputar di kepalanya dan karena itu Ia masih belum bisa benar-benar menghentikan tangisnya sendiri.

“Kalau marahin aku di tempat yang nggak ada siapa-siapa, rasanya nggak sebegitu nyesek, tapi Dio bentak aku di depan keluarganya, aku malu banget, aku sakit hati. Emang senggak becus itu aku jadi istrinya ya?”

Alih-alih mengobati tangannya sendiri, Shena malah tenggelam dalam kesedihannya, dan mengabaikan rasa perih di tangan kanannya.

******

“Kok cepat? Udah diobatin Shena nya?”

Ardina melihat anaknya turun dari lantai atas. Yang pertama Ia tanyakan tentunya Shena. Ia berpikir Dio sudah mengobati Shena. Tapi ternyata Dio menggelengkan kepalanya.

“Lho, kok belum? Apa Shena udah ngobatin sendiri?”

“Aku nggak tau, Ma. Dia aja nggak ada di kamar,” jawab Dio dengan santainya. Ia menyampaikan apa yang Ia ketahui. Kamar kosong dan Shena entah pergi kemana.

“Lho kok bisa nggak ada di kamar? Coba buka aja semua pintu kamar di lantai atas, nggak mungkin lah Shena kabur,”

“Ya mungkin emang kabur kali. Bairin aja deh, Ma. Dia lagi mau menyendiri mungkin,”

“Kamu gimana sih? Masa istrinya nggak ada di kamar malah biasa-biasa aja? Kamu tuh abis bikin dia sakit hati lho tadi,”

Dio berdecak pelan. Ini salah satu alasan Ia semakin tidak menyukai kehadiran Shena di hidupnya. Karena semenjak ada Shena, orangtuanya jadi lebih mengutamakan Shena. Mereka sangat menyayangi Shena sampai Ia kadang berpikir apa Ia dan Shena tertukar ya? Apa Shena yang anak kandung mama dan papanya? Tapi rasanya tidak mungkin. Apa yang ada dalam dirinya benar-benar dituruni dari mama dan papanya. Itu hanya pemikirannya yang tak masuk akal saja.

“Ya terus aku harus ngapain, Mama? Aku ‘kan udah nurutin apa kata Mama tadi. Aku datang ke kamar, tapi dia nya nggak ada dan aku nggak tau dia kemana,”

“Ya coba dicek satu-satu kamar yang ada, barangkali Shena lagi ada di kamar lain, bukan kamar kalian,”

Dio menghembuskan napas kasar. Shena benar-benar membuat hidupnya jadi sulit. Coba kalau Shena tak ada, tetap Ia yang menjadi prioritas orangtuanya, bukan Shena.

“Segitunya banget sama Shena, Ma. Yang anak Mama tuh aku atau Shena?”

“Dua-duanya, masa kamu nggak paham juga?”

“Dua-duanya? Dia tuh cuma menantu Mama aja? Tapi Mama sesayang itu sama dia, aku heran deh,”

“Ya dimana-mana memang begitu. Malah bagus dong, harusnya kamu bersyukur orang tua kamu sayang ke istri kamu,”

“Nggak, aku nggak bersyukur. Malah ribet tau nggak? Gara-gara mama papa sayang banget sama dia, cuma dia aja yang diutamain, dan aku yang direpotin. Harus beginilah, begitulah, ke Shena,”

Ardina tercengang mendengar ucapan Dio. Benar-benar tidak diduga kalimat itu terlontar dari mulut Dio. Seharusnya Dio bersyukur memiliki istri yang bisa diterima dengan baik oleh keluarganya khususnya orang tua, ini malah sebaliknya Dio merasa tidak senang.

“Cari Shena sampai ketemu! Mama nggak mau tau, cari sekarang!”

“Astaga, ngapain sih, Ma?”

“Ngapain kamu bilang? Takutnya Shena kenapa-napa, Dio,”

“Ya udah kalau kamu nggak aku, biar Mama—“

“Okay-okay, aku cari tuh orang sampai ketemu. Kalau ketemu, awas aja ya, aku bakal marahin dia karena dia udah ngerepotin aku,”

“Astaghfirullah, keterlaluan banget kamu,”

*****

Shena ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya menghapus jejak-jejak air mata. Ia berdiri di depan cermin untuk memastikan tak ada lagi sisa kesedihannya, barulah setelah itu Ia keluar dari kamar mandi.

Ia berjalan mendekati pintu kamar. Sebelum membuka kuncinya, Ia hembuskan napas kasar. Berharap dengan itu, rasa sesak akibat perlakuan Dio tadi benar-benar hilang.

Ia membuka kunci setelah dirasa benar-benar siap untuk bertemu dengan Dio dan keluarganya. Ia tidak mungkin terlalu lama menghilang. Momen berkumpul dengan keluarga adalah momen yang paling disukai oleh Shena. Lagipula tidak enak juga kalau Ia terlalu lama di lantai atas, bisa jadi mereka mengira kalau Ia merajuk atas sikap Dio. Tidak, Ia bukan perempuan yang mudah merajuk. Kalau dibuat sakit hati, paling hanya diam, akan menangis kalau perutnya sudah tepat situasinya. Sesabar itu dirinya menghadapi Dio karena Ia tahu Dio masih perlu waktu untuk beradaptasi dan entah kapan Dio bisa benar-benar menerima kehadirannya.

Bertepatan dengan Shena keluar dari kamar yang biasa digunakan oleh tamu, Dio datang dengan wajahnya yang datar, tapi rahangnya mengeras.

Pintu kamar yang semula sudah ditutup dengan baik oleh Shena langsung dibuka lagi oleh Dio, dan Dio menarik tangan Shena yang tentunya kaget dengan apa yang dilakukan oleh Dio.

Dio mengunci pintu kanar, dan itu menghadirkan rasa takut yang luar biasa. Meskipun Dio itu suaminya, tapi Shena tahu, Dio membencinya. Kalau Dik sudah mengunci pintu kamar, pikiran Shena sudah kemana-mana. Ia takut Dio melakukan hal yang tidak terduga sama sekali. Ia takut Dio melukainya.

“Nggak-nggak, suami aku nggak mungkin kayak gitu. Sekesal apapun Dio, nggak akan mungkin Dio nyakitin fisik aku, aku yakin,” Shena berusaha menenangkan dirinya sendiri yang panik. Ketika Dio mengunci pintu kamar saja Shena sudah panik, sekarang ditambah dengan Dio yang tiba-tiba menekannya di pintu menggunakan kedua tangan Dio. Posisi mereka berdua sangat dekat, dan ruang gerak Shena menjadi terbatas.

“Dio, kamu kenapa? Tolong jangan begini, aku takut,”

“Lo takut? Hmm?”

“Dio—“

“Lo tuh udah bikin hidup gue hancur tau nggak? Lo sadar itu nggak sih? Setelah ada lo, semuanya jadi berubah. Orangtua gue segitu sayangnya ke lo,”

“Aku minta maaf,”

“Maaf lo itu nggak ada artinya buat gue, Shena. Maaf lo kayak sampah bagi gue. Asal lo tau ya, gue benci banget sama lo, gue benci! Kenapa sih lo harus ada di hidup gue? Hah?”

Shena tak bisa menahan laju air mata yang sebelumnya Ia tahan susah payah. Entah apalagi yangs alah darinya. Tidak puaskah Dio membentaknya tadi? Sekarang Dio tiba-tiba datang, dan berkata dengan terang-terangan bahwa Dio membencinya.

“Dio, kita ‘kan nikah sama-sama sadar, kita sadar untuk nurutin permintaan orangtua kita, kenapa kamu jadi benci ke aku?”

“Ya harusnya lo nolak lah, gue udah berusaha nolak waktu itu tapi nyokap bokap gue nggak mau dengerin gue, dan mereka malah bilang ke pacar gue kalau gue mau nikah. Itu semua gara-gara lo!”

“Ya ampun, aku udah pernah bilang ‘kan? Aku nikah sama kamu karena aku pengen nurutin kemauan orangtua aku aja. Aku percaya pilihan mereka itu terbaik untuk aku. Jujur aku nggak ada niat apapun, Dio. Aku nggak minta orangtua kamu untuk bilang ke pacar kamu kalau kita mau nikah, aku nggak pernah lakuin itu, Dio,”

Bab 3

Ardina mencari keberadaan menantunya juga. Ia tak bisa mempercayakan Dio seratus persen. Maka dari itu Ia turun tangan juga.

Ia membuka satu persatu kamar yang ada di lantai atas. Semuanya bisa Ia buka, tapi kamar paling ujung yang paling jauh dari kamar anak dan menantunya, ternyata tak bisa Ia buka pintunya. Entah kenapa Ia yakin Shena ada di dalam sana.

“Shena, kamu di dalam, Nak? Tolong buka pintunya,”

Suara Ardina dan juga ketukan pintu yang tidak beraturan, menggambarkan kepanikan seorang Ardina.

Dio langsung menarik Shena supaya menjauh dari pintu. Ia menatap Shena yang wajahnya basah dengan air mata. “Jangan pasang muka menyedihkan kayak gitu, biar apa? Biar lo dibelain sama nyokap gue dan gue yang disalahin? Iya?”

Shena langsung menghapus jejak air matanya. Ia tidak akan memasang wajah yang menyedihkan, Dio tak perlu khawatir. Ia tidak akan membuat suaminya jadi buruk di mata orangtua mereka.

“Kalau lo ngomong macam-macam sama nyokap gue, gue makin benci sama lo!”

“Aku nggak pernah ngomong yang macam-macam kok sama orangtua aku ataupun kamu. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya sendiri ke mereka. Aku nggak akan buat suami aku jadi jelek di mata keluarga terutama orangtua. Terserah kamu mau ngelakuin apa, Dio, kamu aja yang jahat, aku nggak mau jadi jahat juga dengan cara laporan ke mereka,” ujar Shena seraya tersenyum dan setelah itu membuka pintu kamar untuk menemui ibu mertuanya.

“Iya, Ma?”

“Alhamdulillah, ternyata kamu di sini. Mama panik cari kamu, rupanya lagi ada di sini, Dio mana ya? Mama lagi nyuruh dia untuk cari kamu tapi dianya nggak keliatan,”

“Ini Dio, Ma,”

Shena membuka pintu lebih lebar supaya suaminya yang ada di balik pintu bisa terlihat. Dio langsung tersenyum negitu bertemu tatap dengan mamanya.

“Aku di sini, Ma,”

“Mama pikir kamu nggak nyari Shena,”

“Nyariin lah, Ma. ‘Kan Mama yang suruh aku untuk nyari dia. Udah ketemu tuh anak mantu kesayangan Mama,” ujar Dio seraya melirik istrinya dengan sinis.

Setelah itu Dia keluar dari kamar tamu dan berjalan ke kamarnya meninggalkan Shena dan Ardina berdua.

“Kenapa sih dia? Sensi banget sama istrinya sendiri,”

“Nggak kok, Ma. Dio baik banget ke aku. Tadi dia khawatir nyariin aku, dan keliatannya lega temuin aku di kamar ini,” ujar Shena yang jelas berbohong. Karena sebenarnya yang dilakukan oleh Dio ketika berhasil menemukannya adalah, Dio menyakiti hatinya lagi dengan kata-katanya.

Tapi tidak mungkin Ia bicara seperti itu kepada ibu mertuanya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menutupi keburukan suaminya dari siapapun itu, tidak terkecuali keluarga mereka khususnya orangtua.

“Ya Alhamdulillah kalau begitu, Nak,” ujar Ardina seraya meraih kedua tangan menantunya dan di detik itu Ia menyadari bahwa tangan menantunya belum diobati. Tanpa pikir panjang Ia memanggil Dio dengan suaranya yang lumayan keras.

“Dio, sini dulu,”

“Ma, aku bisa obatin sendiri kok,”

“Nggak, Dio harus tau. Ini luka yang sempat dia sepelein tadi,”

“Ma—“

“Kenapa lagi, Ma? Aku salah apalagi ke Shena?”

Dio datang dengan wajah menahan kesal. Baru juga mau tenang di kamar, tiba-tiba mamanya memanggil. Terpaksa Ia menghampiri mamanya daripada semakin lama Ia dipanggil dan itu membuat kepalanya pening.

“Obatin tangannya shena,”

“Lah emang belum diobatin?”

“Belum, nih kamu liat masih ada darah. Ini lumayan dalam lukanya, Dio. Nggak bisa diremehin lho, nanti bisa infeksi,”

“Ya udah ‘kan dia bisa obatin sendiri,”

“Nggak, kamu yang harus obatin! Peduli dong sama istri sendiri, jangan masa bodo begitu,”

*****

“Pelan-pelan, Dio, jangan terlalu ditekan, makin sakit rasanya,”

Dio tidak ikhlas mengobati istrinya, hatinya juga sedang kesal karena tadi Ardina menyuruhnya untuk mencari Shena, itu sudah cukup merepotkan. Ditambah lagi sekarang Ia disuruh untuk mengobati tangan Shena. Ia juga mendapat teguran supaya lebih sabar kepada Shena, supaya lebih perhatian, intinya Ardina ingin Dio berubah menjadi versi lebih baik sebagai seorang suami.

“Arghh Dio, udah deh aku aja, jangan kamu. Sakit tangan aku,”

Shena langsung menarik tangannya supaya tak diobati lagi oleh suaminya yang kelihatan sekali tidak ada ketulusan untuk mengobatinya.

“Udah sini buruan, tanggung udah terlanjur gue yang ngobatin. Lagian nanti kalau mama tau, mama marah ke gue. Dikiranya gue yang nggak mau ngobatin lo, padahal lo yang nggak mau,”

“Ya tapi sakit, jangan terlalu ditekan, Dio. Untuk apa ngobatin kalau malah bikin sakit? Mending nggak usah, makasih. Biar aku aja yang ngobatin tangan aku sendiri,”

Geraham Dio beradu satu sama lain, tatapan Dio menajam. Shena yang melihat itu tentu merasa ketakutan.

“Biar aku ya, kamu kayaknya keberatan ngobatin aku, makanya nggak usah, Dio” ujar Shena.

“Lo tuh kenapa sih?! Hah? Gue juga sebenarnya nggak mau ngobatin lo asal lo tau! Gue terpaksa ngelakuin ini karena disuruh sama nyokap gue! Paham lo? Jadi mending lo nurut deh, jangan pancing emosi gue jadi naik,”

“Tapi sakit, kamu nggak pelan-pelan ngobatin aku nya,” ujar Shena dengan seraya meringis menahan rasa takut dan sedih juga.

“Gue udah pelan, lo aja yang lebay!”

“Aku nggak lebay, Dio. Tapi emang beneran sakit,”

“Terus lo mau apa?! Hah? Lo mau nangis?! Iya? Nangis gih sana. Biar nyokap gue makin kesal sama gue, dan lo makin dibela,” ujar Dio yang mengira istrinya akan mencari perhatian. Padahal justru sekarang ini Shena menahan dirinya supaya tidak sedih apalagi sampai mengeluarkan air mata karena takut Ardina datang ke kamar untuk memastikan lukanya sudah terobati dengan baik.

“Sini gue obatin lagi,”

“Nggak usah, kamu nggak bisa pelan-pelan, aku kesakitan, Dio,”

“Ya udah okay gue pelan nih,”

“Iya jangan terlalu ditekan karena makin sakit,”

“Lo bisa diam nggak sih? Jangan cerewet bisa nggak?!“

Shena menghembuskan napas kasar. Selalu saja Ia menjadi santapan lezatnya Dio untuk meluapkan emosi. Padahal apa salahnya Ia minta silaya Dio lembut mengobatinya? Karena yang diobati Dio ini adalah luka akibat tusukan pecahan gelas, jadi kalau ditekan sedikit saja rasanya cukup menyakitkan.

“Duh, hati-hati, Dio,”

“Iya, berisik banget sih, mau gue teken lagi biar makin sakit?” Ancam Dio yang la gaung mendapat reaksi dari Shena berupa gelengan kepala cepat.

“Gue udah lembut nih, masih kurang lembut juga?”

“”Nggak kok, makasih ya,”

“Makanya kalau kerja tuh hati-hati, kalau udah dibilang Mama jangan dibersihin, biar mama aja, harusnya lo nurut lah! Jangan batu kalau dibilangin,”

“Aku nggak enak kalau nggak bersihin. Itu ‘kan pecah gara-gara aku, masa iya aku biarin Bibi bersihin sementara aku cuma diam aja,”

“Ya ‘kan Mama udah larang lo tapi lo keras kepala,”

“Bukan keras kepala, aku cuma mau bertanggung jawab, emang salah ya?”

“Salah, karena lo bantah omongan nyokap gue,”

“Aku minta maaf, Dio. Selain karena aku mau tanggung jawab atas kesalahan aku, aku juga takut kamu marah kalau aku nggak tanggung jawab nyingkirin pecahan-pecahan gelasnya,”

“Kalau kayak gini ‘kan jadi ngerepotin gue!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!