NovelToon NovelToon

Kau Yang Memaksaku Jadi Madu

Tiba-tiba dilamar.

“Pak, tolong yang sebelah sana juga jangan sampai terlewat ya,” tunjuk Karina pada tukang yang sedang mengecat ruangan yang akan digunakan oleh bos barunya. 

Rencananya ruangan itu akan digunakan besok oleh Ceo baru yang menggantikan kedudukan Wicaksono setelah berpuluh-puluh tahun lamanya menjabat sebagai Ceo, di perusahaan Aida Group yang bergerak dibidang makanan. Salah satu produk terkenal dari jaman dulu hingga sekarang yaitu produk mie instan yang memiliki slogan ‘Mas Tomy Seleraku’ dan berbagai macam makanan instan lainnya.

Karina terlihat sibuk hari ini. Dia membawa tumpukan kardus berisi barang-barang yang akan diletakan di ruangan tersebut seorang diri, meskipun sudah ada beberapa tukang yang bertugas Karina tetap ikut andil agar pekerjaannya cepat selesai.

“Pak, ini tolong simpan di ujung ruangan itu ya. Saya mau mengambil barang lain ke bawah,” ujar karina menyerahkan sebuah dus lumayan besar kepada tukang bangunan.

Karina kini berjalan melewati lorong kantor, untuk mengambil barangnya yang tertinggal di lobi.

 “Karin!” 

Seseorang memanggil nama Karina dan menghampirinya. 

“Ada apa?” tanya Karina pada temannya yang bernama Icha.

“Sibuk banget lo hari ini, udah waktunya makan siang nih ke kantin yuk.”

Karina melihat jam yang melingkar di tangannya dan itu sudah menunjukan pukul 12 siang, waktu dimana seharusnya para karyawan untuk mengisi perut setelah bekerja dari pagi.

“Ayo, tapi tunggu bentar ya gue nyuruh orang dulu buat nyimpen barang yang ketinggalan ke atas.”

“Oke, gue ikut ya.”

Karina mengangguk sambil tersenyum pada rekan kerjanya tersebut, setelah selesai dengan urusan barangnya. Kedua wanita yang memiliki usia sama itu langsung bergegas ke kantin untuk mengambil jatah makan siangnya yang disediakan oleh kantor.

“Karin, gue denger pak Sono mau pensiun ya?”

“Namanya Wicaksono Icha,” ujar Karina membenarkan kalimat rekannya dalam penyebutan nama bosnya.

“Iya gue tahu,” timpal Icha terkekeh dengan mulut yang penuh makanan.

“Nyengir lu,” ledek Karina pada Icha.

“Oh ya, lo tau nggak siapa yang bakal gantiin Pak So- Wicaksono.” Icha meralat ucapannya setelah mendapatkan tatapan sengit dari Karina.

“Yang pasti anaknya lah Cha, nggak mungkin gue apalagi elo,” kekeh Karina.

“Ah elah gue juga tau bestie, maksud gue itu anak yang mana? Kan pak Wicaksono punya anaknya dua.”

“Kalau yang gue denger sih, anak pertamanya karena cuman dia yang bisa diandelin,” bisik Karina.

“Loh kenapa? Emang anaknya yang kedua kenapa?”

“Gue nggak tahu, yang gue tahu sih kalau anak kedua Pak Wicaksono kabur ke amerika sejak lima tahun yang lalu,” tutur Karina.

Icha menggelengkan kepalanya seraya kagum pada putra bosnya yang melarikan diri ke luar negeri. “Wih gila ya, orang kaya emang beda sama kita yang kaum misqueen ini ... kabur aja ampe ke amerika lah kita kabur paling jauh ke luar kota abis itu balik lagi kerumah karena kehabisan duit buat makan,” celoteh Icha yang membandingkan kehidupan anak bosnya dengan kehidupan dirinya.

“Ya namanya juga orang kaya, kadang cebok aja pake duit nggak kayak kita pake air.”

“Ish sialan lo bahas cebok disaat kita lagi makan, jorok,” cebik Icha menggedikan kedua bahunya.   

“Hahaha sorry-sorry.” Karina menepuk bahu temannya sambil tertawa.

Wanita yang berprofesi sebagai asisten pribadi Ceo itu meraih ponsel dalam saku roknya saat ponselnya terasa bergetar, dia melihat layar ponselnya yang menyala karena panggilan dari bosnya Wicaksono. Dia mengangkat panggilan tersebut, kemudian menutupnya setelah mendapat perintah dari sang bos yang menyuruhnya untuk datang ke ruangan rapat.

“Oh iya Karin, apa calon bos kita itu ganteng?”

“Ganteng banget, tapi sayang dia sudah punya istri.”

“Wah apa nggak bahaya tah,” celetuk Icha saat mendengar calon bosnya sudah menikah.

“Lah bahaya kenapa?”

“Ya lo tau kan, godaan antara bos sama asisten wanita.” Icha menaik turunkan kedua alisnya memberi kode pada Karina tentang ucapannya.

“Hih gila lo gue masih tau batasan kali, udah ah gue pergi dulu udah di panggil bos nggak apa-apakan kalau lo gue tinggal sendiri.”

“Ya enggak lah, gue juga tahu jalan kali.”

“Syukur deh gue takutnya lo nyasar ke ruang Hrd buat nyamperin pak David,” goda Karina.

“Sialan lo,” umpat Icha pada Karina yang yang sedang tertawa sambil menjauh darinya. “Tapi emang bener sih. Mumpung nggak ada temen, gue samperin Pak David ah siapa tahu dia lagi kesepian, hitung-hitung bujuk buat perpanjang kontrak,” gumam Icha, dia buru-buru menyelesaikan makan siangnya dan bergegas ke ruangan David untuk menggodanya.

.

.

.

.

*** 

“Permisi pak, anda memanggil saya?” kata Karina saat memasuki ruangan rapat yang telah dihadiri oleh banyak orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaan tersebut.

“Iya, silahkan masuk Karin … duduklah, hari ini saya ingin memperkenalkan kamu pada calon atasan kamu yang baru,” sambut Wicaksono ramah. 

Karina hanya tersenyum  sebagai respon pada bosnya yang hari ini akan pensiun.

“Kenalkan, ini putra pertama saya namanya Julian Wicaksono yang besok akan menggantikan saya sebagai Ceo di perusahaan ini dan Karina mulai besok kamu akan menjadi asisten pribadi Julian.”

Karina bangkit dari duduknya dan memberi hormat pada calon bosnya yang baru. “Senang bertemu dengan anda Pak Julian.”

Julian hanya mengangguk tanpa mengeluarkan ekspresi apapun pada Karina yang menyapanya dengan ramah.

“Julian, kamu harus tahu kalau Karina merupakan karyawan yang cerdas dan sangat disiplin dalam hal bekerja. Dia juga menguasai banyak bahasa sehingga kamu tidak perlu repot menyewa penerjemah saat berhadapan dengan client asing, papa bisa jamin jika Karina tidak akan pernah mengecewakan dalam hal apapun.” tutur Wicaksono memuji keterampilan Karina yang selama tiga tahun terakhir ini telah mendampinginya sebagai asistennya.

“Anda terlalu berlebihan dalam memuji saya, Pak.” Karina terlihat malu saat Wicaksono memujinya di depan banyak orang.

“Itu bukan pujian, Tapi kenyataan,” timpal Wicaksono terkekeh.

“Oh iya, kenalkan juga ini adalah Farida istrinya Julian,” lanjut Wicaksono memperkenalkan menantunya pada Karina dan orang-orang yang ada ruangan tersebut.

Semua orang termasuk Karina menyapa dan memberi hormat pada istri calon bosnya yang tampak pucat pasi. Farida menyapa balik semua orang dengan hangat dan pandangannya kini tertuju pada Karina yang sedang duduk di hadapannya.

Wanita yang mengenakan kemeja berwarna merah terang itu menganggukan kepalanya sambil tersenyum ramah pada Farida yang terus menatap ke arahnya. 

“Karina, maaf sebelumnya apa kamu sudah menikah?” sebuah pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan oleh Farida tanpa berpikir panjang.  

Karina mengedarkan pandangannya pada semua orang sebelum dia menggelengkan kepalanya. “Belum Nyonya, saya masih single.”

Farida seraya tersenyum pada Karina yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak nyaman, karena mungkin wanita itu takut jika Farida menolaknya sebagai asisten suaminya.

“Itu bagus, Karina apa kamu mau menikah dengan suami saya?” celetuk Farida yang sontak membuat semua orang terkejut dengan ucapannya yang meminta wanita lain untuk menikah dengan suaminya sendiri.

“Sayang,” tegur Julian pada istrinya yang asal celetuk.

sementara itu Karina dan Wicaksono saling bertukar pandangan bingung pada ucapan wanita yang tampak serius dengan ucapannya.

“M-maaf, m-maksud nyonya apa ya?” tanya Karina mendadak merasa tidak nyaman saat Farida mengajukan pertanyaan yang sulit untuk dimengerti.

“Saya mau melamar kamu, sebagai istri suami saya,” ulang Farida memperjelas kalimatnya.

Karina  membelalakan kedua matanya ia pikir tadi dirinya salah dengar, setelah Farida memperjelas maksudnya, Karina seolah tak bisa mengatakan apapun untuk merespon ucapan wanita yang ada di depannya. Ini seperti sebuah mimpi bagi Karina, dia baru saja bertemu dengan keluarga Wicaksono kini tiba-tiba dirinya dilamar secara terang-terangan oleh wanita yang merupakan istri Julian sendiri.    

 .

.

.

.

Bersambung.

Sekarat.

Melamar wanita lain untuk dinikahi suaminya, bagaimana bisa Farida melakukan hal itu? Disaat semua wanita berlomba-lomba melindungi suaminya dari wanita lain, Farida malah meminta pada wanita yang baru saja dia temui agar mau menikah dengan pria yang telah menikahinya selama satu tahun tersebut.

“Bagaimana?Apa kamu mau?” Farida mengulang pertanyaannya pada Karina yang sedang menatapnya aneh.

“Julian, sebaiknya kamu bawa istri kamu pulang dia sudah membuat Karina malu di depan banyak orang,” bisik Wicaksono yang kesal pada menantunya, karena tidak bisa melihat tempat untuk membicarakan hal pribadi. Ruangan rapat itu kini jadi tidak kondusif karena ucapan yang dilontarkan oleh Farida terhadap Karina.

Julian mengangguk, dia mengajak Farida untuk pulang dan membahas masalah ini di rumah. Sementara Wicaksono menyampaikan permintaan maafnya pada Karina serta jajaran direksi yang hadir di ruang rapat tersebut.

.

.

.

.

****

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau berbicara seperti itu pada orang yang baru saja kita temui?” tegur Julian yang tidak suka dengan sikap istrinya barusan.

“Mas, kamu taukan hidup aku nggak akan lama lagi kamu harus mencari penggantiku dan aku melihat Karina wanita yang baik dan dia pantas menggantikan aku sebagai istrimu.”

“Farida, sudah aku katakan kau akan sembuh dan aku tidak butuh penggantimu. Kamu akan selalu bersamaku selamanya.” Julian memalingkan wajahnya dari sang istri karena  tidak ingin menampilkan wajah marahnya.

Farida menghampiri suaminya yang sedang berdiri membelakanginya dan menyentuh bahunya lembut. “Mas, aku tahu kamu mencintaiku tapi kamu juga harus memikirkan masa depan kamu. Aku sudah lama menderita kanker dan tidak mungkin untuk sembuh, aku tidak bisa memberimu anak dan tidak bisa mendampingi serta mengurusmu dengan baik dan aku yakin, Karina akan memberimu kebahagiaan yang tidak pernah aku berikan padamu, lagi pula aku rasa papa juga akan setuju karena Karina bisa memberinya cucu yang telah lama papa idamkan.”     

Julian menghela napasnya dan menatap istrinya kesal. “ Berhenti bicara omong kosong, aku tidak ingin mencari wanita lain sekalipun kau mati Farida, aku akan terus berusaha untuk mencari dokter terbaik untuk menyembuhkan penyakitmu.”

“Tapi mas—,”

“Aku akan mengantarmu untuk beristirahat, kau terlalu banyak berpikir hari ini,” sela Julian memotong ucapan istrinya.

“Mas, aku sedang sekarat sekarang,” ucap Farida membuat Julian marah dengan kata-katanya.

“Farida! Aku tidak suka dengan kata-katamu, kamu akan sembuh seperti dulu lagi … bukankah kau berjanji akan hidup bersamaku hingga rambut kita memutih kenapa kau menyerah seperti ini,” bentak Julian pada istrinya yang seolah tak memiliki semangat untuk sembuh.

Farida mengelus wajah suaminya lembut. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Mas.”

“Aku sudah bahagia sekarang, dengan kamu di sisiku aku sudah sangat bahagia Farida … aku tidak butuh orang lain untuk kebahagiaanku karena kamu sumber bahagiaku saat ini dan seterusnya, berhentilah memintaku untuk mencari wanita lain dan fokus pada kesembuhanmu,” ujar Julian meminta agar istrinya tak lagi memintanya untuk mencari wanita lain.

Farida menatap wajah suaminya sendu, dia  tahu Julian sangat mencintainya lebih dari apapun tapi dia juga tidak bisa jika harus melihat suaminya hidup menderita karena dirinya yang selalu merepotkan Julian dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh, terlebih Julian sangat menginginkan seorang anak dan dirinya tidak bisa memberikan suaminya anak walaupun Julian tidak pernah mengatakannya tapi Farida bisa melihat saat Julian berinteraksi dengan anak kecil, suaminya akan tersenyum senang dengan tatapan ingin. Maka dari itu Farida ingin suaminya menikah lagi dengan wanita yang bisa memberikannya keturunan dan kebahagiaan yang tidak bisa dia berikan meskipun itu akan melukai hatinya, Farida tak peduli yang terpenting sekarang adalah suaminya bisa bahagia dan mendapatkan apa yang seharusnya Julian dapatkan. 

 “Sayang berhentilah berpikir hal yang tidak penting, itu tidak bagus untuk kesehatanmu,” ucap Julian mengusap lembut tangan istrinya.

Farida hanya tersenyum dan di detik berikutnya dia terdengar meringis sembari memegang perutnya yang terasa begitu sakit.

“Sayang, apa kamu merasa sakit lagi?” Julian terlihat khawatir saat melihat istrinya sedang kesakitan. “ Aku akan membawamu ke rumah sakit.”

“Mas, tidak usah … nanti juga sembuh sendiri,” tolak Farida yang terus meringis.

“Tidak, aku akan tetap membawamu ke rumah sakit.” Julian menggendong istrinya dan memanggil asisten rumah tangganya untuk mencari taksi yang akan membawanya ke rumah sakit. 

.

.

.

.

.

****

Dikantor.

Berita tentang Karina yang dilamar oleh istri bosnya barusan begitu cepat tersebar ke seluruh penjuru kantor dan saat ini wanita itu sedang dikerubungi oleh rekan satu divisi di ruangannya hanya untuk bertanya tentang kebenaran rumor yang tersebar secepat kilat. 

“Karin, apa benar istri dari bos kita melamar kamu untuk suaminya? Kok bisa sih, bukannya kalian baru bertemu?” Icha memberikan serentetan pertanyaan pada temannya tersebut yang saat ini sedang menumpu keningnya dengan tangan.

“Aduh…! kalian ini kenapa sih, apa kalian tidak punya pekerjaan? Kenapa terus berembug disini sih … lo juga ngapain ikut-ikutan nanya kayak gitu ke gue,” dengus Karina yang pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh rekan-rekan kerjanya. 

“Ya sorry gue kan cuman penasaran,” jawab Icha yang langsung menyuruh rekannya untuk membubarkan diri.

“Eh Karina, kamu pakai pelet ya buat memikat para pria yang ada di kantor ini?” celetuk salah seorang senior wanita.

Karina menautkan kedua alisnya sambil menatap seniornya heran karena bisa berpikir sampai sejauh itu padanya.

Memang tidak bisa di pungkiri oleh siapapun. Selain cerdas Karina juga memiliki paras yang cukup cantik diatas rata- rata, dengan body goals yang mirip biola spanyol dan Karina juga memiliki daya tarik tersendiri yang dapat memikat semua orang, terutama kaum adam yang akan langsung jatuh hati ketika melihatnya. Sehingga tidak heran jika sebagian rekan kerja wanitanya merasa iri terhadapnya, karena Karina selalu di kagumi dan setiap harinya ada saja yang memberinya hadiah secara diam-diam maupun terang-terangan serta mengajaknya untuk berkencan walaupun tidak pernah mendapatkan jawaban iya atau tidak mereka malah semakin tergila-gila pada wanita yang memiliki julukan asisten kesayangan ceo tersebut.

“Maksud mbak, pelet ikan?” celoteh Icha menimpali seniornya.

“Diam kamu, saya tidak sedang berbicara sama kamu,” ketus wanita tersebut yang bernama Wiwi.

“Hmm, mbak nggak bisa liat ya sejak tadi aku diam loh nggak lari-lari,” jawab Icha lagi membuat Karina  mengulum senyumnya.

“Kamu itu ya--.”

“Ya, saya kenapa mbak? Cantik? Saya tahu kok.”

Wiwi berdecak sebal pada kedua juniornya, dia menghentakan kakinya dan mengancam akan membuat perhitungan karena sudah membuatnya tak bisa berkata-kata lagi.

Kedua wanita itu tertawa kecil saat Wiwi meninggalkan ruangan Karina dengan raut wajah kesal.

“Icha berani banget lo ngelawan dia, awas loh entar lo nggak bisa pulang gara-gara di suruh lembur,” ledek Karina.

“Bodo amat yang penting ada duitnya,” celoteh Icha memutar bola matanya kesal pada Wiwi yang selalu menuduh orang lain tanpa bukti. “Eh gue kan udah belain lo barusan, lo cerita dong sama gue kenapa istrinya bos ngelamar lo?” sambung Icha yang masih penasaran pada rumor  Karina.

Karina menggedikan bahunya, karena dia pun sama bingungnya seperti Icha. Pertama kali bertemu dengan Farida dan Julian tiba-tiba dilamar seperti itu, Karina yang tidak ingin kepedean melupakan permasalahan tersebut dan menganggapnya hanya sebagai candaan semata.

.

.

.

Bersambung. 

Jangan bosan, dan jangan lupa subscribe, like dan komen. Terimakasih

  

Saingan bejibun

“Karin,” panggil Wicaksono pada asistennya yang sedang menunggu taksi di pinggir jalan.

“Pak Wicaksono, bapak belum pulang?” ujar Karina yang terkejut saat bos besarnya menghampiri dirinya. 

“Ini baru mau pulang, saya ingin berbicara sesuatu dengan kamu mari ikut saya sekalian kita makan malam bersama.”

Karina mengangguk dan mengikuti bosnya yang masuk ke dalam mobil. Mobil mewah berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah restoran chinese food tempat favorit Wicaksono sedari dulu.

Wicaksono memesan banyak makanan untuk dirinya dan juga Karina pada seorang pelayan yang menghampirinya dan pergi setelah mencatat pesanan pelanggannya. 

“Pak, bapak harus ingat jangan terlalu banyak makan daging merah itu tidak baik untuk kesehatan anda,” tutur Karina mengingatkan bosnya untuk menjaga pola makan di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Wicaksono terkekeh dengan perhatian yang diberikan oleh Karina terhadapnya. “ Kamu memang selalu perhatian Karin, seandainya saya masih muda mungkin saya sudah menikahi kamu tapi sayang saya sudah tua dan tidak pantas untuk kamu,” kata Wicaksono yang membuat Karina tertawa kecil.

“Anda bisa menjadi ayah saya, Pak,” jawab Karina yang mendapatkan respon bagus dari Wicaksono. 

“Oh ya, bapak mau bicara apa sama saya?” tanya Karin mengingatkan bosnya yang ingin membahas sesuatu dengannya.

“Astaga saya sampai lupa gara-gara terlalu senang bisa menjadi ayah kamu,” kekeh Wicaksono. “Begini Karin, saya ingin membicarakan soal ucapan Farida yang meminta kamu untuk menikah dengan Julian di depan orang-orang. Saya berharap kamu tidak ambil hati dengan ucapannya yang telah membuat kamu malu,” sambung Wicaksono berbicara dengan serius.

Karina tersenyum dan menanggapi pembicaraan bosnya dengan nada santai. “ Bapak tidak perlu khawatir, saya tidak apa-apa kok dan saya juga hanya menganggap perkataan nyonya Farida sebagai candaan biasa saja.”

“Kamu memang berhati baik Karin, saya tidak menyesal karena sudah memposisikan kamu sebagai asisten saya … tapi--.” Wicaksono menjeda ucapannya membuat Karin menautkan kedua alisnya menunggu bosnya menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi apa, Pak?”

“Saya juga berharap Julian akan menyukai kamu dan kamu mau menjadi istrinya,” cetus Wicaksono.

Karina tersentak mendengar penuturan bosnya yang juga memiliki keinginan sama dengan sang menantu, kok bisa sih Wicaksono berbicara seperti itu? Apa yang kurang dari Farida sehingga dia ikut-ikutan ingin menjadikan Karina sebagai istri dari putranya.

“Loh kenapa bapak juga ingin saya menjadi istrinya Pak Julian? Pak Juliankan sudah memiliki istri lebih cantik dari saya lagi.”

“Ya saya tahu, tapi saya mengatakan ini bukan tanpa alasan. Farida tidak bisa memberi saya cucu, maka dari itu saya juga ingin kamu menikah dengan putra saya tapi kamu tidak perlu khawatir saya tidak akan memaksa kamu atau pun Julian saya hanya akan mendukung jika Julian mau menuruti keinginan istrinya untuk menikahi kamu,” tutur Wicaksono.

“Maaf pak sebelumnya, kenapa nyonya Farida tidak bisa memiliki anak? Dan kenapa kalian memilih saya untuk jadi istri Pak Julian  kenapa tidak mencari wanita lain saja?”

“Farida sakit dan didiagnosis tidak akan pernah bisa memiliki anak dan alasan saya memilih kamu karena saya yakin kamu adalah wanita yang cocok untuk Julian yang bisa memberi saya seorang cucu untuk meneruskan perusahaan.”

Karina diam sesaat, dia berpikir ada apa dengan hari ini. Mendadak sekali dua orang berbicara padanya dan meminta dirinya untuk menikah dengan pria yang baru saja dia kenal selama lima menit itu. Mungkin jika pria yang di sodorkan kepadanya masih single dia tidak akan menolak, sebab siapa sih yang tidak mau menikah dengan pria kaya raya seperti Julian yang akan menjamin kehidupannya sampai sepuluh turunan, tapi masalahnya Julian sudah memiliki istri jelas saja Karina tidak akan mau menerimanya. 

Karina tidak ingin menghancurkan rumah tangga orang lain walaupun Farida sendiri yang memintanya dan Karina juga tidak mau menjadi istri kedua dari pria yang tidak mencintainya, terlebih lagi dia tidak ingin jadi bahan gunjingan orang-orang karena akan menganggapnya sebagai pelakor yang hanya menginginkan harta kekayaan keluarga Wicaksono saja. 

Dia berpikir akan lebih baik hidup menjomblo seumur hidup daripada harus menjadi madu wanita lain dan apapun alasan yang Wicaksono dan Farida berikan padanya Karina tidak akan pernah mau menikah dengan pria yang sudah memiliki istri seperti Julian.

“Karin, tidak perlu di pikirkan saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan hal yang tidak kamu sukai,” kata Wicaksono yang sadar jika mantan asistennya sedang tertekan.

Karina hanya tersenyum sambil mengangguk. Dia menikmati makanannya dan melupakan keinginan Wicaksono yang lagi-lagi Karina anggap hanya sebagai bualan.

.

.

.

.

****

Keesokan Harinya.

Hari ini adalah hari pertama bagi Julian masuk kerja dan menyandang jabatan sebagai Ceo di perusahaan ayahnya. Didampingi oleh manajer Fadel yang merupakan sahabatnya sedari kecil, Julian masuk ke ruangan barunya dan langsung terkesima pada suasana ruangan yang sesuai dengan kriterianya.

Julian mengedarkan pandangannya pada setiap sudut ruang kerjanya yang memiliki interior dengan gaya klasik serta warna cat putih dipadu padankan dengan warna coklat yang berasal dari kayu yang mendominasi dinding serta mebel yang mengisi ruangan tersebut.

“Waw, ruangannya sangat sesuai dengan seleraku,” puji Julian yang puas dengan ruangan kerja barunya.

“Syukurlah kalau kamu suka, ini semua ide Karina bahkan dia sendiri yang turun tangan untuk menata ruangan ini,” ujar Fadel yang ikut berkeliling untuk melihat ruangan tersebut yang terasa begitu nyaman.

“Dia punya selera bagus rupanya,” cetus Julian yang tanpa sengaja melihat secangkir kopi americano kesukaannya yang masih mengepul di atas mejanya.

“Tidak hanya selera, dia juga berbakat dalam segala bidang,” puji Fadel.

“Hei, kau tersenyum saat memujinya apa kau menyukainya?” goda Julian saat melihat sahabatnya menyunggingkan sudut bibirnya ketika memuji asistennya.

Fadel hanya tersenyum, dia tidak menjawab iya maupun tidak saat Julian menggodanya menyukai Karina.

“Kalau kau menyukainya, kenapa kamu tidak ajak nikah saja dia,” cetus Julian  yang mendaratkan bokongnya di atas kursi kebesarannya sambil meraih cangkir kopi dan menikmati aroma pahit dari minuman tersebut.

“Pengennya sih begitu, tapi saingannya berat sampai satu kantor pada ngejar dia,” beber Fadel yang seolah tidak memiliki kesempatan untuk mengutarakan cintanya pada Karina.

“Oh ya? Kasihan sekali kamu ya.” Julian meledek Fadel tapi dengan ekspresinya yang datar

“Tidak perlu mengasihaniku, aku akan tetap berjuang sampai titik darah penghabisan,” kata Fadel mendramatisir nada bicaranya.

“Hm, aku akan mendukungmu sahabatku,” ujar Julian yang kembali menyesap kopinya yang terasa nikmat beda dari kopi lain yang pernah ia cicipi.

Disaat kedua pria itu sedang berbincang, Karina datang dengan setumpuk berkas di tangannya.

“Eh, maaf pak saya pikir bapak belum datang,” ucap Karina yang masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.

“Tidak apa-apa,” jawab Julian seraya menoleh pada sahabatnya yang sedang menatap Karina tanpa berkedip.

“Oh iya pak ini file-file yang belum sempat Pak Wicaksono kerjakan, beliau memerintahkan agar bapak menyelesaikannya.” Karina menyimpan tumpukan file tersebut di atas meja kerja Julian, kemudian menyapa Fadel yang baru kembali dari belanda.

.

.

.

.

.

. Bersambung.

   

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!