"Cantik sekali, mari silahkan masuk," ujar Ratna memuji seorang wanita yang di ajak pulang oleh putranya yang bernama Bima.
"Ira, cepat buatkan minum!" teriak Ratna memberi perintah kepada Ira, menantunya.
Hati siapa tidak perih, jika di dalam istananya sendiri dia perlakukan seperti pelayan untuk melayani wanita lain yang di ratukan?
Ira adalah istri sah Bima, seorang yatim piatu yang di nikahi oleh karyawan sebuah perusahaan bonafit. Sementara wanita cantik yang di puji oleh mertuanya, adalah Agnes. Atasan Bima yang saat ini juga berstatus sebagai selingkuhannya.
"Ira, apa kamu tidak dengar? Buatkan minum untuk tamu kita!" bentak Ratna sekali lagi kepada Ira yang saat itu masih malas malasan untuk berdiri.
"Maaf Bu, saya masih repot. Ibu saja yang buatkan minum untuk dia." Untuk pertama kalinya Ira berani melawan ucapan sang mertua. Hatinya sudah terlanjur geram dengan perlakuan penghuni rumah tersebut kepadanya, sehingga dia berniat untuk bangkit.
"Eh, eh, eh.Tidak sopan sekali kamu! Ada atasan suami datang, malah di abaikan!" lagi lagi Ratna membentak menantunya.
"Atasan atau selingkuhan Bu?" dengan lantang Ira menjawab. Beberapa waktu lalu, Ira memang sudah sering memergoki suaminya sedang membahas masalah ranjang dengan atasannya tersebut lewat pesan di ponselnya. Dan hal itu sudah cukup menjadi bukti jika kedekatan mereka tidaklah wajar.
"Jaga bicara kamu!" Mendadak Bima ikut menyahuti ketika menurutnya, Ira bicara di luar batasan.
"Tapi itu memang benar kan Mas? Bukan suami istri tapi tidur bersama, apa namanya kalau bukan selingkuhan?"
Plaakkkkk,
Dengan keras Bima menampar mulut istrinya di depan selingkuhannya.
"Tega kamu Mas!" seru Ira sembari menyeka air mata.
"Dasar perempuan tidak tahu diri! Harusnya kamu itu berterima kasih, karena berkat Bu Agnes, aku bisa naik jabatan dan naik gaji. Bukan malah memberi tudingan yang tidak tidak!" Bima masih saja menyangkal perbuatannya. Sementara wanita yang kini duduk di sampingnya, hanya tersenyum tipis dan berusaha meredam amarah Bima.
"Sudah Mas Bima, jangan emosi gitu. Nggak baik bersikap keras kepada istri," ujar Agnes.
"Itu, kamu lihat Ira. Atasan Bima yang kaya raya saja bisa bersikap sopan, tapi kamu yang kere malah tidak punya sopan santun. Memang betul, orang kalau tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi itu sifatnya kampungan dan tidak punya etika seperti kamu!" sela Ratna di tengah tengah kemarahan putranya kepada Ira.
"Sabar Bu, jangan bicara seperti itu. Mbak Ira kan memang sudah di tinggal kedua orang tuanya, jadi mungkin memang lebih butuh perhatian." tutur Agnes terdengar begitu teduh, padahal sebenarnya dia hanya memperjelas status Ira sebagai yatim piatu.
Ira yatim piatu? Iya, itu sepengetahuan Bima dan ibunya. Padahal dia aslinya menyimpan identitas tersembunyi yang tidak di ketahui oleh Bima serta ibunya.
Sekuat hati Ira menahan bongkahan amarah atas hinaan yang dia terima. Ingin sekali saat itu dia buka identitas dirinya yang sesungguhnya, tetapi dia masih berusaha menahannya.
"Sabar Ira, kamu pasti kuat. Ini bukan waktu yang tepat untuk membuka semuanya." ucap Ira dalam hati untuk menguatkan dirinya.
Untuk saat itu, yang bisa Ira lakukan hanya menurut dan mengikuti permainan suaminya. Namun, di balik sikapnya yang terlihat lemah, Ira sudah merancang sebuah rencana untuk membuka semuanya. Bukan hanya memperlihatkan identitas asli, tetapi Ira berniat untuk membuat suami serta mertuanya menyesal atas perlakuan dan perkataan buruk yang selalu mereka lontarkan kepada Ira. Menyesal saja? Tidak. Ira ingin melihat kehancuran suami serta selingkuhannya.
"Tunggu saja tanggal mainnya Mas. Akan aku buat perhitungan sama kamu!" geram Ira dalam hati, seraya mengaduk minuman yang akan dia suguhkan kepada selingkuhan suaminya.
Dengan hati yang membara, Ira kembali ke ruang tamu untuk menyuguhkan minuman kepada wanita yang menjadi selingkuhan suaminya.
"Maaf merepotkan mbak Ira," ujar Agnes dengan menebarkan senyum manis yang menusuk hati Ira.
"Tidak repot kok. Saya yakin anda sendiri yang akan repot jika sering sering datang kemari," sahut Ira dengan sinis. Mendengar jawaban istrinya yang mengandung kalimat sindiran, Bima pun tidak tinggal diam.
"Ira, jaga bicara kamu. Kamu benar benar melampaui batas!" bentak Bima sembari membulatkan kedua bola matanya.
"Oh, melampaui batas? Maaf Mas, kalau begitu ajari aku cara menjaga batas. Karena apapun yang kamu lakukan itu akan jadi panutanku, karena kamu adalah suamiku. Jika kamu menjaga batas, aku akan ikut menjaga batasanku. Tapi, jika kamu sendiri tidak bisa menjaga batasan, pasti aku...." belum sempat Ira melanjutkan, Bima pun lekas menyela.
"Cukup Ira! Kamu semakin lancang!" Seru Bima seraya berdiri dan hendak melayangkan kelima jarinya ke arah wajah Ira. Tetapi, dengan tangkas Agnes menepis tangan Bima, sekaligus mencari perhatiannya.
"Jangan Mas, kamu nggak boleh kasar gitu sama istri kamu,"
Mendengar kata kata Agnes, Bima pun menurunkan tangannya dengan kasar.
"Makasih Bu Agnes, semoga Bu Agnes kelak tidak akan mendapat perlakuan yang sama seperti perlakuan Mas Bima pada saya. Permisi," cakap Ira dengan santai, lalu segera masuk ke kamarnya. Dan lagi lagi, kalimat itu berhasil membuat dada Bima kembang kempis menahan amarah.
"Sudah Mas, sudah. Kamu jangan emosi begitu," ujar Agnes, mencoba menenangkan Bima.
Meski nampak begitu tenang dan santai di hadapan Bima, ternyata Ira tidak sanggup menyembunyikan lukanya ketika sudah masuk ke dalam kamarnya. Dia menangis sesenggukan melampiaskan beban di hatinya. Luka batin yang dia terima bukan untuk pertama kalinya, melainkan berkali kali. Selama ini memang dia selalu di pandang lemah oleh keluarga suaminya. Sempat terpikir olehnya untuk mengakhiri semuanya dengan meminta cerai, tetapi mendadak dia teringat pada orang tuanya.
"Ayah, Bunda... Maafkan aku. Seharusnya dulu aku menurut apa kata Ayah dan Bunda. Sekarang Ira kesakitan, Ira tidak tahu harus kemana dan bagaimana?" lirih Ira dalam tangis.
Setelah merasa lelah dengan tangisnya, mata Ira pun terpejam. Dia sempat tertidur sejenak, tetapi dia mendadak terbangun ketika dia mendengar teriakan seseorang.
"Heh, bangun kamu! Dasar istri tidak tahu diri! Berani beraninya kamu mempermalukan aku di depan Bu Agnes!"
Dalam keadaan yang belum sadar sempurna, Ira berusaha memperbaiki duduknya, lalu mencari asal suara dengan membuka kedua kelopak matanya. Dan rupanya suaminya sudah berdiri di hadapannya dengan wajah yang berapi api.
"Apa sih Mas teriak malam malam? Apa tidak bisa besok pagi saja?" sahut Ira.
"Tidak. Bahkan kalua bisa, besok pagi aku sudah tidak melihatmu tinggal di rumah ini lagi!" Sontak kesadaran Ira mendadak terkumpul ketika mendengar dirinya di usir oleh suaminya.
"Apa maksud kamu Mas? Kamu mengusir ku?" tanya Ira memperjelas.
"Aku rasa kamu sudah paham. Aku tahu kamu anak yatim dan tidak punya tempat tinggal, jadi jika kamu memang masih ingin tinggal disini serta mendapat kehidupan layak, jangan sekali kali kamu berani melawan ku seperti tadi!"
Sejenak Ira mematung mendengar ucapan itu. Hatinya terasa begitu sakit, marah dan tidak terima. Tetapi, dia seakan tidak punya daya untuk melawan. Andai saja saat itu dia punya tempat tujuan untuk dia singgahi, mungkin dia akan keluar dari rumah suaminya malam itu juga. Mengingat akan semua hal itu, Ira pun tidak mau bertindak gegabah. Dia memang sakit hati, tetapi dia tidak mau salah melangkah hingga membuatnya semakin terperosok. Hingga pada akhirnya dia menemukan satu gagasan baru di kepalanya,
"Sepertinya aku harus menyusun rencana lebih matang. Besok, aku akan menemui Ayah dan Bunda untuk meminta maaf. Aku yakin mereka pasti mau menerimaku, karena aku satu satunya putri mereka. Dan jika aku sudah kembali kepada mereka, baru aku akan mulai membalas perilaku Mas Bima padaku!"
Pagi itu, ketika Bima sudah berangkat kerja, Ira berpamitan untuk pergi ke pasar. Satu kegiatan rutin yang pasti dia lakukan setiap hari, setelah anak perempuannya yang bernama Jessi sudah berangkat sekolah bersama ayahnya. Gadis kecil itu masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar.
"Ira, ini daftar belanjaannya. Jangan lupa minta nota pada setiap pedagang yang kamu beli barangnya!" titah Ratna kepada menantunya.
Ira pun mengangguk, kemudian dia lekas mengambil secarik kertas yang berisi macam macam sayur, ikan serta bumbu bumbu dapur. Mertuanya memang selalu meminta nota kepada Ira acap kali pulang dari belanja di pasar. Jika sampai ada selisih seribu rupiah saja dari total belanjaan, maka itu akan menjadi masalah yang di besar besarkan oleh sang mertua.
Pagi itu Ira begitu bersemangat, dia tidak mempedulikan ocehan sang mertua ataupun sikap dingin suaminya yang selalu memeras kesabaran. Karena, selain ke pasar, pagi itu Ira hendak menuju ke suatu alamat yang sudah hampir sepuluh tahun tidak dia kunjungi. Tepatnya setelah dia memutuskan menikah dengan Bima.
Setelah turun dari angkutan kota yang biasa Ira tumpangi ketika ke pasar, istri Bima tersebut mencari ojek untuk menuju ke suatu tempat yang jaraknya masih lima ratus meter lagi dari tempatnya berdiri. Pagi itu dia membawa uang lebih dari tabungan putrinya. Jessi, putri semata wayangnya tahu jika ibunya tidak pernah memegang uang, sehingga dia sengaja menyisihkan uang jajannya setiap hari untuk dia berikan kepada sang ibu.
"Berhenti Pak," ujar Ira ketika tiba dia depan rumah mewah pinggir jalan raya. Ira memberikan lembaran uang sepuluh ribuan sebagai ongkos untuk tukang ojek tersebut.
Ira menarik nafas dalam ketika dirinya tengah berdiri di depan pintu gerbang rumah tersebut. Dia pandangi pemandangan sekitar rumah yang masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Hatinya bergetar hingga membuat tubuhnya sedikit gemetar. Muncul rasa kekhawatiran serta ketakutan di benak Ira, karena rumah mewah yang ada di hadapannya itu adalah rumah milik orang tua Ira yang selama ini tidak di ketahui oleh keluarga Bima, ataupun orang orang di sekitar kehidupan rumah tangganya dengan Bima.
Sepuluh tahun yang lalu, Ira memutuskan pergi dari rumah karena tidak mendapat restu dari keluarga untuk menikah dengan Bima. Dan konsekuensinya Ira akan terputus hubungan serta semua fasilitas dari orang tuanya. Bahkan, sang ayah dengan terang terangan tidak mau mengakui Ira anak jika tetap menikah dengan Bima. Pertengkaran hebat sepuluh tahun yang lalu itu menjadi akhir pertemuan Ira dengan kedua orang tuanya.
Tanpa terasa, air mata mulai mengguyur wajah Ira. Penyesalan yang terdalam muncul di hatinya. Lelaki yang sudah dia yakini akan menjadi keluarga baru yang akan memberikannya kebahagiaan, nyatanya lelaki itu hanya membawa luka di hatinya.
"Ayah, Bunda... Ira datang kembali. Ira harap, masih ada pintu maaf dari kalian untukku..." gumam Ira dalam hati.
Setelah berhasil mengumpulkan keberanian, perlahan Ira mulai melangkah lalu menekan bel yang ada di depan gerbang. Seorang lelaki paruh baya berlari menuju ke arah pagar untuk melihat siapa yang datang. Dia adalah, Pak Ali. Seseorang yang setia bekerja untuk keluarga Ira, sejak Ira masih kecil.
"Non Syakira," panggil Pak Ali yang dengan mudah mengenali wajah majikannya tersebut. Antara percaya dan tidak, Pak Ali bahkan mengulang ulang pertanyaannya.
"Ini beneran Non Syakira kan?" tanya Pak Ali sekali lagi, kemudian Ira pun mengangguk. Tentu saja dengan penjaga gerbang itu terkejut melihat penampilan majikannya yang lebih mirip seperti seorang pembantu. Mengenakan daster, sandal jepit dan membawa keranjang belanjaan. Bahkan wajahnya kusam tanpa make up.
"Mari Non, silahkan masuk." ujar Pak Ali. Namun, mendadak langkah Ira terhenti.
"Kenapa Non?" tanya Pak Ali.
"Ayah dan Bunda, apakah ada di rumah Pak?" tanya Ira.
"Tuan? Non mencari Tuan? Apa Non sedang bercanda? Atau memang tidak tahu?" tanya Pak Ali.
"Tahu tentang apa Pak?" Ira pun balik bertanya.
"Tuan, Tuan, Tuan sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat serangan jantung. Dan Nyonya, sekarang menderita stroke sejak kepergian Tuan..."
Dada Ira mendadak terasa sesak mendengar kabar mengenai orang tuanya. Lututnya terasa lemas dan tak mampu menopang tubuhnya. Bahkan, dengan sigap Pak Ali lekas menangkap tubuh Ira yang hampir terjatuh.
"Antar aku pada Bunda, Pak..." ujar Ira dengan bibir gemetar.
"Baik Non," jawab Pak Ali sembari menuntun Ira, berjalan masuk menuju ke rumah.
"Bunda......" teriak Ira ketika dia berhasil masuk ke dalam rumah, lalu dia dapati Bundanya tengah duduk di kursi roda dengan tubuh lemah tak berdaya.
Lain dari yang di perkirakan oleh Ira, ternyata Bundanya terlihat begitu antusias menyambutnya. Padahal, awalnya Ira mengira bahwa dirinya akan kesulitan memberi penjelasan serta meminta maaf kepada orang tuanya.
"Syakira putriku, kemari lah sayang.... Bunda rindu padamu," teriak wanita berusia lima puluh tahun tersebut. Sontak, Ira lekas mendekat lalu memeluk Bundanya dengan erat. Kedua kaki serta badan beliau memang mengalami kelumpuhan, tetapi beliau masih bisa berbicara.
Pertemuan haru itu mengisahkan cerita haru dari keduanya. Bunda Ira menceritakan kepedihan ketika kehilangan mendiang suami hingga menyebabkan beliau menderita stroke. Sementara Ira sendiri juga menceritakan kepedihan rumah tangga yang dia alami dengan Bima.
"Bunda tidak rela Nak, kamu di perlakukan seperti itu. Lebih baik kamu segera menggugat cerai suamimu, lalu kembalilah ke rumah ini. Semua aset keluarga kita adalah milikmu, karena kamu adalah pewaris tunggal." ungkap Bunda Ira yang bernama Novi, kepada putrinya sembari menyeka air mata.
"Terima kasih Bun, Bunda masih menerima Ira di keluarga ini. Tetapi, tidak semudah itu Ira menggugat cerai. Karena, Ira ingin melihat kehancuran Mas Bima sebelum aku resmi menjanda."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!