"Aku suka sama kamu! Aku cinta sama kamu, karena itu kamu harus menjadi milikku! Sudah jelas, bukan?"
Rahang Auriga terlihat mengeras. Bahkan pria itu sempat menggeram marah saat mendengar pernyataan wanita pemilik tubuh mungil yang mana berbanding terbalik dengan ambisinya yang besar. Sedangkan Audy tampak tak acuh, dia terlihat tetap sibuk dengan baju rancangannya yang tersampir indah di sebuah manekin.
"Kamu tahu, bukan, kalau saya sudah punya seorang kekasih? Saya mohon Audy berhenti bertingkah seperti wanita murahan! Saya akan membencimu jika kamu bertindak lebih jauh."
Audy sama sekali tidak tersinggung atau pun merasa terintimidasi dengan ancaman pria tinggi itu. Audy tampak melangkah pelan ke arah Auriga, lalu satu kecupan tanpa permisi berhasil wanita itu daratkan di pipi sang pujaan hati.
Tentu saja, Auriga sangat marah. Netra hitam pekatnya kontan memandang Audy tajam. Seolah-olah jika bisa mengeluarkan pedang maka Audy sudah tercabik-cabik.
"Lancang kamu!" bentak Auriga. Tangan berurat-nya mendorong bahu Audy kasar, yang membuat tubuh Audy terjerembab tepat di atas sofa.
Audy tersenyum manis, menampilkan lesung pipi yang hanya terdapat di sebelah kirinya. "Aku cinta kamu, itu yang hanya perlu kamu tahu Auriga. Satu lagi, aku tidak peduli dengan kekasihmu itu. Selamanya kamu hanya milikku! Titik! Dan kamu harus tahu, apapun yang aku inginkan akan selalu berada dalam genggaman. Termasuk kamu."
"Wanita gila!" desis Auriga, telapak tangannya masih tertempel di bekas kecupan wanita itu, merasa jijik akan bekas basah yang tertinggal.
"Ya, karena itu aku butuh obat. Kamu adalah penawar dari kegilaan-ku, Aga Sayang."
Demi tuhan, sepertinya Auriga akan benar-benar membenci wanita itu. Dia datang dengan maksud ingin berdamai, tapi perkataan dan tingkah Audy berhasil membuatnya nyaris hilang kendali.
Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Tidak bertemu nyaris sepuluh tahun lamanya membuat Auriga tak mengenali sosoknya.
Bocah manis yang gemar tersenyum di masa lalu itu kini telah bertransformasi menjadi monster penghancur. Lebih tepatnya, penghancur hidupnya.
"Kamu akan menjadi milikku, atas izin atau tidak dari dirimu."
Dan kini Auriga benar-benar telah membenci wanita itu. Wanita yang sialnya punya kendali akan hidupnya. Wanita yang berani menukar apapun hanya untuk dirinya. Seorang pria yang jelas-jelas menolaknya.
...•••...
Audy tahu, bahwa cinta tidak musti memiliki. Hanya saja itu tidak berlaku untuknya. Bagi Audy, cinta itu harus egois, karena jika tidak, maka kehancuran di depan mata. Tentu saja, Audy tidak akan pernah dengan suka rela menghancurkan dunianya untuk kebahagiaan orang asing. Terlebih Audy sudah sangat menginginkan Auriga sejak awal.
Anggita Suherman. Manusia tengik yang berhasil memasuki hidup Auriga Prayoga. Dengan lancangnya wanita itu mengambil alih posisi yang bahkan belum sempat dirinya tempati.
Audy akui, Anggita memang cantik. Dia tampak anggun dan terpelajar. Namun, bagi Audy hanya dirinyalah yang pantas bersanding dengan Auriga. Tidak peduli seberapa kuat tembok yang dibangun Auriga untuk menghalaunya, Audy akan tetap menerobos, dan bila perlu menghancurkannya hingga menjadi kepingan debu tak berarti.
Audy terlihat menawan dengan gaun putihnya. Kulit bersinar hasil dari mandi susunya membuat semua baju tampak cocok untuknya. Rambut panjang hitam legamnya pun tak kalah memesona. Sebuah mahkota kecil berhiaskan mutiara tersemat cantik di atas kepalanya.
"Aga, sebenarnya apa yang membuat kamu mati-matian menolak ku. Aku cantik, tentu saja. Bahkan seratus juta lebih cantik jika dibandingkan dengan kekasihmu itu."
"Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi kamu akan benar-benar berada dalam genggamanku. Kamu akan menjadi milikku sepenuhnya. Sudah aku bilang bukan? Bahwa apapun yang aku inginkan akan berada dalam genggaman." Senyuman miring terbit di birainya.
Interkom berbunyi, kontan lipatan bergelombang milik Audy tersungging. Kali ini benar-benar sebuah senyuman manis.
"Nona, keluarga Prayoga sudah datang."
"Baik, Bibi. Sebentar lagi aku turun," sahutnya, sekali lagi Audy memindai penampilannya yang luar biasa jelita malam ini.
Audy Maharani Tanujaya. Anak bungsu dari keluarga terpandang serta kaya raya yang nyaris tanpa cela. Jika dilihat secara kasat mata tak ada kekurangan yang berarti dalam dirinya, kecuali ketidakahliannya dalam hal belajar, alasan itu juga yang membuatnya memilih tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Audy memilih berhenti digelar lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.
Dengan anggun Audy menuruni anak tangga yang langsung mengarah ke ruang keluarga, di sana Audy dapat melihat Auriga yang tampak gagah dengan kemeja hitam polosnya. Pria itu memang suka sekali dengan warna-warna gelap. Senyuman kecil tersungging kala bayangan dirinya yang akan menyiapkan pakaian pria itu suatu saat nanti. Tentunya dengan warna-warna yang tak lagi monoton. Membayangkannya saja sudah membuat jantung Audy meletup-letup tak karuan.
Lain kali aku akan menyiapkan baju-baju warna cerah untuknya. Celoteh Audy dalam hati.
"Halo Om, Tante, Aga," sapa Audy dengan senyuman manisnya. Siapapun akan mengakui jika salah satu kesempurnaan Audy tercipta dari senyumannya. Wanita itu memiliki senyuman yang memukau dengan taburan ketulusan di dalamnya.
"MasyaAllah, cantiknya calon mantu Ibu." Suara lembut itu berasal dari Anjani Prayoga, calon ibu mertuanya. Wanita berkepala lima yang terlihat masih menawan diusianya yang tak lagi muda. Tubuhnya bahkan masih terbentuk profesional.
"Iya, dong, kan, calon mantu Tante." Audy mengedipkan sebelah matanya, membalas godaan sang calon Ibu Mertua.
Anjani terkekeh, telapak tangannya menepuk tempat di sampingnya seolah mengisyaratkan Audy untuk duduk di sana. Audy pun dengan senang hati duduk di sana.
"Gimana kabar kamu akhir-akhir ini?"
"Alhamdulillah baik sekali Tante, apalagi sebentar lagi aku sama Aga tunangan," jawab Audy tak menghiraukan raut datar pria yang tadi siang melabraknya karena ketidak setujunya atas pertunangan mereka yang sudah jelas diusulkan oleh keluarga Tanujaya dan langsung disambut baik oleh keluarga Prayoga.
"Mulut kamu manis, sama seperti senyummu." Lengan Anjani terulur mengelus kepala Audy sayang.
"Dia memang seperti itu, Jan. Belum lagi semua yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kejujuran, putri kami ini luarnya saja yang terlihat angkuh, percayalah hatinya begitu lembut," timpal Anindya yang duduk berdampingan dengan Angga Tanujaya.
"Dan itu juga alasan kami tak bisa menolak permintaanya. Om harap, Aga bisa memperlakukan Audy jauh lebih baik. Bagi kami Audy adalah segalanya." Angga Tanujaya, ayah dari dua anak itu menatap Auriga dengan pandangan sarat akan permohonan. Netra cokelat kopi yang diwariskan kepada Audy itu teramat dalam menatap Auriga.
"Menyakiti Audy sama saja dengan kamu ingin kehilangannya." Dan suara dalam sedikit serak itu berasal dari Argantara Prabu Tanujaya. Anak tertua dari pasangan Angga Tanujaya dan Anindya Tanujaya generasi ke lima dari keluarga Tanujaya.
"Kamu tenang saja, Ga, Nak Agan, Aga pasti akan menjaga Audy dengan baik. Bahkan waktu kecil dulu, Aga pernah meminta kami untuk melamar Audy untuknya. Dan Aga, maaf Ayah baru bisa mewujudkan permintaanmu sekarang," imbuh Arviga Prayoga. Ingin rasanya Auriga mendengus lantas membantah bahwa ucapannya itu tak lebih dari ucapan seorang bocah yang belum mengerti apa-apa, tapi sopan santun yang ditanamkan orang tuanya sejak dini membuat dia urung.
Setelah pembahasan yang cukup melibatkan emosi, obrolan-obrolan ringan terdengar mengisi perbincangan dua keluarga yang sepakat menjodohkan putra putrinya itu.
Auriga terlihat bangkit. Sejak pertama obrolan terjadi Auriga hanya diam. Namun, diam-diam dalam hati dia memaki kelancangan Audy habis-habisan.
"Om, Tan, Bang Agan, saya izin membawa Audy keluar sebentar, ya."
"Lho, tidak mau ikut makan malam terlebih dahulu, Ga?" ujar Anindya.
Auriga menggeleng seraya tersenyum kecil. "Tidak perlu, Tante. Saya dan Audy makan di luar saja."
Audy yang mendengar penuturan Auriga dengan cepat berdiri, melangkah ke arah pria itu lantas menggandeng lengan kokoh Auriga dengan riang.
"Yuk! Aku pengin makan nasi padang!" seru Audy girang. Gigi kecil putih berbaris-nya terlihat nyata oleh netra Auriga. Posisi Audy yang mendongak membuat Auriga bisa dengan jelas melihat seluruh ornamen wajah wanita itu.
Wajahnya berbentuk oval. Pipinya sedikit tumpah dengan hidung mancung kecil, bibir merah mudanya cukup bervolume. Auriga juga dapat melihat bentuk alis yang melintang sedikit tebal dengan bulu mata lentik lebat. Kesimpulannya, Audy tampak cantik dan imut.
Tiupan yang berasal dari Audy membuat Auriga sadar bahwa sedari tadi matanya terpaku pada wajah wanita itu. Kontan yang ada di sana terkekeh geli dengan rekasi Auriga.
"Aku tahu, aku cantik, makanya jodohnya kamu," ujar Audy berbisik. Yang hanya mampu didengar ke duanya.
"Audy cinta Aga," lanjut Audy.
Auriga berdeham canggung, setelah pamit dia pun melangkah ke arah pintu utama dengan hati yang sibuk merutuki kebodohannya.
Sial! Bisa-bisanya kau tersihir dengan wajah lugu itu, rutuk Auriga dalam hati.
•••
"Kita harus bicara!"
Audy mengangguk. "Boleh, mau bicara tentang tanggal pernikahan kita? Kalau tanggal tunangan, kamu tenang saja, aku sudah punya rekomendasi, kok."
Auriga mencengkram setirnya erat. Buku-buku tangannya terlihat memutih. Dan semua itu tidak luput dari penglihatan Audy.
Audy tahu, Auriga tidak akan menerima pertunangan mereka dengan lapang dada. Namun, yang harus Auriga pahami, Audy pun tidak akan mengalah begitu saja.
"Audy saya moho—"
Audy sudah lebih dulu memotong ucapan Auriga dengan cara memutar musik dengan volume penuh. Audy tidak ingin mereka berakhir bertengkar seperti biasanya. Setidaknya hanya untuk malam ini.
Auriga berniat menghentikan musiknya. Namun, Audy lebih dulu menyadarinya.
"Pokoknya malam ini aku gak mau bertengkar sama kamu! Titik!" teriak Audy yang tersamarkan oleh alunan lagu, tapi meskipun begitu Auriga masih bisa dengan jelas mencernanya.
Auriga tidak akan menurut begitu saja, karena itu Audy melepaskan sabuk pengamannya tiba-tiba, lalu tanpa aba-aba mencondongkan tubuhnya ke arah Auriga. Auriga terkejut dan refleks menginjak rem, yang mana membuat tubuh Audy terhuyung dan terperangkap dalam pelukan pria pemilik manik mata hitam pekat itu.
Ke duanya sama-sama mematung. Namun, Auriga lebih dulu tersadar, menyadari bahwa tidak seharusnya dia berpelukan dengan perempuan lain di saat dia masih berstatus sebagai kekasih orang bukan?
Auriga berniat mendorong tubuh Audy. Namun, Audy lebih dulu mengeratkan pelukannya, wajahnya terbenam tepat di perpotongan leher Auriga.
"Aku mohon, Ga, lihatlah aku. Aku janji kalau kamu tidak bahagia nantinya, kehilanganmu adalah hukumannya," lirih Audy dengan nada tak bersemangat seperti biasanya. Auriga dapat menangkap ada perasaan lelah dibalik kalimatnya.
"Aku benar-benar mencintaimu, Manusia Favorit-ku."
...•••...
Aku butuh kamu, karena itu jadilah pemilikku.—•Audy Maharani Tanujaya
"Aku suka sama kamu! Aku cinta sama kamu, karena itu kamu harus menjadi milikku! Sudah jelas, bukan?"
Rahang Auriga terlihat mengeras. Bahkan pria itu sempat menggeram marah saat mendengar pernyataan wanita pemilik tubuh mungil yang mana berbanding terbalik dengan ambisinya yang besar. Sedangkan Audy tampak tak acuh, dia terlihat tetap sibuk dengan baju rancangannya yang tersampir indah di sebuah manekin.
"Kamu tahu, bukan, kalau saya sudah punya seorang kekasih? Saya mohon Audy berhenti bertingkah seperti wanita murahan! Saya akan membencimu jika kamu bertindak lebih jauh."
Audy sama sekali tidak tersinggung atau pun merasa terintimidasi dengan ancaman pria tinggi itu. Audy tampak melangkah pelan ke arah Auriga, lalu satu kecupan tanpa permisi berhasil wanita itu daratkan di pipi sang pujaan hati.
Tentu saja, Auriga sangat marah. Netra hitam pekatnya kontan memandang Audy tajam. Seolah-olah jika bisa mengeluarkan pedang maka Audy sudah tercabik-cabik.
"Lancang kamu!" bentak Auriga. Tangan berurat-nya mendorong bahu Audy kasar, yang membuat tubuh Audy terjerembab tepat di atas sofa.
Audy tersenyum manis, menampilkan lesung pipi yang hanya terdapat di sebelah kirinya. "Aku cinta kamu, itu yang hanya perlu kamu tahu Auriga. Satu lagi, aku tidak peduli dengan kekasihmu itu. Selamanya kamu hanya milikku! Titik! Dan kamu harus tahu, apapun yang aku inginkan akan selalu berada dalam genggaman. Termasuk kamu."
"Wanita gila!" desis Auriga, telapak tangannya masih tertempel di bekas kecupan wanita itu, merasa jijik akan bekas basah yang tertinggal.
"Ya, karena itu aku butuh obat. Kamu adalah penawar dari kegilaan-ku, Aga Sayang."
Demi tuhan, sepertinya Auriga akan benar-benar membenci wanita itu. Dia datang dengan maksud ingin berdamai, tapi perkataan dan tingkah Audy berhasil membuatnya nyaris hilang kendali.
Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Tidak bertemu nyaris sepuluh tahun lamanya membuat Auriga tak mengenali sosoknya.
Bocah manis yang gemar tersenyum di masa lalu itu kini telah bertransformasi menjadi monster penghancur. Lebih tepatnya, penghancur hidupnya.
"Kamu akan menjadi milikku, atas izin atau tidak dari dirimu."
Dan kini Auriga benar-benar telah membenci wanita itu. Wanita yang sialnya punya kendali akan hidupnya. Wanita yang berani menukar apapun hanya untuk dirinya. Seorang pria yang jelas-jelas menolaknya.
...•••...
Audy tahu, bahwa cinta tidak musti memiliki. Hanya saja itu tidak berlaku untuknya. Bagi Audy, cinta itu harus egois, karena jika tidak, maka kehancuran di depan mata. Tentu saja, Audy tidak akan pernah dengan suka rela menghancurkan dunianya untuk kebahagiaan orang asing. Terlebih Audy sudah sangat menginginkan Auriga sejak awal.
Anggita Suherman. Manusia tengik yang berhasil memasuki hidup Auriga Prayoga. Dengan lancangnya wanita itu mengambil alih posisi yang bahkan belum sempat dirinya tempati.
Audy akui, Anggita memang cantik. Dia tampak anggun dan terpelajar. Namun, bagi Audy hanya dirinyalah yang pantas bersanding dengan Auriga. Tidak peduli seberapa kuat tembok yang dibangun Auriga untuk menghalaunya, Audy akan tetap menerobos, dan bila perlu menghancurkannya hingga menjadi kepingan debu tak berarti.
Audy terlihat menawan dengan gaun putihnya. Kulit bersinar hasil dari mandi susunya membuat semua baju tampak cocok untuknya. Rambut panjang hitam legamnya pun tak kalah memesona. Sebuah mahkota kecil berhiaskan mutiara tersemat cantik di atas kepalanya.
"Aga, sebenarnya apa yang membuat kamu mati-matian menolak ku. Aku cantik, tentu saja. Bahkan seratus juta lebih cantik jika dibandingkan dengan kekasihmu itu."
"Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi kamu akan benar-benar berada dalam genggamanku. Kamu akan menjadi milikku sepenuhnya. Sudah aku bilang bukan? Bahwa apapun yang aku inginkan akan berada dalam genggaman." Senyuman miring terbit di birainya.
Interkom berbunyi, kontan lipatan bergelombang milik Audy tersungging. Kali ini benar-benar sebuah senyuman manis.
"Nona, keluarga Prayoga sudah datang."
"Baik, Bibi. Sebentar lagi aku turun," sahutnya, sekali lagi Audy memindai penampilannya yang luar biasa jelita malam ini.
Audy Maharani Tanujaya. Anak bungsu dari keluarga terpandang serta kaya raya yang nyaris tanpa cela. Jika dilihat secara kasat mata tak ada kekurangan yang berarti dalam dirinya, kecuali ketidakahliannya dalam hal belajar, alasan itu juga yang membuatnya memilih tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Audy memilih berhenti digelar lulusan Sekolah Menengah Kejuruan.
Dengan anggun Audy menuruni anak tangga yang langsung mengarah ke ruang keluarga, di sana Audy dapat melihat Auriga yang tampak gagah dengan kemeja hitam polosnya. Pria itu memang suka sekali dengan warna-warna gelap. Senyuman kecil tersungging kala bayangan dirinya yang akan menyiapkan pakaian pria itu suatu saat nanti. Tentunya dengan warna-warna yang tak lagi monoton. Membayangkannya saja sudah membuat jantung Audy meletup-letup tak karuan.
Lain kali aku akan menyiapkan baju-baju warna cerah untuknya. Celoteh Audy dalam hati.
"Halo Om, Tante, Aga," sapa Audy dengan senyuman manisnya. Siapapun akan mengakui jika salah satu kesempurnaan Audy tercipta dari senyumannya. Wanita itu memiliki senyuman yang memukau dengan taburan ketulusan di dalamnya.
"MasyaAllah, cantiknya calon mantu Ibu." Suara lembut itu berasal dari Anjani Prayoga, calon ibu mertuanya. Wanita berkepala lima yang terlihat masih menawan diusianya yang tak lagi muda. Tubuhnya bahkan masih terbentuk profesional.
"Iya, dong, kan, calon mantu Tante." Audy mengedipkan sebelah matanya, membalas godaan sang calon Ibu Mertua.
Anjani terkekeh, telapak tangannya menepuk tempat di sampingnya seolah mengisyaratkan Audy untuk duduk di sana. Audy pun dengan senang hati duduk di sana.
"Gimana kabar kamu akhir-akhir ini?"
"Alhamdulillah baik sekali Tante, apalagi sebentar lagi aku sama Aga tunangan," jawab Audy tak menghiraukan raut datar pria yang tadi siang melabraknya karena ketidak setujunya atas pertunangan mereka yang sudah jelas diusulkan oleh keluarga Tanujaya dan langsung disambut baik oleh keluarga Prayoga.
"Mulut kamu manis, sama seperti senyummu." Lengan Anjani terulur mengelus kepala Audy sayang.
"Dia memang seperti itu, Jan. Belum lagi semua yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kejujuran, putri kami ini luarnya saja yang terlihat angkuh, percayalah hatinya begitu lembut," timpal Anindya yang duduk berdampingan dengan Angga Tanujaya.
"Dan itu juga alasan kami tak bisa menolak permintaanya. Om harap, Aga bisa memperlakukan Audy jauh lebih baik. Bagi kami Audy adalah segalanya." Angga Tanujaya, ayah dari dua anak itu menatap Auriga dengan pandangan sarat akan permohonan. Netra cokelat kopi yang diwariskan kepada Audy itu teramat dalam menatap Auriga.
"Menyakiti Audy sama saja dengan kamu ingin kehilangannya." Dan suara dalam sedikit serak itu berasal dari Argantara Prabu Tanujaya. Anak tertua dari pasangan Angga Tanujaya dan Anindya Tanujaya generasi ke lima dari keluarga Tanujaya.
"Kamu tenang saja, Ga, Nak Agan, Aga pasti akan menjaga Audy dengan baik. Bahkan waktu kecil dulu, Aga pernah meminta kami untuk melamar Audy untuknya. Dan Aga, maaf Ayah baru bisa mewujudkan permintaanmu sekarang," imbuh Arviga Prayoga. Ingin rasanya Auriga mendengus lantas membantah bahwa ucapannya itu tak lebih dari ucapan seorang bocah yang belum mengerti apa-apa, tapi sopan santun yang ditanamkan orang tuanya sejak dini membuat dia urung.
Setelah pembahasan yang cukup melibatkan emosi, obrolan-obrolan ringan terdengar mengisi perbincangan dua keluarga yang sepakat menjodohkan putra putrinya itu.
Auriga terlihat bangkit. Sejak pertama obrolan terjadi Auriga hanya diam. Namun, diam-diam dalam hati dia memaki kelancangan Audy habis-habisan.
"Om, Tan, Bang Agan, saya izin membawa Audy keluar sebentar, ya."
"Lho, tidak mau ikut makan malam terlebih dahulu, Ga?" ujar Anindya.
Auriga menggeleng seraya tersenyum kecil. "Tidak perlu, Tante. Saya dan Audy makan di luar saja."
Audy yang mendengar penuturan Auriga dengan cepat berdiri, melangkah ke arah pria itu lantas menggandeng lengan kokoh Auriga dengan riang.
"Yuk! Aku pengin makan nasi padang!" seru Audy girang. Gigi kecil putih berbaris-nya terlihat nyata oleh netra Auriga. Posisi Audy yang mendongak membuat Auriga bisa dengan jelas melihat seluruh ornamen wajah wanita itu.
Wajahnya berbentuk oval. Pipinya sedikit tumpah dengan hidung mancung kecil, bibir merah mudanya cukup bervolume. Auriga juga dapat melihat bentuk alis yang melintang sedikit tebal dengan bulu mata lentik lebat. Kesimpulannya, Audy tampak cantik dan imut.
Tiupan yang berasal dari Audy membuat Auriga sadar bahwa sedari tadi matanya terpaku pada wajah wanita itu. Kontan yang ada di sana terkekeh geli dengan rekasi Auriga.
"Aku tahu, aku cantik, makanya jodohnya kamu," ujar Audy berbisik. Yang hanya mampu didengar ke duanya.
"Audy cinta Aga," lanjut Audy.
Auriga berdeham canggung, setelah pamit dia pun melangkah ke arah pintu utama dengan hati yang sibuk merutuki kebodohannya.
Sial! Bisa-bisanya kau tersihir dengan wajah lugu itu, rutuk Auriga dalam hati.
•••
"Kita harus bicara!"
Audy mengangguk. "Boleh, mau bicara tentang tanggal pernikahan kita? Kalau tanggal tunangan, kamu tenang saja, aku sudah punya rekomendasi, kok."
Auriga mencengkram setirnya erat. Buku-buku tangannya terlihat memutih. Dan semua itu tidak luput dari penglihatan Audy.
Audy tahu, Auriga tidak akan menerima pertunangan mereka dengan lapang dada. Namun, yang harus Auriga pahami, Audy pun tidak akan mengalah begitu saja.
"Audy saya moho—"
Audy sudah lebih dulu memotong ucapan Auriga dengan cara memutar musik dengan volume penuh. Audy tidak ingin mereka berakhir bertengkar seperti biasanya. Setidaknya hanya untuk malam ini.
Auriga berniat menghentikan musiknya. Namun, Audy lebih dulu menyadarinya.
"Pokoknya malam ini aku gak mau bertengkar sama kamu! Titik!" teriak Audy yang tersamarkan oleh alunan lagu, tapi meskipun begitu Auriga masih bisa dengan jelas mencernanya.
Auriga tidak akan menurut begitu saja, karena itu Audy melepaskan sabuk pengamannya tiba-tiba, lalu tanpa aba-aba mencondongkan tubuhnya ke arah Auriga. Auriga terkejut dan refleks menginjak rem, yang mana membuat tubuh Audy terhuyung dan terperangkap dalam pelukan pria pemilik manik mata hitam pekat itu.
Ke duanya sama-sama mematung. Namun, Auriga lebih dulu tersadar, menyadari bahwa tidak seharusnya dia berpelukan dengan perempuan lain di saat dia masih berstatus sebagai kekasih orang bukan?
Auriga berniat mendorong tubuh Audy. Namun, Audy lebih dulu mengeratkan pelukannya, wajahnya terbenam tepat di perpotongan leher Auriga.
"Aku mohon, Ga, lihatlah aku. Aku janji kalau kamu tidak bahagia nantinya, kehilanganmu adalah hukumannya," lirih Audy dengan nada tak bersemangat seperti biasanya. Auriga dapat menangkap ada perasaan lelah dibalik kalimatnya.
"Aku benar-benar mencintaimu, Manusia Favorit-ku."
...•••...
Aku butuh kamu, karena itu jadilah pemilikku.—•Audy Maharani Tanujaya
Audy berlari dengan pikiran yang sudah kosong. Satu-satunya yang tersisa hanyalah membiarkan Auriga untuk tetap baik-baik saja. Kaki mungil yang biasanya melangkah dengan anggun kini tampak berlari bak harimau mengejar mangsa.
Selang beberapa saat, suara dentuman terdengar keras. Suasana mendadak kaku. Tubuh rapuh Audy melayang bersamaan dengan bunyi benturan yang kembali terdengar. Jeritan silih bersahutan kala menyaksikan tubuh Audy yang kini tergeletak nyaris tak sadarkan diri dengan darah yang menggenang.
Detik pertama Audy merasa mati rasa hingga kemudian rasa panas bak timah yang disiramkan ke tubuh terasa menyengat lalu sepersekian detik mematikan fungsi geraknya. Rasanya terlalu menyakitkan, sampai-sampai Audy sulit membuka mata.
"Apakah aku akan meninggal? Jika iya, bolehkah aku meminta jangan sekarang, aku belum pernah merasakan indahnya dicintai."
Audy samar-samar mendengar teriakan orang-orang disekitarnya, tapi itu hanya sebentar karena setelahnya telinga Audy mendengung hingga menciptakan lengkingan yang amat sangat menyakitkan. Tak lama Audy pun tergolek tak sadarkan diri.
Sementara itu, Auriga memandang Audy dengan raga yang nyaris tanpa jiwa. Auriga terkejut sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pemandangan Audy dengan darah yang bersimbah membuat Auriga diam mematung. Bahkan untuk menyerukan nama perempuan itu pun Auriga tak mampu, lidahnya kelu. Hanya jantungnya yang berdetak tak karuan.
•••
"Ada apa ini, Aga? Kenapa Audy bisa tertabrak? Kenapa bisa? Apa yang kamu lakukan hingga lalai dalam menjaganya? Harusnya Audy bisa aman saat bersama kamu, bukan malah sebaliknya." berondong Anjani. Dia benar-benar terkejut dengan kabar yang didengarnya satu jam yang lalu.
Auriga tak mampu menjawab, bahkan untuk sekadar berdeham pun dia tak bisa. Kemeja yang biasanya selalu terpasang rapi kini terlihat awut-awutan. Dia terduduk lesu di kursi tunggu dengan ke dua orang tua serta kakak Audy yang sedari tadi hanya membisu dengan Anindya yang terus menangis tanpa henti.
Lampu operasi sudah berganti warna, semua yang ada di sana kontan melangkah menghampiri sang Dokter yang masih lengkap dengan baju operasi.
"Dok ..." panggil Anindya menggantung.
"Alhamdulillah operasinya lancar, kondisi saudari Audy sudah melewati masa kritis, nanti setelah dipindahkan ke kamar rawat inap pihak keluarga bisa langsung menjenguknya," ucap sang Dokter disertai senyuman menenangkan yang membuat mereka menghela napas lega. Rasanya satu jam dengan kekhawitaran kini terbalaskan mendengar kabar yang sesuai harapan. Audy tertolong pun sudah merupakan keajaiban.
"Namun, saya perlu bicara dengan salah satu pihak keluarga untuk kemungkinan kondisi saudari Audy pasca operasi."
Sigap Argantara berdiri, laki-laki jangkung itu melangkah mengikuti Dokter.
"Bunda butuh bicara sama kamu!" Anjani masih belum bisa melepaskan Auriga begitu saja, karena menurut cerita Kenan, Anggita ada di lokasi kejadian. Anjani tentu mengenalnya. Dia perempuan yang di pilih putranya. Namun, tak mendapatkan restunya.
•••
Tanpa terasa kejadian yang sempat mengguncang jantung keluarga besar Tanujaya dan Prayoga itu telah berlalu satu minggu lamanya. Yang mana, di akhir minggu ini juga Auriga baru bisa memberanikan diri untuk menampakan diri di hadapan Audy.
Auriga mengetuk pintu pelan, tangan kirinya terlihat menenteng bunga mawar putih segar kesukaan Audy.
"Masuk!" sahut Audy.
Auriga pun masuk. Netra-nya langsung disuguhi Audy yang tengah memakan buah apel dengan santai. Luka-luka yang didapatnya beranjak membaik. Bahkan Audy sudah tampak sehat seperti sedia kala—jika tak ada perban yang bertaburan di lengan, kaki, dan sedikit di bagian pelipisnya. Proses sembuh Audy cukup pesat, karena memang perempuan itu tidak rewel dalam mengkonsumsi obat maupun dengan metode pengobatan.
"Hai," sapa Audy pada Auriga terdengar terlalu biasa saja untuk ukuran seseorang yang—secara tidak langsung—telah menyebabkannya masuk rumah sakit. Apalagi kecelakaan hari itu cukup parah. Raut Audy masih tampak bersahabat, meskipun Auriga tidak menemukan binar antusias seperti biasanya di setiap kali Audy melihatnya ... apa Auriga salah lihat?
"Mau jenguk, ya? Gue udah sembuh, kok, gak usah tegang gitu mukanya."
Auriga mengerutkan keningnya dalam. Gue? Apakah Auriga tidak salah dengar?
"Ah iya, nama lo siapa? Hubungan kita sebelumnya apa?"
Auriga mematung sejenak. Apa Audy sedang berpura-pura tidak mengenalnya? Atau perempuan itu sedang berusaha mengelabuinya? Sesaat Auriga tersadar akan sesuatu, dia tersentak ... Apa kecelakaan itu telah merenggut ingatan Audy? Jika, ya, kenapa tidak ada yang memberitahunya akan fakta itu?
Audy memicingkan matanya. "Jangan bilang kalau lo mantan gue? Terus lo gagal move on?"
Bersamaan dengan selesainya pertanyaan Audy yang terlontar pintu terbuka.
"Oh, eh, hai Ga!"
Auriga semakin dibuat bingung dengan kehadiran Kenan.
"Ngapain lo di sini?" Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir penuh milik Auriga.
"Kalian saling kenal?" sela Audy.
"Auriga, sahabat aku."
"Oh, berarti kemungkinan gue kenal dia juga, dong." Audy menunjuk Auriga lewat sorot matanya.
"Ya, tentu saja," imbuh Kenan seraya melirik Auriga yang masih mencoba mencerna semuanya.
"Oh hai Auriga. Maaf, kecelakaan kemarin buat otak gue agak sengklek hehe, jadi ingatannya eror."
"Tapi kamu kenal Kenan?" Lidah Auriga yang beberapa detik lalu kelu kini mendadak bergerak lincah tanpa komando.
"Iya. Kenan, dia Koki di Restoran milik keluarga gue. Dia teman baik gue. Orang tersayang gue."
Entah kenapa Auriga sedikit tak suka dengan fakta itu. Kenapa hanya Kenan? Lalu apa katanya? Orang tersayang? Orang tersayang gue?!
"Kaivan?" tanya Auriga.
"Siapa dia?" Tatapan Audy mengarah ke arah Kenan. Kenan melangkah mendekat ke arahnya tidak lupa dengan senyuman manis yang khas. Dan semua itu tak luput dari penglihatan Auriga.
"Sahabat aku sama Auriga juga, dan for your information mereka juga Koki utama di Restoran keluarga kamu."
Audy meringis, jemari lentiknya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Maaf?" Haruskah dirinya minta maaf? Entahlah, Audy bingung.
"Duduk, Ga. Makasih, lho, elo udah mau jenguk, dan sekali lagi maaf karena udah lupain lo," sambung Audy berusaha mengusir kecanggungan.
Auriga mendekat, meletakan buket bunga yang dibawanya tepat dipangkuan Audy. "Bunga kesukaan kamu."
Audy menjauhkan wajahnya, hingga suara bersin-bersin terdengar menggema. "Ga, hacih! Kayakanya, hacih! Gue alergi bunga deh."
Auriga kontan mengambil bunganya, lalu menaruhnya di belakang tubuhnya. "Alergi bunga?"
"Iya. Gue juga baru tahu hari ini."
Auriga benar-benar dibuat kebingungan. Pertama, Audy berbicara lo gue, ke dua, fakta Audy yang melupakannya, tapi tidak dengan Kenan, dan ke tiga Audy alergi bunga. Terlebih pada bunga mawar putih yang merupakan bunga favorit perempuan itu.
"Maaf, Ga. Ini mungkin terdengar aneh, tapi semenjak Audy bangun dia memang sedikit berbeda, atau bahkan mungkin akan banyak," bisik Kenan yang tentunya tak dapat di dengar Audy yang masih sibuk menggosok-gosok pucuk hidungnya.
"Kenapa dia bisa ingat lo?" tuntut Auriga tak kalah pelan.
"Entah, tapi kata Bang Argantara, yang pertama kali diingat Audy adalah gue." Dan wow! Kenan bahkan sudah tahu lebih awal tentang kondisi Audy yang sesungguhnya.
"Lo gak lupa, kan? Dia itu tunangan gue?!" delik Auriga.
"Maksud lo, calon tunangan yang gagal. Dan jangan lupa, Audy juga perempuan yang lo benci kehadirannya."
Auriga memandang Kenan tajam. Seolah tak terima dengan perkataan sahabatnya itu.
"Ken, mau minum!" rengek Audy mengalihkan perdebatan dua laki-laki tampan itu.
"Biar saya saja!" Auriga melangkah sigap mengambil segelas air putih untuk perempuan itu.
"Makasih, Ga."
"Sama-sama. Mulai hari ini, saya yang bakal penuhin kebutuhan kamu, berhenti meminta tolong pada Kenan."
"Kenapa?"
"Kenan sibuk." Tanpa sadar Auriga menjawabnya dengan ketus.
"Emang elo enggak?"
"Tidak sama sekali."
"Lo lagi simulasi jadi pengangguran?"
Kenan terkekeh. "Bukan begitu, Audy, tapi intinya Auriga lebih berhak kamu repotkan."
Dengan bibir yang mengerucut, juga alis yang menekuk Audy berpikir keras. "Oke, deh."
"Yaudah kalau gitu aku pergi dulu, kan, udah ada Auriga," pamit Kenan.
"Tapi besok ke sini, 'kan?"
"Ngapain?" seloroh Auriga.
"Dia janji mau ngajak gue jalan-jalan disekitar rumah sakit."
"Saya saja!" Kalimat itu bukan pernyataan, tapi perintah yang tidak membutuhkan penolakan. Jawabannya harus mau atau iya.
"Oh oke."
•••
"Audy, saya mau tanya."
"Hm, tanya aja."
Auriga yang tengah duduk di sofa pun menegakan tubuhnya. Sedangkan Audy masih fokus memandang layar lebar yang menayangkan serial kartun. Sungguh bukan Audy sekali. Perempuan itu lebih suka menonton hal-hal yang berbau dengan fashion—hal yang sangat berkaitan erat dengan pekerjaan perempuan itu.
"Apa yang terakhir kamu ingat sebelum kecelakaan?" ujar Auriga hati-hati.
"Makan masakan Kenan."
"Hanya itu?" Untuk ke dua kalinya, Auriga sedikit tak suka dengan fakta itu. Kenapa musti Kenan? Dan kenapa hanya Kenan? Tapi di sisi lain, kenapa juga Audy musti mengingat dirinya? Bukankah semua akan lebih baik jika Audy melupakannya? Banyak hal yang akan menguntungkannya, salah satunya kemungkinan terselamatkannya hubungan dia dan Anggita ... tapi kenapa Auriga malah merasa sedih?
"Iya."
"Audy," panggil Auriga lirih, kaki panjangnya melangkah ke ranjang pasien lalu duduk tepat di pinggirannya. Ke dua telapak tangan besarnya melingkupi ke dua pipi Audy.
"Perhatikan wajah saya baik-baik, apa kamu benar-benar tidak ingat?"
Ke duanya lama terdiam. Satu detik, dua detik. Sepuluh detik pun berlalu.
Ke dua bola mata Audy membola. "Lo?!"
Auriga mengangkat sebelah alisnya. Menanti jawaban Audy dengan cemas.
"Lo teman masa kecil gue, ya?!"
"Sebatas itu?"
Audy mengangguk yakin. "Mata kalian mirip. Dulu juga, mata Auriga teman kecil gue juga kayak gini, terus dia juga punya tahi lalat kecil di ujung matanya, dan elo juga, terus nama kalian sama."
Auriga meringis.
Entah untuk hal apa Auriga merasa kecewa.
•••
Bukankah aku sudah bilang, kamu segalanya. Bahkan kegilaan bayangan hidup tanpamu membuatku mengorbankan balutan jiwa yang rapuh ini. •—Audy Maharani Tanujaya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!