Kalau dibilang membosankan, Gita tidak pernah merasa bahwa hidupnya membosankan. Kariernya bagus, ia berkecukupan meski tidak terlampau kaya raya. Pergaulannya cukup luas dan bonafit meski bukan hidup di kalangan pejabat dan artis. Gita bisa dibilang sebagai wanita dinamis yang mencintai hidupnya.
Gita menggeser pintu kaca untuk beberapa ekor merpati yang mampir ke balkon. Ia berjingkat-jingkat meletakkan sepiring makanan burung yang dibelinya di online shop. Lebih dari empat ekor merpati langsung mendekati dan mematuk-matuk piring. Gita mundur dan kembali menutup balkonnya. Sengaja memberi waktu pada merpati yang belum akrab agar mau ikut makan.
“Udah makan semua, kan? Aku mau berangkat kerja. Doakan semuanya lancar, ya ….” Gita bicara pada merpati yang ia akui sebagai hak milik. Lalu menepuk pintu kaca sebelum bersenandung meninggalkan kamar dan masuk ke kamar mandi.
Unit apartemen satu kamar yang ditempati Gita mendadak menjadi lebih kecil karena musik yang diputar keras. Itu adalah ritual Gita setiap pagi. Bernyanyi keras mengikuti musik. Tapi pagi itu Gita belum sempat bersenandung saat lagu yang didengarnya mendadak berganti dengan dering ponsel. Gita berdecak dan menyambar ponselnya. “Halo? Masih pagi banget. Selesai siap-siap Aku telepon balik. Tenang aja. Aku yang bakal presentasi. Persetan sama si Braja.”
“Bukan soal presentasi, eh, maksudnya presentasi urusan kedua. Yang pertama soal Monic.”
“Monic cuti. Aku udah bilang berapa kali soal presentasi hari ini aku yang bakal gantiin Monic. Kamu cukup duduk tenang. Heran, deh …. Kenapa semua orang kantor underestimate kalau project ini dipegang Monic? Kasian dia. Monic cuti karena ibunya hari ini operasi bypass jantung.” Gita melepaskan pakaian dengan ponsel masih menempel di telinga.
“Bisa dengar dulu? Sebelumnya aku harus bilang kalau Monic memang tidak terlalu handal bicara di depan umum. Sahabat yang kamu puji-puji itu public speaking-nya memang jelek. Dan yang kedua … kamu harus segera tiba di kantor. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat.”
“Aku enggak bisa. Bukannya aku harus presentasi? Pak Braja bakal….”
“Ini soal Rama Pramudya. Kamu kenal?”
Sepotong nama yang baru disebutkan Lily; temannya sesama manajer, membuat Gita terdiam. “Rama Pramudya? Rama tunanganku?” Diamnya Lily di seberang membuat Gita mundur dan bersandar ke dinding. Ia tak kuat jika harus mendengar kabar buruk. “Rama kenapa? Sakit? Kecelakaan? Kamu tau dari mana…apa….”
“Aku tunggu di kantor secepatnya.”
Pembicaraan terputus sebelum Gita sempat menyetujui. Yang jelas ia mandi secepat kilat. Hanya membasuh tubuh dengan air hangat dan menyikat giginya terburu-buru. Pagi itu Gita melewatkan tahapan skincare-nya yang panjang dan mengunci unit apartemen setelah menyambar tas dan terpincang-pincang memakai heels.
Namun setelah mengunci apartemennya dan pergi beberapa langkah, Gita kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang biasa ia bawa. “Hampir aja ketinggalan.” Gita meraup beberapa sachet makanan kucing dan menjejalkannya ke tas.
Perjalanan yang biasanya tak terlalu jauh, pagi itu jarak rasanya berlipat-lipat. Pikiran Gita sudah merembet ke mana-mana. Ingatan percakapan pertemuan ia dan Rama terakhir kali pun berseliweran di pikiran.
“Buatku, kamu itu kayak rumah, Git. Tempat aku pulang dan istirahat. Aku mau kita nikah nggak Cuma modal cinta, tapi modal komitmen yang paling sempurna. Jadi … di saat cinta di antara kita udah pudar, kita masih bisa ngejalanin rumah tangga dengan komitmen dan kasih sayang.”
Entah apa yang ingin ditunjukkan Lily padanya. Gita sama sekali tidak memiliki perkiraan. Jika Rama kecelakaan, reaksi Lily terlalu tenang. “Ya Tuhan …. Aku enggak akan kuat kalau ada apa-apa dengan Rama. Aku enggak akan ketemu laki-laki sebaik dan sesempurna dia.” Air mata Gita menggenang. Lampu merah yang cukup lama membuat Gita sempat meneteskan air mata karena menatap cincin mungil yang melingkari jari manisnya.
Gita menginjak pedal gas dalam-dalam. Berharap city car mungil 1000 CC berwarna hitam itu mau melesat lebih laju dari biasanya.
Sebelum tiba di kantor, sepanjang jalan tadi Gita sudah menimbang-nimbang beberapa kemungkinan. Ia memarkirkan mobilnya seperti biasa lalu menemui Lily di ruangannya, atau meletakkan mobilnya di depan kantor dengan resiko akan bertemu Braja, direktur perusahaan yang bermulut tajam. Ternyata semua kemungkinan itu tak terjadi. Lily melambai-lambai di depan pintu masuk kantor seakan menyetop taksi.
Gita menghentikan mobil dan membuka kaca. “Kenapa jadi di sini? Tunggu aku di lobi aja. Aku parkir dulu.”
“Buka pintu!” Lily mengetuk kaca mobil yang terbuka setengah. “Aku, kan, udah bilang mau ngajak kamu ke suatu tempat. Cek pesan masuk. Aku udah ngirim lokasinya. Ikuti peta aja.” Lily masuk, memakai seat belt sambil mengatur napasnya.
Kebingungan dengan apa yang sedang terjadi membuat Gita menyetir dalam diam. Suara Lily hanya mampir di telinganya ketika memberi instruksi harus berbelok atau mengingatkan lampu lalu lintas berganti hijau. Gita membawa mobilnya masuk ke daerah yang belum pernah ia datangi.
“Ini perumahan baru. Yang tinggal di sini masih dikit banget. Satpam-nya juga lagi enggak ada. Serem,” gumam Gita.
“Perumahan baru dan murah lebih tepatnya. Lihat, dong. Satu lantai. Paling banyak punya tiga kamar. Carport-nya cuma untuk satu mobil. Kita berhenti di depan.” Lily menunjuk beberapa mobil yang parkir di tepi jalan.
Gita kembali terdiam. Ketenangan Lily malah membuatnya gelisah. Kalau ada sesuatu yang bisa menunda presentasinya di kantor, hal itu pasti sangat penting. Lily membuat presentasinya tertunda.
“Oke, dengar aku.” Lily menarik napas panjang. “Kamu tau kalau aku nggak pernah mencampuri urusan pribadi siapa pun, kan? Sedekat apa pun aku dan anak-anak kantor lainnya, aku enggak pernah mencampuri urusan orang. Termasuk urusan kamu. Jadi, apa pun yang terjadi setelah kita masuk ke rumah itu, aku enggak mau kamu bertingkah murahan dan mempermalukan diri sendiri. Aku cuma mau menunjukkan langsung karena kalau hanya sekedar omongan kamu nggak akan perc….”
“Ly! Diem! Cukup. Ayo turun.” Belum apa-apa Gita sudah merasa jantungnya diremas. Hal yang akan ditunjukkan Lily padanya pasti bukan hal biasa. Tapi … hendak ditunda seberapa lama lagi? Hari itu ia tetap harus presentasi.
Gita merasa sepasang kakinya bagai diberi bola besi. Berat. Berapa mobil yang bertamu pagi hari di rumah paling pojok terlihat tidak wajar. “Ini mobilnya Rama …. Katanya masih di luar kota.” Kata-kata yang baru diucapkan Gita tenggelam di kerongkongannya. Mobil kekasihnya memang menjadi salah satu mobil yang bertamu ke rumah pojok. Lily yang berjalan di sebelahnya sedang pura-pura tak mendengar. Ia semakin penasaran sedang apa Rama di rumah itu.
“Kayaknya kita berhenti di sini aja. Kita cukup dengar dari luar. Aku nggak yakin kamu bisa mendekat."
Lily memegangi lengan Gita di dekat jendela. Sengaja berdiri di depan Gita untuk menghalangi langkah andai temannya hendak berbuat gila. Tak lama keheningan yang berlangsung di dalam ruangan terpecahkan. Pelan tapi dengan sangat jelas suara seorang pria menyahuti perkataan seseorang.
“Saya terima nikahnya Monica Melania binti Azwar Ferdian dengan maskawin sebentuk cincin berlian satu krat dibayar tunai!”
“Sah!”
Gita sempoyongan. Satu tangannya refleks memegang bahu Lily. “Itu … itu suara Rama, kan? Rama tunanganku. Kenapa nikah sama Monic?”
To be continued
Gita merasa dirinya tak pernah menyakiti siapa pun. Tidak pernah merepotkan orang lain, tidak punya hutang yang tidak dibayar. Ia juga tidak pernah menggantungkan perekonomian pada keluarganya. Terutama sang ibu yang meski tidak kaya, namun hidupnya berkecukupan. Gita merasa tidak pernah menjadi beban bagi siapa pun kecuali … dirinya sendiri.
“Aku mau pingsan,” bisik Gita, mencengkeram keras bahu Lily.
Pernikahan di dalam baru saja selesai. Sepasang manusia yang baru saja mendapat sebutan suami-istri kini tengah bersimpuh mendengar wejangan.
“Jangan pingsan sekarang. Kita balik ke kantor dan kamu harus tetap presentasi menggantikan Monic.” Lily menarik tangan Gita pergi dari rumah itu. Tubuh Gita yang lalu membuat wanita itu harus menyeretnya sekuat tenaga.
“Aku harus tanya Rama. Aku perlu penjelasan Rama. Nggak bisa langsung pergi aja!” Gita menghempaskan tangan Lily beberapa langkah dari rumah cluster paling pojok. Tangannya bergetar. Dibanding sedih, amarahnya lebih besar.
Lily meringis menatap tangannya yang baru dihempaskan Gita, lalu menatap sengit rekan kerjanya itu. “Aku nggak peduli alasan tunangan kamu menikahi Monic. Aku nggak peduli soal apa yang terjadi di antara kalian. Aku menunjukkan itu pagi ini karena aku nggak mau ucapanku dianggap angin lalu sama kamu. Semua orang kantor tau kalau kamu wanita paling setia nyaris naif. Bayangkan kalau aku ngomong tunangan kamu menikahi sahabatmu sendiri karena hamil tanpa bukti, apa yang kamu pikirkan soal aku? Iri? Pagi ini aku sedang menunjukkan buktinya langsung, Git!” Emosi Lily ikut tersulut. “Aku mau balik ke kantor. Terserah kalau kamu mau mempermalukan diri kamu dengan nangis atau ngamuk-ngamuk ke rumah itu. Aku ke kantor naik taksi kalau kamu masih mau di sini.” Lily mengaduk-aduk tasnya mencari ponsel sambil terus berjalan menjauh.
“Setidaknya jelaskan dengan lebih rinci denganku. Kasih aku penjelasan dari mana kamu tau soal Rama dan Monic. Dari mana kamu tau soal rumah berengsek itu?!” Kali ini air mata Gita sudah jatuh ke pipi. Bibirnya bergetar menahan tangis.
Lily kembali mencengkeram lengan Gita dan membawanya menuju mobil. “Ngobrol di mobil aja. Masuk dan nyalain AC. Setidaknya kita harus sedikit menjauh dari rumah ini. Aku nggak mau bapak-bapak yang ngeliatin kita tadi malah ngeh siapa kita.”
Meski diam, Gita menuruti perkataan Lily. Masuk ke mobil dan menyalakannya. “Harusnya biar aja semua orang tau siapa aku. Biar Rama juga tau aku datang buat lihat pernikahannya.” Gita terisak. Mobil telah melaju keluar komplek dan sedang menyusuri jalanan gersang dan sepi.
“Kita memang nggak terlalu dekat untuk aku bisa memberi nasehat ke kamu. Tapi Rama bukan suami kamu sampai kamu harus repot-repot mempermalukan diri sendiri. Kecuali … kamu merasa harus meminta suatu pertanggungjawaban ke dia. Jangan mau bego dengan mempermalukan diri sendiri. Kamu nggak lihat yang datang ke nikahan tadi siapa aja?” Lily mengambil sebungkus tisu dari dasbor dan menyodorkannya ke Gita.
Gita menarik selembar tisu dan memikirkan jawaban pertanyaan Lily. Siapa saja yang datang? Kedua orang tua Rama dan kedua orang tua Monic. Semuanya hadir. Gita merasa kerongkongannya dijejali sesuatu yang membuatnya tercekat. Pernikahan itu mengantongi semua restu kecuali darinya. Gita menepikan mobil dan menangis sejadi-jadinya dengan memeluk setir.
“Maaf harus ngomong kayak gini … kurasa kamu butuh penjelasan dari mana aku tau soal acara mereka hari ini.” Lily melirik jam di pergelangan tangan sementara tangan lainnya mengusap punggung Gita. “Aku tau dari suamiku. Meski suamiku dan Rama bukan satu angkatan di fakultas kedokteran, suamiku kemarin baca grup angkatannya. Katanya adik kelas mereka yang bulan depan selesai PPDS nikah karena menghamili pacarnya. Suamiku … ngerasa kenal dengan foto Rama yang tersebar di grup. Suamiku ngeh kalau kita semua pernah pergi makan malam kantor dan dia pernah ngobrol dengan Rama. Suamiku nanya siapa nama lengkap kamu.” Usapan Lily di punggung Gita terhenti.
Gita yang tadi menangis memeluk setir bangkit memandang Lily.
Lily kembali meneruskan. “Aku yang belum tau apa-apa sampai jengkel karena suamiku bolak-balik nanya nama kamu. Akhirnya aku rampas ponsel suamiku dan aku ikut nimbrung di grup angkatan kampusnya buat nanya soal Rama. Aku nggak tau mereka kenal di mana dan kapan mereka mulai jalan. Tapi semua teman-teman Rama cuma tau Monic. Teman-teman fakultas kedokteran cuma tau pacar Rama itu ... ya Monic.”
“Aku … aku yang ngenalin Rama ke Monic sewaktu Monic kemaleman pulang ke Bekasi dan aku tawarkan nginap di apartemenku. Rama dateng bawain makan malam buat aku. Lalu … mereka kenalan. Kurasa … itu pertama kali mereka ketemu. Enam bulan yang lalu.” Gita kembali menangis.
Enam bulan yang lalu ia memperkenalkan tunangan dan sahabatnya di kantor. Dan semua teman Rama di kampus lebih mengenal Monic sebagai kekasihnya. “Apa salahku ke Rama? Apa salahku ke Monic?”
“Git … kita memang tidak terlalu dekat untuk mencampuri urusan pribadi. Sekarang udah jam sepuluh pagi. Hubungan percintaan kamu berantakan. Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah masuk kantor dan tepati janji kamu untuk menggantikan Monic presentasi. Setidaknya untuk sekarang kamu harus mempertahankan pekerjaan.”
Gita mengangguk seraya menggigit bibirnya menahan tangis. “Aku selalu merasa hubunganku dan Rama sangat stabil. Aku sibuk memenuhi target untuk sama-sama ngumpulin uang buat patungan biaya pernikahan. Aku pahami keadaan Rama yang sedang butuh banyak pengeluaran untuk sekolahnya. Aku selalu menganggap masa depan Rama adalah masa depanku juga.”
Lily mengangguk. “Iya, Git. Maaf …. Kita harus ke kantor sekarang. Kamu nggak boleh dipecat.”
Gita kembali menarik selembar tisu yang disodorkan Lily. Ia mengangguk. Cukup mengerti kenapa Lily tak mau berlama-lama mendengar ceritanya. Mereka tidak cukup dekat dan Lily juga sedang dikejar oleh atasan mereka. Sudah cukup baik temannya itu menemaninya menemui kenyataan paling pahit pagi itu.
Kalau ditanya, Gita sebenarnya tidak kuat. Bayangan sahabatnya hamil dengan tunangannya membuat jantung Gita berdenyut lebih keras dan menyakitkan. Di mana mereka melakukan itu? Kapan? Bukannya Rama di luar kota? Lalu, itu rumah siapa? Apa Rama sudah membeli sebuah rumah untuk hidup bersama Monic?
Tiba di parkiran B2 tempat ia biasa meletakkan kendaraan, Gita hanya sempat memakai sunscreen dan memoles lipstiknya sebelum buru-buru menuju lantai lima.
“Git, dari mana aja? Dicariin Pak Braja.” Sekretaris direktur langsung berteriak sebegitu Gita muncul di pintu.
“Aku langsung masuk ke ruangannya aja. Mau minta maaf sebelum presentasi. Aku ngga mau dipermalukan di depan anak-anak.” Gita meletakkan tasnya dan bergegas masuk ruangan direktur. Saat mengetuk pintu, bibirnya tidak berhenti mengucapkan doa-doa. Seperti mau bertemu setan saja, pikirnya.
“Masuk!” teriak seorang pria dari dalam.
Gita masuk dan berdiri tegak dengan dua tangan bertaut di depan meja bertuliskan, ‘BRAJA MUSTI – Sales Director’
“Maaf saya terlambat, Pak. Saya….”
BRAAKK
“Ini yang kamu sebut laporan penjualan terbaik? Ini yang bakal kamu presentasikan di ruang rapat nanti? Ini sampah!”
Gita sempat berkedip sekali. Kertas-kertas berhamburan di depan wajahnya. Kilasan itu sangat cepat. Gita menunduk menatap lembaran laporan penjualan yang dibuat oleh Monic, sahabatnya.
To be continued
Sebenarnya sudah ratusan kali pikiran untuk resign itu muncul tiap Direktur Penjualan mereka bertindak gila. Namun segala keinginan itu menguap tiap sejumlah uang masuk di awal bulan. Gita masih menunduk menatap lembaran kertas yang baru mengguyur tubuhnya.
“Kamu dengar tidak? Sudah sebulan berjalan hasilnya begitu? Itu project yang kalian andalkan? Berengsek kalian! Gaji maunya tidak pernah terlambat, maunya gede, nggak mau lembur!” Pak Braja berdiri dari kursi dan memutari meja. Berjalan mendekati Gita. “Kamu dengar apa yang saya bilang? Jangan pura-pura budek! Pungut kertas itu semuanya.”
Gita merasa lututnya semakin lemas. Perutnya lapar dan tenggorokannya kering. Tadi ia sudah menangis meraung-raung, namun belum sempat minum seteguk air pun. Ia berjongkok dan memunguti semua kertas di lantai. Itu adalah laporan penjualan yang dibuat Monic dan dititipkan padanya.
“Kamu sadar kerja nggak becus?” Pak Braja berdiri persis satu langkah di depan Gita.
“Ini pekerjaan Monic, Pak,” sahut Gita.
“Kamu yang terima, kan? Kamu nggak cek lagi? Bukannya kamu yang selama ini meyakinkan saya buat ngasih project produk baru ke Monic? Kamu yang bilang Monic bisa menunjukkan kemampuannya kalau diserahi tanggung jawab sendirian. Lalu sekarang apa? Dana promosi launching produk baru sudah dibuat besar-besaran. Hasilnya penjualannya cuma sebegini?” Pak Braja kembali mengambil kertas di tangan Gita dan menghempaskannya ke meja. “Dan kamu tau apa yang paling berengsek hari ini?”
Mata Pak Braja sudah berkilat karena amarah. Harusnya Gita diam saja. Tapi dengan bodohnya ia menggeleng. “Tidak tau, Pak.”
Pak Braja mengambil selembar kertas di di meja dan menyodorkannya pada Gita. “Surat pengunduran diri Monic. Kamu sudah tau, kan? Kamu sudah tau makanya kamu berniat menggantikan Monic yang mengundurkan diri?”
Gita tak mendengar tuduhan Pak Braja. Buru-buru ia membaca surat pengunduran diri wanita yang merupakan sahabat sekaligus pengkhianat baginya itu. Ia menggeleng lemah. “Saya nggak tau Monic mengundurkan diri,” ucapnya pelan.
“Bohong!” kesal Pak Braja. “Dan agar kamu tau aja. Saya akan minta seluruh dana promosi diaudit. Pengeluaran dana promosi launching produk baru sangat janggal. Saya curiga teman kamu itu banyak bermain di dana. Saya akan minta orang finance audit semuanya. Termasuk semua rekening kamu. Kalau teman kamu itu terbukti menyelewengkan dana perusahaan, kamu juga harus ikut bertanggung jawab, Git!”
“Presentasinya? Jadi hari ini, Pak?”
“Presentasi? Lihat mukamu aja saya sudah males. Kepinteran kamu ngasih project itu ke Monic. Mending kamu ngga usah menampakkan diri depan saya sampai proses audit selesai. Sana…sana.” Pak Braja kembali ke balik mejanya. Memungut lembaran kertas yang tadi dipungut Gita dan menjejalkannya ke tong sampah. Pria itu tak memandang Gita lagi. Tangannya saja yang bergerak dengan gerakan mengusir.
Gita keluar ruangan atasannya dengan langkah gontai dan sorot mata bingung. Dalam waktu beberapa jam kehidupannya seakan direnggut paksa. Dalam waktu beberapa jam saja, ia merasa tak memiliki apa pun. Semuanya ludes. Bahkan pekerjaan yang ia sukai dan sering dipuji teman-temannya nyatanya bukan sesuatu yang membuat nyaman. Atau selama ini ia memang bertahan hanya demi gaji yang dikata orang cukup besar itu?
“Git? Udah ketemu Pak Braja? Beliau ngomong apa?” Lily kembali muncul dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Sepertinya Lily baru dari ruang fotokopi.
“Beliau? Si berengsek maksudnya? Kayaknya mulai sekarang nggak perlu sopan sama orang yang nggak sopan ke kita.” Gita menggerakkan giginya.
“Git? Are you okay? Mau ke mana?” Lily mengikuti langkah Gita kembali ke mejanya. “Mau ke mana? Enggak kerja?”
Gita memasukkan pulpen dan sebuah agenda kecil ke tasnya. “Aku? Okay?” Gita menyandang tas kemudian memandang Lily. “Kurasa … aku nggak akan pernah baik-baik aja, Ly. Makasih karena tadi udah nahan aku nggak mempermalukan diri sendiri. Kayaknya aku mau pulang dan istirahat.”
Lily mengangguk dan membenarkan letak tali tas Gita di bahunya. “Pulang, makan, tidur, nonton film, dengerin musik, pokoknya kerjain apa yang mau kamu kerjain. Aku yakin kamu bakal baik-baik aja.”
“Makasih,” sahut Gita.
Satu hal yang Gita tidak paham. Kesalahan apa yang pernah ia lakukan sampai seluruh dunia menjadi amat jahat buatnya. Ia butuh penjelasan. Menahan diri hanya akan membuatnya lebih sakit. Kalau harus ribut kenapa harus diam, pikirnya.
Tiba di mobil, Gita menghubungi Rama. Ternyata dugaan bahwa Rama akan mengabaikan panggilannya tidak benar. Telepon itu justru dijawab lebih cepat. Gita mengerling jam di dasbor mobil. Sudah mendekati jam makan siang. Apakah acara nikahan sudah selesai dan beberapa orang yang hadir tadi sudah bubar?
“Halo? Kamu di mana?” Nada suara yang biasa Gita buat manja, kini terdengar datar-datar saja.
“Aku di luar kota, dong. Belum pulang. Akhir minggu seperti biasa. Kenapa nanya? Tumben banget,” sahut Rama.
“Di luar kota ya? Tapi aku kepengin ketemu. Gimana, dong?” Gita mulai menguasai nada bicaranya meski detak jantungnya belum normal dan telapak tangannya sejak tadi berkeringat.
“Ya, sabar, dong, Beb …. Kamu tuh tumben banget. Biasanya jam segini nggak pernah nelfon. Aku lagi sibuk. Nanti aku telfon balik,” kata Rama.
Gita menarik napas panjang dan berat. Ia tak sanggup lagi menahan emosinya. “Eh, anjing! Beb...Beb?! Diem lo! Gue mau ketemu lo sekarang! Dateng ke taman tempat biasa kita jogging atau gue bawa bensin buat bakar rumah tempat lo biasa mesum sampai bikin temen gue bunting! Dateng nggak lo?!” Napas Gita terengah karena emosi yang memuncak. Dengan mata yang kembali mengembun Gita menggigit bibirnya menahan tangis.
“Git ….” Rama diam beberapa saat. “Git … nggak bisa sekarang. Aku...."
"Gue tunggu paling lama satu jam. Terserah gimana cara lo dateng ke sini dengan cara apa. Bawa buku tabungan kita. Gue bakal cek mutasi rekening.” Gita mengakhiri panggilan, lalu masuk ke mobil dan pergi menuju tempat yang dikatakannya tadi. Taman tempat ia dan Rama biasa jogging. Tidak jauh dari unit apartemennya.
Karena Rama tak ada menghubunginya lagi untuk menyampaikan keberatan, Gita menganggap kalau pria itu pasti datang ke taman. Dan dugaan Gita barusan terbukti. Sepuluh menit tiba di taman, Gita melihat mobil Rama mendekati mobilnya dan parkir tepat di sebelah. Pria itu langsung keluar dan mengetuk kaca.
“Masuk,” pinta Gita, membuka katup kunci dan menunjuk jok sebelahnya pada Rama. Pria itu masuk tanpa banyak protes. “Mana buku tabungan kita?” Gita menengadahkan tangan.
Rama menyerahkan buku tabungan pada Gita dengan wajah tegang. “Maaf, Git ….Uang kita kepake dikit,” ucap Rama takut-takut.
Gita langsung mengambil buku tabungan itu dan membalik-baliknya. Meneliti mutasi dan mencari nilai saldo akhir. Matanya lalu membelalak. “Uang gue ke mana Rama? Kepake dikit gimana? Uang kita? Ini uang gue Rama …. Ini uang hasil kerja keras gue. Lo belum ada kontribusi di sini." Gita tak kuasa kembali menahan tangisnya. Ia kembali memeluk setir dan menutupi kepalanya.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!