NovelToon NovelToon

Indah Dalam Kelam

p r o l o g

Apakah kau percaya dengan adanya kekuatan?

Apakah kau ingin tinggal di dunia fantasi?

Jika jawabannya, iya, maka kau harus mengenal seorang Lita.

Terlahir normal secara fisik, namun ada yang membuat Lita berbeda dari manusia biasanya. Tidak, bukan hanya Lita, tapi para  pendahulunya juga. Ibunya, Neneknya, Buyutnya dan orang-orang yang hidup sebelum dirinya.

Kekuatan ini turun temurun. Tak bisa dihindari, tak bisa dihilangkan juga. Mau tak mau, Lita harus menerimanya seraya menjalani hidupnya.

"Kak, wortelnya lima ribu ya," kata Lita pada seorang lelaki yang lebih tua darinya, sekitar 16 tahun.

"Oke," balas lelaki itu.

Lita diberi kepercayaan untuk membeli wortel oleh Ibunya. Ia pergi ke sebuah toko yang telah menjadi langganannya. Biasanya Bu Ima yang melayani di toko ini, namun kali ini berbeda, mungkin Bu Ima sedang ada urusan.

"Nih," kata lelaki itu seraya menyodorkan kantung kresek berisi wortel di hadapan Lita.

Karena Lita takut, ia mengambilnya tanpa menimbulkan kontak fisik dengan laki-laki itu. Ketika ia hendak membayar, menyodorkan uangnya, tangannya tanpa sengaja disentuh oleh lelaki itu hingga dirinya bisa membaca.

Lita memejamkan matanya, ketika kekuatannya mulai bekerja.

Dalam sebuah ruangan gelap yang seperti tak berpenghuni dan tak terurus, terlihat siulet seorang laki-laki yang sedang memegang sapu ijuk. Dia memukul-mukul seorang anak kecil yang terus menjerit kesakitan, Lita mengernyit ngeri.

Sebab waktunya kontak fisik hanya beberapa detik, bayangan tentang kejadian mengerikan itu hilang bersamaan saat kontak fisik tersebut berakhir.

Lita menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha kuat dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, tak mengetahui apa-apa. Ketika akhirnya laki-laki itu menyodorkan kembaliannya, Lita buru-buru melangkah pergi setelah mengambilnya. Lelaki itu melihatnya heran, namun tak berpikir lama-lama tentang Lita.

Sesampainya di jalanan menuju rumahnya, keringat mulai keluar dari tubuhnya. Tangannya memutih dan ketika sampai rumah, Ibu khawatir melihat anaknya yang begitu pucat.

Ibu langsung menangkup wajah Lita dengan tangan hangatnya, menatapnya khawatir. "Kamu kenapa, Lita?"

"Ibu..." Mata Lita mulai mengabur, ketika ia mengerjap, cairan hangat mengalir di pipinya. Ia menangis. Kemudian langsung terisak saat Ibu memeluknya dengan erat.

"Semuanya baik-baik aja, Lita. Ada Ibu, Nak. Ada Ibu." Ibu mengelus rambut anaknya yang baru berusia delapan tahun itu dengan sayang.

"Ibu ... kakak yang ada di toko Bu Ima jahat. Dia mukulin anak kecil, Bu. Lita takut," cerita Lita disela tangisnya. Suaranya amat pelan dan sarat akan ketakutan.

Mata Ibunya melebar. Bagaimana bisa anak yang masih kecilnya ini sudah menyaksikan aksi kejam orang lain? Ibu merasakan, ia juga punya kelebihan seperti anaknya. Betapa menderitanya, betapa susahnya, betapa tertekannya diri ini untuk bersikap biasa saja ketika kita telah mengetahui keburukan orang lain.

"Kekuatan ini, memang bikin kamu takut, bikin kamu sedih, bikin kamu sulit." Ibu melepas pelukannya dan menatap Lita dengan senyuman lebar yang menyejukkan. Tangan lembut Ibu menghapus air mata Lita hingga anaknya itu berhenti menangis dan sesegukan. "Tapi kamu harus meyakini, kekuatan kamu ini ada waktunya bisa berguna. Kamu bisa berbuat kebaikan dengan kekuatan ini."

Lita mengernyit tak percaya. "Bener, Bu?"

Ibu mengangguk seraya tertawa renyah. "Ibu yakin."

Akhirnya, seulas senyum cerah terbit di wajah Lita. Anak itu mengangguk senang dan memeluk Ibunya dengan erat seolah tak ingin kehilangan.

"Kalau sama Ibu, Lita jadi nggak takut lagi." Lita memejamkan matanya, bersungguh-sungguh atas ucapannya. "Lita harap Ibu nggak pernah pergi."

Ibu tertawa merasa lucu. Ia membalas pelukan anaknya sama eratnya, menyalurkan rasa sayangnya yang sungguh-sungguh.

"Ibu nggak akan tinggalin kamu, Lita."

Bohong.

Kata-kata itu pada akhirnya lebur tak bersisa. Amat menyakitkan bagi Lita, ketika pada akhirnya, 6 tahun kemudian, Ibu meninggalkannya. Benar-benar meninggalkannya. Ibu tak akan pernah kembali.

Ia telah dijemput oleh pencipta-Nya.

Hingga tersisalah perjalanan hidup yang penuh ketakutan untuk Lita jalani.

***

01. Kilasan Hitam

Perlu takdir untuk menemukan sebuah pertemuan, namun aku perlu pertemuan untuk menemukan takdirku

Takdirku, yang berarti dirimu

***

Suara dentuman lagu Kill This Love yang dilantunkan oleh girl group terkenal Blackpink mendominasi sebuah kamar milik Darka Samudra. Seorang pemuda 17 tahun yang kini sedang berada di kamar mandi. Kebiasaan anak muda. Mandi seolah-olah sedang mengadakan konser besar-besaran.

"Let's kill this love! Trek trektrek trek trektrek! Ram pampam pampampampam!"

Dia menjerit, dengan suara beratnya, di bawah shower yang menyala. Darka tampak menikmati, beda dengan Ibunya yang sudah frustasi untuk meneriaki anaknya itu.

"DARKA YA AMPUN, ANAK IBU! UDAH JAM TUJUH NIH, KESIANGAN KAMU, ADUH! AYO, JANGAN LAMA MAIN-MAIN DI KAMAR MANDI ! CEPET KELUAR!"

Darka berdecak kecil ketika samar-samar mendengar suara Ibunya di antara dentuman musik dan suara air mengalir. Akhirnya ia mematikan showernya dan memakai handuk.

"DARKAAAAAAAAAAA!"

"Buset," decak Darka terkesan saat mendengar lengkingan Ibunya ketika sedang menata rambutnya yang basah dengan sisir. "Semoga pita suaranya baik-baik aja," katanya santai, sambil memakai seragam sekolahnya.

Lima menit ia habiskan untuk berpakaian. Darka mematikan lagu yang masih menghentak kamarnya itu, kemudian keluar kamarnya setelah mengambil tas dan ponselnya.

Ketika ia menuruni tangga, Ibu telah menunggu di meja makan dengan tatapan tajam. Darka menyadari jika dirinya mendekati Ibu itu tidak baik, maka dari itu ia berbalik menuju pintu keluar.

"Heh, nggak ke sini, Ibu coret nama kamu di Kartu Keluarga," ancam Ibu dengan nada dingin. Tak habis pikir dengan sikap anaknya itu, telah dikhawatirkan telat, tapi justru langsung ngacir tanpa pamitan.

Darka berhenti melangkah, langsung memasang senyum lebar di wajah tanpa dosanya. "Takut telat, Bu-"

"Udah telat, nggak apa-apa nggak ikut upacara, sini sarapan dulu." Ibu memotong dengan sisa kemarahan yang tersisa. "Jangan kurang ajar. Cepet."

"Si-siap, Bu!" Darka langsung berlari, duduk di seberang Ibunya dan menyantap nasi goreng yang telah disediakan itu dengan gerakan cepat. Nasi goreng ini enak, seperti biasanya.

Ibu mengetok kepala Darka dengan sendok yang ada. "Baca doa dulu. Makannya pelan-pelan. Anak TK, bukan?"

"Hehe, aku lapar, Bu." Darka tersenyum bodoh, matanya ikut menyipit dan itu membuat Ibunya makin geram.

"Kalau lapar, kenapa tadi mau langsung pergi gitu aja?" tanya Ibu heran. Darka ini anaknya sendiri, tapi Ibu tak mampu membaca arah pikiran Darka.

"Takut, Ibu kayaknya marah," balas Darka, masih mempertahankan senyuman bodohnya.

"Ibu emang marah!" seru Ibu, membuat Darka kaget hingga terbatuk kecil.

"Aduh, hati-hati dong, nih minum," kata Ibu seraya menyodorkan segelas air mineral pada Darka. Darka meneguknya untuk merasa agak baikkan.

Ibu melipat tangannya di atas meja, memerhatikan Darka yang sedang makan. "Makanya nih ya. Mandi itu jangan sambil nyetel lagu, bangunnya agak pagian biar nggak telat. Capek Ibu teriak-teriak."

Darka tersenyum diselanya mengunyah, sebab suara Ibu masih terdengar normal-normal saja setelah melengking sekeras beberapa waktu lalu.

"Tau nggak sih, berapa banyak yang dikeluarkan Ayah biar catatan kamu tetap bersih?" tanya Ibu tanpa berpikir lebih lama, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang dikeluarkannya bisa menyinggung hati Darka.

"Aku selesai makan, sekarang langsung berangkat aja, ya?" Darka berusaha tersenyum seraya berdiri, saat untungnya, piring sarapannya telah bersih.

"Ya udah sana, ha-"

"Hati-hati, belajar yang bener, kalau ada apa-apa bilangin, nanti diurus sama Ayah," potong Darka dengan senyum jahil, amat hafal dengan kata-kata mutiara Ibunya di pagi hari.

Ibu menepuk pundak anaknya dengan gemas. "Udah langsung berangkat aja, bikin urat Ibu naik aja kamu ini! Telat lima belas menit, tuh."

"Perjalanan lima belas menit, telat setengah jam," tambah Darka sebelum benar-benar pergi dengan langkah terburu-buru, meninggalkan Ibunya yang hanya bisa geram melihat punggung anaknya.

"Telat, lagi, bosqu!"

"Abis malming sama Tulip langsung mabok dia!"

"Gue yakin uang jajannya dipotong lagi!"

Darka disambut ledekan teman-temannya begitu sampai di kelas pada pelajaran pertama, Bahasa Inggris. Beruntung Pak Subroto belum tiba di kelas dan keadaan kelas pun belum terlalu tertib.

"Sultan itu bebas," tukas Darka puas ketika mendudukkan diri di sebelah Anwar, orang yang pertama meledeknya. Ia beralih menatap Sandi, orang kedua yang meledeknya. "Jangan jelek-jelekin gebetan gue, nyet!"

"Tukang Lipstik, disingkat Tulip, ada yang salah, Sultan?" tanya Sandi dengan nada menyebalkan. "Tia itu emang kesenangan olshop lipstik kan, sampai-sampai di sekolah aja dipake."

"Satu sekolah aja udah tau panggilannya itu Tulip, terima aja lah," tambah Putra, cowok berkaca mata yang tadi mengejeknya terakhir.

"Lo nggak tau waktu upacara ada apaan," kata Anwar memulai pembicaraan yang menarik perhatian Darka.

"Apaan emang?" tanya Darka langsung.

"Yang telat, tadi dicerca habis-habisan waktu pembina ngasih amanat. Mereka dibarisin di depan peserta upacara, anjir kasian." Anwar bercerita sambil memasang wajah sedih yang hampir menangis.

Darka mendengus, tak begitu terkesan dengan pemaparan Anwar. "Gitu aja, kirain apaan."

"Ada si Tia, geblek," tukas Putra sambil menjitak kepala temannya yang agak tumpul itu.

"Sakit, goblok!" balas Darka tak terima, langsung menggeplak kepala Putra dengan keras.

"Si anjir, kurang ajar!" Putra menampar pipi Darka kesal.

"Setan!" Darka langsung mencekik leher Putra dan hal itu sontak jadi perhatian kelas. Anak-anak langsung mengerubungi. Anwar dan Sandi dengan sigap memisahkan kedua temannya itu dan tersenyum pada anak-anak yang lain.

"Maaf ya temen-temen, ini anak dua emang kurang omega 3. Sekarang boleh kembali ke tempat masing-masing," kata Anwar dengan wajah serius.

"Mohon bantuannya temen-temen, udah ya, jangan kepo," tambah Sandi hingga membuat empat orang itu tak lagi jadi pusat perhatian.

Selepas itu, Sandi menatap Darka dan Putra yang masih saja saling melempar tatapan dendam membara, kemudian ia berdecak tak suka.

"Kalian kenapa sih, hah?" bisik Sandi merasa malu. Ia menatap Darka dengan sinis. "Apalagi lo. Obat lo kurang berapa liter sampe nyekik Putra segala?"

Darka masih mengembuskan napas membara sambil menatap Putra, ia tak terima atas kelakuan temannya yang satu itu.

"Lo pikir ini lucu, hah?" tanya Anwar ikut berbisik, merasa malu juga. Ia menatap Pita dengan mata menyipit. "Mau dapet nilai gede, itu nggak ada gunanya kalau lo masih aja jitak kepala orang bego gitu aja."

"Anwar anjing," desis Darka kesal. Namun, detik berikutnya ia tertawa lepas dengan kencang. Anak-anak kelas sampai melihatnya lagi. "Lo nggak pantes gini-ginian, njir. Muka lo tuh lawak banget."

Anwar tersenyum kecut. "Asem lo, Dar."

Putra terkekeh. "Dar, lo cocok banget. Akting lo pas. Makin baik aja."

"Lo juga, Put," balas Darka sambil menyeringai.

"Udah damai, Telor Dadar! Mulai mulu lo ah!" seru Anwar sambil menyikut Darka saat melihat Putra mulai mengeluarkan aura tak mengenakan saat dipanggil sedemikian rupa oleh Darka.

Darka terkekeh kecil. "Lo nggak tau yang namanya bercanda, ah, nggak seru, Put!"

Melihat Darka semakin gencar meledek Putra, Sandi angkat suara saat mengira kali ini Putra serius akan wajahnya yang sudah mengeras itu.

"Udah, buset, berantem mulu. Aktingnya ntar aja dilanjut, sekarang gue merasakan Pak Subroto mau masuk ke ini kelas," kata Sandi seraya merapikan meja dan duduknya.

Putra akhirnya mengikuti, begitu juga dengan Anwar, sementara Darka masih tersenyum lebar seolah Sandi hanya bercanda. Padahal, selama ini, insting Sandi tak pernah meleset tentang Pak Subroto, entah kenapa.

Darka masih santai duduk di meja, memandang remeh Sandi. "Paling kemarin-kemarin nggak sengaja, tebakan lo bener. Sekarang, siapa yang tahu? Mungkin Pak Subroto mules dan nggak masuk? Enak kan."

"DARKA!" suara keras itu mengejutkan bagi Darka. Tubuhnya menegang dan ketika berbalik, Pak Subronto rupanya telah berada di depan, melihatnya dengan mata melotot. "GET OUT FROM THIS CLASS!"

Tiga temannya di belakang menahan tawa ketika melihat Darka pura-pura murung seraya melangkah keluar kelas. Sudah jadi rahasia umum, Darka akan senang kalau tidak berada di kelas.

Tentu ia akan menikmati kemarahan Pak Subroto itu dengan senang hati.

Lita memperbaikki jaket merahnya ketika langkah kakinya mulai memasuki area ramai dengan berbagai penjual makanan. Kantin.

Mungkin, bagi kebanyakan siswa, kantin adalah surga. Namun tidak bagi Lita. Ia telah terbiasa membawa bekal dan hampir tak pernah keluar kelas untuk mencari makanan. Ia tak suka keramaian, karena artinya ia akan banyak melakukan kontak fisik dan semakin banyak kekelaman yang menakutinya.

Hari ini, entah apa yang salah pada dirinya, ia bangun telat dan memilih untuk tak membawa bekal daripada telat. Lita berusaha menjadi anak teladan, ia tak mau mendapatkan catatan akhlak buruk.

Dengan berat hati, untuk mengisi perutnya yang telah kosong karena tak diisi semenjak pagi, Lita pergi ke tempat ramai itu. Sengaja, Lita selalu memakai jaket berlengan panjang yang dapat menutup kemungkinan ia melakukan kontak fisik secara langsung dengan kulit tubuhnya.

Bagi seorang Lita, ini kali pertamanya menginjakkan kaki di kantin, setelah hampir dua tahun berada di sekolah ini. Beberapa anak yang mengenalnya melalui sebuah kejadian yang melibatkannya dengan ketua OSIS satu tahun yang lalu, menatapnya aneh.

Diantara kerumunan siswa-siswi, Lita mudah menjadi perhatian sebab memakai jaket merah yang amat mencolok. Namun Lita hanya menunduk saat ditatap sedemikian rupa.

Tujuan Lita hanya satu, membeli batagor dan air mineral. Setelah itu ia akan kembali ke kelas dan menghindari semua pasang mata yang menatapnya aneh.

Lita bergerak cepat, membeli dua materi yang dibutuhkannya. Ketika selesai, ia kembali berjalan cepat. Namun rupanya dunia tak memberikan jalan yang mudah baginya.

Karena tak terlalu memerhatikan jalan, Lita tanpa sengaja menubruk tubuh seseorang dan membuat jajanan yang ia bawa hampir terjatuh. Lita segera memundurkan diri dengan kepala yang masih tertunduk.

"Ah, sori, gue nggak liat jalan. Nggak apa-apa, kan?" tanya orang yang ia tabrak itu, seraya meraih pergelangan tangannya hingga membuat Lita refleks menatap wajahnya.

Mata mereka bertemu penuh arti. Lita sempat tenggelam dalam iris cokelat yang tampak hangat itu.

Namun, bayangan hitam segera menutupi penglihatan Lita. Sebuah pukulan yang tak jelas dari mana datangnya seolah menghantam kepala Lita dan membuatnya pusing.

"Modus lo, Telur Dadar! Pake pegang-pegang tangan cewek segala!" seseorang meledek orang itu.

"Ye, sirik lo-"

Lita segera menjauh, melepas kontak fisik itu. Membuat orang di depannya ini tercekat bingung.

"Yaah, dilepas!" suara itu meledek lagi.

Dengan rasa pusing dan aneh yang menimpa tubuhnya, langkah cepat Lita membuatnya meninggalkan kantin dengan tatapan heran dari seseorang.

Catatan penulis:

Bagaimana? Apakah Darka sesuai dengan harapan kalian saat pertama kali membaca namanya?

Apa Lita juga sesuai dengan ekspektasi teman-teman semua?

Aku hanya akan memberitahu bahwa Indah Dalam Kelam akan dipublish setiap Sabtu dan Minggu, menemani malam-malam kalian

See you next week! :*

02. Kenapa Pingsan

Aku keberatan jika harus mendapatkan hukuman, namun jika hukuman itu berupa dirimu, aku rela

---

Sebenarnya Darka bukan jenis orang yang mudah penasaran, tapi baru kali ini ia benar-benar ingin tahu sesuatu. Gadis yang ia tabrak sewaktu di kantin. Entahlah, dia merasa aneh dan heran. Gadis itu terlihat pucat saat menatapnya, matanya hitam seolah tak ada kehidupan, dan jaket merahnya.

Jaket merah itu. Darka merasa ada yang spesial dengan jaket merah itu.

Gadis itu selalu masuk dalam pikirannya, seolah sengaja menghantui agar Darka menyelesaikannya. Agar Darka mengenalnya. Sampai keesokan harinya, Darka sibuk mencari sosok berjaket merah di sekolahnya, namun tak kunjung ia temui.

"Weh, gue mau nanya," kata Darka sambil menyikut Anwar yang sibuk memakan rotinya. Mereka berempat berada di kantin, dan sebanyak apapun Darka mengedarkan pandangannya, gadis itu tak tampak juga.

"Nanya aja sih," balas Anwar dengan mulut yang penuh roti.

"Kak Darkaaa!" seruan seseorang membuat Darka urung bicara. Ia menoleh, mendapati adik kelasnya memanggil sambil menggeliat kesenangan.

"Hai, Darovers," sapa Darka dengan senyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Sudah resiko orang tampan, digilai seperti ini.

"AAAA! Gila gue disenyumin!" serunya riang, kemudian berlari kecil sambil membawa buku dan diikuti oleh teman-temannya. "Kak, minta TTD-nya dong!"

"Oh, boleh-boleh," balas Darka senang hati.

Tiga temannya mulai berdecak, tak suka melihat Darka yang kini narsis level dewa. Sebagian besar penduduk kantin mulai terpusat pada Darka, selalu seperti ini. Siapa yang tidak mengenal Darka? Laki-laki tampan yang telah memiliki follower Instagram sampai satu juta.

Darka belum merealisasikan cita-citanya, tapi fansnya sudah bejibun. Betapa banyak orang yang iri padanya. Salahkan saja gen Ayah dan Ibunya yang membuat makhluk setampan Darka lahir.

"Kakak tuh ya, udah ganteng, kalem, lucu, baik hati, manis lagi! Jadinya, akutu gemes pengen nyubit!" seru salah satu adik kelasnya saat setelah Darka tanda tangani bukunya.

Darka tertawa geli. Ia melihat wajahnya, manis juga. "Nama kamu siapa?"

"AA! Namaku Nina, Kak. N-i-n-a. Jangan lupain, pliis-"

"Kakak, aku mau dong!"

"Heh, gue dulu elah! Kak plis, notice me!"

"Sakit dong!"

"Woi, awas!"

"Kak Darkaaa!"

"Air panas-panas! Air panas-panas, minggir-minggir!" suara melengking yang familiar itu membelah kerumunan yang membuat Darka dan teman-temannya itu sesak.

Tia muncul dengan senyum lebar. Bibirnya amat merah seolah telah memakan bayi. Darka ikut melebarkan senyum, ia berdiri dan membuka tangannya lebar-lebar.

Maksud lelaki itu adalah memeluk Tia, namun rupanya Tia tak membalasnya. Justru merubah wajah menjadi dingin dan menampar Darka pelan.

Darka tersentak, matanya melebar. "Tia, maksud kamu apa?"

Tiga temannya pun ikut terkejut. Setahu mereka, Darka sama sekali tak menduakan atau lebih Tia. Sejauh ini hubungan mereka masih asri.

"Jangan bikin aku cemburu, dong. Kamu nanya nama salah satu dari mereka," kata Tia kecewa, sambil menunjuk kerumunan adik kelas yang kini hanya bisa diam sebab tahu kini Darka dekat dengan Tia.

Mereka tak ingin Darka sakit hati, tapi juga tak rela jika Darka punya gebetan seperti Tia. Gadis itu seperti penyihir. Lihat wajahnya, benar-benar sinis saat melihat mereka.

Tapi, mereka, yang menyukai Darka tapi tak bisa memiliki, hanya bisa diam, berdoa yang terbaik untuk hidup Darka.

"Asli, kamu cemburu? Emang kamu siapa? Pacar aku?" Darka bertanya polos.

Mata Anwar, Sandi dan Putra membelalak. Mereka saling pandang dengan pikiran yang sama. Padahal baru tiga hari yang lalu Darka mengaku ia mencintai Tia dan menggilai gadis itu sampai diajak jalan-jalan romantis.

Tapi kini? Bahkan setelah berteman hampir dua tahun, Anwar, Sandi dan Putra masih tak mampu menebak arah pikiran Darka.

Muka Tia merah padam, malu sekaligus marah. Ia kecewa, ingin berkata-kata tapi ia punya harga diri, ia tak mau mengemis cinta. Seharusnya ia tak bodoh, dirinya adalah salah satu dari korban Darka.

Darka selalu mempermainkan wanita. Itu adalah fakta yang telah menyebar, namun Tia salah karena mengabaikannya begitu saja. Kini dirinya mengerti.

Oleh karena itu, Tia akhirnya pergi dengan langkah marah, sementara fans Darka menerbitkan senyum lebar, tak salah jika mereka menjadi fans Darka.

Lelaki itu penuh kejutan.

"Karma lo, Dadar, mampoos," ejek Sandi sambil menggendong tasnya, hendak pulang. Anwar dan Putra melakukan gerakan yang sama.

"Subroto dilawan," tambah Anwar semakin meningkatkan kadar kekesalan Darka.

"Udahlah, mending lo beresin itu tugas, terus kumpulin di mejanya, terus pulang, terus susul kita-kita di rumah Sandi," kata Putra menyimpulkan.

"Lo ikut?" tanya Darka sedih.

Putra mengangguk. Darka seketika menghela napas panjang, frustasi sendiri. "Ye, anjir, terus yang bantuin gue siapa?"

"Apakah lo punya otak?" tanya Anwar dengan nada meremehkan.

Darka berdecak. "Ya ada dong, geblek!"

"Ya pake, dong, geblek!" balas Anwar telak, membungkam mulut Darka sepenuhnya.

"Nah, udah, semangat, Dar," kata Sandi menyemangati sebelum akhirnya melangkah lebih dulu.

Anwar menyusul, menepuk pundak Darka dengan wajah serius. "Berjuang, bro, ayo!"

Darka mendengus, kemudian Anwar berlalu. Kini menyisakan Putra yang hendak menyentuh pundaknya.

"Udah sana lo temen solid, nggak usah sok peduli." Darka buru-buru bersuara sebelum akhirnya Putra menghela napas pendek.

"Ya udah. Bye."

Darka ditinggal begitu saja. Sendirian. Teman kelasnya yang lain sudah pulang. Tentu, siapa yang tidak kenal kelas IPS 5 yang hobi pulang ini.

"Si anjir, beneran ditinggal," umpat Darka tak percaya. Hari ini benar-benar mengejutkan.

Pak Subroto tiba-tiba memberi soal-soal yang harus ia kerjakan untuk mengganti dirinya yang tak mengikuti pelajaran kemarin. Mau tak mau, Darka menurut. Setidaknya, ia tak mau orang tuanya kecewa.

Sebisa mungkin ia mengerjakan soal-soal Bahasa Inggris itu, dengan bantuan buku catatan Putra serta ponsel dan kamus tebal milik Anwar yang sempat mereka berikan untuk membantu Darka.

Dari kecil, Darka sudah ditakdirkan untuk memiliki kapasitas otak yang pas-pasan. Semua nilai ujiannya hampir pas KKM dan sebenarnya Darka tak begitu yakin dirinya hebat dalam Bahasa Inggris.

Namun Darka membulatkan tekad. Demi bisa main dan pulang cepat, Darka berhasil mengisi semua soalnya dalam waktu satu jam setengah. Ia yakin jawabannya lumayan bagus, maka dari itu ia segera menyimpannya di atas meja Pak Subroto tanpa mengecek dua kali jawabannya.

Sekolah sudah sepi sepenuhnya ketika Darka melewati koridor, lapangan lalu sampai di deretan loker untuk menyimpan buku Putra dan kamus Bahasa Inggris Anwar ke dalam lokernya. Tak mungkin ia membawanya di tas karena itu berat dan tak mungkin juga ia meninggalkannya di kelas kecuali jika ingin kehilangan.

Di sekolahnya, ada peraturan yang tak memperbolehkan ada yang meninggalkan barang di meja, demi kedamaian semua orang. Seorang guru akan mengambilnya dan disumbangkan.

Ketika sampai di lokernya, Darka membuka kuncinya dan memasukkan dua benda dari tangannya. Gema suaranya terdengar jelas, sebab semua orang telah pulang dan hari mulai memasuki malam. Langit telah gelap dan udara terasa dingin.

Sebelum benar-benar menutup lokernya, Darka menatap paper bag hitam yang selalu berada di sana. Setelah memastikan benar-benar tak ada orang, Darka mengambilnya hingga tanpa sengaja membuat surat-surat berhamburan bersamaan paper bag itu keluar.

Ah, surat dari penggemarnya.

Darka memungutnya agak dongkol, asal-asalan. Kemudian ia mengambil sebuah jaket dalam paper bagnya dan begitu ia pakai, senyumnya otomatis tercipta lebar.

"Hello Kitty favoritku, akhirnya aku pakai," gumamnya senang, kemudian tertawa saat memasukkan kembali paper bagnya dan mengunci lokernya.

Darka punya kesukaannya sendiri. Kesukaannya itu berwujud segala benda bergambar Hello Kitty dan berwarna pink. Sebenarnya ini bisa saja jadi aib, maka dari itu Darka sangat sensitif saat mengenakan jaket ini. Yang selama ini ia simpan untuk dilihat membuatnya senang dan dipakai pada kondisi memungkinkan.

Akhirnya, hari ini kesampaian juga.

Darka berbalik, kemudian matanya membulat sempurna saat melihat seseorang tengah berjalan melewatinya. Sepertinya orang itu telah melihatnya sejak memakai jaket pink ini.

Yang membuatnya lebih panik dan frustasi adalah orang yang memergokinya dalam keadaan memalukan ini rupanya si Jaket Merah.

Tanpa berpikir panjang, Darka mengejar langkahnya dan meraih pergelangan tangannya begitu tiba-tiba. Membuat pemiliknya menoleh dengan wajah heran dan terganggu.

"Kita perlu buat kesepakatan," kata Darka langsung pada intinya.

"Lepasin!" untuk kali pertama, Darka mendengar suaranya. Entah kenapa, ia merasa bingung. Namun, Darka tak menurut. Ia tetap menggenggam tangan kecilnya dengan tatapan terarah pada mata hitam itu.

Gadis berjaket merah itu berdecak, ia meringis tak jelas, memejamkan matanya seperti kesakitan, kemudian secara tiba-tiba ia menjatuhkan diri.

Darka segera menahan tubuhnya, panik menguasai tubuhnya. Ia mencuil-cuil pipi gadis tersebut pelan. "Heh, bangun napa. Ngapain pingsan. Apa gue terlalu ganteng di mata lo?"

Darka tertawa narsis. Namun, wajahnya berganti khawatir dengan cepat saat merasa gadis ini tak kunjung bangun.

"Buset, dapet sial dua kali," decak Darka sebelum akhirnya menggendong gadis itu dan membawanya menuju parkiran.

Mereka berdua akhirnya masuk dalam mobil yang satu-satunya terparkir di sana. Kemudian mobil tersebut melaju, menuju rumah Darka setelah cowok itu menimang-nimang dengan berat.

Catatan penulis:

Balik lagi, nih

Adakah yang menunggu?:3

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!