NovelToon NovelToon

Korban VS Pembully

Bab 1

Ringisan keluar dari bibir gadis berambut panjang sepinggang dengan poni lurus dan kacamata kotak berbingkai putih ketika rambutnya di cengkram dan ditarik membuat badannya terseret, pasrah kepada gadis yang sedang menariknya kasar masuk ke dalam toilet perempuan.

"Aw!" Selena Intan meringis ketika badannya didorong membuat punggungnya menabrak closet duduk dan berakhir badannya jatuh ke lantai.

Selena mengernyit ketika punggungnya terasa perih dia menunduk membuat rambut menutupi wajahnya, tidak berani menatap gadis yang sedang berdiri menjulang dengan dagu terangkat dan wajah pongah.

Nadia Cantika, gadis berparas cantik dengan rambut cokelat sebahu dan karang di bawah mata kiri itu menyeringai sebelum menyilangkan tangannya.

"Lo tahu kenapa gue bully elo lagi hari ini?" Suara yang indah namun itu mengalun bagai nyanyian kematian di telinga Selena yang membuat bulu kuduknya meremang dan jantungnya berpacu cepat.

Selena menggeleng cepat tanpa mendongkak membuat Nadia mengangguk.

"Gak ada alasannya." Jawab Nadia mengedikan bahu acuh.

Tidak ada alasan konkrit di kepala gadis cantik itu mengapa dia selalu membully Selena, jika ditanya, mungkin jawabannya adalah hanya karena Selena terlihat pendiam, cupu dan miskin. Orang dengan tiga kategori barusan adalah sasaran empuk para pembully seperti dirinya. Sudah hampir dua tahun Selena menuntut ilmu di SMA BINTANG dan itu adalah waktu bahwa Selena sudah menjadi target bully.

Nadia menutup bilik pintu toilet dengan kaki sampai menimbulkan bunyi keras sebelum menguncinya. Selena pikir aksi jahat Nadia hari ini sudah selesai sebelum dirinya membelalak terkejut ketika air dingin mengguyur kepalanya dari atas disusul tawa puas dari Nadia.

Selena mengernyit ketika air yang ditumpahkan di atas kepalanya berbau busuk, Selena hanya menghela napas kasar sebelum bangkit berdiri dan duduk di atas closet duduk.

"Sel?"

Netra Selena mengerjap, dia menoleh sebelum mendekatkan telinga pada dinding bilik.

"Keira? itu kamu?" tanya Selena.

"Iya." jawab Keira di bilik sebelahnya.

"Sejak kapan kamu ada di sana?"

"Sejam yang lalu mungkin. Mereka ngunci dan nyiram aku juga. Maaf aku gak bisa bantu kamu barusan. Maaf aku selalu jadi sahabat yang gak berguna, padahal kalau bisa ngelawan, mungkin sekarang kamu bisa tidur di UKS, bukan mendekam di toilet kayak gini."

Terdengar isak tangis dari seberangnya membuat hati Selena terenyuh. Selena meneguk ludahnya sebelum mencoba tersenyum.

"Gak apa-apa, Kei."

Keira makin terisak, dia tidak bisa membayangkan sakitnya menjadi Selena, setelah kehilangan Ibu tersayangnya dua hari lalu karena tabrak lari, Selena harus tetap kuat. Tidak ada hari berduka untuk dirinya, dia harus tetap bekerja serabutan untuk hidupnya dan harus di bully ketika di sekolah meskipun jiwanya sakit dan raganya lelah. Keira menyadari bahwa Selena tidak sehat ketika melihatnya pagi tadi.

"Maaf." Bisik Keira serak membuat Selena menggeleng.

"Jangan nyalahin diri sendiri. Kamu gak salah apa-apa. Aku gak papa, asal ada kamu, Kei." Ujar Selena menjauhkan kepalanya dari dinding, dia mengangkat kedua kaki dan memeluk lututnya sebelum menenggelamkan kepala di sana.

"Aku juga minta maaf, kalau aku bisa ngelawan mungkin kamu bisa belajar dengan tenang agar kamu bisa ngeraih cita-cita kamu. Padahal kamu harus pertahanin nilai dan peringkat kamu." Ujar Selena membuat Keira menggeleng dalam diamnya.

"Aku kuat karena masih ada kamu, Kei." Ujar Selena pelan. "Aku bahkan gak bisa ngebayangin gimana hidup aku di sekolah tanpa kamu."

Bagi Selena, Keira adalah dunianya setelah Ibunya. Dia adalah orang yang paling berharga, dia selalu berada di sisi Selena selama ini, bahkan dari mereka masih duduk di sekolah dasar. Karena Keira lebih dewasa, Selena merasa dia adalah Kakaknya.

Keira benar-benar dunia Selena.

Selena tidak peduli sejahat dan sekejam apa perlakuan Nadia, asalkan Keira masih ada di sisinya.

...****************...

Selena kira kemalangannya sudah berakhir di toilet, ternyata dia salah besar. Seharusnya dia tidak pernah berekspetasi akan mempunyai hari damai di sekolah karena itu akan membuatnya semakin sakit hati. Selena bergidik ngeri ketika bola basket memantul tepat di depan sepatu kumalnya yang langsung di tangkap oleh pria tinggi dengan kemeja putih yang semua kancingnya terbuka dengan dalaman kaos hitam dan kalung perak di lehernya.

Dekan Candra menembakan bola basket pada keranjang dan berseru heboh ketika berhasil mencetak poin membuat enam orang yang berbaris itu mengerjap kaget karena seruannya yang menggema di lapangan basket indoor yang mereka pijak.

Dekan, pria yang nampak sleangan itu tersenyum menampilkan deret gigi putihnya pada Nadia yang duduk di tribun paling bawah. Nadia hanya melengos sambil menggulirkan netra jengah, dia melipat tangan di depan dada dan mulai menatap satu persatu enam orang yang tengah menunduk di depannya.

"Kenapa lo bawa semua anak cupu kesini? Dan lagi kenapa lo suruh gue datang? Gue sama Sehan orang sibuk." ujar Nadia mengedikan bahu pada laki-laki yang duduk di sampingnya.

Laki-laki dengan kemeja putih yang dikeluarkan dari celana itu hanya melengos, parasnya tampan dengan rahang tegas dan hidung mancung, namun wajahnya datar dan pembawaannya dingin juga misterius. Meskipun bersahabat dengan Nadia dan Dekan, yang notabennya adalah tukang bully, tapi Sehan Giovano jarang terlibat aksi mereka. Hanya sekedar menonton, seperti kali ini. Meskipun itu sama sekali bukan hal yang bagus dan patut dibanggakan karena dia tidak punya empati ketika melihat orang di sakiti di hadapannya.

"Gue mau malak mereka!" Ujar Dekan membuat Nadia mengernyit.

"Lo kan udah kaya raya, kenapa minta uang sama orang miskin?" Tanya Nadia membuat Dekan berdecak.

"Lo lupa ya? Hari ini kan pembagian raport dan nilai gue pasti anjlok. Bokap gue pasti uring-uringan dan akhirnya potong uang jajan gue." Ujar Dekan menoleh menatap kedua sahabatnya sebelum melangkah ke depan Selena.

"Lo gak tuli kan? Masa gue harus minta dua kali?" Tanya Dekan menunduk, mendekatkan wajah pada Selena membuat Selena buru-buru merogoh saku rok dan memberikan satu lembar uang lima puluh ribu.

Uang jajannya selama seminggu yang dia dapat dengan banting tulang.

Dekan menerimanya sambil berdecih, "Cuman lima puluh ribu, tapi lumayan." Ujarnya.

Kening Dekan mengernyit ketika Keira hanya memberikan selembar uang dua puluh ribu.

"Lo beneran miskin tingkat tinggi, ya? Dua puluh ribu di kantin SMA ini dapat apa? Aqua dua botol?" Tanya Dekan sakarstik sebelum menoleh menatap kedua sahabatnya.

"Kayaknya si cupu rambut pendek ini beneran ada di tingkat terbawah kasta perekonomian. Kenapa gembel kayak elo berhasil masuk sekolah elit? Beasiswa? Meskipun beasiswa seharusnya elo sadar diri dong, siswa dari kalangan kaya gak tahan lihat elo." Ujar Dekan membuat Keira menahan tangisnya sementara Selena mengepalkan tangannya kuat.

Hatinya mendadak tidak enak mendengar sahabatnya dihina habis-habisan.

Dekan menunduk mendapati sepatu Keira yang sudah kusam dan jelek sebelum menginjaknya membuat Keira menjerit, tidak urung siswa dan Selena yang di sampingnya berjengit kaget.

"Bahkan sepatu jelek elo, gak berhak nginjak lapangan bola basket kesayangan gue!" Bisik Dekan menekankan setiap katanya pada Keira yang memejamkan netra sambil meringis, menahan sakit.

"Menjijikan." Bisik Dekan.

"Ja-jangan nginjek Keira! Aku mohon!" Pinta Selena bergetar sambil memegang lengan Dekan membuatnya berjengit jijik dan menepis Selena kasar.

"Jangan pegang gue, miskin!" Bentak Dekan.

Dekan mencekal pipi Selena dan memaksanya mendongkak. Selena meringis ketika kuku Dekan menggores kulitnya.

"Dasar sialan, beraninya elo perintah gue!" Bentak Dekan mendorong kepala Selena sampai terjatuh ke lantai dengan keras dan kacamatanya terlempar.

Keira menjerit, menutup mulutnya dengan air mata mengalir deras, ingin rasanya menolong, namun kakinya tidak bisa dia gerakan, dia terlalu takut untuk bergerak.

Selena terdiam dalam jatuhnya, dia meneguk ludah menahan tangis, sebelum menjulurkan tangannya untuk menggapai kacamatanya namun kaki Dekan menginjaknya sampai kacanya pecah berserakan membuat tangan Selena berhenti bergerak.

Selena bergeming sebelum akhirnya dia mendongkakan kepalanya perlahan membuat netranya bertubrukan dengan netra gelap Sehan yang juga sedang menatapnya.

Sehan nampak tersentak dan tenggelam dalam netra cokelat Selena sebelum dia membuang pandangan.

Sehan berdiri membuat Nadia mendongkak menatapnya bingung, tanpa sepatah kata, Sehan meninggalkan lapangan basket dengan aura yang terasa dingin dan menusuk hati Selena di setiap ketukan langkahnya.

Dekan menatap dengan pandangan bertanya pada Nadia yang masih menatap punggung Sehan dengan tatapan yang sulit diartikan sebelum menggulir netranya pada Selena yang masih terduduk di lantai dengan pandangan terpaku pada Sehan.

...****************...

"Ini bau apa, sih?"

"Gila, bau banget!"

"Kalau berangkat sekolah itu mandi, dong!"

Selena menunduk di duduknya ketika telinganya menangkap protesan dari anak kelasnya. Dia mencoba mencium seragamnya dan memang sangat berbau tidak sedap. Mau bagaimana lagi, Selena tidak mempunyai baju ganti, air yang disiramkan padanya ketika di toilet adalah air got.

Pantas baunya tidak hilang.

Semua perhatian teralihkan ketika Walikelas memasuki kelas dengan membawa setumpuk raport dan setengahnya dibawa oleh ketua kelas di belakangnya.

"Baik anak-anak, hari ini adalah pembagian raport dari hasil belajar kalian selama di kelas 11 semester 1." Ujar Pak Jaki membuat anak-anak bertepuk tangan.

"Dimulai dari pengumuman rangking sepuluh besar, rangking satu yaitu Keira Indah." Ujar Pak Jaki membuat seisi kelas bertepuk tangan termasuk Selena yang senang.

Suara gebrakan meja itu membuat semua murid kelas berjengit kaget dan mendadak sunyi ketika mereka melirik bahwa sang pelaku berasal dari kursi paling ujung, barisan dekat jendela.

Sehan Giovano.

Kesunyian itu menggigil dan menusuk kalbu dengan ketakutan nyata yang membuat bulu kuduk berdiri ketika mereka semua sudah mengetahui penyebab Sehan, laki-laki pendiam dan cuek itu mendadak menyebarkan emosi dan hawa tidak enak ke seluruh penjuru ruangan.

Karena Sehan kalah dari Keira.

Apalagi ketika Pak Jaki menyebutkan peringkat dua adalah Sehan Giovano yang membuat seluruh anak kelas menahan napas. Setelah pembagian raport selesai dengan Selena sebagai rangking sepuluh, Pak Jaki yang semula ingin bangkit dari duduk jadi mengerjap, teringat sesuatu.

"Bapak hampir lupa, satu pengumuman lagi. Kita ucapkan selamat kepada Nadia Cantika karena lolos seleksi untuk menjadi peserta lomba Melukis SMA tingkat Nasional." Ujar Pak Jaki membuat semua murid bertepuk tangan.

Dekan yang duduk di sebelah kiri Nadia bertepuk tangan paling kencang. "Selamat Nad, gue gak kaget sih." Ujarnya membuat Nadia tersenyum pongah dan mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Gimana? Gue keren kan?" Tanya Nadia menoleh pada Sehan di sebelah kirinya yang dijawab deheman oleh Sehan dan Dekan yang menatap keduanya dengan senyum yang perlahan luntur dan tepuk tangan yang memelan.

"Dan kabar baiknya, bukan hanya Nadia yang lolos seleksi. Selena Intan, kamu juga dinyatakan lolos seleksi. Bu Puspa bilang bahwa gambar kamu bagus!" Ujar Pak Jaki membuat Selena yang awalnya murung jadi menganga kecil, tidak percaya.

Keira yang duduk di sebelahnya bertepuk tangan senang dan merangkul Selena dengan bahagia, namun kebahagian itu hanya mereka berdua yang merasakan.

Tidak pada anak sekelas yang lain yang lebih memilih diam, karena peka atas ekspresi dari wajah Nadia saat ini. Sampai akhirnya Selena menyadari sesuatu, dia mengerjap sebelum mengkode Keira dengan tatapan membuat Keira jadi tersadar dan kembali bersikap biasa, menunduk tenang di kursinya.

Selena jadi meneguk ludah, Nadia pasti tidak akan senang.

Dia baru menyadari bahwa dia tidak akan baik-baik saja sekarang.

Selena jadi menghela napas, memangnya kapan dia pernah baik-baik saja?

Selena jadi menggelengkan kepala pelan, tentu saja dia akan selalu baik-baik saja selama ada Keira di sisinya.

...****************...

Selena memperbaiki letak tali tas gendongnya di depan cermin toilet, dia mengeluarkan kacamata pecahnya dari saku rok sebelum menghela napas. Padahal dia tidak punya uang untuk membeli lagi.

Selena membutuhkan kacamatanya untuk membaca dan melukis karena minusnya sudah bertambah menjadi dua.

Sepertinya butuh waktu lama untuk Selena mengumpulkan uang, apalagi Ibu sudah tidak ada dan Ayahnya meninggalkan dia dan Ibunya tepat setelah Selena lahir. Tidak mungkin Selena meminta pada Nenek yang sekarang tinggal bersamanya. Nenek yang bekerja sebagai pemilik warung nasi.

Selena kembali memasukan kacamatanya dan bergegas untuk pulang. Dia harus membantu Neneknya.

Bertepatan dengan pintu toilet dibuka, Selena membelalak ketika tangannya dicekal kuat dan di tarik paksa sampai ke belakang sekolah.

Dan Selena sudah bisa menebak pelaku dan permasalahannya.

Plak!

Selena membelalak ketika Nadia menampar pipinya tanpa aba-aba. Selena meringis ketika rasa perih menjalar sampai ke ujung netranya membuat netranya memanas. Bahkan kedua orang tuanya tidak pernah menampar Selena. Selena mendongkak, mendapati wajah putih Nadia yang memerah dan murka.

"Lo seneng karena dipuji Bu Puspa?" Tanya Nadia membuat Selena sontak menggeleng kuat.

"Jangan pernah tunjukin wajah kesenangan elo di depan mata gue, sialan!" Bentak Nadia. "Dan lagi, jangan ngerasa elo lebih hebat melukis daripada gue!" Ujar Nadia menekankan setiap satu kata membuat Selena mengangguk.

Nadia menghela napasnya kasar, menatap jijik pada Selena sebelum perhatiannya teralihkan karena dering ponsel. Nadia mengangkat telepon sebelum bergeming sambil menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresi marahnya berubah menjadi serius dan itu ditangkap oleh Selena.

"Oke, gue kesana sekarang." Ujar Nadia menutup panggilan.

Nadia segera berbalik dan melangkah pergi membuat Selena menghembuskan napas kasar. Teringat sesuatu, Selena jadi merogoh ponselnya di saku rok dan menelpon Keira.

Tidak diangkat.

Apakah Keira sudah pulang ke rumah? Dia tidak melihatnya sejak bel pulang padahal mereka selalu bersama. Padahal Selena hanya mengalihkan perhatian sebentar, tapi Keira sudah menghilang.

Selena melangkah pergi, dia melirik kanan kiri, siapa tahu Keira belum pulang sambil terus menelpon Keira. Menyadari sekolah sudah sepi, Selena mempercepat langkahnya di koridor dan akhirnya berlari kecil ketika sampai lapangan utama.

"Keira, kenapa gak diangkat?" Gumam Selena dengan telepon masih menempel di telinganya.

Selena mengerjap, dia menoleh bertepatan dengan tubuh terjatuh dari atas dan menabrak lantai lapangan dengan keras, bahkan suara sesuatu yang hancur mengalun jelas di pendengarannya sampai darahnya memercik pada muka Selena dan sebagian seragamnya.

Selena mematung dengan tangan bergetar, dia meneguk ludahnya sebelum menunduk sampai bibirnya menjeritkan teriakan keras, sakit dan penuh kesedihan yang terdengar sampai ke seluruh penjuru sekolah ketika netranya yang minus bahkan dapat melihat dengan jelas bahwa mayat tergeletak yang darahnya mengalir dibawah sepatunya adalah Keira Indah.

Sahabatnya.

Bab 2

Untuk kedua kalinya di minggu terakhir bulan Juni, Selena kembali menginjakan kaki di pemakaman. Pertama, takdir merenggut nyawa Ibu yang merupakan dunianya. Kedua, takdir juga turut merenggut nyawa Keira yang juga dunianya.

Air mata tidak pernah berhenti turun untuk membasahi pipi. Suara isak tangisnya yang menyakitkan bagai nyanyian bagi semua orang yang melayat hari itu.

"KENAPA? KENAPA HARUS KEIRA?! KENAPA HARUS DIA?!" Jerit Selena di tengah tangisannya membuat Nenek Ayu terus memeluk untuk menenangkan.

"Tenang, nak!" Ujar Nenek Ayu mengusap bahu Selena.

"Kenapa harus Keira, Nek? Kenapa Tuhan rebut lagi orang yang paling berharga bagi aku?! Kenapa Keira? Jangan Keira!" Ujar Selena di tengah isak tangisnya.

Nenek Ayu segera memeluk Selena kembali, kedua orang tua Keira hanya bisa menelan kesedihan bulat-bulat dengan menangis dan para pelayat pun diam mengelilingi gundukan tanah yang masih basah tersebut. Sampai doa telah dipanjatkan, perlahan para pelayat mulai melangkah pergi begitu pula dengan Nenek Ayu yang mengajak Selena pergi, memberikan waktu sendiri untuk keluarga Keira.

Dengan hati yang hancur, Selena mulai beranjak dengan kepala menunduk membuat air matanya terus meluncur turun. Langkah kaki Selena terhenti ketika mendapati sepatu yang menghadang di depannya. Kepalanya mendongkak, mendapati laki-laki berkacamata berdiri dengan tatapan kosong, bekas air mata masih terlihat jelas di wajahnya.

Menyadari sesuatu, Nenek Ayu pergi meninggalkan keduanya. Air mata Selena kembali jatuh, tangannya ingin menggapai tangan laki-laki tersebut namun hatinya mencelos ketika lelaki itu melangkah mundur, menghindari dirinya terang-terangan.

Air muka Selena berubah, ada banyak pertanyaan yang tertahan dari sorotan netranya.

"Lio?" Namun hanya itu yang dapat keluar dari bibirnya.

Lio Saputra, lelaki dengan tinggi hampir sama dan kacamata yang bertengger di hidungnya itu menggeleng pelan, tangannya bergerak menyeka air mata yang keluar dari balik kacamatanya.

"Bu-bukannya elo yang selalu sama Keira?" Suaranya bergetar. "Bukannya harusnya elo yang selalu lindungin dia selagi gue gak satu sekolah sama kalian? Bukannya selama ini, itu janji kita?"

Tangis Selena pecah, dia menutup bibirnya, tungkainya melemas membuat tubuhnya ambruk ke tanah.

"Maaf." Selena terisak begitu pula Lio yang hanya menangis dalam diam.

"Gue kecewa lo gak bisa lindungin Keira dan janji kita buat terus sama-sama." Ujar Lio pelan sebelum berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Selena yang menunduk bersujud pada bumi, meraungkan rasa sakit atas kekalahannya dari takdir.

"Aku juga kecewa sama diri sendiri." Gumamnya.

...****************...

Hancur.

Dunia yang dia pijak perlahan mulai mengabur. Ibu dan Keira adalah dunianya. Jika keduanya meninggalkan Selena, tidak ada dunia bagi dirinya.

Lagi-lagi takdir mempermainkan rasa sakitnya. Mengoyaknya sampai bagian terkecil. Selena tenggelam dalam lautan kesedihan namun kali ini dia tidak ingin diselamatkan.

"Nak, makan dulu. Sudah dua hari kamu tidak keluar kamar." Suara lembut Nenek Ayu sama sekali tidak menyentuh dinding beton hati Selena.

Ketika hanya isak tangis yang menjadi jawaban, Nenek Ayu menghela napas di balik pintu.

"Kalau kamu lapar, makanannya di depan pintu. Nak, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kematian itu hal yang seharusnya, itu bukan salah siapapun." Ujar Neneknya sebelum terdengar suara langkah kaki yang menjauh.

Selena memeluk lututnya di sudut tergelap ruangan kamar, sisa rasa sedih akibat ditinggal sang Ibu yang telah dia kubur kembali menyeruak, muncul ke permukaan hatinya.

Semuanya penyebab rasa sakit terdalam kembali menghantui dan saling menyahut di kepalanya membuat Selena beranjak dan menggulingkan easel yang menyangga kanvas kosong membuatnya jatuh dan menindih beberapa cat akrilik yang terguling dan tumpah mewarnai lantai kamar yang dingin.

Tubuh Selena runtuh dengan isak tangis sebelum netranya bergulir pada kanvas kosong dan cat akrilik di samping kakinya. Selena bergeming sebelum menggerakan tangan, mengambil cat tanpa menggunakan kuas dan menggoreskan di kanvas.

Melukis adalah kegiatan menyalurkan perasaan yang tertahan di hatinya.

Selena selalu menyalurkan kesedihannya lewat lukisan. Dan Selena tidak pernah mengira akan melukis tentang Keira dengan cat berwarna hitam setelah dia melukis Ibunya dengan cat serupa.

...****************...

Di pagi hari yang terik itu, sekolah berduka atas kehilangan salah satu siswi mereka. Jantung Selena berdetak seiringan dengan langkah Kepala Sekolah memasuki podium untuk memberi nasihat yang merupakan bagian dari upacara bendera.

Namun semua murid tahu, bahwa kali ini Kepala Sekolah tidak akan memberi amanat klise tentang menjaga kebersihan atau rajin belajar.

"Selamat pagi, anak-anak. Sebagaimana kita tahu, bahwa pada hari Rabu, dua puluh delapan Juni kemarin, kita kehilangan teman kita yang bernama Keira Indah." Ujar Kepala Sekolah membuat Selena menunduk dalam.

"Setelah dilakukan penyelidikan oleh kepolisian, diduga Keira mengakhiri hidupnya sendiri. Hanya itu yang dapat Bapak sampaikan, mari kita berdoa bersama agar arwahnya tenang." Ajak Kepala Sekolah menundukan kepala.

Di tengah ratusan siswa termasuk guru yang ikut menunduk untuk memanjatkan doa, Selena mendongkakan kepala sendirian, raut wajahnya tidak terbaca, kata-kata barusan seolah palu yang memukul jantungnya.

Bunuh diri?

Hal paling mustahil bagi Keira.

Setelah petugas membubarkan upacara, Selena bergegas untuk menemui Walikelas di ruangannya.

"Permisi, Pak."

Pak Jaki mendongkak di duduknya, menatap Selena sekilas sebelum mempersilahkan masuk.

"Ada keperluan apa?"

"Kenapa kasus Keira ditutup dengan kasus bunuh diri, Pak? Saya sahabat Keira bertahun-tahun dan dia tidak mungkin melakukan hal tersebut." Ujar Selena membuat Pak Jaki bergeming sebelum menghembuskan napas kasar.

"Seseorang berubah dalam satu menit, bahkan detik. Tidak peduli kamu sudah mengenalnya puluhan tahun, itu tidak mengubah fakta bahwa manusia itu berubah." Jawab Pak Jaki dengan intonasi tenang.

"Tapi pak, saya jamin Keira bukan orang yang seperti itu! Dia orang baik yang hanya bercita-cita punya pekerjaan layak untuk bantu perekonomian kedua orang tuanya! Dia juga tidak mudah menyerah! Tidak mungkin Keira melakukan hal seperti itu!"

"Kamu hanya tahu dia sebagian kecil, mungkin ada beban tersendiri yang dia tanggung dan dia sudah tidak kuat menanggungnya lagi. Kamu pikir membantu agar perekonomian keluarga naik itu bukan beban sulit?" Tanya Pak Jaki membuat Selena tersentak, mati kutu.

"Tapi ... Pak--"

"Silahkan Keluar! Bapak masih banyak pekerjaan dan kelas kamu juga akan segera dimulai."

...****************...

Jam pelajaran terakhir diisi dengan canda tawa dan kegaduhan karena guru tidak masuk. Hanya Selena yang nampak berantakan dan murung, dia menelungkungkap kepala ke lipatan tangan di atas meja.

Air matanya tidak kunjung surut.

Mungkin Pak Jaki benar. Bisa jadi dirinya yang tidak tahu beban seberat apa yang ditanggung Keira.

Nadia yang duduk di kursi paling belakang itu jadi mengedikan dagu pada Dekan membuatnya mengangguk, menggeser kursi dan menaikinya sebelum memutar CCTV ke belakang agar aksi mereka tidak ketahuan.

Hal yang sudah biasa mereka lakukan.

Setelah Dekan mengacungkan jempol baru Nadia beranjak ke kursi Selena, tangannya bergerak menjambak rambut belakang Selena membuat kepalanya mendongkak diiringi jeritan kecil karena perih dan terkejut. Sontak para siswa yang gaduh jadi mendadak sunyi. Sebenarnya bukan tontonan yang asing dan mengasikan, malah mereka menaruh kasihan pada Selena yang nampak sangat berantakan karena baru ditinggal sahabat dekatnya dan lagi masih harus berurusan dengan setan di kelas. Meskipun begitu, hal terbodoh yang bisa mereka lakukan adalah hanya menjadi penonton saja.

Setelah menjambak, Nadia mendorong kepalanya sampai badan Selena terjatuh dan menubruk kursi samping sampai jatuh. Selena meringis, mengusap lengannya yang terkena ujung kursi dan menunduk, menitikan air mata dalam diam.

Nadia melirik botol minum di meja sampingnya sebelum mengambil dan menumpahkan seluruh isinya ke atas kepala Selena membuat rambutnya basah dan airnya menitik ke lantai.

"Elo harus ngundurin diri dari lomba ngelukis." Ujar Nadia akhirnya membuat Selena hanya bisa mengangguk.

Kepalanya benar-benar kosong.

Di tengah semuanya, hanya titikan air yang menetes dari rambutnya ke lantai yang dapat didengar oleh Selena.

Nadia bergeming sebelum berdecih, "Bagus! Gue suka anjing yang nurut." Ujarnya tersenyum sembari melipat tangan.

"Setidaknya elo harus bertahan karena si cupu rambut pendek udah gak ada. Seharusnya dia kalau mau pergi, harus ijin sama majikannya dulu. Dasar si*lan, anjing gue kan jadi berkurang."

Mendadak pendengaran Selena menjadi jelas, dia mengepalkan tangan ketika dadanya bergemuruh. Selena bangkit berdiri membuat Nadia mengernyit, dia mendongkak menatap Nadia terang-terangan dengan berani.

Tatapannya berbeda dengan biasa, kali ini netra cokelatnya berkilat tajam dan dalam.

Selena yang biasanya tidak pernah berani menatap Nadia, kini melayangkan tatapan permusuhan yang nyata membuat seisi kelas jadi sunyi dengan aura dingin.

"Jangan bawa-bawa Keira." Ujarnya padat dan jelas tanpa gagap seperti biasa membuat Nadia sontak terkejut.

Dia tidak menyangka, si cupu rambut panjang ini punya keberanian yang seperti ini.

Nadia melipat tangan, balas menatap Selena dengan marah. Anjingnya sudah berani melawan.

"Turunin pandangan elo." Titah Nadia namun Selena masih menatapnya tajam.

"Gue bilang turunin pandangan elo." Ujar Nadia menekankan setiap kata sebelum melayangkan tamparan pada pipi Selena sampai bunyinya keras dan membuat seisi kelas yang mendengarnya ngilu.

Selena shock, mendadak keberaniannya menguap dan kepalanya kembali mengingat bahwa Nadia benar-benar orang yang menyeramkan.

"Anjing gue udah mulai mau berontak ya?" Tanya Nadia menyunggingkan senyum dan menjambak rambut Selena membuat kepalanya mendongkak.

PLAK!

Wajah Selena tertoleh ke kiri.

PLAK!

Wajah Selena tertoleh ke kanan.

PLAK!

Dan satu tamparan terakhir bersaaman dengan Nadia melepas jambakannya membuat Selena sampai terlempar kecil dan tersungkur pada lantai. Selena meringis, sudut bibirnya berdarah dan kedua pipinya biru lebam.

Hari itu atmosfer di kelas benar-benar membuat merinding.

**

Selena berjalan menunduk membuat rambutnya turun menutupi wajahnya, dia menarik lendir di hidungnya, mengeratkan gendongan tas di pundaknya sebelum melangkah menuju toilet sebelum pulang.

Hari ini benar-benar menyakitkan. Tidak hanya jiwanya yang sakit tapi juga raganya.

Ternyata ... keberanian Selena tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kengerian Nadia.

Dia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah ketika Nadia kembali menyakitinya.

Langkah Selena terhenti ketika tidak sengaja mendengar percakapan antara seorang wanita paruh baya dan Pak Jaki di ruangannya.

Selena berpindah tempat, menempelkan telinga pada celah pintu yang sedikit terbuka. Sebenarnya dia buka tipe orang yang kepo, namun sekilas dia mendengar nama almarhum sahabatnya disebut.

"Saya ingin mengucapkan terimakasih karena Bapak mengurus kasus kematian Keira dan menutupinya dengan baik." Ujarnya membuat jantung Selena berpacu cepat.

Tungkainya melemas dan tangannya gemetar, Selena membekap mulutnya sendiri agar tidak bersuara.

Apa maksudnya? Jadi benar bahwa Keira tidak bunuh diri? Kenapa kasusnya harus di tutupi?

Satu kesimpulan yang dapat dia tarik dari percakapan barusan adalah wanita itu melindungi pelaku atas perbuatannya.

Yang menjadi pertanyaan, siapa pelakunya?

"Semoga ini bisa membantu." Ujar wanita paruh baya itu membuat Pak Jaki menampilkan senyum terbaiknya sebelum menerima amplop tebal berisi uang.

"Kalau begitu, saya permisi. Saya ingin menitipkan anak saya agar dia bisa bersekolah dengan baik." Pintanya membuat Pak Jaki mengangguk.

"Tentu saja, Nak Nadia selalu dalam pengawasan saya." Jawab Pak Jaki.

Netra Selena membelalak lebar, jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dengan amarah yang meluap ke ubun-ubunnya. Selena mengepalkan tangannya, baru kali ini dadanya bergemuruh dan alasannya adalah karena benci dan marah.

Netra Selena berkilat, tatapannya rendah dengan gigi bergemelutuk.

Jika menyangkut sahabatnya, Selena bisa melakukan apa saja.

Dia pasti akan membalas semua perilaku buruk Nadia pada Keira dan mengungkap pelaku kematian Keira.

Bab 3

Di bawah kilauan lampu megah yang tergantung di tengah ruang makan, bersamaan dengan asap dari makanan panas yang baru dihidangkan ke meja, suara tamparan menggema bersamaan dengan kepala Sehan yang tertoleh ke samping.

Sehan tersentak sebelum menggerakan rahangnya yang kebas karena tangan Ayahnya. Sang Ibu hanya dapat menahan rasa sakit di kursi ketika melihat putra semata wayangnya di sakiti oleh orang terdekatnya sendiri.

"Siapa bilang kamu boleh dapat peringkat dua?!" Ujar Ayahnya senggak dengan intonasi mengancam.

"Ayah masukin kamu bimbel puluhan juta dan kamu masih kalah sama anak miskin yang bahkan gak bimbel sama sekali?!" Bentak Ayahnya sambil menyugar rambut kasar, merasa sakit kepala dengan kebodohan anaknya.

"Malu-maluin keluarga."

Kata-kata yang sangat sering Sehan dengar dibanding kata-kata pujian dan kasih sayang.

"Jika semester depan kamu tidak bisa peringkat satu, Ayah akan bakar gitar kesayangan dan ruang musik kamu!" Ancam Ayahnya dengan intonasi rendah yang mematikan sontak membuat Sehan menoleh tidak terima.

Pandangan Sehan redup, tangannya mengepal kuat sampai uratnya terlihat dengan napas memburu. Sehan mengumpat dalam hati sebelum berbalik sambil mengenakan hoodienya dan melangkah pergi tanpa sepatah kata membuat Ayahnya kembali murka.

"SEHAN GIOVANO! KEMBALI KE SINI!" Teriak Ayahnya menggelegar namun Sehan menutup pendengarannya.

...****************...

Sepatunya dibawa menginjak genangan air, dia memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeans, berjalan tanpa tujuan hanya untuk meredakan kepala dan hatinya yang panas. Juga untuk menjernihkan telinganya dari teriakan murka sang Ayah.

Sehan mendongkak, menatap langit malam tanpa bintang sebelum menggulirkan netra dan mendapati toko bertuliskan Optik Permata yang masih buka. Mungkin karena memang belum terlalu larut. Sehan menolehkan kepala sepenuhnya ketika melewati toko tersebut dan perhatiannya jatuh pada bingkai kacamata yang ditaruh berjajar dengan rapi.

Bayangan wajah Selena saat tatapan netra mereka bertemu di lapangan basket mendadak hadir di kepalanya.

Sehan menggeleng pelan. Dia mengabaikannya sebelum akhirnya berhenti melangkah dan bergeming sebentar sebelum berdecak dan putar balik lalu masuk ke dalam toko tersebut.

...****************...

Di tengah keramaian kelas 11 Mipa 3, Selena mengerjap, menatap sendu pada kanvas berukuran sedang yang dia simpan di atas meja. Lukisan yang baru dia selesaikan tadi pagi, lukisan yang dia buat karena kesedihan akibat ditinggalkan Keira.

Lukisan yang berisi warna hitam yang menyelimuti seluruh kanvas tanpa cela dengan titik tengah bulat yang berwarna putih menyerupai pintu dimensi.

Keira sudah meninggalkannya lewat pintu putih tersebut, maksud dari pintu putih adalah pintu kematian yang mengantarkan Keira ke alam lain. Dan warna hitam adalah hidup Selena ketika Keira meninggalkannya.

Selena menghela napas, bahkan lukisannya masih basah, dia harus menyimpannya dengan aman terlebih dahulu karena setelah pulang sekolah dia akan membawa lukisan ini ke pemakaman Keira.

Belum sempat mengamankannya, kanvas tersebut di rebut dari tangan Selena dengan cepat membuat Selena mendongkak untuk melihat siapa pelakunya.

Nadia menatap Selena sekilas sebelum menatap lamat-lamat pada lukisan yang barusan dia ambil sebelum berdecih.

"Dengan lukisan sejelek ini elo bisa lolos seleksi lomba ngelukis? Jangan ngimpi!" Ujar Nadia sebelum membanting kanvas ke lantai membuat kanvasnya terbalik sebelum Nadia menginjak dan menggeseknya lukisan yang masih basah itu ke lantai.

Selena menganga kecil, menatap lukisannya sebelum raut wajahnya turun dan tatapannya meredup. Dadanya bergemuruh, entah kenapa rasanya campur aduk, hal yang menyangkut kematian Keira yang bisa jadi pelakunya adalah Nadia kembali hinggap di kepalanya membuat emosi Selena naik sampai ubun-ubun.

"Gue masih belum denger pengumuman elo ngundurin diri jadi peserta lomba. Elo masih belum lakuin perintah gue? Ha?" Tanya Nadia geram.

Selena mengepalkan tangannya ketika Nadia menoyor kepalanya menggunakan satu jari berulang kali.

"Kalau orang nanya itu jawab!" Bentak Nadia.

PLAK!

Semua siswa tersentak dan menganga lebar ketika Selena bangkit dari duduknya dan menampar Nadia sampai Nadia limbung ke samping. Tanpa sepatah kata, Selena segera mengambil kanvasnya dan benar lukisannya hancur dan catnya menempel di lantai.

Netra Nadia melotot dengan tangan memegang pipinya, otaknya belum merespon kejadian sepersekian detik barusan sampai dia menoleh dengan tatapan sengit dan kembali menghadap Selena dengan perasaan bergemuruh.

"Lo barusan nampar gue? Hei, si*lan. Lo ngerasa gue terlalu lembut sama elo selama ini, kan?" Bentak Nadia melotot sebelum menjambak rambut Selena dan membenturkan kepalanya ke meja membuat mejanya terjatuh dan menimbulkan suara keras.

Selena menghela napas kasar, rautnya tidak menunjukan kesakitan meskipun jujur barusan keningnya sakit dan rambutnya perih.

"Jangan macem-macem kalau gak mau sama kayak sahabat si*lan elo!"

Gigi Selena bergemelutuk sebelum dia menegakan badan dan memukul kepala Nadia menggunakan kanvas ditangannya. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali membuat kepala Nadia tertoleh ke samping dengan cat menempel di rambutnya. Sampai pukulan Selena berhenti karena Nadia mencekal lengannya namun Selena menampar Nadia dengan tangan satunya membuat pipi Nadia tertoleh ke samping.

"Gue udah bilang kan? Jangan pernah bawa-bawa Keira." Ujar Selena dengan intonasi rendah dan tatapan tajam membuat Nadia menatapnya sengit.

Keduanya bertatapan dengan rasa amarah masing-masing sampai Selena membawa lukisan dan tasnya sebelum melangkah keluar kelas meninggalkan Nadia yang menatapnya murka dengan napas memburu dan tangan yang memegang pipinya.

Para siswa yang menyaksikan hanya bisa melongo dan ngeri menonton pertengkaran mereka. Dan lagi mereka tidak menyangka Selena bisa bertindak seperti itu. Selena yang mereka kenal pendiam, dan yang mereka lupakan adalah marahnya orang pendiam.

...****************...

Dekan yang sedang duduk di bawah pohon Mangga belakang sekolah, berdiri ketika melihat Nadia datang dengan penampilan berantakan dan muka kusut.

"ARRRGGGHHHHHH!!!!!" Jerit Nadia mengacak rambutnya sendiri dengan brutal membuat Dekan terkejut dan melotot.

Tidak berhenti sampai di sana, Nadia bergerak menendang pot di sebelah kakinya sampai jatuh sebelum membanting kursi kayu yang terletak di sana ke tanah sampai hancur.

"DASAR GEMBEL SI*LAN!!" Jerit Nadia menginjak-injakan kakinya kesal sebelum kembali mengacak-acak kursi yang ada di sana.

Jantung Dekan mencelos, dia mundur selangkah untuk menghindari lemparan kursi random Nadia. Dia belum pernah melihat Nadia semarah ini.

Napas Nadia masih memburu sebelum dia menoleh membuat Dekan tersentak merasa di tembak tiba-tiba.

"Tissu." Pinta Nadia menjulurkan tangannya dengan napas memburu membuat Dekan mengernyit sebelum menghampiri dan memberinya saputangan.

Belum sempat Nadia mengambilnya, Dekan mengambil rambut dan mencoba membersihkannya tanpa sepatah kata membuat Nadia meliriknya sekilas sebelum menghembuskan napas kasar. Emosinya sudah mulai mereda meskipun belum sepenuhnya.

"Ini cat? Lo harus keramas." Celetuk Dekan mengamati rambutnya dari dekat. "Lo habis ngelukis? Kok beratakan sih, padahal biasanya nggak."

"Lo bilang bakal ngelakuin apa aja yang gue suruh kan?" Tanya Nadia menatap Dekan.

"Bukannya itu yang selama ini gue lakuin?" Dekan bertanya balik.

"Kirim temen-temen bejat elo ke Selena. Suruh mereka bikin Selena hancur- sehancurnya." Ujar Nadia dingin dengan intonasi rendah membuat Dekan mundur selangkah.

Inilah yang Dekan tahu setelah bersahabat bertahun-tahun dari bangku SMP, bahwa Nadia itu ... benar-benar berbahaya.

Maka dari itu banyak korban yang bahkan sampai trauma.

Dia benar-benar iblis diantara iblis.

Dekan menghela napas sebelum akhirnya mengangguk dan merogoh ponselnya dan menelpon seseorang.

Nadia melipat tangannya sebelum menyeringai, "Kayaknya anjing gue mau gigit majikannya sendiri. Lo tahu cara jinakin anjing yang mulai nakal dan mau kabur?" Tanya Nadia tanpa menatap Dekan.

Dekan mengedikan bahu, "Diajarin?"

"Gue patahin kakinya supaya dia gak pernah kabur dari gue." Jawab Nadia menyeringai.

...****************...

Selena menutup pintu loker setelah membersihkannya sedikit karena berdebu dan berantakan. Hari ini moodnya hancur berantakan. Hatinya resah dan marah tidak karuan. Selena mendesah kasar, dia harus segera pulang apalagi bel pulang sudah berbunyi puluhan menit lalu.

Selena mengernyit ketika gerombolan siswa laki-laki datang dan mengurungnya membuat Selena bingung. Selena mundur sampai punggungnya menabrak pintu loker di belakangnya, jantungnya berdebar dengan keringat dingin mengalir membasahi pelipis ketika kelima laki-laki tersebut menatapnya tajam dan menyeringai mengerikan.

"Ka-kalian mau ngapain?" Tanya Selena.

"Kita mau nyulik elo, nih." Ujar salah satu lelaki dengan santai seolah itu adalah hal yang sepele.

"Tapi culik doang gak asik, kan?" Tanya lelaki yang mengenakan jaket merah sambil mengeluarkan gunting dari saku dan menyeringai senang membuat Selena bergetar ketakutan.

Sampai akhirnya Selena ingin berlari namun lengannya ditarik dan mereka mencekal tangan agar tidak bisa kabur sebelum lelaki jaket merah tersebut menggunting kemeja putih Selena dari bagian pundak.

Air mata Selena turun dengan deras, dia berontak dan menjerit keras. Tempat loker sepi karena berada di bagian samping di gedung yang terpisah dengan gedung kelas. Selana harus berpikir cara kabur dari para lelaki si*lan ini. Selena membelalak sebelum berteriak keras.

"PAK JAKI TOLONGIN SAYA!"

Sontak mereka menoleh bersamaan dan Selena memanfaatkan kelengahan mereka untuk melepas cekalannya dan berlari secepat yang ia bisa. Otak Selena kosong, ia memaksakan berlari kencang meskipun kakinya serasa ingin patah, dan akibatnya dia salah memilih jalan, bukan keluar sekolah, Selena malah berbelok ke arah belakang sekolah.

...****************...

Sehan menyukai area belakang sekolah karena disini jarang ada siswa yang berlalu lalang, itupun paling hanya kedua sahabatnya yang saat ini sudah pulang.

Sehan mendongkak dan memejamkan netra ketika cahaya matahari menerpa wajahnya dengan lembut. Telinganya disumbat earphone dan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Begitu lagu Golden Hour yang dinyanyikan oleh JVKE mengalun merdu, Sehan ikut bersenandung.

Dia melangkah mundur teratur sambil menikmati lagu dan angin yang menerpa rambutnya ringan sampai di langkah kelima dia tersentak kecil ketika punggungnya ditabrak membuat earphonenya lepas dan terjatuh.

Sehan membalikan badan bersamaan dengan Selena mendongkak membuat tatapan mereka kembali beradu untuk kedua kalinya.

Selena dengan napas memburunya menoleh ketika samar-samar mendengar suara teriakan yang mencari dirinya. Tanpa sadar Selena menangis kembali, dia terisak membuat Sehan terdiam sambil meniti pakaiannya yang berlubang sebelum Sehan membalikan badan ketika Selena berlari ke depan dan berhenti tepat di dinding setinggi puluhan meter.

"Itu jalan buntu." Ujar Sehan datar sambil berjalan mendekat membuat hati Selena mencelos.

Tangisnya semakin menjadi sebelum dia menghadap Sehan dan tubuhnya merosot ke tanah. Sehan berhenti di depannya dengan Selena yang terisak keras.

Sehan bergeming, otaknya menyimpulkan keadaan Selena saat ini, dia bisa langsung mengerti tanpa harus bertanya. Sehan berjongkok dengan menumpu salah satu kakinya tepat di depan Selena.

"Lo ... mau gue bantuin?" Tawar Sehan membuat Selena mendongkak menatapnya.

Selena tidak pernah menyangka, tatapan mereka yang beradu untuk ketiga kalinya dan tawaran dari Sehan adalah sebuah awal untuk hubungan keduanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!