Desember kelabu, seorang guru menangis di balik kelas. Dia di pecat tanpa hormat, alasan yang tidak logis dengan segala tuduhan dan fitnah yang mengarah padanya. Jasmin melangkah naik ke atas langit-langit gedung kelas. Dia merentangkan tangan, lompat dari ketinggian enam meter, suara jatuh patahan tulang bersimbah darah terdengar keras mengagetkan para siswa siswi yang sedang melakukan kegiatan olahraga di lapangan.
“Arggh! Bu Jasmin!”
Jeritan histeris murid-murid yang melihat jasadnya.
“Perhatian, anak-anak di harapkan tenang dan segera masuk ke dalam ruangan kelas masing-masing” teriak pak Berman memberikan pengumuman.
Kejadian itu tidak akan pernah di lupakan penghuni sekolah, terutama beberapa murid yang mendengar kabar kejahatan pak Rinal. Salah satu orang tua murid pernah memergokinya mendatangi rumah seorang dukun. Sosok dukun itu masih ada kaitan keluarga sehingga bisa menanyakan maksud kedatangannya.
Mengguna-guna Jasmin, membawa fotonya untuk membuat dia di campakkan dari sekolah. Sosok Rinal yang sangat membenci Jasmin karena kepintarannya dan kinerja menjalankan segala tugas guru semaksimal mungkin melebihi dirinya. Rinal membenci segala kelebihan yang di miliki wanita itu.
“Kenapa kakek melancarkan niat jahatnya. Guru itu tidak bersalah kek” ucap Ita.
“Aku tidak tau kalau wanita itu seorang guru. Lagian ini memang profesi ku mencari makan bu..”
“Huhhh__”
Total tiga puluh Sembilan dukun yang dia datangi. Kejahatannya terlaksana pada dukun ke empat puluh. Dia tertawa terbahak-bahak sepulang dari proses penguburan Jasmin. Pria itu terpaksa ikut melayat di rumah duka, Rinal membuat pencitraan agar terkesan ikut berkabung seperti guru lainnya.
“Hahah, kini aku sudah puas membunuh mu! aku tidak punya saingan lagi di sekolah itu” gumamnya melihat papan nisan Jasmin yang di taburi dengan bunga.
Membunuh satu nyawa merupakan sebuah dosa besar yang sulit termaafkan. Bisa saja dosa terhapus jika manusia itu benar-benar bertaubat, meminta ampun pada Allah SWT dan mengakui dosanya. Tidak dengan pria yang bekerjasama dengan sosok iblis yang dia anut. Peran kepala sekolah yang seharusnya menjadi suri teladan malah berbalik membuat suasana sekolah seperti di neraka.
Kota Madu Sari, 23 Desember 2000.
Sang kaka kala berkibar di langit mendung, gumpalan awan hitam. Nyanyian barisan paduan suara tenggelam di bawah guyuran air hujan yang deras. Kepala sekolah tetap berdiri memberi hormat ke arah bendera yang basah.
Tidak ada guru dan staf pegawai lainnya yang berani meninggalkan lapangan. Murid-murid mulai menggigil kedinginan, satu persatu pingsan. Pak Ilyas memberanikan diri mendekati kepala sekolah untuk meminta ijin menghentikan upacara. Langkah mundur meninggalkan mimbar Pembina upacara, dia sangat cepat menghilang tidak terlihat.
“Apakah ibu kepala sekolah sedang banyak pikiran? Atau sengaja mengukur batas kesabaran kita? Apa kata orang tua murid nanti kalau tau anak mereka di guyur hujan selama berjam-jam!” pak Edison mengeraskan suaranya.
Para guru lain tidak berani berkata apapun, terutama guru honorer yang hanya bisa diam mematuhi semua aturan dan perintah atasan. Di kantor guru, mereka sibuk mengeringkan rambut dengan tisu hingga memakai taplak meja yang terpasang di meja mereka. Sepatu basah, tanpa alas kaki mereka masuk ke kelas memulai pelajaran.
Pak Edison mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Dia mau meminta penghapusan peraturan melangsungkan upacara saat cuaca mulai mendung. Pintu itu tiba-tiba terbuka, dia mengintip sedikit melihat ke dalam tidak ada kepala sekolah di kursinya.
“Haahh..” suara aneh menelisik telinga.
“Bapak cari ibu kepala sekolah?” tanya pekerja yang biasa membersihkan ruangan.
“Nek Eda, iya nih kok ibu nggak ada ya? Nenek tau dimana ibu kepala sekolah?”
“Ibu baru saja pergi, apa bapak ada pesan? Nanti saya sampaikan kalau ibu kembali..”
“Tidak ada nek. Terimakasih.”
Beberapa guru PNS meminta ijin pulang. Sebenarnya perihal tingkatan kelas Pegawai negeri sipil atau honorer sama rata kalau harus berhadapan praktek belajar mengajar di kelas. Hanya saya guru yang secara resmi tercatat sebagai aparatur sipil negara banyak memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan sendiri. Di sisi ini bisa saja para honorer mengikuti peran contoh yang salah. Sekarang kembali lagi ke diri masing-masing. Menelaah sikap tenggang rasa dan saling menghargai.
Kelas-kelas banyak yang free les. Suara Guntur mengagetkan mereka, sementara sebagian murid yang bandal memilih berlari ke luar kelas bermandikan air hujan. Mereka dengan bebas tertawa riang gembira, bu Sarma bertolak pinggang memperhatikan kelakuan nakal mereka memberi perintah agar masuk ke dalam kelas.
“Anak jaman sekarang di lihat guru malah ketawa. Berbeda dengan jaman dulu yang sangat takut melihat kehadiran gurunya karena menjaga nilai kesopanan dan mematuhi segala peraturan sekolah” gumamnya menggeleng kepala.
Kalau di katakan, dampak dari perkembangan pengaruh globalisasi membuat banyak orang terkena dampak buruk penggunaan teknologi yang tidak di batasi. Peraturan sekolah berpegang teguh pada nilai mencerdaskan anak bangsa dan membimbing akhlak budi pekerti. Guru jaman sekarang harus ekstra memeras hati, tenaga dan pikiran menghadapi berbagai macam tingkah pola kenakalan muridnya.
Sudah di beri peraturan larangan bawa hand phone ke sekolah lalu di langgar itu namanya sepele dengan sekolahnya. Main handphone sampai berujung kehilangan handphone di kelas, tangisan Jupentus pecah mencari-cari dimana ponselnya berada.
“Maafkan saya bapak ibu, saya meninggalkan kelas sekitar sepuluh menit pergi ke Toilet. Jarak lokasi penyebrangan cukup jauh karena Toliet di sudut ruangan penuh berdesakan guru lainnya. Saya tidak mengira ada siswa yang membawa handphone berujung hilang” ucap Wila mengernyitkan dahi.
“Ini bukan keteledoran guru atau kesalahan di limpahkan sepenuhnya ke guru. Anak itu saja yang salah bu berani membawa sampai main hp di waktu jam pelajaran. Sudah biarkan saja bu, biar dia jera” ucap Bu Inem sambil sibuk mengeringkan rambutnya.
Kalau cuaca mendung dan langit mulai berganti malam, makhluk halus lebih mudah memperlihatkan wujud. Kali ini sosok kepala sekolah masuk ke salah satu kelas memberikan arahan agar tetap tenang. Sistem penerapan waktu sampai melewati senja karena terlalu banyak tambahan jam pelajaran dan kegiatan ekstrakulikuler.
Para wali dan orang tua murid ramai menunggu kepulangan anak-anak mereka di depan gerbang sekolah. Tinggal satu kelas yang tersisa, kelas 7 G yang lokasinya di area belakang sekolah. Bu Hena masuk ke dalam kelas terlihat semua murid di dalamnya hening seperti sedang mendengarkan arahan dari depan. Meja guru kosong, lampu ruangan yang putus. Bu Hena mengeluarkan mereka satu persatu dengan senyuman di sela ketakutannya.
Salah seorang murid masih tetap duduk di kursi, dia memperhatikan menatap lurus. “Nak kamu nggak pulang?”
“Saya masih mendengarkan bu kepala sekolah berbicara bu..”
Jawaban Yumi membuat bulu kuduk Hena berdiri. Dia bergetar melihat bayangan hitam berdiri jelas di depan. Antara mau menjawab bahwa tidak ada kepala sekolah atau mengatakan yang di lihatnya adalah hantu. Hena mendekati mengambil tasnya untuk di sangkutkan di pundak.
“Bu Kepala sekolah juga mau pulang kok, yuk ibu temenin keluar ya..”
Kaki Hena lemas, dia sesekali memegangi dinding, pandangan beralih memalingkan wajah mengabaikan penampakan yang terlihat. Yumi menoleh ke belakang, sosok kepala sekolah itu menghilang dalam kegelapan.
“Haduh, hampir saja aku pingsan tadi!” gumam Hena berusaha menstabilkan jantungnya.
Penjaga sekolah tidur di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan kepala sekolah. Sosok pria yang menggantikan pak Karman itu belum apa-apa udah menjerit ketakutan. Dia mendengar suara tawa wanita, bantingan benda keras semakin mengagetkannya. Suroto memegang alat pemukul, dia melirik ke kanan dan kiri takut ada bahaya yang mengintai.
Lampu berkedip, suara cekikikan kembali terdengar. Tidak kuat menahan takut sampai dia buang air kecil di celana. Pria itu membuka pintu lalu pergi melompati pagar sekolah. Celana bagian belakang robek, seolah hari itu adalah hari kesialannya.
“Tolong…”
Satpam yang datang pukul enam tiga puluh mulai membuka gerbang, tapi dia melihat kelas-kelas masih tertutup. Biasanya penjaga sekolah membuka tiap-tiap ruangan kelas, kantor guru dan ruangan lainnya. Bani melotot melihat ruangan tempat Suroto tidak terkunci, dia melihat semua benda masih berada di tempatnya.
“Kemana perginya bapak itu?” gumam Bani mencari lagi di bagian sisi ruangan lain.
Kunci lusinan khusus membuka pintu yang di beri tanda tulisan masih tersimpan di laci.Dia membuka setiap ruangan, langkah sepatunya yang berat menapak berbunyi nyaring. Didekat perpustakaan, ada sosok penampakan kuntilanak terbang. Bani berbalik pergi kembali ke pos gerbang depan.
“Haduh kagetnya aku! Udah pagi gini masih ada aja hantu!” gumamnya.
Selesai ujian kenaikan kelas, siswa dan siswi menunggu nilai hasil ujian. Para guru yang sibuk mengoreksi hasil lembar jawaban, membagi nilai berlanjut melakukan sistem remedial bagi murid yang nilainya di bawah KKM (Kriteria ketuntasan minimal).
Banyak murid yang tidak hadir tanpa. keterangan setelah kehujanan semalam, tetap saja absen masih berjalan sampai batas waktu libur sekolah nanti. Di kantor guru, meja penuh tumpukan kertas dan alat tulis. Hena memakai jaket, wajahnya pucat, dia duduk menepuk pelan pundak Sarma.
“Wajah ibu pucat sekali, ibu sakit?”
“Ya bu, saya mau cerita__”
Hena meraih tisu mengusap hidungnya yang lagi flu. Ceritanya membuat Sarma semakin takut pulang malam. Dia bergidik merasakan suasana menyeramkan. Di rapat kenaikan kelas nanti semoga saja kepala sekolah menyetujui jam pelajaran normal sehingga murid tidak pulang sampai malam.
Murid yang bernama Yumi di kenal sebagai murid yang bisa melihat makhluk halus. Mereka sering mendapati dia berbicara sendiri, hingga pada tahun lalu di saat peristiwa kesurupan. Hanya dia yang tampak tenang duduk di kelasnya.
Bunyi bel istirahat pertama di gandrungi ganggu demi gangguan yang tidak henti.
Empat orang siswi melihat ibu kepala sekolah berdiri di bagian ruangan IPA. Dia memanggil mereka agar masuk ke dalam ,keempatnya segera berlari mendatanginya. Di dalam ruangan, mereka tidak melihat ibu kepala sekolah disana. Amat terkejut merasa ada yang menyentuh lehernya.
“Arggh! Apaan itu!”
Pertok menggoyangkan tangan alat peraga tengkorak manusia. Dia tersenyum melihat raut wajah Amat yang ketakutan. Ibu kepala sekolah tiba-tiba berdiri di depan memberikan sebuah buku kemudian pergi menutup pintu.
“Loh bu, kok kami di kunci?” tanya Eno menarik gagang pintu.
“Bu kepala sekolah, buka bu” panggil Tora yang mulai panik.
Mereka melihat sebuah buku bersampul merah, ada tanda aneh di depannya. Pada lembar pertama, terlihat gambar-gambar coretan bentuk hantu dengan cat warna terang. Petrok menjauhi berdiri di sudut dinding.
“Tenang, ini Cuma buku. Ada pensil ni lucu banget bentuk tengkorak" ucap Enzo berlagak berani.
"Wah bentuknya unik ya!" Tora memperhatikan bagian rahang berjejer gigi tengkorak yang terbuka lebar. Dia memasukkan jari sambil tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba jarinya terjepit meneteskan darah.
"Duhh sakit!" rintihnya. Darahnya yang menetes di jadikan tanda iblis mulai mengincar.
Amat mengamati bentuk pensil lalu melihat lembar di pertengahan seperti sebuah permainan yang menggunakan kata-kata berulang. Ketiganya mempraktekkan semua langkah-langkah hingga pensil di tegakkan.
“Kalian yakin? Ini namanya kita manggil setan! Aku nggak ikutan ya!” ucap Petrok merasakan ada yang memperhatikannya.
“Ah cemen kamu Pet, palingan ini Cuma permainan biasa. Tunggu aja disitu, kami mau cobain mainan ini dulu.
Eno mulai memegangi pensil. Angin bertiup kencang di susul suara Guntur. Pada perkataan terakhir yang menyebutkan datanglah, pensil bergerak sendiri melingkari jawaban aku datang. Ketiganya ketakutan melepaskan pensil berlari keluar.
“Tunggu! Jangan tinggalkan aku!” teriak Petrok.
Di belakangnya muncul sosok penampakan. Dia menoleh, meringis ketakutan lalu berlari pergi. Petrok melihat jelas arah lari mereka masuk ke dalam kelas. Akan tetapi, sesampainya di dalam dia tidak menemukan mereka. Bertanya pada salah satu teman yang mengatakan tidak melihat Amat, Eno dan Petrok.
Kepala sekolah hantu itu membuat ketiga siswa masuk ke waktu alam ghaib. Terpisah tanpa sadar berlari ke tempat yang berbeda. Amat masuk ke dalam kelas yang sedang memulai pelajaran. Dia ingat ruangan itu adalah kelas 7 B. Tapi dia tidak mengenali satupun teman-teman di dalamnya.
Dia duduk di bangkunya, melihat semua murid yang sibuk mendengarkan penjelasan dari ibu kepala sekolah.
“Eh, sekarang pelajaran apa?” bisiknya ke teman yang duduk di sebelahnya.
Dia membalas tatapan Eno, wajahnya memperlihatkan kulit-kulit terkelupas. Eno terkejut ketakutan, berdiri melihat semua yang duduk bukan lah manusia.
“Eno, ada apa dengan mu? ayo buka halaman dua ratus” ucap ibu kepala sekolah.
“Tapi bu..”
Eno ketakutan bergerak kembali duduk. Dia menjatuhkan pulpen, gemetaran meraih sambil melihat kaki semua murid yang menggantung. Hal yang paling menakutkan melihat ibu kepala sekolah melayang terbang mendekatinya.
“Eno, kenapa kamu tidak memperhatikan buku mu. Hihih..”
“Argh! Hantu! Tolong!”
Suara jeritan Eno di dengar Tora yang berdiri di atas langit-langit gedung sekolah. Asal teriakan mengarah ke sisi gedung bagian olahraga. Dia melihat seorang guru yang sedang berdiri di bagian tepi. Rambutnya yang panjang tertiup angin seolah membawanya terjun saat dia merentangkan tangan.
“Bahaya bu! Bu!” teriak Eno berlari akan menariknya.
Dia tidak sadar ikut lompat dari atas, Eno terjun bebas jatuh membuat semua siswa yang masih melakukan senam pagi berteriak ketakutan. Polisi menyelidiki tidak ada motif pembunuhan atau hal mencurigakan lainnya. Murid-murid di pulangkan, rapat pertemuan guru dan orang tua murid di gelar secara mendadak karena banyaknya keluhan wali serta orang tua murid yang meminta anaknya pindah sekolah.
“Bapak/ibu semuanya, kami benar-benar minta maaf atas kejadian yang tidak pernah kami duga. Pada saat kejadian berlangsung, seluruh murid sedang melakukan kegiatan senam pagi di lapangan. Pihak kepolisian sudah menyelidiki bahwa tidak ada tanda-tanda pembunuhan atau motif lainnya. Kami akan berusaha sekuat tenaga lebih menjaga keselamatan anak-anak..”
Permintaan maaf dari seluruh guru mengakhiri pertemuan mereka.
Dua orang tua murid masih menunggu kabar anaknya. Mereka bertanya pada salah satu guru yang masih berada di dalam kantor. Tora dan Amat yang belum pulang, di halaman sekolah yang luas. Jumlah ruangan yang banyak, mereka mencari keduanya selama berjam-jam tapi tidak di temukan sama sekali.
“Bapak dan ibu jangan panik, kami sudah meminta bantuan polisi. Kalau ada kabar dari anak-anak, kami akan segera memberitahu” ucap pak Sesem yang sebenarnya juga sedang menutupi kegusaran di hatinya.
Masalah tidak henti-hentinya terjadi, kali ini ada kasus yang menakuti para guru mengaitkan kematian guru yang melompat dari atas gedung. Hantu penasaran Jasmin yang arwahnya tidak tenang di sebut-sebut berkaitan dengan peristiwa kematian Eno.
Kejadian pagi itu banyak membuat murid-murid trauma hingga ketakutan tidak mau bersekolah. Sekolah di liburkan, pagi di sambut tangisan orang tua murid yang menuntut kematian anaknya. Mayat Eno masih di otopsi, dokter spesial forensik baru memberikan hasil sehingga jenazah tiba di siang hari.
Menuntut tidak berguna, amarah dan semua sumpah serapah yang di tujukan pada sekolah itu tidak mengembalikan anaknya. Semua guru menenangkannya, mereka beramai-ramai pergi ke rumah duka. Organisasi intra sekolah dan semua perangkat sekolah memadati TPU.
“Ya aku sangat yakin sekali ini pasti ulah hantu si Jasmin. Huhh, wanita itu udah mati aja tetap cari sensasi!” ucap Rinal sambil mengipasi wajahnya dengan kipas kecil yang selalu dia bawa.
Guru Bahasa Indonesia berjenis kelamin laki-laki itu tidak seperti cerminan seorang pendidik. Dia suka bergosip, mengeluarkan kata-kata kasar di sela hinaannya. Karakter sangat feminim dan sangat menjaga penampilannya.
“Hus pak Rinal jaga ucapan mu pak. Percuma saja bapak guru bahasa Indonesia tapi tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar” bantah bu Yura menekuk wajah melihatnya.
“Kita nggak boleh mengaitkan masalah ini dengan almarhumah. Saya yakin pasti ada dalang dari semua ini” ucap pak Edison.
......................
Tora berlari memanggil semua teman-temannya. Dia berdiri di tengah lapangan yang ramai, tidak ada satupun orang yang melihatnya. “Apakah aku sudah mati?” gumamnya.
Seolah hanya ibu kepala sekolah yang melihatnya, dia tersenyum membuat Tora berpikir bahwa karena lapangan terlalu ramai sehingga orang-orang tidak mendengarnya. Tora berjalan mengikuti seorang wanita yang wajahnya mirip dengan ibu kepala sekolah. Pakaiannya compang-camping, ada tanda seperti tato di dahinya saat berhenti berbalik melihatnya.
Sebuah tanda yang mirip pada sampul buku berwarna merah yang ada di ruangan IPA. Wanita itu tersenyum menyeringai, dia memuntahkan hewan-hewan bersayap ke mulutnya. Tora tidak sadarkan diri. Gangguan makhluk yang tidak lain bersumber dari si kepala sekolah hantu mulai mengganggu ketenangan penghuni sekolah.
Orang tua Tora semalaman menginap di sekolah, mereka membawa seorang dukun atas ijin dari bapak Wakesek. Satpam dan penjaga sekolah ikut menemani semua hal yang mereka lakukan.
“Bapak semalam kok ngilang? Hampir saja bapak di pecat karena satu Minggu nggak ada kabar.Ada masalah apa pak?” tanya Bani.
“Saya ketemu setan pak. Ya saya kemarin sempat ada niat mau keluar dari sini. Tapi pak Sesem mengatakan kalau saya belum boleh keluar sebelum ada pengganti”
“Kalau masalah setan disini banyak pak. Tuh kejadian anak murid yang jatuh dari atas gedung kemungkinan besar karena gangguan setan.”
Dukun bertopi bulat lebar menabur sesuatu. Hewan mengaum dari kejauhan, ranting pepohonan berjatuhan tanpa ada angin yang berhembus. Pria itu kejang-kejang, bola mata penuh memutih. Tawanya sangat keras, dia berlari melompati dinding sekolah.
“Pak mau kemana?” teriak Madi.
“Bagaimana ini pak, anak kita belum di temukan juga! Hiks.”
“Ibu tunggu disini ya bapak mau cari dukun lain.”
Madi mengemudikan sepeda motornya, dia mengingat ada seorang dukun yang di kabarkan memiliki kesaktian yang luar biasa. Di malam yang larut mengetuk pintu rumah Wanto, dia setengah mengantuk menjawab dengan membuka mata sebelah.
“Pak, dimana alamat dukun itu?”
“Dukun siapa?"
“Pak! Jangan main-main dong. Anak saya menghilang!”
Pria yang duduk di atas kursi bambu itu tidak mau di bawa ke sekolah. Dia cukup bertanya siapa nama anak yang menghilang. Dia memberikan bekas puntung rokoknya agar di buang ke dalam wilayah sekolah. Deno tidak bisa memaksa lagi, dia terpaksa menuruti perintah pria tua itu. Wajahnya yang murung di ikuti Wanto berjalan masuk ke dalam gerbang.
Dia membuang putung rokok seperti yang di anjurkan. Kasna hanya bisa menangis, dia terduduk lemas menunggu keajaiban anaknya kembali. Suara Suroto berteriak nama Tora, mereka melihat anak laki-laki itu pingsan di bawah pohon beringin.
Dia di larikan ke Rumah Sakit, di depan UGD dia meminta ijin pada istrinya untuk menanyakan Tora pada dukun yang membantu itu. Madi menancap gas kendaraan memberitahu anaknya telah di temukan.
“Terimakasih mbah, anak saya sudah di temukan. Tapi ada yang aneh, wajahnya pucat fasih. Di sekitar mulutnya ada darah berwarna hitam. Apakah mbah bisa mengobatinya?”
“Kau yakin dia anak mu?”
“Ya mbah..”
“Orang yang kembali dari alam lain, tidak seharusnya bisa membuka mata. Kalau dia masih hidup, dia bukan dirinya sendiri.”
“Jangan ngawur mbah. Jangan mengatakan hal yang aneh mengenai anak saya. Sangat jelas dia adalah anak ku Tora.”
Matanya tajam, sikap yang dingin tanpa mau menjawab pertanyaan dari ibunya. Tora memilih memalingkan wajah ke arah lain. Saat kembali ke rumah, anak itu lebih suka mengurung diri di dalam kamar. Dia tidak mau makan dan minum, dia atas kasur sibuk mencoret buku tulisnya. Kembalinya Tora membuka harapan guru-guru bahwa Amat pasti akan segera di temukan.
Kunjungan siswa kali ini melibatkan banyak para guru yang datang ingin melihat keadaannya. Tora tampak tidak mengenali satupun dari mereka. Dia berteriak tidak ingin di ganggu, bersembunyi di bawah kolong tempat tidur sambil menutup telinganya.
“Maafkan anak saya ya bapak dan ibu, ini pasti karena dia masih trauma” ucap Ripa.
“Namanya juga anak-anak bu. Kami berharap Tora segera sembuh.”
Pak Edison mewakili guru lainnya meminta ijin permisi pulang.
......................
Petrok tidak pernah mau masuk ke dalam kelas, dia ketakutan mengingat kejadian waktu lalu. Sebangkunya Eno terlihat jelas di pelupuk matanya bagaimana dia melompat dari atas gedung. Ada sosok lain yang berdiri di belakang sahabatnya itu, Petrok tidak berani mengatakan kepada siapapun tentang kejadian sebenarnya. Petrok di pindahkan ke kelas 7 G, dia duduk memasang posisi berjaga. Raut wajahnya masih menunjukkan ketakutan.
“Kenalin nama aku Rendra, kenapa kok pindah kelas? Bukannya kelas A dan B itu favorit ya?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!