"Kamu libur, Sayang?" Aku bangkit dari kursi kerjaku dan berjalan ke arahnya.
"Iya, aku datang bawa makan siang." Ia mengangkat tentengan yang ia bawa.
Harum adalah tunanganku, wanita yang sabar menungguku dan menemaniku sejak di bangku sekolah. Aku baru mengikatnya dengan hubungan jelas dua bulan yang lalu, ia pantas menjadi tunanganku karena kesabarannya menunggu dan menemaniku selama ini.
Ia seorang pegawai Bank swasta di Kota Jakarta ini. Ia wanita berusia dua puluh lima tahun yang cantik tentunya, sopan dan sedikit bodoh. Bodoh karena cintanya padaku dan brengseknya aku padanya, aku malah memanfaatkan dirinya untuk kebutuhan biologisku. Namun, tak kunjung aku nikahi karena kurangnya kemantapan hatiku akan sosoknya.
"Bawa daging juga?" Aku tidak mengambil alih tentengannya, tapi mengusap lembut bagian bawah perutnya.
"Han…." Harum tersenyum malu dan menahan gerakan tanganku di sana.
"Eummm, udah semingguan ini aku sibuk. Bolehlah kasih aku." Aku memeluknya dan mencium pipinya.
Seperti namanya, ia harum sekali.
Aku Handaru Albundio, laki-laki dewasa berusia dua puluh lima tahun yang masih merintis usaha variasi mobil yang sudah memiliki dua cabang. Aku mengatakan masih merintis, karena keinginanku bukan hanya dua cabang saja.
Tempat usahaku cukup besar, mobil pribadi maupun kendaraan umum biasa keluar masuk untuk mempermak keindahan kendaraan mereka. Di cabang kedua ini, aku kekurangan customer service yang mampu bercakap dengan ramah. Sampai mau tidak mau, seminggu belakangan ini aku yang turun tangan sendiri.
Ayahku sendiri seorang pengusaha yang bergerak di bidang otomotif juga. Beliau memiliki banyak cabang usaha di Pulau Jawa dan Bali, belum sampai ke pulau seberang apalagi jangkauan luar negeri. Bisa dikatakan, aku bisa berada di titik ini karena songkongan dari ayah.
Aku adalah anak tunggal dan ibuku sudah wafat sejak aku SMP. Tentang ayahku, ya mungkin ia seorang bajingan yang brengsek juga terhadap perempuan sepertiku. Ia tidak menikah kembali sejak ibu wafat, beberapa kali pun aku sering mendapatinya merangkul wanita yang berpenampilan menarik. Ia tidak tinggal seatap denganku, ia sering berkeliling kota mengecek cabang usahanya. Aku tinggal sendiri di Kota Jakarta ini, kadang seringnya ditemani oleh Harum jika weekend begini.
Ini hari Sabtu, ia libur bekerja. Mungkin juga, ia akan ikut pulang bersama ke rumahku malam nanti.
"Malam nanti ya?" tolak Harum lembut.
"Malam ya malam, sekarang ya sekarang. Ayo, sebentar. Mumpung sepi." Aku menutup dan mengunci pintu ruanganku untuk beberapa saat aku memperdaya Harum.
Ia masih mematung di tempat, ia terlihat enggan bergerak sampai aku memberinya serangan. Sejak sekolah dulu, kami sering melakukannya. Tapi sampai saat ini, ia tidak memiliki kecakapan yang baik untuk meladeniku h*****ku. Terang saja, aku sampai sering jajan perempuan untuk mendapatkan sentuhan yang tidak aku dapatkan dari Harum. Tapi tentu saja, aku pilah-pilah.
Aku tidak rutin melakukannya, tapi aku selalu mencuri kesempatan untuk mendapatkan kebutuhanku jika ada waktu luang. Aku mungkin akan berani berkomitmen dan menikahinya dari awal, jika hati ini mendapatkan kecocokan yang penuh pada Harum. Sayangnya, memang tidak mudah menerima meski aku tahu ia bersedia menunggu dan mencintaiku selama ini.
Bukan tentang kekurangannya, aku pun tidak tahu alasannya apa. Tapi aku menyadari sendiri bahwa memang hatiku kurang cocok dengannya, meski begitu aku ingin menghargai kesediaanya dan perasaannya selama ini.
Aku cukup berhati.
Ia mengerti, ia mau berjongkok saat aku menurunkan bahunya. Sesaat kemudian, aku menikmati perlakuannya pada resleting celanaku yang turun.
Tok, tok, tok….
"Permisi…."
Pintu kaca ruanganku yang berlapis kaca buram di ketuk berulang, sayangnya timingnya sangat mengganggu aktivitasku saat ini.
"Han…." Harum menghentikan kegiatannya, ia mendongak melihatku.
"Nanti malam kita lanjut." Aku buru-buru menyimpan warisan yang paling berharga di tengah-tengah tubuhku ini.
"Aku harus gimana, Han?" Harum bangkit dan menyeka mulutnya.
"Tunggu sebentar ya? Kau boleh keluar sebentar, kalau memang dia customer yang mau komplain." Sebenarnya tidak hanya customer yang komplain kok, customer yang memesan pun biasanya datang pada customer service yang ruangannya aku tempati ini.
Aku owner yang mau turun tangan. Tak apa, ini usahaku sendiri dan wajarnya aku repot.
Aku membuka pintu kaca yang aku kunci beberapa menit yang lalu ini. "Silahkan masuk, Kak." Aku mencoba tersenyum dan menyamarkan rasa keras di tengah-tengah tubuhku.
"Betul dengan Pak Handaru?" tanyanya dengan susunan kata yang diucapkan hati-hati sekali, bahkan ia sampai seperti mengeja namaku.
"Ya, betul. Silahkan masuk." Aku mundur dua langkah, mempersilahkan wanita yang indah sekali ini untuk masuk ke ruanganku.
Matanya besar, dagunya tirus, hidungnya tinggi dan ramping. Namun, bukan itu yang membuatku tambah berkeringat karena sisa h***** tadi. Melainkan, body pear yang berjalan di depanku ini.
"Aku keluar dulu ya, Han?" Harum langsung pamit, begitu ia melihat tamu ini.
"Oh, iya." Aku mengangguk dan berjalan mendahului wanita muda ini.
Aku yakin ia jauh lebih muda dariku, wajahnya seperti usia baru lulus sekolah. Tapi badannya membuatku berpikir mustahil jika ia baru lulus sekolah, ia seperti tubuh wanita dewasa, tidak selaras dengan wajahnya yang masih terlihat remaja.
"Silahkan duduk, Kak." Aku mempersilahkan duduk di depan meja kerjaku, sebelum aku duduk di kursi kebesaranku.
"Iya, terima kasih." Ia tersenyum ramah dan duduk di depanku.
"Maaf ya mengganggu?" tambahnya kemudian.
"Mengganggu? Mengganggu gimana tuh, Kak?" Aku tidak biasa menggunakan kosa kata baku, aku lebih bisa membawa kosa kata santai dengan customer sekalipun.
"Mengganggu aktivitas Bapak dengan istri." Ia tertunduk sejenak ketika mengatakan hal itu, kemudian matanya menatapku lagi.
Lentik sekali bulu mata itu, bola matanya bulat hitam dan berbinar menarik. Ia wanita yang begitu sangat indah dan sempurna menurutku.
"Ohh…." Aku tertawa kecil, merasa malu jika sampai perempuan ini menyadari bahwa aku dan Harum tadi tengah melakukan aktivitas dewasa.
"Gak apa, Kak. Gimana, Kak?" Aku memainkan bolpoin, mencoba melupakan rasa tegang dan berkeringat ini.
"Oh, iya. Kedatangan Saya ke sini, untuk bertemu dengan Pak Handaru. Saya dapat informasi tentang lowongan pekerjaan dari security tempat sebelah, saat pagi tadi Saya menitipkan lamaran pekerjaan di sana. Katanya, tempat ini sedang membutuhkan seorang pekerja. Saya izin mengajukan lamaran pekerjaan, kebetulan tadi di depan pun dipersilahkan untuk langsung saja menemui Pak Handaru."
Aku melongo saja melihatnya berturur dengan baik dan lembut. Ia begitu memikat hanya dalam pembicaraan kecil saja.
"Ohh, boleh-boleh. Kebetulan, Saya sendiri orang yang Kakak cari." Aku yang malah grogi berbicara dengannya.
Ia mengulurkan map cokelat tersebut dan segera aku sambut. Aku langsung membuka dan melihat isinya. Di jaman sekarang, memang masih berlaku lamaran pekerjaan dengan bentuk seperti ini selain mengirim email.
"Waduh, cerai hidup?" Aku gagal fokus melihat statusnya di lembaran fotocopy KTP miliknya.
Apa yang aku sangkakan tadi? Remaja lulus sekolah? Ternyata, ia seorang janda muda.
...****************...
Mohon dukungannya, Kak 😁🙏 jangan lupa follow, fav, like, komen, vote dan hadiah juga 😁 terima kasih 🙏😁
"Iya, Bapak. Apa hal itu dipermasalahkan?" tanyanya kemudian.
"Nanti kalau kerja, apa anaknya dibawa?" Pikiranku menjurus ke ekornya itu. P******nya besar, pasti karena ia sudah melahirkan.
Sebagai laki-laki matang, tentu aku sedikit paham tentang rahasia umum perempuan.
"Hmm, Saya belum ada anak," akunya tertunduk.
Mungkin memang belum ada anak, aku melirik ke tanggal lahirnya pun, ia kisaran masih berusia dua puluh dua tahun. Tapi keren sih, wajahnya imut sekali terlihat seperti masih remaja. Wajahnya ya, bukan bodynya.
"Lulusan…." Aku belum bertanya, aku tengah mencari dokumen penyertanya.
"SMA, Pak." Perempuan itu langsung menjawab.
Aku melirik ke arahnya, kemeja telur asin yang dilapisi dengan blazer berwarna hitam. Dadanya terlihat kecil, sedang bisa dibilang. Tapi p******nya itu, gueedee e polll.
Tubuhnya banyak tikungannya.
Aku pun masih ingat, tadi ia berpenampilan dengan rok span selutut yang ada sobekannya di belakangnya. Penampilannya ala kantoran sekali, padahal masih melamar pekerjaan.
"Gak masalah sebetulnya, yang penting bisa bercakap-cakap dengan baik." Yang aku butuhkan hanya pintar berbicara, selebihnya ya pasti diberi pemahaman tentang tanggung jawab pekerjaannya.
"Silahkan Bapak tanya, Saya akan menjawabnya. Agar Bapak tau bagaimana kecakapan bahasa Saya."
Menantang.
"Namanya siapa?" Aku belum melihat namanya di sini.
Aku masih memperhatikannya, mataku melihat ke mana-mana. Termasuk ke rambut hitam lebar yang digulung rapi, sayangnya telinganya mengembang dan ia tidak menggunakan perhiasan kecil di sini. Padahal telinga mengembang begitu, pasti sangat cantik jika dipakaikan perhiasan bermata kecil.
"Nama Saya Khairina Bunga Malati, biasa dipanggil Bunga." Ia tersenyum lebar saat menjawab.
Orang kejawen rupanya. Ya dilihat dari namanya sih, tapi aku tidak tahu juga.
"Sekarang tinggal di mana?" Aku tengah membaca CV miliknya.
"Di rusun PJ, Pak," jawabnya kemudian.
Rusun? Aku memperhatikannya dengan lekat. Tempat kelahirannya bukan di sini, aku berpikir ia perantauan.
"Sewa, Pak," lanjutnya dengan memamerkan giginya.
"Ohh…." Aku manggut-manggut mengerti dan menepis pemikiranku barusan.
"Untuk informasi aja, gaji di sini lebih rendah dua puluh persen dari UMK kota ini. Untuk posisi yang dibutuhkan sekarang adalah customer service, makanya tadi Saya bilang tentang kecakapan interaksi. Gaji lebih rendah dari pabrik swasta, silahkan dipikirkan kalau memang bersedia." Aku tidak pernah memaksa pekerja cocok dengan gajiku.
Ini bukan usaha besar, tapi bukan usaha kecil juga. Bisa dibilang, satu dua dengan bengkel. Lepas pasang body, tukar tambah pelek dan ban, stiker dan skotlet dan penambahan variasi estetika lainnya. Banyak jika ingin disebutkan satu persatu, karena bukan hanya variasi body luar saja, tapi juga bagian interior kendaraan juga. Tapi ya memang bayaran umumnya memang segitu, mungkin bayarannya satu dua dengan penjaga toko milik perorangan.
"Saya akan coba bersedia bekerja di sini, Pak. Karena bukan tentang gajinya, tapi Saya merasa tidak yakin dengan posisi untuk Saya itu. Saya tidak memiliki pengalaman kerja apapun sebelumnya, Saya harap Bapak di sini bisa membimbing Saya untuk posisi ini."
Aku tertarik dengan pembawaannya dan tutur katanya.
"Bisa, bisa." Aku yang bos malah bingung untuk menanggapinya.
"Jadi, Saya diterima untuk bekerja di sini?" Wajahnya sumringah sekali.
"Iya silahkan coba dulu aja." Aku merasa canggung di depannya.
"Jadi? Mulai kapan Saya bisa bekerja?" Ia terlihat bersemangat.
"Senin boleh, orang kantor minggu libur. Kalau yang di lapangan, mereka liburnya gantian, hari minggu tetap buka soalnya." Aku nampak sekali kurang baik dalam interaksi bahasa.
Jujur saja, aku tidak pernah berbicara dengan petinggi atau bos-bos lainnya. Pesan barang segala macam, ya lewat pengusaha yang merupakan kerabat atau teman juga. Selebihnya, memesan dari luar negeri yang pemesanannya menggunakan email dan secara online. Aku tidak memiliki relasi bisnis, jadi tidak pernah yang namanya rapat segala macam. Briefing di sini pun, paling tentang arahan pekerjaan saja.
Perempuan ini seolah beranggapan bahwa tempat kerja ini seperti pekerja kantoran mungkin ya? Ah, aku yang malah kacau sendiri membayangkan yang ada di pikirannya.
"Oh ya, satu lagi. Jangan pakai rok ya? Pekerja di sini banyakan laki-laki, pakai celana panjang biasa aja yang penting jangan training. Nanti ada seragam, tapi semacam kaos berkerah. Boleh berhijab, boleh gak, itu terserah kepercayaan masing-masing. Gak disediakan makan siang, jadi jatah makan siangnya diuangkan. Gak ada kantin, jam istirahat boleh keluar tempat kerja." Yang bekerja di sini, sebenarnya ya asal datang dan bilang ingin bekerja saja. Tidak perlu membawa CV seharusnya, kecuali mekanik khusus ya memang diperlukan hal-hal pendukung seperti ini.
"Kalau boleh tau, sistemnya kontrak atau bagaimana, Pak?" tanyanya kemudian.
"Yang penting rajin aja, masalah berapa lama bekerja tergantung kecocokan Saya dengan hasil kerja kamu." Bisa dibilang, ya buruh lepas.
"Baik, Pak. Apa ada tunjangan lain?"
Ya salam, apa yang ia bayangkan? Serupa dengan bengkel, toko sparepart kendaraan. Tempatnya pun tidak besar-besar sekali, besar tanahnya hanya sekitar 14x10 meter saja.
"Gak ada, uang makan aja adanya. Bensin, kesehatan, gak ada tunjangan. Daftar BPJS mandiri aja sendiri, yang bayar tiap bulannya itu untuk jaga-jaga." Tanganku jadi gatal ingin mencubit p****** besarnya itu.
"Untuk jam masuknya, Pak?" Ia menahan tawa.
Apa yang lucu dari jawabanku tadi?
"Masuk jam delapan pagi, pulang jam empat sore. Ada nomor yang bisa dihubungi? Nanti Saya masukin nomor kamu ke grup pekerja di sini, biar enak kamu nanya-nanya ke yang lain." Aku mengambil ponselku yang tegolek di samping laptop kerjaku.
"Maaf sebelumnya, Bapak di sini itu siapa ya?"
Ekhmmm, ia menggemaskan bukan?
"Oh, kenalan dulu dong makanya." Aku mengulurkan tangan kananku.
Ia tertawa lepas, salah satu gigi gingsulnya menambah manis wajah imutnya. "Boleh, Bapak," sahutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
"Handaru Albundio. Kakak berbicara dengan ownernya langsung." Aku memamerkan gigiku.
Eleh, makin renyah tawanya.
"Ownernya manis. Salam kenal Pak Handaru, katanya sih, Saya calon customer service di sini."
Arghhhh, nyes sekali sambutannya. Ia sepertinya asyik diajak ngobrol ataupun bergurau. Ia seperti paham, jika tadi itu aku dalam mode bergurau.
"Ohh, terima kasih. Kakaknya pun manis dan cantik." Aku menarik jabatan tanganku padanya.
"Tentu saja, Bapak. Perawatan Saya mahal."
Uwih, melongo jadinya.
Melihat ekspresi kagetku mendengar jawabannya itu, tawanya makin membahana saja. Kami sudah seperti teman akrab, padahal baru berkenalan barusan.
"Udah, Kak. Udah, Kak. Lama-lama nanti malah Saya nyaman." Aku tersenyum tipis dan menggelengkan kepalaku dengan menoleh ke arah lain.
"Nyaman-nyaman ya, Pak? Semoga, kenyamanan ini membawa kenaikan gaji." Ia terkekeh kecil.
"Aamiin, aamiin." Aku manggut-manggut saja.
Ehh, apa tadi? Ia malah menambah volume tawanya lagi, saat aku baru menyadari kalimatnya barusan.
...****************...
Untuk favorit, bisa dengan klik titik tiga di dasbor karya. Lalu pilih subscribe, agar dapat informasi update episode dari karya ini. Terima kasih 😘
"Jadi, sekarang Saya boleh langsung pulang?" ungkapnya setelah beberapa saat percakapan ringan.
Entah kenapa, aku yakin sekali bahwa dirinya mampu membawa pekerjaannya ini. Padahal Bunga terus terang sekali, bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman bekerja.
"Boleh, silahkan. Jam delapan kurang lima belas udah di sini ya? Kita briefing dulu seperti biasa." Kebetulan sekali, aku masih menata cabang yang di sini. Jadi sekalian untuk mengajari Bunga.
"Terima kasih, Bapak. Jangan lupa nomor Saya katanya mau dimasukkan ke grup." Bunga mengulurkan tangan dan aku menyambutnya.
Kuteknya sederhana, tapi terlihat pantas di tangannya.
"Oke." Aku tersenyum ramah.
"Saya permisi dulu, Bapak. Mari…." Ia mengangguk, kemudian berlalu pergi.
"Iya silahkan." Aku bangkit mengantarnya dari belakang.
Bolehkah aku menepuk p*****l yang berputar ketika berjalan itu? Aku merasa penampilannya seksi sekali, padahal pakaiannya memang cukup sopan. Apa karena banyaknya belokan di tubuhnya itu, menjadi pakaiannya terlihat selalu haram?
"Dia pesan apa, Han?" Harum menahan dadaku, ketika aku hampir keluar ruangan.
Karena bertepatan dengan dirinya yang masuk ke dalam ruanganku.
"Dia melamar pekerjaan, udah aku terima karena memang mendesak banget." Aku merangkulnya masuk, dengan tangan kiriku menutup pintu ruangan ini.
"Dia cantik banget ya, Han?" Ia menoleh dan tersenyum lebar.
Cemburu ya?
"Relatif, keknya anak orang kaya yang lagi dilatih kerja." Aku mencoba menjawab tanpa berpihak.
"Ayo makan siangnya dimakan, terus aku mau izin ke salon, Han." Harum mengusap-usap paha bagian dalam, saat kami baru duduk bersama di sofa yang cukup untuk diduduki dua orang.
"Tapi pulangnya ke rumah aku ya?" Aku mengambil dompet di bagian saku belakang celanaku.
Aku mengerti ia membutuhkan apa. Wajarnya aku memberi, karena aku menikmatinya. Tidak ada yang gratis di dunia ini, oksigen di rumah sakit saja bayar.
"Iya, Han. Selesai dari salon, aku langsung tunggu kamu pulang di rumah kamu. Biasanya ayah pulang tiap Sabtu? Apa sekarang dia ada di rumah?" Harum memperhatikan aku yang tengah menghitung uang dari dompet.
Sedikit tidak sukanya begini aku pada Harum, ia hijau sekali melihat uangku. Meski aku memahami tentang timbang balik yang baik, tapi tentu tidak seperti ini juga kesannya. Aku jadi merasa ia hanya tertarik dengan uangku, bukan denganku.
Apa aku kurang menarik?
Tinggi badanku sekitar seratus delapan puluh satu dan berat badan tujuh puluh kilo. Aku tidak begitu gagah, tapi dadaku cukup lebar. Hanya berisi, massa otot tidak seberapa. Aku rutin ke gym, hanya jika ada temannya saja. Sedangkan temanku sudah pada sibuk dengan usahanya masing-masing, sejak kami selesai kuliah. Ya begini jadinya, aku yang sempat gagah sekarang hanya tersisa dada bidang saja.
Tentang tampang, aku merasa aku cukup menarik. Tulang hidungku kokoh dan tinggi dari cekungan tengah mata, alisku tebal dan hitam. Bibirku sedikit tebal di bagian bawah, aku pun memiliki lesung pipi di kanan dan kiri.
Menurut ibuku, aku katanya mirip Maxime Bouttier. Tapi tidak juga, karena kulitnya cerah, sedangkan kulitku berwarna sawo matang.
"Gak tau, ayah pulang pun biarin. Dia udah tau kamu ini. Cium dulu." Aku menahan uang yang akan kuberikan pada Harum.
"Hmm, Sayang." Harum mencium pipi kiriku yang terjangkau olehnya.
"Nih, ati-ati ya?" Aku memberikan uang tunai berjumlah satu setengah juta.
"Makasih, Sayang." Ia mengambil cepat uang berwarna merah tersebut, kemudian mencium kembali pipiku.
Tanpa babibu, ia langsung keluar dari ruanganku. Entah berapa habisnya perawatannya, karena lebih seringnya aku hanya memberi kisaran dua jutaan saja. Bukan tanpa alasan, hal itu terjadi setiap hari Sabtu. Jika digabungkan, kan nilainya lebih dari UMK kota ini.
Bukan aku perhitungan, buktinya aku memberikan. Tapi aku masih merintis, sisanya ya aku beban ayahku.
Rumah yang aku tempati pun, itu bukan rumah hasil kerjaku. Itu rumah ayah, yang ditempati kami bertiga dulunya. Aku, ibuku dan ayahku. Sedangkan ayahku hidup bebas setelah ibu tiada, makanya aku bisa bebas membawa perempuan juga ke rumah.
Ah, pengangguran sekali aku malah mengagumi foto Bunga dalam profil aplikasi chattingnya. Aku sudah mendapatkan nomornya, aku memberikan janji untuk memasukkan nomor teleponnya ke dalam grup pekerja cabang usaha yang di sini.
Usaha pertamaku ada di Bekasi, aku awal memulai dengan masih digandeng ayahku. Tempatnya pun, bersebelahan dengan bengkel besar milik ayahku. Jika rumah tinggal, ya memang di daerah Jakarta ini. Saat baru belajar pun, aku tinggal sementara di bengkel besar milik ayah. Bangunan itu dilengkapi dengan tempat istirahat dan juga kamar mandi, persis seperti ruko tapi berukuran cukup besar.
Hobiki tidak jauh dari usahaku, yaitu memodifikasi mobil dan berkumpul dengan komunitas khusus. Hanya sesekali, aku ikut mengumpul ketika ada event saja.
Foto profil nomor kontak Bunga menggunakan foto wajah dirinya yang berhijab, nama keterangan kontaknya memunculkan kecurigaanku. Ia menamakan keterangannya, I will survive.
Aku akan bertahan? Apa ia dalam keadaan sulit sekarang? Masa iya orang sulit, tapi HPnya menggunakan HP boba?
Inilah yang membuatku curiga, saat tadi ia mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomor teleponnya. Makanya aku berpikir, bahwa dirinya adalah anak orang kaya yang diminta mandiri.
Eh, tapi ia kan janda. Dulunya suaminya kaya sepertinya, lalu setelah pisah ia memilih keluar rumah suaminya. Ya sepertinya seperti ini.
Aku langsung memasukkannya ke grup, ramahnya ia pun mengenalkan dirinya. Ada yang bertanya dirinya ditempatkan di posisi apa, dengan membuat penasaran ia menjawab bahwa dirinya belum tahu akan ditempatkan di posisi apa.
Aku jadi tidak sabar ingin cepat hari Senin, agar bisa bertemu dengannya dan mengajarinya. Sayangnya, Sabtu malam ini menjadikan malam yang panjang untukku dan Harum.
Meskipun ia memasrahkan dirinya, membiarkan aku mengusainya, tapi rasanya selalu tidak puas dengannya. Pernah aku membeli perempuan kelas menengah sedikit ke atas, tarifnya di sekitar harga motor Beat baru. Memang enak, punya skill dan bisa mengimbangi moodku. Tapi hanya sekali pakai, dirinya banyak yang memesan dan harus ikut antrian, sedangkan kebutuhan biologisku tak bisa dibawa antri.
Drttt….
Aku tersenyum senang mendapatkan satu pesan masuk dari perempuan yang tengah kuperhatikan fotonya ini. Aku senang mendapat pesan dari Bunga, meski aku tidak tahu apa isi pesannya.
[Maaf mengganggu, Bapak. Saya belum mendapatkan seragam tadi, jadi Senin nanti apa boleh Saya menggunakan pakaian bebas yang sopan?]
Oh, iya. Kelupaan juga.
[Iya, Bunga. Nanti Senin dapat dua seragam dari sini warna biru muda.] fast respon sekali aku padanya.
Hati ini sepertinya tertarik akan pembawaannya tadi. Ia menyambung di setiap obrolan, ia mengerti perubahanku saat bercanda ataupun serius. Ia bisa menyikapi dan membawa pembahasan denganku begitu nyaman.
[Baik, Bapak. Terima kasih.] bahasanya masih sedikit formal.
Pekerja yang lain, tidak ada yang seformal ini. Bahkan, banyak di antara mereka memanggilku 'kak'.
[Kamu tinggal sama siapa, Bunga?]
Eh, kok aku menanyakan hal seperti ini?
Ya salam, mana sudah dibaca lagi.
...****************...
Jangan lupa rate ⭐⭐⭐⭐⭐ ya kak 😁 kasih ulasan yang paling membangun biar aku tetap semangat ☺ Oh iya, ayo semuanya ikut komen, ramaikan ya kak 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!