Fanfic mas Agust D alias Suga BTS. Army n sekte Yoongi Marry Me mari merapat dan halu bersama.
Semoga bisa dinikmati
Selamat membaca ^_^
Mohon dukungannya dengan tinggalin banyak jejak ya my....
...🎊🎊🎊🎊🎊🎊...
Alhamdulillah bisa juara 3 besar di antara karya bagus lainnya. Terimakasih untuk dukungannya semua dan juga tuk Noveltoon.
...🎉🎉🎉🎉🎉🎉...
Hari sudah larut ketika seorang gadis berusia 24 tahun baru pulang bekerja. Malam Minggu yang sepi di jalanan yang basah karena di guyur hujan sepanjang sore.
"Hufh....rasanya capek banget!" keluhnya dengan langkah gontai menapaki jalan aspal perumahannya.
Gadis itu mengenakan kemeja biru muda, rok sepan berwarna hitam selutut, dan tas tangan yang diselempangkan di bahu berwarna coklat muda. Rambut panjangnya di kuncir ke belakang.
"Coba punya sugar daddy. Nggak usah capek kerja tapi bisa punya banyak uang," ucapnya berandai-andai ngawur.
Meong...
Suara kucing terdengar dari belakang tubuhnya. Gadis bernama Archila itu menoleh dan melihat seekor kucing dengan bulu putih mulus berjalan mengikutinya.
"Wah...kucing imut!" Seru Archila. Berhenti dan mengangkat kucing itu ke atas. "Heum lucu sih, tapi sayang kamu kucing kampung," Celetuk gadis yang biasa dipanggil Archi itu.
Wajah kucing itu berubah, matanya turun, ekspresinya merengut, nampak kesal.
"Kalau kucing ras aku bawa pulang kamu. Dilihat-lihat kamu sudah tua ya," Archi membuat ekspresi kucing itu nampak semakin kesal. Archi menurunkan kucing itu ke atas aspal.
Archi kembali berjalan, "dadah...kucing imut!" lambainya seraya menoleh kearah kucing.
Tanpa Archi sadari kucing itu tetap mengikutinya dari belakang. Merasa ada yang mengikutinya, Archi pun kembali menoleh. Dilihatnya kucing putih berjalan dibelakangnya dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh. Saat itu juga Archi memperhatikan kaki belakang kucing itu terluka dan mengeluarkan darah.
"Kamu sakit ya?" Archi berjongkok sambil mengangkat kucing itu. Dia perhatikan luka kucing itu yang cukup besar.
"Sepertinya kamu habis berantem? Atau ada orang yang melukai kamu?" tanyanya. Namun kucing itu hanya mengeong, karena dia kucing nggak bisa ngomong. Kalau ngomong malah bikin takut. Bisa-bisa Archi lari terbirit-birit.
"Baiklah aku akan membawamu pulang dan mengobati lukanya di rumah," Archi menggendong kucing tersebut di dadanya. Kucing itu mendusel-dusel di dada Archi seolah berterimakasih atau juga hanya bermanja.
Setelah berjalan cukup jauh Archi sampai di rumahnya. Rumah yang tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Rumah yang terdiri dari dua lantai. Memiliki 2 kamar tidur di lantai atas dan dua lainnya di lantai bawah, dua kamar mandi, satu dapur dan satu ruang cuci. Cat rumahnya berwarna putih.
Archi masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ada Ibu dan adik tirinya yang masih berusia 6 tahun sedang menonton televisi.
"Kenji...lihat kakak bawa apa?" seru Archi tersenyum lebar.
"Wah...kucing!" sambut Kenji girang menghampiri kakaknya.
Kenji adalah anak ayah tiri dan ibunya. Ibu Archi bercerai saat Archi berusia lima belas tahun. Ibu Archi kembali menikah dengan bujang yang usianya di bawah 3 tahun darinya. Usia ibu sekarang 51 tahun.
"Ya ampun Archi...kerjamu itu memungut kucing terus," keluh ibu, kesal sambil memperhatikan Kenji yang mengusap-usap kucing dalam gendongan Archi.
"Kucing Ini sakit, bu," jelas Archi memperlihatkan kaki kucing yang terluka. "Aku hanya akan mengobatinya lalu akan aku titipkan di shelter kucing dekat halte bis itu," tambahnya.
"Ya sudah, kalau begitu," ibu pasrah.
"Kenji...kakak ke atas dulu, ya. Mau mengobati Kucing ini,"
"Baik kakak. Cepat sembuh kucing!" doa Kevin seraya melambai pada kucing.
Archi membawa kucing ke dalam kamarnya lalu mengobati luka kucing tersebut.
"Karena sudah malam kamu tidur dulu di sini, ya. Besok kamu akan aku bawa ke shelter,"
Meong...meong...
Bunyi kucing sambil mengusap kaki Archi dengan kepala dan tubuhnya.
"Kamu pasti lapar ya? Aku ke dapur dulu mengambil makanan. Kamu duduk di sini!" Archi menaruh kucingnya di atas tempat tidur.
Tidak lama kemudian Archi datang dengan semangkuk nasi yang sudah di aduk dengan daging ayam.
"Aku nggak punya makanan kucing, kamu makan ini aja, ya!" kucing pun makan dengan lahapnya sampai habis tak bersisa.
Kenyang makan, kucing itu menjilati kakinya di atas karpet. Sementara itu, Archi mengambil tank top berwarna pink dan celana pendek dari dalam lemarinya. Dengan santai Archi membuka kemejanya, memperlihatkan dua gumpalan kenyal yang mulus di dada Archi dan hanya tertutup b*a berwarna hitam.
Kucing di hadapannya membeku, menelan saliva nya. Tangan yang sedang dijilati masih berada di mulut, tertempel lidahnya. Kedua pupil kucing itu serta merta melebar dengan pemandangan yang luar biasa dan sulit ditolak untuk tidak melihatnya. Kucing itu terkesiap setelah Archi menutup kembali tubuhnya dengan tank top.
Setelah berganti pakaian Archi merebahkan badannya di kasur dan terlelap hanya dalam itungan menit.
Sementara Kucing putih itu masih menjilati tubuhnya di bawah kaki Archi. Kucing itu berhenti menjilat dan melihat ke arah jendela dengan bingkai putih yang tidak tertutup gorden.
Dengan gerakan luwes kucing itu lompat ke atas jendela. Dia memandang jauh keluar. Pandangannya kosong seolah ada yang dia pikirkan.
Waktu cepat berlalu malam itu. Esok pagi pun tiba . . .
Archi masih tidur pulas di atas kasurnya saat pintu kamarnya di buka seseorang dari luar.
Cekleek....
Suara pintu terbuka disusul teriakan melengking seorang wanita.
"AAAAAAA!!!!!!!....." jerit wanita berambut panjang. Mulutnya terbuka lebar lalu ditutup telapak tangannya, matanya terbelalak, tidak percaya dengan yang dilihatnya.
Kakak Archi, usianya 26 tahun, belum menikah dan merupakan seorang pembaca berita di salah satu stasiun televisi.
"Ayah Ibu....!" panggilnya dengan mata terpejam. Sekonyong-konyong ayah dan ibu yang segera datang setelah mendengar teriakan pertama kakak ikut terkejut dengan yang mereka lihat di dalam kamar Archi.
Archi yang tidur membelakangi pintu terkesiap bangun.
"Kalian kenapa sih berisik banget!" omel Archi memelintir tubuh atasnya ke belakang, menatap ke asal suara ribut.
"Aaaaa......!" dirinya melompat ikut terkejut saat menyadari seorang pria tanpa busana tidur, meringkuk, di sebelahnya.
...****************...
"Aaaaa......!" Archi melompat, ikut terkejut saat menyadari seorang pria tanpa busana tidur, meringkuk, di sebelahnya.
Refleks cepat Archi menutup tubuh bagian bawah pria itu dengan selimutnya. Pria itu tertidur sangat nyenyak sehingga tidak terusik dengan ribut-ribut di sekitarnya, hanya telinganya bergerak-gerak setiap mendengar suara.
Archi tercengang. Tidak habis pikir dengan kehadiran pria yang tiba-tiba berada di atas tempat tidurnya. Dia memperhatikan, Tank Top dan celananya masih terpakai dengan baik. Lalu apa yang terjadi? Apakah memang ada yang terjadi? Lalu kenapa Pria ini tidak berpakaian di atas tempat tidurnya?
"Bagaimana bisa? A-ku?" Archi menutup atas dadanya yang tidak tertutup tanktop dengan sisa ujung selimut. Matanya yang terbelalak seperti slow motion melihat wajah pria itu yang masih tidur pulas.
"Eh, tampan juga," celetuk Archi di dalam hati memandang tenang wajah pria itu. "Ya ampun, aku ini!" menggeleng cepat.
"Astagfirullah! Archi!" murka Ayah seraya berjalan memasuki kamar Archi.
"Ayah nggak nyangka kalau kamu seberani ini!" sembur ayah. Ibu bersembunyi di belakang ayah, terlihat takut sekaligus sedih memandangi Archi.
Kakak memasang wajah ketus sambil melipat tangan diatas perut.
"Tapi ayah...aku nggak tahu siapa dia," tampik Archi.
"Dia ada di kamarmu!" sentak ayah melotot dengan tatapan tajam. "Mana mungkin kamu nggak tahu siapa dia. Jangan menutupi kesalahanmu dengan berpura-pura seperti itu!" hardik ayah.
Ayah adalah pria bertubuh tinggi, kurus dengan janggut yang sedikit panjang hanya dibawah dagunya dan memakai kacamata minus dengan frame kotak.
"Tetapi aku memang nggak tahu," kata Archi bersikeras. Tiba-tiba dia teringat sesuatu,
"kucingnya? Dimana kucingnya?" Archi menengok kiri kanan mencari keberadaan kucing putih semalam.
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Nada suara ayah tetap meninggi.
"Biar ayah hajar lelaki kurang ajar ini!" Ayah bersiap menarik pria itu.
"Jangan ayah!" sergah Archi panik.
"Kenapa nggak boleh? Berarti benar kalian memiliki hubungan." simpul Ayah.
"Bu-bukan begitu,"
Pria itu terusik, dia menggeliat lalu membuka matanya perlahan. Dari sela-sela matanya yang sipit dia mengintip, bergantian melihat ke arah ayah dan Archi. Saat dia mendelik ke bawah tubuhnya dan menyadari dirinya tidak berpakaian,
"Aaaa!!!..." pekiknya beringsut, segera duduk sampai tidak sengaja menyingkap selimutnya. Archi menaruh kembali selimut diatas tubuh pria itu untuk menutupi 'anu-nya' yang hampir terbuka.
"Apa-apaan kamu!" pria itu marah kepada Archi.
"Aku membantu menutupi burungmu itu," Archi melotot sambil menunjuk.
"Tetapi kamu memegang pusaka-ku," sungut pria itu tidak terima seraya menutupi dengan tangan sesuatu yang dia sebut pusaka itu.
"Ya mana aku tahu," jawab Archi cemberut.
"Benar-benar kalian ini!" pekik ayah, bertambah geram. "Cepat temui ayah di bawah. Pakai baju kalian!"
Ayah ibu dan kakak Archi meninggalkan mereka berdua di kamar.
"Kamu siapa? Kenapa tiba-tiba ada di kamarku? Kapan kamu masuk ke sini? Bagaimana caramu masuk?" cecar Archi dengan pertanyaan-pertanyaan.
Pria itu hanya terdiam, menatap hampa ke bawah seolah berpikir.
"Heh...aku nanya sama kamu," Archi menarik pundak pria itu agar melihat kepadanya.
"Aku siapa?" balik pria itu bertanya. Sudut mulut kiri Archi terangkat mengikuti tarikan alisnya ke atas.
"Maksud kamu apa, pake nanya segala kamu siapa. Aku kan nanya duluan sama kamu,"
"Aku benar-benar nggak tahu aku siapa," tekan pria itu.
"Haduuuh....!" Archi mengusap wajahnya, patah arang. "Sudah pakai bajumu! Nanti Ayah tambah marah kalau kita kelamaan di sini!" perintah Archi.
"Bajuku? Bajuku mana?" tanyanya melihat ke bawah tempat tidur untuk mencari bajunya.
Archi ikut melihat sekeliling kamarnya dan tidak mendapati adanya baju pria itu.
"Terus kamu ke sini nggak pakai baju gitu?"
"Mana aku tahu, aku kan lupa." tukas pria itu.
"Aneh...." Archi pergi ke lemarinya dan mengambil kaos yang agak besar dan celana pendek. "Ini pakai punyaku!" Archi memberikannya kepada si pria.
Pria itu langsung memakai kaos dan celana Archi. Beruntung kaos dan celananya muat di badannya yang kecil, walau tidak sekecil badannya Archi.
"Itu kulit atau pangsit rebus? Kenapa bisa seputih itu? Aku yang cewek aja nggak seputih itu?" batin Archi kagum melihat kulit pria itu.
"Ini celana nggak ada yang lebih panjang dikit?" protes pria itu menunjukkan pahanya yang hanya tertutup separuh celana.
"Masih bagus ada celana yang muat jadi nggak buligir* kaya tadi," sewot Archi yang sudah melapisi tank topnya dengan kaos dan celana pendeknya dengan celana panjang.
Mereka turun bersama ke bawah. Di atas sofa duduklah ayah, ibu dan Kakak dengan berjarak-jarak. Mereka menunggu dengan ekspresi yang sama, MARAH. Walau air muka ibu lebih terlihat sedih sedangkan kakak hanya nampak kesal.
Mata tajam mereka bagai elang mengincar mangsa, memandang Archi dari atas sampai turun dari tangga. Archi menundukkan wajahnya sambil duduk di sofa sebrang ayahnya.
Archi menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak terasa gatal.
"Jelaskan kepada kami, bagaimana pria itu bisa masuk ke kamarmu?" Nada suara ayah tenang tetapi menusuk.
Archi mendengus, bingung untuk menjelaskannya. Karena apapun jawabannya mereka pasti tidak akan percaya.
"Bagaimana kita bisa kecolongan, nggak tahu kalau Archi memasukkan laki-laki ke kamarnya." Ayah menoleh menatap ibu dan kakak bergantian.
"Kalau aku memang sengaja memasukan dia, aku nggak akan membiarkan dia tetap di kamar. Seenggaknya aku bakal nyuruh dia pergi sebelum ketahuan kalian," dalih Archi mencoba membela diri.
"Orang aku aja nggak tahu kalau ada dia di kamar," imbuh Archi.
"Jangan bohong! Kalian pasti nggak sadar karena kecapean begituan sampai nggak sadar hari udah pagi," tuding Kakak.
"Ya ampun kakak. Aku ini adikmu ka. Kok kakak bisa menuduhku seburuk itu?"
"Ya kamu pikir aja sendir!" sungut kakak.
"Setiap malam pintu dan jendela selalu terkunci rapih. Nggak mungkin orang bisa masuk kalau nggak dibukakan dari dalam," urai ayah. "Apalagi ayah yang selalu memastikan semua terkunci, baik malam atau pagi hari." pungkasnya.
"Sudah berapa lama kalian berpacaran?" ibu mulai memberanikan diri mengeluarkan suaranya yang terdengar gemetar.
"Aku nggak pacaran sama dia bu. Aku udah bilang aku nggak kenal dia," kukuh Archi.
"Hey nak...jangan diam saja. Katakan sesuatu!" tegur ayah melotot kepada pria itu.
"A-aku...," jawab pria itu bingung menoleh ke arah Archi yang cemberut.
"Apa yang kamu lakukan di kamar anakku?" Tanya ayah.
"A-aku nggak ingat apa-apa," jawab pria itu benar-benar terlihat bingung.
"Pasti dia mabuk berat sampai nggak ingat apa-apa," sahut Kakak sinis.
"Sepertinya percuma bicara dengan kalian. Kalian terus-terusan menutupi kesalahan kalian," simpul ayah geleng-geleng. "Kalau kamu sudah mau menikah seharusnya kamu mengatakan kepada kami, jangan berbuat seperti ini," tuding ayah lagi.
Archi pasrah dengan tuduhan-tuduhan yang ayahnya lontarkan. Bahunya terkulai lemas kebawah, kepalanya miring dan menatap nanar ke arah ayah.,
"Ini aib, dosa bagi kami orang tua kamu. Sebelum berita ini tersebar ke luar dan terjadi hal-hal lain yang nggak diinginkan, ayah akan menikahkan kalian,"
"Apa?" pekik Archi seraya berdiri. "Aku nggak mau menikah ayah, apalagi menikah sama orang yang nggak aku kenal," tolak Archi dan matanya berkaca-kaca.
...****************...
*buligir : bahasa sunda dari nggak memakai pakaian sehelai pun.
"Apa?" pekik Archi seraya berdiri. "Aku nggak mau menikah ayah. Apalagi menikah sama orang yang nggak aku kenal." Archi mendelik sinis ke arah Pria asing itu.
"Masih saja seperti itu. Nggak ada alasan lagi. Kamu harus menikah," tegas ayah. Tidak dapat diganggu gugat.
"Ibu aku mohon, bu!" Archi bersimpuh di kaki ibunya. "Ibu sangat mengenalku, kan bu? Aku nggak mungkin berbuat seperti yang dituduhkan," kata Archi mengiba dengan kilauan air mata di kedua matanya.
"Ibu lebih percaya dengan yang ibu lihat Archi. Ibu nggak bisa membelamu kali ini. Karena kamu memang bersalah. Lebih baik kalian cepat menikah daripada harus menikah karena kamu hamil duluan," ibu menangis membuat Archi tidak tega, tetapi dia pun tidak bisa terima dituduh seperti itu.
"Pulanglah ke rumahmu, anak muda. Katakan pada orangtuamu untuk datang dan melamar putri kami," perintah ayah kepada Pria putih Itu. Pria itu bingung dan celingak celinguk dibuatnya.
"Aku nggak tahu rumahku di mana," jawab pria putih.
Sebutannya pria putih aja ya sebelum terkuak namanya. Karena kulit pria itu memang putih banget.
"Apa? Bagaimana bisa kamu nggak tahu rumah kamu dimana? Mana kartu identitas kamu?" pinta kakak.
"Aku nggak punya kartu identitas," jawab pria putih lagi.
"Lihat kan! Dia memang orang aneh. Masa kalian tega menyuruhku menikah dengan orang asing yang aneh ini," tukas Archi menunjuk pria putih dengan emosi.
"Aneh atau nggak, kamu yang udah bawa dia masuk ke rumah dan tidur bersama di kamar kamu." Ayah meringis, menepis pikiran akan kenyataan putrinya tidur bersama pria di kamarnya. "Kamu harus bertanggung jawab dengan yang kamu lakuin Archi." pungkas Ayah.
"Yang aku bawa semalam itu kucing, bukan orang ini. Makanya aku nanya kemana kucing itu sekarang?" Archi bersikeras dengan pernyataannya.
"Kucing itu lincah dan luwes dia bisa keluar dari rumah bagaimanapun caranya. Kenapa kamu malah mengkhawatirkan kucing itu sih," omel kakak.
"Hufh..." Archi hanya bisa mendengus. Dia bingung untuk bicara apa lagi. Karena keyakinannya dia memang nggak pernah membawa Pria itu ke dalam kamarnya. Yang dia bawa adalah kucing bukan manusia berjenis kelamin laki-laki itu.
Dibalik itu semua Archi pun bingung dan tidak habis pikir bagaimana pria itu bisa ada di dalam kamar dan tidur di atas tempat tidurnya. Mungkinkah dia jatuh dari langit? Atau seseorang yang menjebak nya dengan membawa pria itu masuk ke dalam kamar.
"Kalau dia nggak punya identitas, bagaimana caranya kita menikahkan mereka, ayah?" tanya ibu dengan suaranya yang getir.
"Itu bukan masalah. Ayah akan meminta bantuan kepada teman Ayah di Pemerintahan untuk membuatkan kartu identitas resmi untuknya," jawab Ayah memberi solusi.
"Kenapa harus seperti ini?" Ibu duduk terkulai sambil menangis lagi. Kakak merangkul ibu untuk menguatkannya. "Seenggaknya kalau kamu sudah ngebet mau menikah cari laki-laki yang jelas, kenapa kamu seperti ini sayang!" ibu mengurut dadanya sambil terus menangis.
"Kamu memang berbeda dengan kakakmu. Ibu sedih bila orang selalu membandingkan kalian. Tetapi sekarang ibu mengakui penilaian orang-orang itu benar
"Kakakmu selalu bisa membanggakan kami dengan prestasinya dan attitude nya yang baik. Sementara kamu, kamu nggak punya prestasi akademik dan kamu juga hanya membuat aib bagi kami," kata ibu terisak dalam tangisnya.
Sedih sekaligus kecewa, Archi tidak kuasa menahan airmatanya. Dia sudah tidak bisa berkata-kata, apalagi membela diri. Semua dirasa percuma sekarang. Nggak ada yang mempercayainya lagi.
Tetapi Dia tidak pernah menyangka bahwa hal seperti ini bisa terjadi kepadanya. Dan yang lebih menyakiti hatinya, keluarganya sendiri tidak bisa mempercayai dirinya.
Merasa tidak ada yang bisa dibuatnya lagi di situ dan dia harus pasrah dengan keputusan ayahnya yang sudah pasti tidak dapat dirubah, Archi berjalan menuju ke tangga dengan bahu terkulai. Pria tanpa identitas itu bingung dengan kondisinya, memutuskan mengikuti Archi dari belakang.
"Hey...kamu mau kemana?" pekik kakak Archi menghentikan langkah pria putih.
"A-aku ingin ikut dia," tunjuk pria putih ke arah Archi.
"Ya ampun...!" Kakak menepuk dahi. Ayah menggelengkan kepalanya.
"Antar dia ke kamar Kenji, Levina!" titah ayah. "Sementara dia akan tinggal di kamar Kenji." putus Ayah mencari yang terbaik untuk saat ini.
"Ayo ikut aku!" ajak Kakak memimpin Agust berjalan ke kamar Kenji.
Pria putih mengikuti Kakak ke kamar Kenji. Pria putih menatap sekeliling memperhatikan sekitar rumah Archi yang terasa asing baginya. Di kamarnya Kenji baru saja bangun tidur.
"Kenji..." sapa kakak, tersenyum manis menghampiri Kenji.
"Kenji, kamu mau kan berbagi kamar dengan kakak ini?" tanya kakak duduk sambil merangkul kenji di tempat tidur. Dan tangan satunya menunjuk ke arah Pria putih.
Kenji mengusap matanya yang mengantuk dan memandang pria. Matanya segera terbuka, berbinar dengan riang.
"Aku akan tinggal dengan kakak laki-laki, ka?" tanyanya antusias. Kakak mengangguk.
"Hore...Kenji punya kakak laki-laki!" soraknya turun dari tempat tidur dan segera memeluk pria putih itu. "Kakak mau kan bermain bola sama aku?" tanya Kenji menengadahkan kepalanya untuk menatap pria putih
"Iya mau," jawab Agust tersenyum pada anak kecil berkulit putih itu.
"Baguslah kalau Kenji suka," sambut kakak tersenyum lalu berdiri. "Kakak keluar dulu, ya Kenji? Kenji bermain saja dengan kakak ini," ucap kakak sambil berjalan. Saat melalui pria putih,
"awas kamu jangan macam-macam!" peringati kakak dengan tatapan menusuk.
Membuat pria putih bergidik takut.
"Sini Kak!" ajak Kenji menarik tangan Pria putih duduk di atas tempat tidur.
Sementara di kamarnya, Archi berbaring tertelungkup dan masih menangis memeluk bantalnya.
"mengapa jadi begini?" rengeknya. "Aku aja nggak tahu dia siapa dan kenapa tiba-tiba dia bisa ada di kasurku tanpa berpakaian? Tetapi mereka menuduh ku sudah berbuat yang iya-iya," keluhnya dalam tangis.
"Apa ini semua karena aku membawa kucing liar masuk rumah? Biasanya kucing hitam yang membawa sial, tetapi yang aku bawa kucing putih dan nasibku tetap sial," innernya bicara sendiri.
"Huaaaa....kenapa aku jadi nyalahin kucing. Nggak ada kucing yang bawa sial. Hanya nasibku saja yang nggak bagus." sambungnya.
Di luar dari pria itu tampan, menikah secara tiba-tiba bahkan dengan pria yang belum dia kenal sama sekali itu membuatnya terasa berat. Apalagi bagi Archi yang belum memikirkan soal menikah. Jangankan menikah, diusianya yang sekarang saja dia belum pernah punya pacar. Sulit bagi Archi menerima keputusan yang akan menentukan masa depannya ini. Bagaimanakah nasib Archi ke depannya?
"Sekarang aku harus bagaimana? Menuruti keinginan ayah untuk menikah dengannya? Atau aku kabur saja?"
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!