Cewek berumur 13 tahun ini, bernama Gendis bayura. Dia masih mencari jati dirinya, seperti kebanyakan perempuan muda di umur yang baru beranjak dewasa.
"suka lo ya sama Adam?" tegur Sinta, saat memergoki Gendis, sedang memandangi Adam, teman sekelas mereka.
"udah deh, diem aja kalau udah tau." kata-kata Gendis, spontan keluar dari mulutnya. Yang secara tidak langsung, sudah mengartikan, kalau Gendis mengiyakan teguran Sinta tadi.
Gendis nggak bisa mengelak, pipinya memerah seperti diberi pulasan blush on.
Sinta langsung tertawa dan menawarkan jasa, "gue comblangin mau nggak?"
Karena Gendis terbilang cewek tomboy, untuk urusan seperti ini, jelas pertama kalinya bagi Gendis. Gendis juga memikirkan dengan matang, tawaran Sinta sebagai mak comblangnya.
Gendis belum bisa menjawab tawaran Sinta, rahasia ini juga harus disembunyikan Sinta, dari keempat sahabat power rangernya Gendis.
"diem aja berarti iya, ya?" ucap Sinta, langsung membuat keputusan.
Berjalan kira-kira 2 bulan, Gendis melihat Gelagat aneh dari Adam, semenjak Sinta menawarkan diri sebagai mak comblangnya.
Gendis membuka matanya, sambil menghirup nafas dan keluar dari kolam renang.
"SIAL!!!" gerutu Gendis, sambil mengarahkan tangannya ke permukaan air.
Gendis masuk lagi ke dalam air, berenang lagi tanpa arah, sambil memejamkan matanya.
"A-aduuh ...!" rintih Gendis dalam hati, lalu kembali lagi menghirup udara dan Gendis keluar dengan keadaan memegangi dahinya yang kesakitan.
Kali ini, Gendis nggak mengarahkan tangannya ke genangan air. Dia mengarahkan kakinya ke arah tembok keramik, seakan menendang tembok keramik itu, dan menyalahkan tembok tersebut
"Tck! Sial banget sih!" umpatan Gendis terulang lagi.
Akibat Gendis berenang tanpa arah, memikirkan Sinta dan juga Adam. Membuat Gendis, malah menabrak tembok keramik yang berada di hadapannya. Keramik tersebut, adalah tembok perbatasan antara kolam dangkal dan kolam tinggi. Kepalanya beradu dengan tembok, dan menghasilkan jedotan hebat, dengan rasa sakit yang amat sangat menyiksanya.
Gendis memperhatikan sekelilingnya, memastikan nggak ada yang melihat kejadian memalukan tadi. Beruntungnya, memang nggak ada yang memperhatikan kejadian memalukan tersebut, karena Gendis juga berenang ke dasar kolam.
Gendis diam sejenak, menenangkan rasa sakitnya memikirkan ulah Sinta yang mengecewakannya, sampai membuat Gendis nggak fokus dan kepalanya beradu dengan tembok kolam renang.
"Tck!!" gerutu Gendis lagi, ia pun kembali melanjutkan aksi penyelamannya.
Gendis sengaja menghindari teman-temannya, supaya perasaan hatinya tenang. Tapi yang ada, Gendis malah melukai dirinya sendiri.
"a ..." Gendis menahan kata-katanya.
Dia kaget, karena bertabrakan. Tapi kali ini, rasanya nggak sesakit yang pertama.
"sorry," ucap Gendis, merasa bersalah.
"iya, nggak pa-pa kok."
"tapi, kepala kamu nggak pa-pa kan?" tanya laki-laki ini, memastikan lagi.
Gendis menganggukkan kepalanya.
"tadi tuh, kamu hampir aja kejedot tembok lagi. Makanya, aku sengaja ngarahin badan ke arah tembok," ucapnya, menjelaskan.
Gendis menunduk malu, dia kira nggak ada yang melihat kejadian memalukan tadi. Tapi ternyata, ada yang lihat dan seorang cowok berparas tampan.
"bener nggak pa-pa kepalanya?" tanya cowok ini lagi, sambil memperhatikan kepala Gendis, sementara Gendis menundukkan kepalanya.
"iya, nggak pa-pa, tadikan juga ngenain perut kakak," kata Gendis menjawabi, menutupi juga perasaan malunya karena ada yang memergokinya.
Gendis mengucapkan maaf dan juga ucapan terima kasihnya sekali lagi, lalu ia pamit, untuk masuk lagi ke dalam kolam, dan berenang tanpa arah. Kali ini Gendis masuk ke dasar kolam lagi, nggak mau kemana-mana dan berenang gaya batu, sambil memejamkan matanya, untuk merenung sekali lagi.
"hey!!!" cowok yang tadi membantu Gendis, merespon dengan berteriak, untuk memperingati Gendis.
Tapi, karena Gendis nggak denger, cowok ini langsung menarik Gendis, yang seketika kaget, sampai terbatuk-batuk.
"kamu udah cukup lama tahan nafas di dalam air, kalau kenapa-kenapa gimana?" katanya khawatir.
Gendis memutuskan untuk naik, tanpa merespon ucapan cowok tadi.
Cowok tadi mengikuti Gendis, sampai menahan tangan Gendis.
"kamu nggak pa-pa?"
Gendis nggak menjawab, dia mengacuhkan pertanyaan cowok ini.
"kamu lagi ada masalah ya?" tanya cowok ini lagi.
Gendis diam lagi, dalam hatinya menolak perhatian cowok ini. Padahal cowok ini beritikad baik, tapi Gendis malah mengacuhkan dan berfikiran negatif sama niat baik cowok ini.
Gendis membalikkan badannya, karena sejak awal, ia nggak perduli dengan pertanyaan cowok yang baru aja ditemuinya ini.
"aku memang nggak kenal sama kamu, tapi kalau kamu punya masalah, mending kamu cerita, biar nggak jadi beban."
"soalnya, aku merhatiin kamu dari tadi, udah 2 jam loh, kamu bereneng dan kamu celaka terus." lanjut cowok ini, menasihati Gendis.
Gendis pun membalikkan badannya ke arah cowok ini. Sembari berucap untuk mengakhiri percakapan, "makasih atas perhatian kakak."
Lalu, Gendis pun memilih pergi, untuk mendatangi teman-temannya.
___ _
"kamana wae euy?" tanya Didot dengan logat sunda, mengomentari kedatangan Gendis.
"nyelem." Gendis menjawabi, sembari membereskan tasnya, dan menyiapkan handuk.
"nyelem kemana lo?" tanya Ade, ikut mengajukan pertanyaan.
"gue tuh sama Didot nyariin lo kemana-mana, kirain tenggelem!" ucap Widi, sambil menyuntrung dahi Gendis, saking keselnya mencari Gendis, dan nggak bisa menemukan Gendis, diantara orang-orang di gelanggang renang.
"sakit, BEGO!!" bentak Gendis kasar, seraya mengusap dahinya yang benjol tadi.
"Ye ileh ... gitu aja ngegas." ledek Widi, sambil menyuntrung Gendis lagi.
"ini tuh, ada benjolnya Widi Hardianto!!!" bentak Gendis lagi, sambil menendang kaki Widi dan memberi unjuk dahinya yang memar, plus benjol.
Gendis malah mengalihkan pertanyaan teman-temannya, mengenai dahinya yang benjol.
Tapi, Bejo langsung menghampiri Gendis, yang sudah bersiap mengangkat tasnya untuk ke ruang ganti.
"kitakan liburan supaya seneng, masa muka ditekuk gitu, kayak nggak kenal bocah-bocah aja."
"gue mau mandi Jo, gue tunggu di warung siomay, kalau masih mau pada berenang." balas Gendis acuh, lalu langsung berjalan meninggalkan keempat kawannya.
Gendis, punya 4 sahabat laki-laki yang sudah berteman dekat semenjak kecil.
Pertama, ada Didot alias Didit suryadit. Dari logatnya sudah kentara, kalau anak ini berasal dari Jawa barat. Keluarganya, merantau ke Jakarta semenjak Didot berumur 3 tahun.
Karena abahnya Didot cukup sukses memiliki usaha di Jakarta, sebagai juragan angkot. Didot dan keluarganya pun, menetap sampai saat ini.
Didot memang nggak bisa lepas dari bahasa Sunda, walaupun sudah cukup lama tinggal di Jakarta. Selain itu juga, Keluarganya Didot masih kental dengan budaya pulang kampung dan di rumah pun, keluarganya membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah, di tengah kemewahan berbahasa internasional.
Dan Secara otomatis, membuat keempat sahabatnya mengerti dengan bahasanya itu.
Didot sering mengajak Gendis narik angkot Abahnya, keseharian Gendis bareng Didot ini, yang membuat Gendis dikenal sebagai cewek tomboy. Karena memang, nggak ada cewek yang mau main sama cowok, apalagi ikut narik angkot, karena rata-rata cewek lebih seneng main boneka, bekel, karet dan congklak. Tapi Gendis, memilih main dengan Didot dan dengan sendirinya, predikat tomboy itu melekat sampai sekarang.
Kedua, ada Widi hardianto. Temennya Gendis yang paling iseng, dan paling ngeselin, diantara teman-temannya yang lain.
Widi juga teman main Gendis dari kecil, Widi nggak mudah akrab sama orang lain, kecuali kalau sudah kenal dekat seperti sahabat-sahabatnya ini. Dia juga nggak mudah percaya sama orang, alias curigaan dan punya filling kuat. Dan dari Widi juga, Gendis banyak belajar, termasuk mengcopy kekasarannya Widi. Makanya, membuat Gendis dengan entengnya, membalas perlakuan kasar dari Widi.
Ketiga, Ade Fauzul hilman. Kedua orang tuanya Ade, bekerja sebagai dokter. Ayahnya bertugas di daerah, sedangkan Ibunya bertugas di rumah sakit besar, sebagai dokter umum. Dari keempat sahabatnya Gendis, Ade cukup berduit karena pekerjaan orang tuanya. Biar pun Ade kaya, Ade nggak sombong, apalagi pelit, Dia juga anak yang simple dan nggak neko-neko dengan stylenya.
Yang terakhir di urutan keempat, ada Bejo, alias Bambang Edi kuntjoro. Di setiap pertemanan, pasti ada salah satu yang lebih bener dari yang lainnya, arti katanya lebih waras, walaupun nggak waras-waras banget. Seenggaknya, Bejo paling peka sama masalah yang dihadapi teman-temannya.
Keempat temen Gendis berwatak berbeda, rata-rata sifat merekalah yang dicontoh sama Gendis yang masih mencari jati diri. Makanya Gendis terlihat selengean, kasar kayak Widi, iseng kayak Didot dan Ade, tapi kadang Gendis bisa sadar karena meniru Bejo yang serius dan dewasa.
Selesai mandi, Gendis langsung memesan makan di warung luar gelanggang renang. Gendis terlihat lapar dari pesanannya, sampai memesan 2 porsi siomay dan batagor, ditambah ekstra pedas dan dipenuhi balutan bumbu kacang.
"laper mpok?" ledek Ade, sambil duduk di samping Gendis setelah selesai memesan makanan.
Gendis nggak menjawabi pertanyaan Ade, dia asik sama makanannya dan nggak lama, ketiga sahabatnya yang lain ikut berkumpul.
"eling Ndis ... eling, lo tuh makan siomay apa caos?" komen Didot.
"inget tuh maag, kalau kumat gimana?" ucap Widi menambahkan, tapi juga iseng menyomot siomay di piringnya Gendis.
Gendis nggak sempet membalas dendam ke Widi, keburu Widi duduk di hadapannya dan seorang cowok pun masuk ke dalam warung.
"sorry ganggu, ini ada titipan dari temen gue, Doni." ucap cowok itu, yang langsung nyamperin Gendis dan memberikan secarik kertas.
"Doni siapa? Gue nggak kenal, salah orang kali lo?" ucap Gendis, sambil melirik kertas yang bertuliskan nomor telfon dan si pemilik menuliskan namanya juga.
"cowok yang tadi sama lo di kolam renang."
"Doni nitip ini ke gue, karena dia nggak bisa ngasih langsung dan harus buru-buru pergi," ucap cowok ini lagi.
"nomor telfon tuh Ndis, ambil lah ...," ucap Ade berbisik.
Gendis mengambil kertas itu, sesuai bisikan Ade. Lalu bertanya, "buat apa ya?"
"yah ... jangan malu-maluin gue ngapa Ndis!" ucap Widi, sambil menyuntrung dahi Gendis.
Gendis nggak ngomong apa-apa, tapi kakinya reflek menendang Widi, karena ulah isengnya Widi tadi, yang ngenaiin dahinya Gendis yang benjol.
"I ... si Gendis, nggak peka pisan. Si Doni, hayang barter nomor hape," ucap Didot, ikut menimpali.
"Dot, lo pan, tau'nya ... kalau hape gue bapuk," Gendis membalasi ucapan Didot, dengan bahasa betawi, tapi di logat-logatin bahasa sunda.
"sorry ya, gue buru-buru, tadi Doni cuma nyampein itu ke gue, katanya minta langsung dikabarin."
Cowok ini pun segera pergi, setelah menyampaikan mandat dari sahabatnya yang bernama Doni.
"Simpen aja, siapa tau kan." ledek Bejo yang dibalas dengan tatapan sinis dari Gendis dan Gendis pun melanjutkan makan, lalu meletakkan kertas tadi di atas meja.
Gendis nggak menghiraukan nomor cowok tadi, karena Gendis juga nggak antusias untuk kenalan, dan menjalin pertemanan baru.
...----------------...
Gendis punya satu lagi teman dekat, yang satu-satunya perempuan, namanya Ria maya sari.
Maya, sahabat yang selalu manja ke Gendis. Padahal, Gendis lebih muda 1 tahun darinya. Tapi juga, Maya yang paling bisa bertahan sama emosinya Gendis, ketimbang keempat power rangernya Gendis.
Jam 12 setelah kelas bubar, Maya sudah menunggu Gendis di depan kelas.
Sebelumnya, Maya memang sudah memaksa Gendis, untuk menemaninya ke Star school, salah satu sekolah swasta bertaraf international.
Sekolah itu, sedang mengadakan pensi. Tapi, alasan Maya datang, bukan karena acara tersebut. Tapi, karena pacarnya, bersekolah di sekolah international tersebut.
Gendis mulai merasa kesal karena macet, gerah dan berdesak-desakan yang bikin mood nya Gendis makin menjadi-jadi.
Di dalam bus, Gendis terus merengut. Bukan karena nggak kebagian kursi, tapi karena Gendis berdiri selama 1 jam, dan Gendis merasa perjalanan mereka nggak sampai-sampai, akibat perjalan terhambat kemacetan.
"sabar ya Ndis," ucap Maya nggak enak hati, karena lihat mukanya Gendis yang bete banget.
Gendis hanya menjawab Maya dengan lirikan tajamnya, karena merasa ditipu Maya. Maya bilang, kalau perjalanan mereka nggak jauh, sebenarnya juga hanya alasan Maya, supaya Gendis nggak menolak permintaannya.
Penantian Gendis pun terkabulkan, saat bus mereka berhenti di tempat tujuan dan Maya pun langsung memeluk Gendis, untuk merayu sahabat nya ini.
"Maaf Ndis, lo bete ya?" ucap Maya, merayu.
"minggir ah! gue gerah nih!" keluh Gendis, sambil melepaskan pelukan Maya.
"cepet arahin jalannya, gue capek! Gerah! Aus! Laper!" ucap Gendis emosi, sampai meluapkan unek-uneknya setelah bebas dari desak-desakan di bus tadi.
Maya selalu pasrah kalau Gendis mulai emosi, karena bagian dari emosinya Gendis berasal dari Maya juga. Maya langsung mengarahkan jalan menuju Star school. Sekolah mewah, yang hanya di tempati murid-murid dari kalangan kaya.
Dan begitu sampai di depan gerbang sekolah itu, Maya mulai menelfon cowoknya. Mereka masih harus menunggu sekitar 15 menit lagi, karena cowoknya Maya baru mengisi acara di Pensi.
Maya semakin nggak enak hati melihat Gendis yang kesal setengah mati, Gendis juga sampai menghabiskan, sisa setengah air di dalam botol minumnya karena dehidrasi. Ditambah, Gendis memang nggak betah berlama-lama di luar rumah, dan ini kali pertama Gendis pulang sekolah dan main lumayan jauh dari rumahnya.
Security Star school membuka kan gerbang sekolah itu, keluarlah cowok yang diperkirakan adalah cowoknya Maya.
"Ndis?"
Gendis menoleh dengan wajah kesalnya, karena panggilan Maya.
"gue di luar aja," ucap Gendis menjawabi.
Gendis jelas menolak masuk ke sekolah tersebut, karena pastinya dia nggak bisa cari-cari alasan, supaya bisa pulang cepat kalau ikutan masuk ke dalam sekolah elit itu.
"yaah ... jangan gitu dong Ndis," ucap Maya mulai merayu Gendis lagi.
"masuk aja, di luar panas. Sekalian temenin Maya di kelas," ucap cowoknya Maya.
Nggak lama, ada dua orang murid laki-laki, yang menghampiri mereka di depan gerbang.
Keduanya, justru saling menunjuk Gendis, karena merasa pernah bertemu dengan Gendis.
"kakak, yang waktu itu ngasih nomor bukan sih?" tanya Gendis menerka-nerka, dengan keterbatasan daya ingatnya.
Cowok ini langsung saling pandang dengan teman cowok di sampingnya, dan sama-sama tersenyum mendengar ucapan Gendis.
"iya ... bener banget, gue Rezy," ucap cowok ini.
Ia juga langsung memperkenalkan cowok yang berdiri di sampingnya, yang adalah Doni.
Doni mengulurkan tangannya, mengajak Gendis berkenalan, begitu juga dengan Rezy.
Gendis diledek Doni, karena lupa sama Doni. Padahal, kejadiannya juga di hari yang sama, dan Doni duluan yang ketemu sama Gendis. Tapi ya, apa boleh buat, daya ingatnya Gendis memang bener-bener buruk.
Setelah akhirnya Gendis luluh, masuk sekolah internasional itu, dan menonton pensi sekolah mereka. Jam 7 malam, setelah acara pensi di sekolah itu selesai. Gendis pun, diantar pulang cowok bernama Doni.
Karena Nover, cowoknya Maya, masih ada rapat penutupan pentas seni di sekolahnya, Maya memilih menunggu pacarnya itu sampai selesai rapat.
Di perjalanan menuju rumah Gendis, Doni mulai mengajak Gendis mengobrol.
"Gendis, aku boleh tanya?"
"iya," jawab Gendis, terdengar canggung.
Gendis masih inget betul, kalau pertemuan pertamanya sama Doni, nggak baik-baik aja. Gendis juga ngerasa bersalah ke Doni, apalagi mereka harus bertemu lagi karena Maya.
"luka kamu yang kejedot tembok kolam renang, udah sembuh?" tanya Doni, yang juga terdengar canggung.
Padahal, pertanyaan itu juga bisa kejawab sama dirinya sendiri, kalau luka di dahinya Gendis udah sembuh.
Gendis menganggukkan kepala, seraya tersenyum, walaupun nggak kelihatan karena kehalingan helm. Tapi, Doni langsung bisa menebak reaksi Gendis, lewat kaca spion di motornya.
"kamu bisa senyum juga?" ledek Doni.
"kok, kakak tau?" Gendis langsung mengajukan pertanyaan.
Gendis juga sampai mencari tau, kalau-kalau ada kamera tersembunyi, yang membuat Doni tau, kalau ia sedang tersenyum. Tapi kemudian, Gendis tau dengan sendirinya, setelah mengarahkan kedua netranya ke kaca spion.
"kan ada kaca spion, terus juga mau nyoba ngajak bahas kejadian waktu itu, siapa tau pertanyaan aku tadi, bisa bikin kamu senyum." jelas Doni, terdengar kaku karena grogi.
"ya, walaupun nggak kelihatan jelas, senggaknya aku tau, kamu bisa senyum juga," ucap Doni lagi.
"ya biasa lah kak," ucap Gendis, membalasi perkataan Doni.
"terus, kenapa waktu itu kamu nggak bisa senyum?" tanya Doni, terdengar antusias.
Selain karena kepingin tau juga, Doni kepengin terus mengajak Gendis ngobrol, supaya perjalanan mereka nggak terkesan cepat berlalu.
Doni juga sampai mengendarai motornya dengan santai, yang secara nggak langsung, Doni memanfaatkan banget pertemuan keduanya dengan Gendis.
"mmm ... waktu itu, karena ada masalah," ucap Gendis canggung.
"dan sekarang, aku udah nggak kepikiran masalah itu lagi kok," ucap Gendis lagi.
"boleh tanya?" Doni segera memastikan, setelah Gendis menyelesaikan perkataannya tadi.
"memangnya, ada masalah apa, sampai bikin kamu kepikiran gitu?" lanjut Doni, menjelaskan pertanyaannya.
Gendis diam sejenak, mana mungkin dia cerita ke Doni, kalau dia lagi ada masalah sama Sinta, karena rebutan cowok.
"ada masalah, di sekolah." jelas Gendis, nggak mau bener-bener jujur menjelaskan, alasannya kepikiran masalah mak comlangnya Sinta.
Dony hanya merespon dengan anggukan kepala, lalu melanjutkan pertanyaan.
"oh iya. Rezy ngasih nomor telfon aku ke kamu kan?" tanya Doni memastikan.
"iya kak, tapi maaf ya. Hape Gendis rusak, kontaknya hilang semua," ucap Gendis, ngeles. Padahal, kertas yang dikasih Rezy waktu itu, malah ketinggalan di meja warung siomay.
"sampai sekarang masih rusak?" tanya Doni memastikan.
"iya." Gendis berucap, dibarengi dengan anggukan kepalanya.
"nanti kalau udah bener, kalau mau curhat masalah kamu. Aku siap dengerin kok."
"jangan ngelampiasin masalah kayak waktu itu, itu bahaya banget." ucap Doni lagi.
Gendis nggak sempet berkomentar, karena mereka sudah sampai di depan gang rumah Gendis.
Doni mulai mengajak Gendis ngobrol lagi.
"kira-kira ada lain kali, nggak?" tanya Doni ragu-ragu.
Doni terlihat banget berharap bertemu Gendis lagi, dia juga berharap bisa nganter Gendis sampai depan rumahnya. Tapi, karena portalnya sudah di tutup, Doni pun batal mampir.
Gendis menganggukkan kepalanya, Doni pun memutar arah motornya.
"sampai ketemu lagi Gendis." tandas Doni, dengan penuh harapan, dan ia pun pamit pulang.
...----------------...
Keluar dari gerbang sekolah, tangan Gendis ditarik seorang cowok memakai jaket hitam dan menutupi kepalanya dengan kupluk jaketnya.
"eh, apa-apaan nih?" tanya Gendis panik, sambil berusaha melepaskan tangannya dari cowok di hadapanya ini.
Cowok ini pun nggak menghiraukan ucapan Gendis, dia terus menarik tangan Gendis, sampai di depan pintu mobilnya. Namun, saat cowok ini membuka pintu mobilnya, Gendis berhasil diselamatkan.
"mau ngapain lo?" tanya cowok yang menyelamatkan Gendis.
Bola mata Gendis membesar, kali kedua, Gendis dibuat syok dengan aksi cowok ini.
'ADAM!' monolog Gendis, dalam hatinya.
"sorry, gue buru-buru. Ada urusan sama Gendis," ucap laki-laki ini, iapun membuka tutup kepalanya.
"Kak Rezy?" ucap Gendis, semakin dibuat kaget.
"lo kenal dia, Ndis?" tanya Adam memastikan, sambil memandang wajah Gendis dan Gendis hanya menganggukkan kepalanya. Itu pun, nggak berani melihat wajahnya Adam, karena Gendis grogi sampai bikin wajahnya merah, belum lagi Adam masih memegang tangan kanannya Gendis.
"ada apaan sih kak, narik-narik Gendis?" Gendis mengalihkan percakapan dengan Adam, yang langsung ia alihkan ke Rezy, sambil melepaskan tangannya perlahan dari Adam dan juga Rezy.
"penting Ndis pokoknya," ucap Rezy, yang masih merahasiakan niat penjemputannya.
Rezy juga terlihat ketakutan, dan kepingin buru-buru masuk ke dalam mobilnya.
"nanti gue jelasin di mobil deh," ucap Rezy menjanjikan.
"mendingan masuk ke mobil sekarang, biar cepet jalan," ucap Rezy lagi.
Adam menahan tangan Gendis lagi, dia masih nggak yakin, sekalipun sudah mendenger pembicaraan antara Gendis dan Rezy.
"Adam! Kamu ngapain di sini?" tanya Sinta tiba-tiba.
Adam terlihat kalang kabut, ketakutan mendegar suara Sinta.
Gendis dan Sinta juga saling beradu pandang, keduanya sama-sama nggak nyaman saat bertemu. Gendis langsung buru-buru masuk ke mobilnya Rezy, karena kehadiran Sinta dan bikin Gendis malas berurusan lagi dengan Sinta.
"sorry ya, gue maksa lo buru-buru masuk, soalnya kan gue bukan anak sekolah sini." Rezy berucap, seraya melepaskan jaketnya.
Gendis hanya menganggukkan kepalanya, dia nggak fokus karena bertemu dengan Adam dan juga Sinta.
"Kok diem aja Ndis?" tanya Rezy, yang merasa kalau Gendis hanya diam, sejak dia masuk ke dalam mobil.
"Oh ... nggak pa-pa kok kak, cuman lagi ngerasain panas!" Gendis memberi alasan, yang terasa canggung sembari memberikan senyuman memaksa, lalu melepaskan tasnya dari bahu dan di letakkan di samping kursinya untuk memudahkan Gendis menyenderkan punggungnya.
Rezy yang nggak ngerasa panas, terlihat kebingungan sampai mengecek ac mobilnya.
Sampai di tempat tujuan, Gendis menyapukan pandangannya, dia jelas merasa asing dengan rumah bertipe modern glass house.
Supirnya Rezy pun, langsung pergi dari rumah itu. Sementara Gendis, nggak dikasih kesempatan untuk bertanya kemana perginya supir Rezy, karena Rezy langsung membawa Gendis masuk ke dalam rumah tersebut.
Gendis langsung melihat Maya yang sudah duduk di kursi makan, Gendis baru pertama kalinya melihat teman-temannya Rezy dan Doni, selain Nover.
"katanya nggak enak badan?" sindir Gendis, karena Maya tadi pagi izin sakit, dan menitipkan surat ke Gendis.
Maya hanya memberikan senyuman ke Gendis, karena tau sudah percuma menjelaskan apapun ke Gendis.
"Siapa lagi nih? Siapa yang ngundang dua gembel ke sini?" sindir seorang perempuan sebaya dengan Gendis, dengan logat dan bahasa Inggris, dan terlihat kesal dari raut wajahnya.
Beruntung Gendis nggak mengerti, apa yang diucapkan perempuan yang duduk di hadapannya. Karena nggak lama, Doni langsung menjawab pertanyaan yang diucapkan temanya tadi.
"kenalin, dia Gendis. Gue sengaja undang dia untuk ngerayain acara spesial ini."
Perempuan yang komentar tadi, terlihat diam mendengar tuan rumahnya sendiri yang justru mengundang Gendis secara diam-diam, dengan meminta bantuan Rezy.
Sebelum Doni memulai acara yang disebutnya tadi, iapun memperkenalkan teman-temannya ke Gendis.
Doni memperkenalkan cewek pertama tadi, yang bernama Olivia Virginia, dia yang pertama komentar tentang kedatangan Maya dan juga Gendis ke rumah Doni.
Dari nama, wajah dan logat bicaranya yang ke bule-bule an, Oliv bukan keturunan Indonesia. Papanya asli warga negara Brasil, sementara Mamanya Oliv, asli orang Indonesia dan anak ini juga hampir mirip dengan Widi yang nggak suka kehadiran orang baru, yang bawaannya pasti akan negatif dan dingin ke orang yang baru dikenalnya. Dan terlihat juga, dari tatapan matanya Oliv pada saat Oliv dikenalkan ke Gendis.
Doni kemudian mengenalkan cowok yang terlihat memakai tongkat, kakinya juga diperban, dan dia bernama Bram gibran suseno.
Bram baru kembali berobat dari Singapura, Bram menjadi korban salah serang, anak-anak SMP yang tauran. Bram pingsan, setelah dipukuli saat keluar dari mini market, untuk menolong salah seorang kenalannya. Karena kejadian itu, kaki Bram patah saat diinjak. Dan beruntung, nyawa Bram terselamatkan dari sabetan samurai, karena pertolongan pegawai mini market.
Makanya tadi, Rezy terlihat ketakutan memasuki area sekolahnya Gendis, dan terlihat terburu-buru pergi dari sekolahnya Gendis, karena Rezy takut bernasib sama seperti Bram. Padahal, Rezy nggak perlu merasa takut, karena kedatangannya nggak akan dicurigai, soalnya dia berpakaian bebas, bukan berpakaian seragam sekolahnya yang berbeda dari sekolah negeri.
Rezy prakarsa andreas, laki-laki ini sudah Gendis kenal. Walaupun, baru ketiga kalinya mereka bertemu.
Rezy juga terlihat ramah, dan mau bergaul dengan berbeda kalangan. Kebiasaan itu dikarenakan, Rezy seorang gamer dan memiliki banyak teman di luar pertemanannya dengan Doni dan yang lainnya.
Doni memperkenalkan lagi 1 perempuan yang duduk di samping Oliv, dan terlihat menerima Maya. Namanya, Cindy kanaya lestari. Cewek ini, juga beda banget dari Oliv yang jutek. Cindy cewek yang cantik, diapun friendly banget ke Maya, sampai ke Gendis yang baru aja diperkenalkan sama Doni.
Yang terakhir, ada Steven ludwig aloysius. Cowok bule ini, pacarnya Cindy yang berkewarga negaraan Jerman dan bersekolah di Indonesia.
Gendis mulai melupakan perasaan mindernya berkenalan dengan anak-anak dari kalangan kaya, Gendis sama sekali nggak punya kepintaran bahasa asing dan juga nggak punya pede tinggi seperti Maya yang masa bodo dengan Oliv, yang nggak menerima kehadiran Maya.
Sementara Nover nggak dikenalin ke Gendis, karena menurut Doni, Gendis sudah banyak tau mengenai Nover dari Maya. Padahal, Gendis hanya tau kalau Nover terlahir dari ibu yang berwarga negara Indonesia, lalu ayahnya asli orang Belanda. Maya juga baru cerita-cerita mengenai Nover, yang sahabatan sama Doni semenjak kecil, karena mereka tetanggaan.
Doni pun menjamu tamunya, menarikkan kursi untuk Gendis yang sengaja didekatkan dengan kursinya Maya, lalu Nover duduk di sebelah kirinya Maya.
Setelah cake simpel, yang berhiaskan dekoran nama, disajikan di atas meja makan, Gendis baru mengerti acara yang ia hadiri.
Doni berulang tahun, dan Gendis terlihat kaget karena Doni, sempat-sempatnya mengundang Gendis untuk hadir.
Setelah serangkaian acara tiup lilin yang terpisah dari cake utama yang disajikan tadi. Doni pun menawarkan teman-temannya, dan juga Gendis untuk menikmati makanan yang sudah disajikan.
Belum sempat Doni menyendok, Doni langsung mendapat telfon dari orang tuanya yang selama ini sibuk bekerja. Dan jarang berada di dalam negeri.
Doni pun pergi, untuk menerima telfon dan mulailah Oliv menunjukkan ke benciannya ke Gendis dan juga Maya.
"bikin mood makan gue rusak aja!" gerutu Oliv dengan bahasa Inggris.
"Liv, nggak enakkan sama Nover," bisik Cindy menasihati Oliv.
Tatapan mata Oliv seakan menjawabi ucapan Cindy, kalau Oliv nggak perduli dengan emosinya Nover.
Gendis terlihat bingung, justru karena nggak mengerti ucapannya Oliv, tapi membaca mimik wajah Oliv. Gendis malah merasa, kalau ia nggak diterima di tempat itu.
"gue pulang ya?" pinta Gendis sambil berbisik.
"habis makan ya Ndis?" ucap Maya, sambil tersenyum.
Maya juga sama dengan Gendis, nggak mengerti bahasa asing. Tapi karena Maya sudah sering mendengar, dan melihat Oliv berkata-kata kasar dan merendahkannya. Lama kelamaan, Maya pun kebal dengan ucapan Oliv. Dia menganggap, Oliv tidak berbicara dengannya selama Oliv menyindir menggunakan bahasa Inggris.
"May, nanti kalo Bunda nyariin gue gimana? Lo tau sendirikan, kondisi hape gue?" ucap Gendis memberi tau, sekaligus memberikan alasan, karena nggak nyaman dengan Oliv.
"itu bisa diatur Ndis, mending sekarang makan, habis makan kita pulang bareng." Maya sambil menuangkan nasi, lauk-pauk dan sayuran, ke piring makan di hadapannya dan juga di hadapan Gendis.
"Ver ... bilangin cewek lo dong, inget temen!" Oliv berucap lagi, yang langsung menyambar, menegur Maya lewat Nover.
"Doni kan juga belum makan!" lanjut Oliv, kali ini Oliv mempergunakan bahasa Indonesia.
Nover tersenyum ketus, nggak menghiraukan Oliv, dan tetap memandangi Maya yang menyendoki nasi beserta lauknya.
"lagian juga, mereka kan nggak biasa makan, makanan enak. Nanti mereka keenakan nambah lagi," protes Oliv lagi.
Nover tetap diam dan nggak menghiraukan ucapan Oliv.
Maya mulai berisap membalas ucapan Oliv.
Maksud Maya menuang makanan, juga bukan untuk dinikmatinya sendiri. Makanya juga, Nover hanya diam supaya Oliv melihat sendiri perhatiannya Maya ke Nover.
Maya memberikan piring yang diisinya tadi, untuk diberikan ke Nover.
"kamu, nggak makan?" tanya Nover memastikan.
"aku makan berdua Gendis aja, nanti ada yang ngoceh-ngoceh," sindir Maya dengan suara pelan, bukan karena takut, tapi memang nggak mau mengundang emosinya Oliv.
Tapi nyatanya, Gendis juga nggak nafsu makan, karena mendengar ocehan Oliv. Gendis malah teralihkan ke Maya, yang terlihat menahan air matanya.
Maya mulai nggak tahan sama mulutnya Oliv, yang nggak ada berhentinya menyindir, kali ini yang disindirnya, justru cara makannya Maya, yang menurut Oliv berlebihan, dan nggak mandang, kalau dia lagi makan sama Nover.
"Nover! Liat tuh cewek lo, bikin nafsu makan gue hilang tau nggak!" tegur Oliv, seraya menggebrak meja.
"lo ngapain sih Liv? Ngagetin gue aja!" sewot Bram, yang menikmati makan malamnya, dan begitu Oliv menggebrak meja, Bram tersedak.
"lihat tuh, cewek nya Nover." Oliv mengadu, sambil menunjuk Maya yang memang ada di depannya Oliv persis.
"udah sih Liv ... emang salahnya Maya di mana sih?"
"itukan caranya mengharga masakan rumahnya Doni."
"malahan, aku jadi keikutan laper, karena liat Maya makan," ucap Cindy sampai ketiga kalinya ia berucap, supaya Oliv mau berhenti mengomentari Maya.
"tau nih Oliv, makan aja sih." sindir Maya.
"sayang kan, makanan seenak ini nggak dihabisin, cuma karena liat cara makan gue," ucap Maya lagi.
Oliv sengaja dibikin makin kesal, sama Maya yang berbicara dengan makanan yang memenuhi mulutnya.
Gendis mendorong kursinya, mau bangun untuk menarik Maya supaya pergi. Namun, Maya malah menahannya.
"lo mau makan nggak Liv? Nanti kehabisan loh sama gembel di dalem perut gue," sindir Maya dengan nada suaranya yang mulai bergetar, mengisyaratkan air matanya sebentar lagi akan menetes.
Maya terbiasa menahan ucapan Oliv yang kasar, dan nggak pernah lihat sikon sama sekali, sekali pun di depan Nover.
Saking keseringan, Maya cuma bisa membalas dengan kata-kata yang semakin membuat Oliv kesal, dan ujung-ujungnya, Oliv bakalan pergi karena nggak bisa melawan ucapan Maya.
"gue udah nggak nafsu makan gara-gara liat muka lo!" ucap Oliv dan Oliv pun bangun lalu melempar napkin.
Oliv bermaksud mau menghindar dari pertengkaran, tapi justru napkin itu mengenai gelasnya Maya dan airnya tumpah ke roknya Maya.
Maya menarik nafasnya dalam-dalam, dibantu Gendis yang melap roknya Maya dan pada akhirnya, air mata Maya pun tumpah. Dan membuat Bram, Rezy, Stev dan juga Cindy berhenti makan, karena lihat kesabarannya Maya yang sudah menipis.
Maya langsung menarik tangan Gendis, dan mengajak sahabatnya pergi.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!