"Kenapa dadaku terus berdebar, ya?" tanya Puella pada sang kekasih yang kini sedang mengendarai mobil.
"Mungkin karena ini kali pertamamu akan bertemu orang tuaku," jawab Orsino Giatrakos.
Sepanjang perjalanan, tangan kanan Orsino selalu menggenggam sang wanita. Ada keringat dan ia yang lebih gugup dibanding Puella. Demi apa pun, takut sekali kalau kekasihnya akan dihina dan berakhir sakit hati.
Puella Beradette Giorgio dan Orsino Giatrakos sudah empat tahun menjalin hubungan. Namun, hanya Orsino yang selalu dikenalkan ke keluarga sang wanita. Sementara Puella belum pernah sekali pun bertemu keluarga sang pria.
Bukan tanpa alasan, Orsino melakukan itu karena ia ingin melindungi perasaan Puella. Terlalu mencintai sang kekasih sampai berusaha menjauhkan hal-hal negatif yang bisa saja merusak suasana hati maupun psikis. Sebab, tahu betul bagaimana tabiat orang tuanya. Ada ketakutan jika mommynya akan mengeluarkan kata-kata setajam pisau baru.
Akan tetapi, kali ini Orsino terpaksa membawa kekasihnya untuk bertemu orang tuanya. Dia terlanjur janji akan mengenalkan.
Mereka berdua memiliki rencana untuk menikah, demi mengabulkan satu-satunya permintaan terakhir mommynya Puella yang menginginkan sang anak hidup bahagia bersama orang yang dicintai. Tapi, Puella ingin mengenal keluarga Orsino juga sebelum pernikahan berlangsung. Jadilah kini mereka berdua sedang perjalanan menuju kediaman orang tua Orsino.
Baik Puella dan Orsino, sama-sama sedang bergelut dengan pikiran masing-masing. Si wanita gugup karena takut salah bicara pada calon mertua. Sementara pria itu ada kerisauan yang amat dalam, khawatir kalau orang tuanya akan memberikan hinaan karena kekasihnya memang berbeda dari kebanyakan manusia di luar sana. Puella itu istimewa.
Sesampainya di depan rumah tujuan, Orsino menyandarkan punggung sebentar dan menghirup udara dalam. Puella melihat gurat resah itu pun mengusap kening sang kekasih yang tengah berkerut dalam. "Aku akan baik-baik saja, Ors. Ayo, kita turun."
Takut hanyalah untuk mereka yang merasa dirinya pecundang. Puella saja terlihat penuh percaya diri walau ia selalu menunjukkan keraguan dan keresahan secara jelas. Lantas, untuk apa takut.
Orsino turun dari mobil. Ia bantu Puella untuk memijakkan kaki di atas paving. Menggenggam dan saling menguatkan. Berjalan pelan karena sang wanita tidak bisa bergerak seperti orang normal pada umumnya.
Masuk begitu saja ke dalam, suasana sangat sepi. Bagai ditinggal penghuni.
"Duduk dulu, aku panggilkan Mommy." Orsino membawa Puella ke ruang tamu, membantu duduk di sofa juga. Daddynya sudah meninggal tahun lalu.
Bergegas ke kamar utama. Padahal sebelumnya Orsino telah memberi tahu kalau akan ada orang yang ingin diperkenalkan. Tapi, mungkin lupa.
"Mom?" panggil Orsino saat mengetuk pintu. "Ada tamu."
"Siapa?" sahut suara dari dalam.
"Orang penting," beri tahu Orsino.
"Sebentar."
"Oke, aku tunggu di ruang tamu." Orsino kembali menghampiri Puella dan duduk di samping sang kekasih.
Mereka menunggu beberapa menit. Barulah pemilik rumah itu keluar dan menemui tamu yang dimaksud.
"Namanya Melly Giatrakos." Orsino membisikkan itu supaya Puella tahu.
Pandangan Melly tidak henti menelusuri dari ujung kepala sampai kaki. Puella seolah sedang dipindai oleh mata yang amat tajam dan memancarkan tidak suka.
Tapi, Orsino tak pernah melepaskan genggaman tangan seolah mau memberi tahu pada orang tuanya bahwa Puella adalah segalanya, kekuatannya. "Mom, kenalkan, ini kekasihku, Puella Beradette Giorgio."
"Ha? Tidak salah? Seleramu buruk sekali," ucap Melly secara spontan. Ia tersenyum meremehkan. Dilihat dari segi manapun, Puella bukanlah tipe menantu idaman. Jauh sekali.
Puella tetap mengulas senyum meski mendapatkan tatapan sinis dari wanita yang duduk di hadapannya. Dia ingin melepaskan genggaman supaya kekasih tidak dihina oleh orang tua sendiri karena memiliki pasangan seperti dirinya. Namun, justru Orsino semakin erat.
Sekarang Puella tahu apa yang membuat Orsino takut dan resah sejak kemarin. Juga maksud sang pria yang mengatakan bahwa keluarga mereka berbeda. Ini hanya tentang perlakuan saja. Orsino sangat diterima dengan baik, sementara dirinya harus dihadapkan oleh setiap kalimat merendahkan.
Meski begitu, Puella tak mau menunjukkan bahwa ia tersinggung. Sudah cukup biasa menghadapi orang yang melihatnya remeh. Lagi pula telah berjanji juga kalau apa pun yang didengar hari ini, tidak akan dimasukkan ke dalam hati.
Jadi, saat Orsino melirik ke arah wanitanya, hanya ada wajah ceria seperti biasa. Dia harap itu bukan raut yang dibuat-buat hanya untuk membuatnya tenang.
"Siang, tante," sapa Puella dengan sangat ramah.
"Tante? Sejak kapan aku menikah dengan ommu?" sinis Melly. Bibir mencebik kesal. Sangat tidak menunjukkan kebaikan sedikit pun. Jika tidak suka, pasti akan selalu diperlihatkan secara terang-terangan.
"Mom!" tegur Orsino. Dia meminta agar tidak memperlakukan sang kekasih seperti seorang musuh.
Namun, Melly tidak peduli. "Panggil aku Nyonya!" titahnya kemudian.
"Puella bukan pelayan di sini, Mom! Yang benar saja!" Suara Orsino sedikit meninggi. Tidak terima kalau kekasih yang dicintai direndahkan begitu saja.
Sementara Puella berusaha menenangkan pria yang sejak tadi berusaha mati-matian membelanya. Mengusap punggung tangan Orsino. "Tidak apa, jika itu salah satu cara untuk melunakkan hati mommymu, maka akan ku lakukan," bisiknya.
"Tidak, Pu. Jika kau memanggilnya Nyonya, maka aku pun akan melakukan itu juga. Walau dia adalah mommyku," putus Orsino. Mata melirik pada orang tuanya sebagai ancaman.
"Lihat, belum apa-apa sudah memberi pengaruh buruk pada anakku." Melly melotot bagai seluruh bola matanya hendak keluar semua.
"Ors, jangan lakukan itu. Bagaimanapun, dia adalah mommymu." Puella mengusap lengan sang kekasih.
"Tak usah sok baik dengan putraku. Cepat katakan, apa tujuanmu datang ke sini?" Melly segera memotong adegan romantis di depan mata yang membuatnya panas tak terima. Terlalu menggelikan.
"Aku ingin mengenal keluarga Orsino," beri tahu Puella.
Melly tertawa meremehkan. "Aku tidak sudi mengenal wanita sepertimu." Jarinya menunjuk penampilan Puella dari atas sampai bawah. "Lihat dirimu, tidak sepadan dengan kami."
"Mom!" sentak Orsino. Kali ini kesabarannya mulai habis. "Bisa jaga bicaranya? Aku membawa Puella ke sini supaya kalian bisa saling kenal. Bukan untuk dihina!"
Ada hembusan napas kasar keluar dari bibir Melly. Baru kali ini anaknya berbicara dengan nada tinggi, hanya karena perlakukannya pada wanita yang memang tidak pantas masuk ke dalam keluarganya.
"Oke." Melly melipatkan kedua tangan di depan dada. "Berapa umurmu?"
"Dua puluh enam tahun."
"Masih muda, tapi kau terlihat tua sekali." Melly kalau bicara sepertinya tak pernah dicerna terlebih dahulu dalam otak, main ceplos saja tanpa memikirkan apakah itu baik atau tidak.
"Iya, mungkin karena badanku berisi dan tidak seksi seperti kebanyakan wanita di luar sana." Puella tetap menerima dan menanggapi hinaan itu dengan tenang. Dia memang tidak pernah tersulut amarah.
Orsino rasanya tidak sabar mendengar komunikasi mommy dan kekasihnya. Hanya berisi hinaan terus. Maka, lebih baik segera selesaikan, lalu mengantarkan Puella pulang. "Mom, tujuanku ke sini dan membawa wanita yang sangat ku cintai adalah ingin memberi tahu kalau kami akan menikah." Ia rangkul pundak yang selalu memberikan kenyamanan itu.
Anaknya memiliki kekasih yang jauh dari standarnya saja sudah membuat Melly terkejut tak suka. Apa lagi sekarang mendengar kalau mereka akan menikah. "Kau gila, ya?! Wanita cacat seperti dia mau dijadikan istri?"
Puella menyentuh kaki kirinya. Itu adalah palsu, buatan manusia. Sejak lahir, dia memang tak memiliki fisik sempurna. Kakinya yang utuh hanya satu di bagian kanan. Sementara yang sebelah hanya sebatas di atas lutut. Kondisinya memang istimewa, tapi tidak pernah menjadikan sebagai alasan untuk terpuruk oleh keterbatasan yang dimiliki.
Kaki palsu buatan prostesis, orang yang berkeahlian untuk membuat kaki palsu atau prostesa. Setiap hari Puella dibantu dengan itu jika mau berjalan, atau terkadang juga menggunakan kursi roda listrik yang bisa dilipat dan mudah dibawa kemanapun perginya.
Puella bisa saja menyembunyikan kaki palsu itu dengan memakai rok panjang. Tapi, dia ingin memperlihatkan dirinya yang asli, tanpa menutupi apa pun karena merasa bahwa hubungan yang baik berawal dari kejujuran dan rasa terbuka. Memang sudah menyiapkan hati juga kalau sewaktu-waktu kondisi istimewanya tidak mudah diterima.
"Iya, aku memang sedikit berbeda dari kebanyakan wanita. Mungkin fisikku tak sempurna, sejak lahir hanya memiliki satu kaki. Tapi, tidak perlu risau, selama ini aku bisa melakukan banyak aktivitas," beri tahu Puella. Dia bukan membanggakan diri karena masih bisa melakukan apa pun sendiri. Tapi, hanya berniat memberi tahu bahwa ia tidak akan menyusahkan Orsino.
"Cih! Kau pikir aku akan luluh begitu saja dengan kesombonganmu itu? Punya kaki satu dan bisa melakukan aktivitas sendiri saja bangga," cibir Melly. Bibirnya sampai mencebik.
Tetap harus tersenyum. Menghadapi orang yang seperti itu tidak perlu menggunakan amarah. Puella manusia paling sabar dan berhati lembut. "Iya, aku sangat bangga karena keterbatasan yang dimiliki, tidak membuatku harus bergantung diri pada orang lain." Pandangannya beralih pada Orsino yang sedang menatap tajam ke arah depan. Menyentuh rahang yang kini sedang mengeras seolah mengatakan bahwa dalam kondisi menahan amarah. "Aku mencintai putramu, dengan tulus."
"Begitu juga dengan aku, sangat mencintai Puella." Orsino ikut meyakinkan orang tuanya.
Secara terang-terangan Orsino melakukan gerakan romantis, mengecup kening Puella dengan kurun waktu lima detik. Dalam dan penuh oleh ungkapan rasa. "Jadi, jangan halangi kami untuk bersatu." Setelah memandang lekat mata berbinar yang selalu menutupi kesedihan, ia menyorot tajam penuh keyakinan pada mommynya. "Restui kami."
Melly menguap dan menutup mulutnya seolah bosan melihat Puella. "Sudah dramanya? Aku mengantuk, si cacat membuat mataku ingin terpejam." Ia kucek kelopak mata. "Sakit sekali penglihatanku menyaksikan anakku membawa wanita berkaki satu di depan mata."
"Mom! Kau wanita berpendidikan, seharusnya bisa menjaga mulut. Jika seperti ini, terlihat seperti berandalan yang tak punya etika!" Orsino mengomel. Jelas saja ia bela Puella. "Memangnya kau pikir anakmu ini tidak memiliki keterbatasan juga? Aku pun sama, tak sempurna!"
"Setidaknya kau tak cacat seperti dia." Melly berdiri dan meninggalkan ruang tamu begitu saja. Tanpa memberikan jawaban apa pun atas permintaan restu sang anak.
Puella mengusap punggung dan dada sang kekasih yang mulai nampak naik turun. "Sabar, tidak apa. Nanti dicoba lagi. Mungkin mommymu masih terkejut karena ini pertama kali bertemu denganku."
Orsino yang merasa tak enak hati. "Tunggu di sini sebentar, ya? Aku coba bujuk Mommy lagi." Mengecup puncak kepala Puella. Ia menyusul orang tuanya yang sudah masuk ke dalam kamar.
"Mom, apa kau tahu Puella itu siapa?" Orsino langsung menembak dengan sebuah pertanyaan, seraya menutup pintu agar rapat dan pembicaraan mereka tidak tembus ke luar ruangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!