NovelToon NovelToon

Trust Me

Bagian 1

Suara riuh ramai dari para atlet serta penonton menjelang upacara apel pembukaan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS), yang tahun ini diselenggarakan di Palembang, Sumatera Selatan.

Antusiasme dari para atlet pelajar yang terdiri dari 38 provinsi siap meramaikan berbagai cabang olahraga dalam POPNAS 2023 di Palembang, Sumatera Selatan.

Seorang gadis dengan jaket berwarna hijau botol yang berasal dari kontingen Jawa Tengah, kini sedang fokus memperhatikan barisan dari kontingen di sebelah kanannya, yaitu DKI Jakarta. Di mana gadis itu yakin kalau seseorang yang dinantikannya seharusnya ada di barisan tersebut.

Menelisik satu per satu barisan para lelaki tampan dari kontingen sebelah. Mata gadis itu tertuju pada sosok lelaki bertopi yang senada dengan warna jaketnya, yaitu merah. Senyum sumringah sekaligus lega terukir di wajah gadis tersebut. Benar itu adalah kekasihnya, yang belum lama ini menjalin hubungan jarak jauh dengannya.

Segera ia mengambil ponsel dari tasnya untuk mengirim pesan pada kekasihnya itu.

...My LoFerly...

^^^Aku melihatmu😉^^^

...****************...

Ketika semua atlet pelajar antusias untuk mengikuti penyelenggaraan POPNAS 2023 di Palembang ini, ada satu orang yang belum siap menjadi bagian dalam acara ini. Tapi entah kenapa, ia mengiakan begitu saja dan bersedia bergabung dalam tim sepak bola gabungan di sekolahnya.

Memakai topi serta jaket berwarna merah, kedua tangannya dimasukkan dalam saku. Ia mengepalkan kedua tangannya di sana, menutupi rasa gugup dari ketakutannya sendiri. Pandangannya lurus ke tengah lapangan, di mana para petugas upacara tengah bersiap memulai upacara apel pembukaan. Ditariknya napas dalam-dalam, menghilangkan keresahan yang mengganggunya sejak tadi.

"Lo nggak apa-apa kan, Fer?"

Ferly menoleh ke arah sahabatnya yang ia kenal sejak pindah sekolah ke SMA Phoenix, kemudian mengukir senyuman guna meyakinkan sahabatnya kalau dia baik-baik saja.

"Gue nggak apa-apa, kok," ucapnya.

Meski tak bisa sepenuhnya percaya, tapi Randi tahu sahabatnya itu masih berusaha beradaptasi dan mengontrol diri.

Tak berapa lama kemudian, Ferly merasakan ponselnya bergetar. Dilihatnya notifikasi pesan yang masuk di layar ponselnya, menciptakan seulas senyum di bibirnya saat nama pengirim pesan terpampang di layar pop up.

...Irish Gita...

Aku melihatmu😉

Sebelah alis Ferly terangkat membaca pesan itu, tapi juga heran bagaimana kekasihnya itu bisa menemukannya di tengah keramaian di lapangan seperti saat ini?

Tak langsung membalas pesan kekasihnya, Ferly menoleh menelisik sekitarnya, tak mau kalah dengan kekasihnya yang telah menemukannya lebih dahulu. Kemudian Ferly menyadari, sebelah kiri kontingen DKI Jakarta adalah kontingen Jawa Tengah, pantas saja kekasihnya bisa menemukannya.

Menoleh sedikit ke belakang, namun terhalang oleh Randi yang berdiri di sebelahnya. Ferly sedikit mendorong Randi ke depan, dan benar saja, terlihat senyuman kekasihnya yang tampak lebih manis dari gulali itu membuatnya terpukau. Ferly sumringah, merasa lega karena perjuangannya ikut ke Palembang tidak sia-sia.

Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama, Randi yang tidak tahu apapun itu kembali ke posisinya dan menghalangi pandangan Ferly untuk melihat Irish. Melihat gelagat Ferly yang menurutnya aneh, Randi pun mengikuti arah pandang Ferly. Namun tak tahu siapa yang sedang dilihat oleh Ferly.

Ferly pun menyadari kecurigaan Randi terhadapnya, beruntungnya Irish juga sigap dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Lo lihatin siapa, Fer?"

Berdehem singkat, Ferly tak langsung menjawab. Alih-alih mencari alasan.

"Lihatin bidadari yang senyumnya lebih manis dari gulali," seloroh Ferly yang sedikit membuat Randi terperangah.

Kembali menoleh ke belakang, namun yang terlihat hanya barisan dari kontingen-kontingen lain, di mana mereka juga tidak saling mengenal. Dan tentu saja, ada banyak gadis cantik yang ikut berbaris di sana. Namun mengingat sifat sahabatnya itu, Randi memilih cuek saja dan kembali fokus pada upacara apel.

...****************...

Berdiri di samping Irish yang sejak tadi tak berhenti tersenyum, April menyenggol lengan Irish pelan. Menyadarkan gadis itu dari lamunan serta seringai anehnya.

"Lo kenapa dari tadi senyum-senyum mulu?" April bertanya bingung. Tidak biasanya Irish bertingkah seperti ini.

Masih dengan senyuman yang kata Ferly lebih manis dari gulali itu, Irish dengan percaya diri menjawab, "lihatin pangeran yang bikin hatiku meleleh, dong."

April melengos mendengar jawaban itu, kemudian mengikuti arah pandang sahabatnya. Melirik nama kontingen DKI Jakarta yang bersebelahan dengan kontingen mereka, April akhirnya paham mengapa sahabatnya seperti itu.

"Oh... paham gue sekarang. Pacar LDR lo itu ternyata benaran ada, toh," singgung April.

Sedikit kesal, segera Irish menyikut pelan tangan April. "Lo kira selama ini gue bohong? Ya, kali gue berkhayal punya pacar, Pril."

Sembari melipat kedua tangannya di depan perut, April kembali menelisik ke arah lelaki yang katanya adalah 'pacarnya Irish', meski tidak tahu pasti wajahnya seperti apa.

"Oke... Kalau begitu, kenalin dia ke gue harusnya nggak masalah kan? Karena gue nggak mau sahabat gue sampai salah pilih orang," selorohnya penuh perhatian.

"Lihat situasi deh, gue kan juga belum pasti bisa ketemu dia," sangkal Irish.

...****************...

"Lo tadi ngelihatin siapa, Fer?"

Meski tidak ingin pusing memikirkannya, namun Randi tetap saja ingin tahu.

"Kok nggak dijawab, sih?!" Desak Randi lagi.

Kini mereka tengah berjalan menuju kamar hotel yang telah dipersiapkan oleh pihak penyelenggara.

Namun alih-alih menjawab, Ferly tetap diam dan mempercepat langkah kakinya supaya cepat sampai ke kamarnya. Meski itu sia-sia, karena dia akan tetap sekamar dengan tim dari sekolahnya, termasuk Randi.

"Fer!" cegat Randi menahan Ferly yang hendak masuk ke kamar, "jawab dulu, dong!"

Menghela napas panjang, Ferly jengah dengan kicauan sahabatnya itu.

"Nggak ada yang perlu dijawab, Ran. Mau gue jawab gimanapun juga lo pasti nggak percaya, kan?!" pungkas Ferly menepis tangan Randi yang sejak tadi menempel di pundaknya.

...****************...

Bagian 2

...Irish Gita...

^^^I miss you💚^^^

^^^Maaf, baru balas^^^

^^^Aku baru sampai hotel^^^

^^^Nanti lanjut latihan lagi^^^

Akhirnya Ferly bisa membalas pesan kekasihnya yang sempat tertunda. Meski tidak memungkiri bahwa ia juga senang dengan kehadiran sang kekasih, tapi juga ada kekhawatiran lain yang menyelimuti dirinya sejak tadi.

Bagaimana jika Irish melihatnya gugup saat bertanding nanti?

Bagaimana ia akan mengendalikan dirinya ketika harus bertanding di hadapan ratusan pasang mata secara langsung?

Menatap ponselnya nanar, Ferly bukan menunggu balasan dari sang kekasih. Namun, ia kembali teringat perihal yang membuatnya bisa sampai ke Palembang.

Walaupun sebenarnya dia belum sepenuhnya mengatakan 'iya', tetapi melihat teman-teman, para guru, serta orangtuanya yang tampak berharap padanya. Ferly tidak berani membuat mereka kecewa karena keputusan sepihaknya. Meski jika dilakukan juga hatinya sendiri lah yang akan terluka.

...----------------...

...(Maret 2023)...

Di hadapan Ferly kini ada Pak Hardi sebagai kepala sekolah SMA Phoenix. Di samping Pak Hardi ada Pak Erga sebagai guru olahraga kelas tiga. Sementara di samping Ferly, duduk Pak Abyan sebagai wali kelasnya.

Ferly mirip seperti murid yang hendak disidang, karena raut wajah ketiga guru di depannya pun terlihat serius. Membuat Ferly kebingungan. Tadi saat hendak pulang sekolah, Pak Abyan mengajaknya ke kantor guru karena ada yang ingin disampaikan padanya.

Berdehem singkat, Pak Erga hendak memulai percakapan di antara mereka.

"Begini Ferly, kamu itu kan sudah mau naik kelas tiga. Tapi, berdasarkan nilai raport kamu satu semester ini, untuk pelajaran olahraga masih kosong..."

Ferly mendengarkan tanpa berani menyela. Memang sejak kepindahannya ke SMA Phoenix awal tahun ini, Ferly belum mengikuti mata pelajaran olahraga sama sekali. Bukan tanpa alasan, melainkan karena kondisi Ferly yang masih dalam masa pemulihan. Hal itu juga sudah diketahui oleh pihak sekolah, sehingga setiap pelajaran olahraga berlangsung, Ferly akan pergi ke perpustakaan untuk membaca buku.

"... Kami juga sudah berdiskusi dengan orangtuamu, karena kami ingin kamu ikut berpartisipasi dalam acara POPNAS bulan September nanti. Dan, mereka mengizinkan kamu untuk melakukan tes kesehatan supaya kamu bisa ikut serta dalam penyelenggaraan POPNAS nanti," jelas Pak Erga.

Ferly terperangah, sedikit tak percaya dengan pendengarannya sendiri. POPNAS? Tahun ini?

"Maaf, Pak. Ap--Apa? POP--POPNAS? Maksudnya gimana, ya?"

Melirik ke arah Pak Abyan untuk membantu menjelaskan, sementara yang dilirik hanya mengangguk saja, seakan sudah tahu semuanya. Ferly sama sekali belum mengerti dengan apa yang dimaksud Pak Erga.

"Begini Ferly, nilai pelajaran olahraga kamu sudah kosong di semester ini. Karena kamu juga akan naik ke kelas tiga, tidak mungkin nilai olahragamu kosong lagi. Jadi, pihak sekolah sudah sepakat untuk mengikut-sertakan kamu dalam penyelenggaraan POPNAS bulan september nanti," jelas Pak Hardi selaku kepala sekolah.

Ferly masih tak bisa mencerna penjelasan dari Pak Hardi. Ia menelan air ludahnya susah payah, mulai merasakan hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Tidak mungkin ia ikut POPNAS, kan?

"Ehm... Jadi, maksudnya saya harus mengisi nilai olahraga saya yang kosong kan, Pak?"

Pak Hardi dan Pak Erga mengangguk kompak.

"Kalau begitu saya bisa mengerjakan soal-soal ujian mapel olahraga saja, Pak. Bukannya kesepakatannya juga seperti itu, ya?"

Ucapan itu sepertinya di luar dugaan, mereka tak mengira Ferly bisa memberi jawaban seperti itu.

Pak Erga melirik ke arah Pak Abyan guna membantu supaya bisa membujuk Ferly.

Pak Abyan yang seakan mengerti kode dari Pak Erga, mulai mengeluarkan suaranya.

"Ehm... Ferly. Yang dimaksud Pak Erga itu untuk nilai praktik kamu, bukan nilai tertulis. Kamu tahu nanti kelas tiga pasti ada ujian tertulis dan praktik, kan?! Nah, yang ingin dikejar oleh Pak Erga adalah nilai praktik kamu itu," ungkap Pak Abyan.

Meski dalam hati sebenarnya mengiakan, namun Ferly tidak boleh terkecoh. Bisa saja itu hanya trik mereka untuk menggoyahkan pendiriannya.

"Saya bisa praktik langsung bareng teman-teman kalau memang diperlukan, Pak. Nggak perlu sampai ikut POPNAS."

Walaupun sedikit takut, tapi jika memang harus dilakukan. Mau tidak mau Ferly harus kembali ke dunia yang mengubah hidupnya.

Tidak ingin kehabisan akal, Pak Erga segera mencari alternatif lain untuk membujuk Ferly.

"Bukan itu yang saya maksud, Ferly. Ehm... Apa kamu tidak tertarik untuk berpartisipasi di POPNAS?"

"Tidak."

Ketiga guru di sana tercengang mendengar jawaban Ferly yang singkat, padat, dan di luar nalar itu. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak tertarik untuk ikut serta dalam perayaan olahraga terbesar bagi para pelajar di seluruh Indonesia?

Ferly juga terkejut mendengar penolakan telak dari dirinya sendiri. Bukan soal minat, tetapi soal rasa takut dalam dirinya yang masih terbayang-bayang akan kejadian tahun lalu. Dimana saat itu dia dan sekolah lamanya juga sedang menyiapkan diri untuk seleksi POPNAS 2023. Namun, ia harus mengurungkan niatnya karena suatu alasan.

Pak Abyan yang sejak tadi mengamati raut wajah muridnya itu seakan tahu ada kegelisahan dari lelaki yang duduk di sampingnya itu. Tidak ingin membuatnya semakin gelisah, Pak Abyan malah menyuruh Ferly pulang dan segera istirahat. Membuat Pak Hardi dan Pak Erga harus menahan diri.

Namun, bukan karena sudah menyerah. Pak Abyan menjelaskan bahwa mereka perlu berjuang lebih keras lagi untuk membujuk Ferly. Sama halnya dengan trauma yang tidak mungkin bisa disembuhkan dengan sekali terapi. Semua harus bertahap dan tidak bisa memaksakan kehendak sendiri.

Ferly juga sedang berjuang memulihkan diri dari traumanya, dia juga perlu waktu untuk beradaptasi dengan lingkungannya di SMA Phoenix. Jadi, tidak bisa jika memaksanya menuruti kehendak satu pihak saja. Meski memiliki niat yang baik, semuanya juga butuh proses.

...Keesokan harinya......

Pak Abyan kembali menemui Ferly usai bel pulang sekolah, mengajaknya ke taman belakang sekolah, di mana dari sana akan terlihat lapangan futsal. Meski sudah tahu maksud gurunya itu, Ferly juga tidak bisa menolak perintah gurunya itu.

"Kamu yakin tidak ingin ikut POPNAS tahun ini? Padahal banyak siswa lain yang ingin berpartisipasi juga, lho," ujar Pak Abyan basa-basi.

"Kalau begitu ajak mereka saja, Pak. Saya sama sekali nggak minat."

Ternyata Ferly masih gigih dengan pendiriannya.

Tidak kehabisan akal, Pak Abyan menyuruh Ferly memperhatikan teman-temannya yang sedang berlatih futsal. Di sana ada Randi sebagai kapten, juga teman-temannya dari kelas lain. Namun, Ferly melihat mereka dengan pandangan yang biasa saja. Sepertinya dia memang tidak tertarik dengan olahraga apapun.

"Saya sedikit tahu apa yang kamu alami di sekolah kamu sebelumnya, tapi saya tidak ingin kamu menjadikan itu alasan untuk terus mengurung diri seperti sekarang. Bukan hanya pihak sekolah saja yang menyayangkan bakatmu, tetapi juga orangtuamu yang ingin kamu kembali aktif seperti dulu..."

Ferly terdiam, bayangan kejadian hari itu kembali muncul dalam ingatannya. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya ada rasa ingin kembali ke dunia yang disukainya. Tetapi jika dia memaksa untuk kembali, akankah semuanya tetap baik-baik saja? Atau, kejadian itu akan terulang kembali?

"... Jika kamu ingin tahu, kalau sebenarnya orangtuamu lah yang meminta kami untuk membujuk kamu. Mereka tahu kamu mempunyai bakat di basket, tapi mereka juga tahu kamu tidak bisa bermain basket lagi. Jadi, kami ingin memasukkan kamu dalam tim futsal selama POPNAS nanti..."

Ferly mendengarkan dengan seksama, dia juga sedikit terkejut kalau ternyata orangtuanya terlibat dalam urusan ini. Apa selama ini Ferly telah membuat keluarganya khawatir?

"... Kamu juga tidak usah buru-buru membuat keputusan, kami tahu ini berat untuk kamu. Kami hanya ingin melakukan yang terbaik untuk dirimu sendiri. Saya memang tidak tahu pasti apa yang sudah kamu alami. Tapi, jika kamu percaya, yang namanya kesempatan itu tidak datang dua kali. Anggap ini sebagai kesempatan terakhirmu, karena tahun depan, kamu tidak lagi sekolah di sini, dan kesempatanmu untuk ikut POPNAS akan benar-benar hangus."

Ferly masih diam, mencerna setiap kata yang dilontarkan Pak Abyan. Memang ada benarnya pula, tapi Ferly masih takut dan ragu. Apa ia bisa berdamai dengan masa lalu?

"Pikirkan ini baik-baik, Ferly. Jangan sampai kamu menyesal nantinya."

Sampai Pak Abyan pamit untuk pulang lebih dulu, Ferly masih termangu menatap teman-temannya di lapangan futsal. Mereka terlihat begitu bersemangat, jika tiba-tiba ia bergabung ke sana, apakah mereka akan menerima dirinya?

Ferly juga tidak tahu menahu perihal futsal, karena sejak dulu, minat dan hobinya hanya untuk basket. Lalu, kenapa ia harus menghadapi posisi seperti sekarang?

Bukankah tinggal menolak saja?

Kenyataannya, tidak semudah saat ia mengucapkan kata 'tidak' di awal. Ferly menggantungkan jawabannya sendiri hingga dua bulan kemudian. Antara iya atau tidak. Ferly tidak tahu harus menjawab apa.

Sampai Randi dan tim futsalnya harus turun tangan demi membujuk Ferly bergabung bersama mereka. Memberi ruang untuk teman baru mereka. Saling menyemangati dan memberi pelukan satu sama lain. Supaya Ferly tahu bahwa ia sudah diterima dengan hangat oleh mereka.

Ferly semakin goyah, bahkan orangtuanya sudah membuat jadwal untuk pemeriksaan kesehatannya. Kecuali secara mental, Ferly sudah siap secara fisik. Meski tidak bisa pulih 100%, namun masih ada harapan ia kembali aktif ke olahraga, meski itu bukan basket.

...----------------...

...Sebenarnya bukan tidak mau, tetapi ketakutan itu selalu terbayang di kepala. Jika dipaksakan, takutnya akan ada yang terluka lagi....

..._Ferly Erlangga_...

Bagian 3

Memilih duduk diantara bangku yang kosong, Ferly mengenakan topi serta jaket berwarna merah. Tak lupa memakai masker juga kacamata untuk menutupi identitasnya. Dan, yang paling penting adalah teman kesayangannya yang sejak datang ke Palembang selalu ia sembunyikan di dalam tas, yaitu kamera. Yang sengaja ia bawa untuk memotret setiap momen ketika kekasihnya bermain di lapangan.

Ya. Kini Ferly sudah bersiap menonton pertandingan tim basket putri, di mana kontingen Jawa Tengah akan bertanding dengan kontingen Nusa Tenggara Timur. Sementara tim futsalnya sendiri baru akan bertanding besok siang.

Meski duduknya sedikit jauh dari bibir lapangan, yang mana ia juga akan kesulitan untuk melihat Irish secara dekat. Tetapi itu lebih baik, daripada dia tidak menonton kekasihnya bertanding sama sekali, bukan?

Selama pertandingan berlangsung. Kameranya tak berhenti memotret, fokusnya pun tak beralih dari sang kekasih. Tadi sebelum pertandingan dimulai, Ferly sudah memberi kabar pada Irish kalau dia sudah duduk di bangku penonton. Tetapi sepertinya sampai sekarang belum dibaca oleh sang kekasih.

Namun, dilihat dari gelagat Irish, sepertinya dia sedang kebingungan mencari keberadaan Ferly. Karena sedari tadi raut wajahnya yang tertangkap kamera menunjukkan kebingungannya akan sesuatu, terlebih beberapa kali Ferly menangkap pandangan Irish yang sering mengedari bangku penonton.

Priitt... Priitt... Priitt....

Tiupan panjang menandakan berakhirnya pertandingan basket malam ini, dengan kemenangan diraih oleh kontingen Jawa Tengah. Meski wajahnya tertutup oleh masker, tak dapat menutupi rasa bahagia Ferly saat melihat tim kekasihnya memenangkan pertandingan dan lolos ke babak berikutnya.

Terlihat Irish sedang beradu tos bersama rekan-rekan seperjuangannya. Senyumnya mekar sempurna, memperlihatkan kebahagiaannya kini. Sampai senyuman di bibir Ferly menurun seketika, matanya tak henti menyorot ke arah Irish yang tiba-tiba dihampiri oleh seorang lelaki.

Matanya terbelalak ketika lelaki itu dengan beraninya memeluk kekasihnya. Menarik napas dalam-dalam, Ferly mencoba menenangkan pikirannya sendiri. Bisa saja itu gurunya di sekolah kan? Atau mungkin kerabat Irish juga ada yang ikut ke Palembang? Ferly tidak boleh asal menyimpulkan. Tetapi, kenapa Irish terlihat begitu senang ketika bertemu lelaki itu?

Mereka terlihat begitu akrab, apalagi Irish sampai menggandeng tangan lelaki itu tanpa sungkan. Ferly tidak bisa melihat wajah lelaki itu karena tertutup oleh beberapa penonton yang berlalu-lalang di depannya.

...****************...

Ferly berusaha mengejar Irish bersama lelaki misterius itu, tetapi karena tidak fokus memperhatikan jalan, dia tersandung dan jatuh. Panik menyerangnya ketika teringat kamera yang menggantung di lehernya hampir saja terbentur tanah. Dilihatnya kondisi si kamera dengan teliti, memastikan tidak ada yang lecet ataupun rusak.

Setelah dirasa aman, Ferly menghela napas lega. Beruntung kameranya masih baik-baik saja, walau ia harus kehilangan jejak kekasihnya. Tapi sudahlah, selama ini Irish selalu jujur kepadanya. Mungkin saja Irish lupa untuk memberitahunya sesuatu, mengingat Irish orangnya pelupa. Ferly harus percaya pada Irish, dan menunggu kekasihnya sendiri yang menjelaskan perihal yang dilihatnya tadi.

"Ferly?!"

Ferly terhenyak ketika mendengar namanya dipanggil, dirinya masih mengenakan masker, topi juga kacamata. Lalu siapa yang bisa mengenalinya disaat seperti ini?

Dia menoleh perlahan guna memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik. Dan, terkejutnya dia saat tahu siapa yang baru saja memanggilnya.

"Ternyata benar lo, ya!" ujar orang itu lagi.

Ferly bingung, dia harus pergi untuk menghindar, atau bertahan dan balik menyapa orang itu?

Bagaimana mungkin orang itu bisa mengenali dirinya di saat seperti ini?

Karena sungguh, Ferly tidak ingin terlibat dengan orang-orang di sekolah lamanya. Menurutnya, menghindari mereka adalah hal wajib yang harus ia lakukan untuk menjaga kesehatan mentalnya.

Tapi, tubuhnya sepertinya tidak mau diajak kerja sama. Kakinya tak mau beranjak dari posisi berdirinya saat ini. Tatapannya juga tak beralih dari sosok di hadapannya. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyelinap di benaknya. Seakan menyuruhnya untuk lari saat itu juga, namun tubuh Ferly seperti mati rasa.

Apakah dunia ini begitu sempit, sampai ia harus bertemu dengan seseorang yang sebenarnya juga tidak ingin bertemu dengannya?

Sementara, lelaki di depan Ferly menatap Ferly dengan tatapan seolah mencemoohnya. Bibirnya tersungging melihat reaksi teman lamanya yang sepertinya ketakutan saat melihatnya.

Ferly paham akan tatapan merendahkan dari teman di sekolah lamanya itu. Sebisa mungkin Ferly harus melawan dirinya sendiri kali ini, membuktikan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Oh... Hai, Dit!. Apa kabar?!"

Meski gugup, Ferly mencoba memaksakan senyum terbaiknya. Menyapa seramah mungkin. Menurunkan masker yang menutupi mulutnya sampai bawah dagu. Juga melepaskan kaca mata yang menutupi kedua matanya.

"Gue selalu baik. Harusnya gue yang tanya gimana kondisi lo, kan?! Dan, lo kenapa bisa ikut ke sini?"

Ferly heran, melihat raut wajah Aditya yang menurutnya tidak biasa. Ditambah dengan pertanyaan seperti itu pula. Tetapi, Ferly juga harus hati-hati dalam menjawab, keikutsertaan dirinya di POPNAS adalah rahasia. Tidak sembarang orang boleh tahu alasan utama dia ikut ke Palembang.

"Ehm... Ada tugas dari sekolah gue yang sekarang." Ferly menunjukkan kamera yang menggantung di lehernya, seolah memberi jawaban atas pertanyaan dari Aditya, "sekolah minta gue buat bantuin anak jurnalis untuk bikin dokumentasi kegiatan di sini, karena rata-rata dari mereka juga ikut olahraga."

Mengangkat sebelah alisnya, Aditya sepertinya tidak langsung percaya dengan jawaban yang dilontarkan Ferly.

"Oh. Gue kira lo udah balik lagi ke basket. Siapa tahu kita bisa ketemu di lapangan kan?!"

Menggelengkan kepalanya pelan, Ferly tetap menunjukkan senyumnya. Ia jelas tahu maksud perkataan teman lamanya itu. Tapi, lagi-lagi Ferly tidak boleh terkecoh, ia harus berhati-hati dalam berbicara.

"Lo juga tahu gue nggak bisa balik ke basket lagi, kan?! Dan, kalaupun gue main basket lagi, harusnya lo udah tahu itu dari lama karena kita satu kontingen kan?!"

Bernada sindiran, tatapan Ferly berubah menajam seketika. Seolah ada bahasa tersembunyi dari setiap kalimat yang mereka ucapkan sejak tadi.

Sepertinya hari ini Ferly kurang beruntung, belum sempat ia pergi karena tak ingin berlama-lama bertemu Aditya. Teman-teman Aditya malah ikutan datang menghampiri mereka berdua. Rupanya mereka akan bertanding malam ini.

"Wih... Ada kawan lama kita, nih!!"

"Apa kabar, lo? Sombong banget nggak mau nyapa kita!"

"Nggak nyangka kita bakal ketemu di sini. Gue kira lo nggak mau ikut ke sini saking takutnya main basket. Hahaha..."

Beberapa teman lamanya yang lain tiba-tiba muncul. Merangkul bahu Ferly yang terasa seperti hendak mencekiknya. Mencoba melawan pun rasanya tidak berguna, tubuh Ferly kaku seketika. Napasnya seperti tercekat, tubuhnya seakan tidak siap menerima perlakuan teman-teman lamanya.

Ditambah berbagai kalimat lain yang niatnya untuk mengolok-olok dirinya. Perlahan mulai menghilangkan kesadaran Ferly, tatapannya menjadi kosong, namun fokusnya tetap pada satu orang. Yaitu pada lelaki di hadapannya, Aditya. Meskipun lelaki itu hanya diam, namun jelas tatapannya adalah yang paling merendahkan Ferly.

Mengepalkan kedua tangannya, merasakan tubuhnya yang perlahan bisa ia kendalikan lagi. Ferly harus tetap tenang, tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Meski detak jantungnya sudah tidak terkendali lagi, namun Ferly masih harus mengendalikan emosinya lebih dulu untuk bisa keluar dari situasi sulit yang dihadapinya kini.

Sedikit memaksakan tubuhnya untuk bergerak, Ferly berusaha menyalami mereka satu per satu. Menutupi kegugupannya, dan membuktikan kepada mereka bahwa dia baik-baik saja. Tidak lupa pula senyuman ramah yang harus ia keluarkan meski dengan setengah hati.

"Kalian pada ngapain, sih. Nggak usah jahilin Ferly, deh. Dia ikut ke sini itu karena sekolahnya lagi butuh dia. Mending kita pergi, biar Ferly bisa fokus sama tugas barunya itu."

Yang sedari tadi diam saja dan hanya memperhatikan, ternyata sekalinya bersuara langsung melukai Ferly. Bagai menusuknya dengan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Sakit tapi tak berdarah. Terluka tapi tak terlihat. Dan, sudah tahu sedang terluka, malah diberi garam yang malah memperparah sakitnya.

"Kita duluan ya, Fer. Masih perlu latihan buat tanding nanti," ucap salah satu teman Aditya yang kemudian meninggalkan Ferly.

Akhirnya Ferly bisa bernapas lega, diletakkan tangan kanannya di dada kirinya, guna merasakan detak jantungnya yang tak karuan. Juga merasa bangga dengan dirinya karena sedikit bisa mengendalikan emosinya tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.

...****************...

...Pertemuan yang tidak diharapkan, nyatanya malah tetap dipertemukan. Mental yang tak siap dengan berbagai kalimat itu, nyatanya harus mendengar sampai ke relung hati. Jelas melukai meski tanpa menggunakan senjata....

..._Ferly Erlangga_...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!