Perjalanan kembali ke desa bertemu dengan keluarga, selalu memberi kebahagiaan tak terhingga. Namun tidak dengan keluarga gadis belia ini, sekembalinya mereka ke desa untuk menetap lama di sana menyebabkan terbongkarnya kisah-kisah tentang dirinya dan keluarga yang bahkan hampir hilang tertelan keadaan dan waktu.
Matahari begitu terik, kian membakar kulit para petani yang tengah menggarap sawah dan ladangnya. Sawah yang baru saja panen beberapa waktu lalu dan kini mulai diisi lagi dengan bibit-bibit baru. Tahun ini hasilnya berlimpah ruah seperti tahun-tahun sebelumnya, desa yang asri dengan kemakmuran masyarakatnya yang mayoritas dari golongan petani.
Siang itu, Sisil, Mama juga Dinda melakukan perjalanan ke tempat tinggal yang baru. Karena ketidakmampuan Mama mempertahankan rumah di kota. Setelah Papa meninggal, ia menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Sempat bertahan 10 tahun tuk menanggung kebutuhan mereka bertiga. Namun sayangnya, setelah beberapa tahun terakhir, ia tak mampu lagi tuk hidup serba mahal di kota. Seiring kebutuhan anak-anak dewasa. yang kian tumbuh
Di sepanjang jalan yang ditempuh menuju desa Kembang Merah, Sisil merasa sangat khawatir, tetapi tak tahu penyebabnya. Pertama kalinya ia merasakan sekhawatir ini. Namun, mencoba tuk menenangkan diri dengan berpikir positif, bahwa tidak akan terjadi apa-apa.
Ia sudah mulai tertidur pulas, 2 jam perjalanan tentunya akan begitu melelahkan. Di lain sisi, Adik dan mamanya fokus menapaki jalan sembari menghirup udara segar pedesaan.
Tiba-tiba Sisil terbangun dengan keadaan mata membulat dan bertatapan kosong,
"Akhhhh." Ia langsung terduduk menjauh dari sandaran kursi mobil.
"Kenapa, Nak?" tanya Mama.
." Masih terdiam sembari mengambil botol minum miliknya. Kemudian minum dengan terburu-buru.
"Kenapa, Sayang?" ujar Mama sekali lagi menanyakan Sisil.
"Nggak apa-apa, Ma. Kakak cuma mimpi." Mukanya masih terlihat cemas. Raut wajah yang tak karuan ditambah keringat dingin, membasahi wajahnya yang ayu.
Setelah kejadian tersebut, matanya tak bisa terpejam lagi terus melihat sekeliling jalan yang ditempuh. Ia mulai menyadari ada yang aneh ketika hendak sampai ke desa, tepat sebelum gapura penanda masuknya wilayah tersebut. Terlihat petani maupun warga yang berada di sekitar jalan memandangi mereka dengan sinis, ada pula yang bertatapan kosong. Ia tak mengerti, meski telah memandangi beberapa orang yang bertingkah demikian.
"Ma, kenapa Nenek itu melihat kita kayak gitu?" ucap Dinda yang ternyata juga melihat dan merasakan hal yang serupa.
"Kenapa, Sayang?" sambil melirik ke arah luar kaca dan kembali fokus ke jalanan yang kini cukup sulit ditempuh karena terdapat bebatuan besar yang menghiasi kesukaran jalan itu.
"Mungkin mereka bertanya-tanya siapa yang datang ke desa mereka, tetapi tidak dikenali," duga Mama dalam beberapa waktu setelahnya. Tak sedikitpun kecurigaan terselip kan dari pernyataannya itu.
"Mungkin juga, Ma!" saut Dinda langsung merespon ucapan Mama tanpa ragu.
." Sisil masih terdiam heran.
Setelah melewati beberapa orang yang bertingkah aneh. Kini mereka mendapati tepat di pinggir jalan tersebut, air mengalir begitu jernih, tak terlihat satu pun bebatuan besar. Sungai itu dilindungi oleh pohon-pohon yang kokoh dan berbagai macam tanaman. Juga terdapat beberapa bilah bambu yang sengaja dirakit untuk menjadi penghubung jalan ke seberang. Gemericik air terdengar riuh dan menentramkan jiwa.
Pemandangan yang bagus selalu membawa ketenangan, tetapi tidak untuk kali ini. Hawa yang dihantarkan oleh lingkungan tak bersahabat dengan dirinya. Mencoba melihat dengan perlahan ke arah sudut-sudut desa yang terlihat dari kaca mobil. Namun, kian menyusuri jalan desa yang berbatu krikil itu, menyebabkan matanya kian kabur dan tak bisa melihat dengan jelas. Lantas sebab hal itu, mencoba berhenti melihat sekitar adalah cara ampuh untuk mengembalikan pandangannya.
Beberapa waktu, matanya mulai kembali terpejam. Sisil mencoba menghilangkan semua pikiran buruknya. Terus larut dalam ketenangan yang ia ciptakan sendiri. Mama yang tengah menyetir, sejenak melihat hal itu dan kembali memfokuskan pandangan ke jalan. Ia mengira, Sisil tengah tertidur pulas.
"Kakakmu nyenyak banget!" Mama berbicara pada Dinda yang duduk di belakang.
"Kak Sisil tidur mulu!"celotehnya.
"Ini kita udah mau nyampe," ucap Mama dengan bibir yang sedikit melengkung ke atas.
"Yeee, akhirnya kita nyampe juga. Udah nggak sabar main di rumah baru dan ketemu Nenek."
Neneknya memang tinggal sendiri di rumah itu, sejak sepuluh tahun lebih yang lalu. Setelah kejadian buruk telah menimpa putrinya yang merupakan sepupu Papa, kini ia harus hidup sendiri di rumah sederhana yang berbahan kayu klasik itu. Semenjak Papa meninggal, Mama belum pernah menginjakkan kakinya lagi ke desa tersebut, disebabkan kesibukan di kantor. Bahkan, hingga Mama telah beralih profesi menjadi pebisnis pakaian 4 tahun belakangan.
Tiba-tiba...
"arghhhh," jeritnya. Sisil terduduk kaku dan bertatapan kosong ke depan lagi.
"Sil..., kenapa Nak?" tanya Mama sembari mengguncang tubuh putri sulungnya dengan satu tangan.
"Sil.., sisil!" ujar Mama yang mulai khawatir. Mama kemudian memberhentikan laju mobil dan menepi, berusaha untuk menyadarkan Sisil.
"Kak sisil jangan main-main, jangan takutin Dinda, Kak." Ikut membantu Mama menanyakan keadaannya.
Karena Sisil yang belum merespons, Mama memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan rasa khawatir yang luar bisa. Dengan mempercepat laju mobil, Mama terus memegangi tangan gadis itu dengan tangan kirinya.
Ada apa sebenarnya dengan Sisil???
Tak berapa lama kemudian, mereka sampai pada rumah yang dituju. Tanpa berpikir panjang, Mama segera keluar dan membukakan pintu mobil untuk membawa Sisil ke dalam rumah. Dinda pun mengikuti dari belakang. Nenek yang memang tengah menanti kehadiran mereka, segera keluar setelah terdengar suara gaduh dari luar rumah.
"Ada apa?"ujar Nenek setelah membuka pintu dan menyaksikan kejadian tersebut.
Mama begitu cemas, "nggak tau kenapa tiba-tiba Sisil begini, Bi."
"Bawa ke dalam," ujar Nenek.
"Baik, Bi." Mama sedikit mengangkatkan tubuh Sisil yang lumayan berat tuk ditopang. Mempercepat langkah dan membaringkannya di atas kursi panjang yang terbuat dari rotan. Kursi itu bisa digunakan untuk tempat tidur.
Tak mengerti apa yang terjadi saat itu, mata Sisil masih terbelalak dan tidak berkedip sedetik pun. Dinda yang melihat kejadian itu berdiri di belakang Mama, mencoba untuk tak melihat wajah dan mata kakaknya yang terbelalak.
"Bismillahirrahmanirrahim." Bibir Nenek komat kamit membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Mama masih tercengang.
"Allah." Meniupkan bacaan-bacaan itu pada telapak tangannya dan mengusap wajah Sisil.
"Sisil sayang!" gumam Mama sembari terus memegangi tangan putrinya.
Wajah dan mata Sisil mulai kembali seperti semula, tapi tubuhnya terlalu lemah hingga menyebabkannya pingsan beberapa menit. Nenek terus membacakan ayat-ayat Al-Quran, kemudian meniupkan lagi ke tubuh Sisil dari kepala, badan sampai ujung kaki. Mama yang mengetahui keadaannya yang mulai membaik, sedikit lebih tenang.
"Ma, Mama!" ujar Sisil yang baru saja siuman.
"Iya, Sayang! Sebentar ya." Kemudian mengambil minum dan memberikan pada putrinya itu.
"Badan Kakak lemas banget." Suaranya terdengar lirih.
"Istirahat aja dulu, Nak. Biar Mama ambil dulu barang-barang dari mobil." Beranjak dari ruang keluarga.
"Ma, Kakak takut." Menarik tangan mamanya.
"Kenapa Sil? Takut kenapa, Sayang. Coba cerita sama Mama." Kembali duduk.
Nenek dan Dinda duduk di ruangan yang sama, hanya terdiam melihat keadaan Sisil. Nenek yang mengetahui cucu kecilnya takut, segera mengajak bicara dan menenangkan.
."Nggak apa-apa mungkin Kakak capek, Nenek antar ke kamar ya!" Meyakinkan Dinda.
"Tapi, Nek...," protesnya.
"Udah nggak apa-apa, capek kan? tidur di kamar aja ya!" seru Nenek.
Di saut oleh Dinda dengan anggukan, "iya, Nek!"
Keduanya mulai menaiki anak-anak tangga yang terbuat dari bahan kayu. Nenek masih begitu kuat untuk berjalan perlahan di atasnya. Usia memang sudah senja, tetapi tubuh tak begitu rapuh secepat pergantian usianya. Dinda memegang tangan Nenek dengan erat sembari menjaga keseimbangan tubuhnya pula yang tak kecil lagi.
Sedangkan di lantai bawah, Sisil duduk dengan bersandar ke dinding dan mulai bercerita,
"Tadi Kakak mimpi, ada anak kecil laki-laki gitu Ma, seusia Dinda. Dia datang waktu Kakak lagi duduk di sebuah pohon besar gitu. Kakak tahu itu pohon besar juga karena kesandung akar-akarnya. Keadaan sekitar nggak ada penerangan, cuma karena cahaya bulan lumayan terang, jadinya bisa lihat anak laki-laki itu. Dia menatap seperti marah dan nggak berkedip sedikit pun. Sambil menunjuk ke suatu arah tapi Kakak nggak bisa lihat sama sekali. Akhirnya, malah dia langsung marah dan mendekatkan wajahnya ke Kakak, Ma. Kaget banget jadinya! Setelah itu, Kakak tak ingat sama sekali. Tiba-tiba bangun udah di sini aja," jelasnya.
"Aneh juga ya anak itu, tapi nggak usah dipikirin cuma mimpi aja," saran Mama bermaksud menenangkan Sisil.
"Tapi nyata banget rasanya, Ma! Kakak juga pertama kali se-khawatir ini."
"Perasaan Kakak aja mungkin karena berpikiran negatif ke desa ini, semenjak berangkat dari rumah tadi. Ya Udah Mama ambil barang-barang dulu, Kakak tiduran aja!" Ujarnya kemudian beranjak menuju luar rumah.
"Iya, Ma," lirih sisil
Hari kian sore, cahaya matahari semakin redup dan telah berubah warna menjadi kemerahan. Begitu pula jalanan desa, mulai sepi tak ada yang berlalu lalang lagi. Sementara, semuanya masih sibuk membereskan barang masing-masing. Keadaan sisil pun mulai pulih, sehingga ia dapat membantu Mama merapikan pakaian yang akan dimasukkan ke dalam lemari. Dan beberapa kali, terlihat asyik memindahkan posisi barang-barang untuk mempercantik kamar.
Waktu salat tiba, mereka pun melaksanakan salat magrib berjamaah di kamar. Setelah selesai, Nenek mengajak untuk makan malam di ruang makan yang letaknya berada pada lantai satu bagian belakang, sebelum memasuki wilayah dapur.
Suasana desa begitu sepi, sebab rumah Nenek merupakan rumah paling ujung di desa tersebut. Hanya suara serangga dan katak yang jelas terdengar menghiasi dinginnya malam. Seakan tiada kehidupan manusia selain mereka di sana. Malam yang dingin, tak menghilangkan kehangatan mereka yang tengah asyik bercengkrama di meja makan. Nenek telah memasak berbagai macam makanan berupa sayur, lauk dan nasi untuk dimakan malam itu. Rasanya begitu lezat dan nikmat. Sekarang Dinda dan Sisil dapat merasakan yang namanya masakan Nenek seperti yang diceritakan oleh teman-temannya.
"Dinda, enak nggak masakan Nenek?"
tanya Nenek.
"Hmm... gimana ya, Nek?"canda Dinda dengan wajah lugunya menahan tawa.
"Nenek rasa ini enak loh, Din!" jelasnya. Sambil mencoba masakan itu kembali dengan memakan sesuap nasi dari sendok makan.
"Ih Nenek, Dinda bercanda pun. Ini enak banget, Nek!. Masakan terlezat se-dunia. Mama aja kalah," kelakar Dinda. Lalu, di saut dengan tawa mereka semua tak terkecuali Sisil.
Beberapa waktu berlalu, Sisil telah menyelesaikan makan malamnya. Kemudian bertanya,
"Oh iya, Nek. Kenapa ya warga sini lihat kedatangan kami seperti marah dan juga terheran-heran gitu?" tanya Sisil memotong tawa mereka.
Seketika semua mata tertuju padanya, gadis itu menanyakan hal yang menyebabkan Nenek terhenti mengunyah makanannya yang begitu lezat. Ia masih terdiam, lalu menundukkan pandangan beberapa saat setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir Sisil. Entah apa yang dipikirkan, raut wajahnya pun tak tertebak sama sekali.
"Kenapa, Nek?" tanyanya.
"Husst...,"sentak Mama pada Sisil.
"Biarkan dia bertanya, Lin," saut Nenek.
"Iya, Bi. "Mata Mama tak lepas memandang Sisil.
Dengan raut wajah yang ditekuk, ia mulai bercerita tentang kejadian tersebut. Begini ceritanya.....
Dengan raut wajah yang ditekuk, Nenek mulai bercerita tentang kejadian tersebut. "Jauh sebelum Mirna meninggal, warga sekitar memang selalu berperilaku demikian dengan keluarga ini. Mereka mengancam akan menyakiti Mirna dan keluarga ini, bila ia belum berhenti mengurusi urusan desa. Pikir mereka ia bukanlah siapa-siapa, lalu mengapa harus bertingkah sok pintar setelah menyelesaikan pendidikannya di kota."
Sambil menarik napas melanjutkan cerita, "Tapi semenjak Mirna meninggal, Warga desa dan segala keadaan di sini seakan berubah. Mereka akan membatasi kegiatan terutama setelah matahari mulai terbenam, warga juga akan bertingkah demikian kepada siapa pun yang datang ke sini. Sepertinya takut bila kasus tewasnya Mirna terangkat kembali."
"Putriku yang malang, entah siapa yang membunuhnya sesadis itu," ungkap Nenek sambil menahan air matanya. Ia sudah tak mampu lagi melanjutkan cerita.
Suara Nenek kian parau menceritakan hal itu, tangannya pun spontan menutupi kedua mata yang telah banjir karena perih mengingat kejadian tersebut. Memori tuanya masih begitu jelas mengingat setiap detail kejadian yang dilalui di tahun-tahun terburuk sepanjang usianya. Mama segera berdiri dan memeluk Nenek, sedangkan Sisil dan Dinda hanya terdiam mendengar penuturan nya.
"Udah ya, Bi. Tak perlu diingat lagi, Mirna sekarang sudah tenang," pinta Mama yang tengah memeluknya.
"Kakak... udah jangan tanya itu lagi ya!
Hal itu akan melukai Nenek."
"Iya" jawabnya lirih. Ia tahu apa yang dirasakan Nenek, tapi ada yang mengelabui hatinya mengalahkan rasa iba pada neneknya.
'Entahlah, aku tak tahu kebenaran 10 tahun silam,' bisiknya di hati.
Makan malam mereka yang awalnya hangat, berakhir dengan kesedihan. Nasi di piring Nenek masih tersisa, Mama pun demikian. Sementara Sisil dan Dinda menyelesaikan makan malam mereka, kemudian memindahkan piring kotor ke wastafel.
"Bi, istirahat ke kamar aja ya! Biar lebih tenang," saran Mama..
"Huum," ujar Nenek sambil perlahan berdiri dan memegangi tangan Mama. Terus berjalan menuju kamar yang letaknya masih di lantai yang sama.
"Maafin Sisil ya, Bi. Dia belum bisa mengontrol dengan baik ucapannya."
"Tidak apa-apa, bagaimana pun dia adalah cucuku. Aku juga tak sakit hati atas pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan, tetapi lebih pada kematian Mirna. Aku selalu tak bisa menyimpan kesedihanku atas kepergiannya dengan tragis. Apalagi ia meninggal beserta dengan anak yang dikandung. Aku tak tahan bila mengingat semua ini, Marlina! Rasanya aku ingin mati saja," papar Nenek sembari terus memegangi tangan Mama. Beberapa kali berhenti melangkah, karena tubuhnya yang sekarang mudah lelah.
Mama hanya bisa menggelengkan kepala dan terdiam, karena menurutnya ia takkan mampu setegar Nenek. Akhirnya, Mama dan Nenek sampai di kamar. Nenek terus berbaring dan diberi selimut tebal oleh Mama untuk menghangatkan tubuh. Kemudian, mencoba tuk menenangkannya lagi. Entah apa saja yang mereka ceritakan di dalam, Sisil dan Dinda tak bisa mendengarnya sama sekali.
Mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan ruang makan yang letaknya tak terlalu jauh dengan kamar Nenek. Setelah itu, keduanya kembali ke kamar mereka yang terletak di lantai dua bersebelahan dengan kamar Mama. Sisil yang berada di belakang Dinda saat menaiki anak tangga, merasa bulu kuduknya berdiri terkena angin yang sepintas berlalu. Spontan ia menoleh ke belakang karena merasakan ada sosok yang mengikuti.
Ia terdiam sejenak pada posisi anak tangga yang ke empat, perasaannya mulai tak karuan. Pikirannya sudah jauh melayang.
'Jangan-jangan warga desa lagi, mengincar kami. Bisa gawat kalau ada yang berhasil masuk,' pikirnya.
'Mungkin hanya perasaan aja, Apa aku cek aja ya? Haduh, gimana ya?' Masih ragu untuk menoleh dan turun kembali melihat keadaan sekitar.
"Sisil..." Suara itu terdengar dari kejauhan.
"Sisiiil, Siil..." Sumber dari suara itu semakin mendekat. Namun, keberaniannya untuk mengetahui apa yang terjadi semakin sirna, seiring suara yang tak tahu berasal dari mana itu.
Suara itu sejenak terhenti, tak terdengar satu patah kata pun lagi. Ia yang masih memiliki rasa takut layaknya anak seusianya, tentu akan lebih memilih kembali ke kamar. Ia mulai menaiki satu persatu anak tangga itu dengan rasa was-was, langkahnya pun begitu pelan. Meski begitu, pacu detak jantung bergerak cepat dan ujung mata berkeliaran memandangi sekitar.
"Siiil..." Suara itu terdengar lagi seiring dengan hembusan angin.
"Aku takut," lirihnya.
"Harus ke kamar sekarang pokoknya!' membatin.
Ketika hendak melangkah menuju tangga yang ke tujuh. Sebuah tangan besar mencoba memegang pundak Sisil. Tangan itu begitu dingin dan kukunya yang panjang mulai menyergap Sisil dan membawa masuk gadis belia itu pada ruang rasa takut yang luar biasa. Mulutnya terdiam, tangan dan kaki gemetar seperti kedinginan dan ujung sorot matanya tak bisa terdiam. Seketika ia mencoba menoleh perlahan ke kanan, tetapi belum cukup pergerakan leher dan wajahnya menuju 35 derajat ke arah kanan...,
Beberapa waktu, "Haaaaaaaaaaa..." pekiknya yang menggelegar.
"Ada apa sih, Kak!"Sembari menepuk pundak Sisil.
"Ih, Mama bikin kaget aja! " gerutunya setelah mengetahui Mama lah yang ada di belakangnya.
"Iya gimana lagi, Mama panggil dari tadi Kakak enggak jawab - jawab. Mama nyariin kalian di ruang makan nggak ada, di dapur juga gitu. Ya Udah Mama panggil deh, tapi orangnya nggak nyaut-nyaut," terang Mama.
Entah karena halusinasi dan rasa takutnya yang terlalu besar, hingga melihat tangan dari sosok yang bertubuh tinggi itu. Sepertinya hanya khayalan dan ketakutannya saja. Belakangan ini Sisil sering demikian, menutup mata sejenak malah memunculkan bayangan berbagai kejadian seperti puzzle yang saling berkaitan, tetapi di tokohi oleh orang- orang yang ia tak kenal sama sekali.
Seketika ada suara gaduh yang menyebabkan keduanya tersentak diam, tak begitu jelas sumbernya dari mana.
'Duk, Duk...'
"Aduh..aduh ..aduh, bikin kaget aja," ucap Sisil.
"Suara apa ya, Kak. Sebentar ya!" Mama mencoba mencari asal suara itu.
"Apa ya?" sambil terus jalan dengan menatap ke lantai satu.
"Bunyi apa ya, Ma?" tanyanya. Kemudian ikut menyusul Mama dari belakang.
"Kayaknya dari pintu samping. Apa jendelanya masih ke buka ya?" ucap Mama.
"Bisa jadi, Ma. Soalnya udaranya kerasa banget ke dalam."
Setelah keduanya memastikan sumber suara. Ternyata benar saja, suara itu berasal dari jendela kayu yang mana bagian atasnya belum ditutup dengan baik. Jendela itu terbagi menjadi empat bagian, dua bagian bawah tanpa gagang dan sisanya bagian atas. Suara itu muncul dikarenakan tabrakan kedua sisi jendela yang terkena angin kencang. Mama meminta Sisil untuk menutupkan jendela tersebut dengan baik.
"Kak, tutup jendelanya kak! Dingin banget," pinta Mama.
"Iya, Ma. Pantesan tadi tiba-tiba angin masuk," ujarnya sembari memegangi gagang jendela kayu itu.
Ketika hendak menarik jendela tersebut, "Astaga lihat, Ma! Kok itu bisa ada di sana?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!