NovelToon NovelToon

Menolak Pinangan Sang Sultan

1. Menikahlah Denganku!

Sretttttt....

Bunyi injakan rem mendadak oleh seorang pria tampan yang sedang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi hampir menabrak seorang gadis cantik yaitu Havana.

Havana menutupi wajahnya merasa tubuhnya akan dihantam oleh baja mewah itu.

Aaaaaaaaaa.....

Teriakan gadis itu sambil menutupi wajahnya. Setelah menyadari tubuhnya tidak merasakan apapun, Havana baru berani menurunkan tangannya dengan napas baik turun seakan baru saja lari maraton sejauh 3 km.

"Ya Tuhan. Apakah aku akan mati?" desis Havana memegangi dadanya dengan jantung yang berdebar kencang.

Sang pria tampan turun dari mobilnya menghampiri Havana lalu membentak gadis itu dengan murka.

"Apakah kamu sudah bosan hidup, hah?" bentak Hart.

Havana mengatupkan tangannya secara perlahan terlihat pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Amarah Hart yang awalnya seperti api yang disiram bensin seketika mereda melihat wajah Havana yang sangat cantik.

Gadis itu menatapnya dengan air mata yang hampir menetes dengan bibir yang masih mengatup rapat tetapi terlihat bergetar di sana. Lidahnya terasa sangat kelu karena tidak tahu mau mengucapkan apa mendengar bentakan Hart ditambah lagi wajah datar Hart yang menatapnya dingin dengan mata melebar seakan ingin menelannya hidup-hidup.

"Apakah kamu mau aku masuk penjara karena kecerobohanmu itu, hah?" Hart masih mempertahankan amarahnya walaupun dilubuk hatinya ia juga merasa tidak tega.

Havana menggelengkan kepalanya dengan cepat dan berusaha meminta maaf namun tidak diterima oleh Hart begitu saja.

"Ikut denganku! Aku belum puas memarahimu," ucap Hart sambil menarik tangan Havana.

Havana menuruti saja perintah Hart karena ia memang bersalah. Hart membuka pintu mobilnya dan mendorong tubuh Havana dengan kasar untuk duduk di sampingnya.

Hart menyalakan lagi mesin mobilnya dan membawa Havana ke restoran terdekat. Havana menggenggam kedua tangannya masih dengan rasa gugup. Ia merasa hari ini hidupnya akan berakhir. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginannya karena ia tidak ingin hidup lagi. Namun kenyataannya, ia merasa takut mati juga. Kalau bisa rasanya saat ini ia ingin pingsan. Hart melirik wajah Havana yang tertunduk dengan rambut menutupi pipi mulusnya.

Setibanya di restoran, Hart lebih dulu turun kemudian membuka pintu mobil di mana Havana duduk.

"Turun!" bentak Hart membuat Havana terlonjak kaget.

"Iya tuan!"

Hart menarik lagi pergelangan tangan Havana sambil mencari tempat yang cukup jauh dari pengunjung restoran lainnya. Begitu mendapatkan tempat yang agak privasi, Hart mendudukkan tubuh Havana lalu menarik bangkunya untuk lebih dekat dengan Havana.

"Kamu tahu apa kesalahanmu, hmm?" tanya Hart dengan intonasi yang sedikit menurun, namun terdengar horor dikupingnya Havana.

"Menyebrang jalan tidak hati-hati. Aku mohon maafkan aku," jawab Havana masih dengan wajah tertunduk takut.

"Kamu sedang melamun atau memang mau bunuh diri?" tanya Hart lagi.

"Kedua-duanya," lirih Havana nyaris tak terdengar oleh Hart.

"Kalau kamu mati, aku tidak masalah. Tapi hukum di negara ini tidak tebang pilih. Aku bisa berakhir dipenjara sementara seluruh staf perusaahan ku hidup mereka bergantung padaku. Jika Perusahaanku bangkrut karena tabrakan hari ini, maka aku akan dipenjara. Reputasi perusahaanku. akan tercoreng karena menabrak gadis bodoh sepertimu," ucap Hart dengan suara agak melunak tidak sekeras tadi.

"Tolonglah. Maafkan aku...! aku sedang melamun hingga tidak tahu jika aku sedang berjalan di jalan raya dengan posisi menyebrang," tutur Havana.

"Siapa namamu?" tanya Hart.

"Havana...," ujar Havana.

"Namaku Hart," ujar Hart.

Hart memanggil pelayan untuk memberikan air putih terlebih dahulu pada Havana untuk menghilangkan rasa syoknya.

"Berikan aku segelas air putih sebelum saya memesan makanan!" pinta Hart.

"Tidak. Aku tidak lapar. Aku mau pulang," ucap Havana.

"Kamu kira aku sudah memaafkan kamu atas kebodohanmu itu, hah? enak saja mau pulang," nyiyir Hart.

"Dengan cara apa lagi aku meminta maaf padamu? apakah kamu pikir jalanan itu milik nenek moyangmu hingga kamu mengebut seenaknya saja? kalau mau balapan bukan di jalanan tapi di sirkuit," imbuh Havana seraya berdiri dengan penuh keberanian.

"Duduk! atau aku patahkan kakimu!" bentak Hart.

Havana kembali tersentak melihat sikap Hart yang begitu tempramen. Ia juga tidak ingin berlama-lama dengan Hart karena ia sudah menuruti permintaan pria ini untuk ikut dengannya dan mendengarkan kemarahan Hart padanya.

"Sebenarnya kamu mau apa? aku sudah berulang kali minta maaf padamu. Aku juga punya urusan penting. Aku tidak punya waktu untuk menemanimu makan siang di sini," ucap Havana.

"Emangnya saya tawarin kamu makan siang di sini? saya hanya mengajak kamu ke sini untuk melampiaskan kemarahanku padamu, bukan untuk mengajakmu makan siang," ucap Hart membuat Havana sangat malu.

"Sialan...! Dia sengaja mempermalukan aku," batin Havana mengumpat Hart.

"Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku padamu agar permasalahan ini cepat selesai!" pinta Havana yang sudah mulai berani menatap wajah Hart.

"Menikahlah denganku!" ujar Hart to the point.

"Siapa kamu mau mengatur hidupku? siapa juga mau menikah denganmu? aku tidak pernah berniat untuk menikah dengan siapapun, paham?" pekik Havana menatap tajam wajah Hart.

"Emang kamu lesbi sampai tidak ingin menikah dengan pria?" tanya Hart.

"Bukan urusanmu!" ketus Havana sambil melangkah pergi, namun tubuhnya kembali di tarik oleh Hart dan langsung menggendong tubuh Havana seperti karung beras membawa lagi ke dalam mobilnya.

Hart segera meninggalkan restoran itu menuju apartemen miliknya." Apa yang kamu lakukan bodoh? aku tidak mau menikah denganmu, mengapa kamu malah menculik diriku?" protes Havana.

"Aku hanya ingin mengetahui mengapa kamu berani menolak diriku? dan ingin memastikan sendiri apakah kamu benar-benar seorang lesbi atau tidak!" ancam Hart membuat Havana melotot.

"Jangan.... jangan hancurkan hidupku untuk kedua kalinya!" jerit Havana ketakutan.

Mendengar permohonan Havana membuat Hart menginjak rem mobilnya secara mendadak. Hart membuka seat belt miliknya dan mendekati Havana yang terlihat sangat gemetar. Bahkan ia terlihat lebih kalut dari pada saat Hart hampir menabraknya beberapa menit yang lalu. Hart mendekati Havana dan menanyakan kepada gadis itu.

"Apa yang terjadi padamu, Havana? apakah ada yang telah mengambil milikmu yang paling berharga?" tanya Hart penasaran.

Havana terperangah mendengar pertanyaan Hart. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada Hart, lelaki yang belum ia ketahui sama sekali. Havana memejamkan matanya lalu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan halus.

"Aku ingin pulang. Pasti keluargaku sedang mencari aku saat ini," ucap Havana menghindari pertanyaan Hart.

"Apakah terlalu sakit hingga kamu takut untuk bercerita, Havana?" tanya Hart.

"Kita ini baru saja bertemu. Kamu bukan apa-apa bagiku. Dan hidupku adalah urusanku. Jangan terlalu bersikap berlebihan seakan kamu sudah lama mengenal aku," ketus Havana sinis.

"Baiklah. Apa yang harus aku lakukan untuk bisa memilikimu? bolehkah aku datang meminang kamu di hadapan orangtuamu?" tanya Hart.

"Tidak...! Tidak ada yang aku inginkan dari kalian. Aku tidak mau menjalin hubungan dengan siapapun. Lupakan apa yang terjadi hari ini antara kita dan aku minta maaf telah mengulur waktumu terlalu lama karena kecelakaan tadi," ucap Havana berusaha menjauhi Hart.

Ia lalu memesan taksi untuk menjemputnya di jalan dimana saat ini mereka berhenti. Sebelum taksi itu datang menjemput Havana, entah mengapa Hart merasakan ada sesuatu yang akan hilang dari dalam dirinya jika membiarkan gadis ini pergi.

Hart meraih ponsel Havana membuat Havana sangat kaget." Hei, apa yang kamu lakukan dengan ponselku, hah?" bentak Havana sambil merebut kembali benda pipih miliknya itu.

"Batalkan order taksinya. Aku yang akan mengantarkan kamu pulang!" ucap Hart lalu menghubungi lagi taksi itu.

"Apa-apaan kamu hah?" bentak Havana yang tidak ingin Hart masuk dalam hidupnya.

Hart mengembalikan lagi ponselnya Havana. Saat Havana menerimanya, Hart langsung memeluk gadis itu dengan erat sambil berbisik.

"Menikahlah denganku Havana ...!"

Deggggg...

.....

like and vote nya cinta please!

2. Mimpi Yang Sama

Havana masih menjaga harga dirinya. Ia mendorong lembut dekapan Hart. Ia tidak ingin terbujuk rayuan pria tampan ini karena begitu takut untuk mengenal lagi apa itu cinta. Karena terlalu percaya tentang cinta, ia harus menjauhi keluarganya dan memilih menempuh pendidikan kedokteran di negara London. Walaupun sudah menyelesaikannya, namun Havana masih enggan untuk kembali ke Singapura.

"Aku mau pulang. Tolong antarkan aku ke apartemenku!" pinta Havana terlihat datar dan membuat Hart tidak ingin lagi buat drama didepan gadis cantik ini.

"Baiklah. Di mana apartemenmu?" tanya Hart dan Havana memberitahukan alamat apartemennya.

Rupanya apartemen Havana tidak jauh dari posisi mereka saat ini. Setibanya di apartemen miliknya Havana, gadis ini membuka pintu mobil dan turun tanpa mengucapkan terimakasih. Ia langsung masuk ke lobi dan tidak ingin menengok melihat wajah Hart.

"Ada apa dengan gadis itu?" batin Hart lalu melanjutkan perjalanannya ke perusahaan miliknya.

Havana adalah seorang gadis keturunan Melayu Singapura. Ayahnya berkebangsaan Inggris dan ibunya Singapura. Kini dia sudah menjadi seorang dokter bagian spesialis penyakit dalam. Sejak masih duduk duduk di bangku SMA, ia menjalin kasih dengan seorang pemuda saat usianya genap 17 tahun.

Saat merayakan kelulusannya, Havana diajak sang kekasih mengunjungi tempat wisata lokal yaitu Botanical Garden. Di tempat itulah Havana dilamar oleh sang pujaan hati yaitu David.

Flash back

"Havana...! Maukah kamu menikah denganku?" ucap David sambil memperlihatkan sebentuk cincin berlian pada Havana yang saat ini genap berusia 18 tahun.

Havana begitu terharu hingga akhirnya ia menganggukkan kepalanya sambil membekap mulutnya dengan satu tangannya sementara tangan yang lainnya ia sodorkan kepada kekasih untuk disematkan cincin berlian itu.

"Saat ini aku hanya bisa melamarmu secara personal. Minggu depan aku akan membawa kedua orangtuaku untuk melamarmu dan kita akan menikah secepatnya. Kamu bisa melanjutkan kuliahmu. Aku tidak akan melarangmu karena impian besarmu menjadi seorang dokter," ucap David.

Flash back off

"David. Jangan lakukan itu padaku! aku tidak ingin kita melakukan ini sebelum menikah...!" pinta Havana saat David hendak memasuki tubuhnya.

"Aku akan menikahi kamu secepatnya Havana. Kenapa kamu harus takut sayang, hmm?" bujuk David lalu menekan benda pusakanya membuat Havana menjerit kesakitan.

Akhhhhkkk.....

"David ..! Ini sakit David...! tolonglah aku tidak kuat menahan sakitnya!" rengek Havana.

Tanpa menghiraukan tangis kesakitan Havana, David benar-benar meneruskan aksinya untuk mendapatkan kesucian Havana membuat Havana pasrah karena ia yakin David akan menikahinya.

"David .... David.... David....! jangan pergi..! Bukankah kamu berjanji akan menikahi aku, sayang?" pinta Havana saat David hendak ke bandara.

"Aku harus memberitahukan kepada kedua orangtuaku untuk melamar kamu Havana. Percayalah padaku sayang! aku akan kembali secepatnya bersama kedua orangtuaku," ucap David penuh ketulusan dan tidak ada kebohongan sama sekali di matanya membuat Havana percaya pada pangerannya.

"Davidddd......!"

Havana tersentak lalu mengerjapkan matanya melihat ke luar jendela unit apartemennya ternyata sudah malam.

"Astaga...! Ternyata sudah malam. Havana melihat jendela yang terbuka hingga menyebabkan air hujan masuk membasahi gorden tipis itu melambai-lambai karena tertiup angin kencang.

Ia beringsut lalu segera turun menghampiri jendela kamarnya dan menutupi jendelanya serta menguncinya dengan rapat. Ia melirik jam sudah pukul delapan malam. Havana menyalakan lampu kamarnya yang lebih terang dan masuk ke kamar mandi.

Ia mencuci wajahnya sebentar dan menatap wajahnya didepan kaca wastafel sambil memikirkan apa yang terjadi dengannya hari ini.

"Apakah aku bertemu dengan seorang pria bernama Hart siang ini adalah bagian dari mimpi? apakah semua yang terjadi dalam kehidupanku adalah sebuah mimpi? jika ini hanya mimpi mana mungkin aku merasakan sesakit ini? kesucianku telah hilang direnggut bajingan itu berarti itu bukan mimpi," Havana kembali terisak lalu duduk di lantai kamar mandi sambil memeluk tubuhnya.

Perasaannya kembali terasa kacau mengingat dirinya yang lagi-lagi terjerat perasaan suka pada Hart yang sangat berani menyatakan cintanya pada dirinya padahal mereka baru saja bertemu dan belum ada dalam satu jam.

"Tidak....dia tidak mengatakan cinta kepadaku. Dia hanya bilang ingin menikahi aku. Itu yang aku dengar darinya," lirih Havana.

Ting ....tong ...ting...tong ..

Bunyi bel unit kamar apartemen milik Havana mengangetkan Havana yang terlihat agak malas untuk melihat siapa yang datang menemuinya. Ia sengaja mendiamkannya lalu bangkit berdiri untuk melangkah keluar dari kamar mandi. Namun bunyi bel itu terus menganggunya. Ia menghampiri pintu utama dan melihat layar CCTV dan ternyata.

"Astaga...! kenapa dia datang lagi...? apa yang harus aku lakukan?" tanya Havana terlihat gugup campur panik saat melihat wajah Hart yang ada di layar itu.

Jika tidak dibuka, pasti laki-laki itu tidak akan menyerah begitu saja padanya. Terlihat sekali sifat keras kepala Hart yang selalu memaksakan kehendak. Akhirnya Havana memilih untuk membuka pintu itu dan melihat wajah tampan Hart yang tersenyum padanya sambil menatap Havana dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan penampilan yang sama saat mereka bertemu tadi siang.

Wajah bantal Havana yang terlihat baru bangun tidur namun bercampur sembab dengan hidung terlihat merah membuat Hart mencurigai jika Havana baru saja habis menangis. Entah kesedihan apa yang sedang dialami gadis itu yang ingin sekali Hart mengetahuinya.

"Selamat malam Havana ...! apakah kamu tidak mengijinkan aku masuk?" tanya Hart yang sedang membawa kotak makanan ditangannya dan juga buket bunga mawar dan anyelir.

"Silahkan masuk tuan...!" ujar Havana lalu melebarkan daun pintu itu untuk Hart. Hart memberikan bunga itu pada Havana yang menerimanya dengan baik.

"Terimakasih Havana! apakah kamu baru bangun tidur?" tanya Hart yang langsung duduk tanpa menunggu Havana memintanya duduk.

"Iya. Tadi aku ketiduran dan baru bangun setelah mendengar hujan lebat di luar sana karena jendela kamarku masih terbuka," ujar Havana memberikan alasan yang cukup logis walaupun sebenarnya ia bangun tidur karena mimpi buruk.

"Kebetulan sekali aku bawa makanan untuk kita berdua. Aku tahu pasti kamu belum makan malamkan?" tanya Hart.

Havana hanya mengangguk. Wajah Havana yang terlihat tetap datar dengan tatapan sendu yang menyimpan banyak kesedihan di dalamnya dan itu mampu membuat hati Hart ikut terkoyak.

"Mau makan di sini? atau di meja makan?" tawar Havana.

"Di sini saja. Kita bisa makan sambil nonton film. Ruangan ini sangat nyaman untukku," ujar Hart terlihat syok akrab namun hati Havana terlihat tetap beku saat ini.

"Baiklah. Aku akan ambil piring untuk kita." Havana mengambil piring di dalam kitchen set dan juga sendok. Ia juga mengeluarkan air dingin dari kulkas.

Havana meletakkan empat piring dan membuka kemasan makanan itu dan dipindahkan di piring. Havana memberikan piring yang sudah diisi makanan itu pada Hart. Keduanya menikmati makan malam itu tanpa ingin memulai obrolan.

Wajah datar Havana yang membuat Hart harus memutarkan otaknya untuk mencairkan suasana tapi entah harus mau mulainya dari mana. Mungkin luka yang dirasakan Havana terlalu sakit membuatnya enggan untuk memberi cela pada Hart untuk menyelami penderitaan batinnya lebih dalam.

"Apa yang terjadi padamu Havana? apakah cinta yang telah membuat kamu membantu seperti ini?" batin Hart sambil melirik Havana yang asyik mengunyah makanannya sambil menonton film tapi pikirannya entah ke mana.

"Havana. Apakah kamu tinggal sendirian di apartemen ini?" tanya Hart.

"Hmm!" singkat, padat, jelas. Hanya itu jawaban Havana.

"Apakah ada pria lain selain keluargamu yang datang ke sini. Maksudku kekasihmu, mungkin?" tanya Hart membuat Havana langsung tersedak.

Uhuk ...uhuk ...uhuk ...

3. Pasien Terakhir

Hart mengusap punggung Havana sambil memberikan air untuk gadis itu. Havana mengusap dadanya lalu mengatur lagi perasaannya.

"Apakah pertanyaanku menyinggungmu, Havana?" tanya Hart.

"Tidak. Tidak ada yang pernah datang ke sini dari pertama aku menempati apartemen ini," ucap Havana apa adanya.

"Apakah aku adalah pria pertama yang masuk ke sini dan menemani kamu makan malam, Havana?" tanya Hart tersenyum sumringah.

"Jangan terlalu merasa istimewa Hart!Aku tidak seperti dugaanmu. Jangan terlalu banyak berharap padaku! Aku tahu kamu sedang berusaha menaklukkan hatiku. Tapi, aku tidak siap menerima perlakuan istimewa darimu," sarkas Havana namun tidak membuat Hart tersinggung sama sekali.

Justru ia makin penasaran apa yang dialami gadis ini hingga tidak memiliki gairah hidup apa lagi Havana sengaja menutupi hatinya dan menjaga jarak untuk tidak menerima cinta yang lain.

"Havana. Aku tidak tahu jalan hidupmu seperti apa. Apa lagi urusan asmara yang membuat hatimu terluka. Jika aku bisa menyembuhkan luka itu, apakah kamu bersedia memberiku kesempatan untuk memperlakukan kamu menjadi ratu di hatiku?" pinta Hart terdengar tulus.

"Kita baru bertemu belum ada satu hari, Hart. Kenapa kamu terlihat sangat penasaran denganku dan selalu memaksa kehendakmu, hmm?" tanya Havana tanpa menatap wajah Hart.

"Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi padamu. Tapi aku tidak akan menyerah untuk mengejar cintamu. Aku tidak seperti pria yang mungkin telah merenggut masa depanmu hingga kamu menyamakan aku dengan dirinya. Aku siap menerima kamu apa adanya, Havana," bisik Hart tepat dikupingnya Havana.

Havana mematung di tempatnya. Sementara Hart beranjak berdiri untuk pamit pulang pada Havana.

"Jangan menangisi yang sudah pergi menjauh dari hidupmu. Jika ada yang mencintaimu sepenuh hatinya, kenapa tidak merubah kesedihan itu menjadi suatu kekuatan untuk membalas dendammu padanya? kau hanya terlihat konyol jika terus menerus terpuruk dengan merasa dirimu tak berarti untuk seorang pria bodoh yang meninggalkan dirimu entah demi apa," kecam Hart.

Havana terkesiap mendengar ucapan Hart yang mengatainya sedemikian rupa. Ada kata-kata semangat di setiap ucapan Hart seakan mengembalikan kepercayaan dirinya dari perasaan rasa bersalah pada dirinya sendiri karena mengijinkan David menodainya.

"Sekarang kamu harus istirahat! aku mau pamit pulang. Aku harap ganti kepedihan hatimu dengan sesuatu yang bermanfaat. Hanya cinta bisa menghapuskan jejak dari seorang yang telah mengkhianati cintamu, itupun jika kamu mengijinkan aku membasuh luka itu," ucap Hart penuh percaya diri.

Hart meninggalkan Havana yang masih terdiam, hingga gadis itu baru tersadar saat pintu rumahnya itu tertutup sedikit kencang oleh Hart.

Havana masuk ke kamarnya. Menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya. Antara tersentuh dan tertolak. Merasa tidak pantas namun sangat berharap.

"Jika aku berani membuka hatiku untuk dirinya, apakah aku akan mengalami sakit yang sama? tidak...! Mungkin dia tulus mencintaiku, tapi aku tidak pantas untuknya. Dia terlalu sempurna untukku. Aku tidak mau dia menyukaiku karena rasa iba. Dia harus mendapatkan gadis yang lebih baik dariku," berontak Havana makin frustasi.

Hati dan nalar Havana tidak sejalan. Hatinya menuntutnya untuk menerima Hart, namun nalarnya terus menolak Hart karena merasa bukan wanita sempurna untuk Hart.

"Mana yang harus aku percaya? hatiku kah ataukah pikiranku yang terus mendikte suara hatiku untuk menjauhi Hart?" Havana makin merasa sesak.

Dulu ia mudah jatuh cinta pada David dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk laki-laki itu. Tapi kali ini Havana tidak ingin memudahkan jalan bagi David untuk mendapatkan dirinya.

"Havana. Aku tahu masih ada cahaya cinta di matamu untukku. Tapi kau terlalu takut aku akan menabur cuka di luka yang sama, bukankah begitu Havana? itu yang kamu takutkan, bukan? aku janji dan bersumpah akan mencari tahu siapa pria yang pernah masuk dalam hidupmu.

Aku akan pastikan dia akan membayar setiap air mata yang menetes di pipimu. Atas penderitaan yang mengurungmu dalam kesepian. Semoga kebencian yang kau punya untuknya melebihi cintamu kepadanya," gumam Hart berusaha memejamkan matanya.

...----------------...

Havana kembali ke rutinitasnya. Hampir semua pasien penyakit dalam ingin diperiksa oleh Havana daripada Dokter spesialis yang sama dengan Havana. Bagi pasien, melihat wajah cantik Havana merupakan sugesti kesembuhan mereka.

Walaupun dokter Havana ini pelit senyum bahkan terlihat tarikan bibir itu hanya dipaksakan saja, namun tidak menyurutkan antusias pasien yang rela antri lama hanya untuk menatap wajah cantiknya.

"Apa yang tuan rasakan selain nyeri pada perut?" tanya Havana sambil menempelkan stetoskop di dada pria yang berusia 30 tahun itu.

"Pusing, mual dan jantungku rasanya makin berdebar kencang," ucap tuan Park.

"Kalau begitu aku akan rujuk pada dokter Steven karena hanya dia yang akan mengetahui keadaan jantung tuan," ucap Havana yang mengetahui pria ini menjawab pertanyaannya dengan asal.

"Tapi dokter Havana, aku bukan menderita penyakit jantung, kenapa aku di rujuk ke dokter spesialis jantung?" protes tuan Park yang merupakan keturunan Korea Inggris itu.

"Anda akan mengetahui jawabannya saat ditangani langsung oleh dokter Steven. Untuk saat ini, anda tidak punya masalah lagi dengan penyakit yang anda derita karena saya tidak menemukan penyakit apapun dalam diri anda. Yang penting tuan cukup rutin mengkonsumsi obatnya," nasehat Havana pada tuan Park hampir membuat suster Morgan ngakak.

"Hah...? yakin dokter, kalau saya sudah sembuh?" tuan Park terlihat sedih.

"Kecuali anda hanya memberikan alasan untuk bertemu dengan saya. Tapi sayang sekali saya sudah memiliki kekasih, tuan Park. Lagian rumah sakit ini melarang dokter menjalin hubungan pribadi dengan pasiennya atau aku akan dimutasi.

Tolong pertimbangkan posisi saya di rumah sakit ini," ucap Havana penuh penekanan pada kalimatnya sambil menulis resep obat untuk tuan Park salah satu pengusaha terkaya nomor dua dari Hart.

Wajah tuan Park terlihat memerah. Iapun tersenyum karena akal bulusnya ketahuan juga oleh Havana. Tapi, hatinya juga sangat kecewa setelah mendengar Havana sudah memiliki kekasih. Ia akhirnya pamit dan Havana tetap bersikap ramah namun tetap setia dengan wajah datarnya.

"Suster Morgan. Apakah masih ada pasien lain?" tanya Havana sambil melirik jam ditangannya.

"Ada dokter. Tinggal satu orang lagi. Dia pasien baru dokter," ucap suster Morgan.

"Cepat panggilkan! Biar kita cepat istirahat..!" pinta Havana.

"Nanti saya ijin langsung ke ruang arsip dokter!" ucap dokter Morgan.

"Ok. Biar saya yang tanganin sendiri pasiennya. Terimakasih dokter Morgan. Anda boleh istirahat sekarang!" ucap dokter Havana.

"Dengan senang hati, dokter Havana. Semoga pasien terakhir ini tidak lagi merayu anda. Dan seperti biasanya saya yakin kalau dokter tidak akan jatuh cinta pada pria tampan manapun," ucap dokter Morgan yang sudah hafal dengan sikap dinginnya Havana pada pria.

"Tuan Hart...!" panggil suster Morgan seraya membuka pintu untuk Hart." Silahkan masuk Tuan..!" titah suster Morgan.

Sementara dokter Havana masih serius menatap komputernya. Hart tersenyum melihat wajah cantik wanitanya tanpa ingin menganggu Havana. Setelah diam sekitar dua menit, Havana baru menatap wajah pasiennya.

"Kau ..?" gugup Havana menatap wajah Hart yang tersenyum padanya.

Masalahnya, Havana tidak memberitahukan profesinya pada Hart karena mereka belum terikat hubungan apapun dalam sebutan status pacaran atau kekasih.

.....

vote dan like nya cinta, please!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!