“Senyum dong, orang mau ketemu cewek cantik masa mukanya datar lempeng gitu sih, Ga?”
“Ya gimana nggak datar? Orang aku nggak mau sebenarnya dijodohin,”
“Nanti kamu liat deh, anaknya baik. Jadi dia nggak cuma cantik rupa, tapi karakternya juga pasti bikin kamu jatuh hati,”
Argantara menghembuskan napas kasar. Makan malam dengan orangtuanya kali ini rasanya berbeda dari makan malam biasa.
Ia selalu senang ketika makan bersama Fadli dan Tina, tapi karena malam ini tujuan makan malam mereka berbeda, jadi tentu perasaannya juga berbeda.
Malam ini, Ia dan orangtuanya akan makan malam bersama seorang perempuan beserta orangtuanya juga dengan tujuan membicarakan perihal perjodohan.
Argantara sudah menutup hatinya rapat-rapat untuk perempuan selain Aliya, kekasihnya yang pergi entah kemana. Tiba-tiba menghilang, tapi Ia yakin suatu saat nanti Aliya akan datang dan memberikannya kejelasan.
“Arga, kamu bakal kenal sama Shelina. Anak sahabat Papa Mama itu baik banget,”
“Aliya juga baik,”
“Kalau dia baik, dia nggak akan ninggalin kamu. Lagian udah dibilangin, dia itu udah punya laki-laki selain kamu, kenapa sih nggak percaya sama penjelasan Mama Papa yang bahkan udah kasih buktinya ke kamu? Nggak sekali dua kali lho kami berdua ngeliat dia sama laki-laki lain, ya mungkin aja sekarang dia udah bahagia sama pernikahannya, dia nggak mikirin kamu lagi. Anggap aja Aliya itu mantan kamu,”
“Aku nggak percaya sama penjelasan Mama Papa karena aku tau Aliya baik,”
“Ya udah biarin aja, Pa. Nanti juga Arga sadar sendiri. Sekarang kita ke restoran yuk, nggak enak kalau terlambat,”
Tina menghentikan perdebatan antara anak dan ayah di hadapannya saat ini. Tiba rasa ini bukan waktu yang tepat untuk adu pendapat. Lagipula percuma juga, karena Argantara lebih percaya perempuan itu ketimbang orangtuanya sendiri yang sudah berulang kali melihat kebersamaan Aliya dengan lelaki lain. Tina dan Fadli yakin, Aliya pergi karena mau lebih bebas bersama lelaki itu, mungkin sekarang sudah menikah.
Mereka bertiga ke restoran yang sudah disepakati menjadi tempat pertemuan antara keluarga kecil Argantara dengan keluarganya Shelina yang belum Argantara lihat sosoknya. Karena memang Shelina dan orangtuanya baru kembali dari negeri orang. Orangtua Shelina dan Argantara sudah lama bersahabat, bahkan sejak mereka masih meniti karir sejak masih muda.
Ternyata ketika mereka tiba, Shelina dan kedua orangtuanya juga baru tiba. Sehingga mereka bertemu di area parkir restoran.
“Ketemu di sini ternyata, kirain kami udah telat,”
“Aku juga deg-degan takut telat, eh ternyata sampainya barengan,”
“Yuk masuk,”
Mereka berenam masuk ke dalam restoran dan langsung disambut oleh pelayan yang mengarahkan mereka ke meja yang sudah dipesan sebelumnya.
Setelah duduk, dan menunggu hidangan datang, dengan kompak kedua orangtua Shelina dan Argantara menyuruh anak-anak mereka itu untuk berkenalan.
“Biar nggak canggung, kenalan dulu,”
Shelina yang mengulurkan tangannya lebih dulu ke arah lelaki di hadapannya yang sejak awal bertemu dengannya tak pernah menunjukkan senyum.
“Hai, aku Shelina,” ujar Shelina dengan hangat dan sopan.
Argantara menerima uluran tangan Shelina. Kalau Ia tak melakukannya, sampai rumah Ia akan mendapatkan nasehat panjang lebar dari kedua orangtuanya dan Ia tidak mau hal itu terjadi.
“Argantara,”
“Nah kalau udah saling kenal ‘kan enak, jadi nggak canggung lagi,” ujar Shefia, mama Shelina yang senang melihat Shelina sudah kenal dengan calon tunangannya.
Semoga dengan kenalnya mereka malam ini, semakin yakin keputusan mereka untuk saling memiliki satu sama lain.
****
“Ma, Pa, aku mau ngobrol berdua dulu sama Shelina boleh?”
“Boleh, silahkan. Biar lebih akrab ya,”
“Tante, Om, saya izin ajak Shelina ngobrol sebentar ya,”
Setelah izin pada orangtuanya sendiri, Argantara izin pada orangtua Shelina yang tentunya mengizinkan tanpa ragu. Memang sebaiknya ada waktu untuk bicara berdua, supaya lebih mengenal satu sama lain.
Argantara mengedikan dagunya ke satu arah seraya menatap Shelina tanpa ekspresi. Itu adalah sebuah isyarat supaya Shelina beranjak mengikutinya, sebab ada yang ingin Ia bicarakan dengan Shelina.
Argantara dan Shelina beranjak ke tempat yang tidak begitu jauh dari keberadaan orangtua mereka.
“Kenapa, Arga?” Tanya Shelina setelah mereka berdiri berhadapan. Argantara menatap Shelina dengan tatapan dalam, dan wajahnya tanpa ekspresi.
“Kenapa lo terima perjodohan orangtua kita?”
“Ya karena aku malas cari jodoh, dan aku percaya pilihan orang tua aku tepat dan terbaik,”
Argantara mengeraskan rahangnya. Ia benci sekali mendengar alasan Shelina. Seharusnya Shelina menolak supaya Ia ada teman untuk bersati melakukan penolakan terhadapan perjodohan yang dibuat oleh orangtua mereka. Tapi kenyataannya, Shelina malah menerima begitu saja dengan alasan klasik.
“Oh jadi gitu? Okay, gue bakal kasih unjuk ke lo, gimana ‘pilihan tepat dan terbaik’ menurut orangtua lo itu,” batin Argantara dengan sinis.
“Alasan kamu nerima karena apa?”
“Sama kayak lo,” ujar Argantara seraya tersenyum miring. Dibalik senyumnya itu Argantara punya niat untuk menunjukkan kepada Shelina bahwa ‘pilihan tepat dan terbaik’ menurut orangtua Shelina itu salah.
“Ya udah kalau gitu, apalagi yang mau diobrolin, Ga?”
“Gue mau tanya sama lo, apa lo yakin sama gue?”
“Yakin, aku bisa liat kamu orang yang baik kok,”
Argantara tersenyum remeh. Entah belajar darimana Shelina untuk bermulut manis seperti itu. Argantara benci melihat wajah polos Shelina dan mendengar ucapan manis Shelina. Semakin besar keinginannya untuk memberikan pelajaran untuk Shelina supaya Shelina tahu kalau apa yang dipikirkannya itu salah. Ia bukan orang baik, dan pilihan orangtuanya juga malah menjerumuskan anaknya ke neraka yang akan dibuat oleh Argantara.
Argantara langsung bergegas kembali ke meja, diikuti oleh Shelina. Pembicaraan mereka sudah berakhir.
Argantara tidak nyaman bicara lama-lama dengan perempuan yang tidak Ia sukai sama sekali. Melihat wajah polos Shelina saja sudah membuatnya muak, apalagi harus berinteraksi dengan pura-pura baik di depan Shelina.
“Arga, dua hari lagi Shelina bakal pindah ke kampus tempat Arga kuliah,”
Argantara memasang senyum terbaiknya menanggapi ucapan Shefia mama dari Shelina. “Iya, Tante,” ujarnya.
“Tolong bimbing Shelina nya di kampus barunya ya, Ga,” pesan Tina yang diangguki oleh Argantara. Bukan dimbing, yang ada juga Ia buat tidak nyaman, barangkali Shelina pindah kampus dan menyesali keputusannya untuk pindah ke kampusnya.
“Arga, di sana tuh suasana nya kayak gimana? Belajar di sama menyenangkan nggak? Terus pergaulannya gimana?” Tanya Shelina pada calon pasangan hidupnya itu. Sebelum Ia benar-benar menjadi mahasiswi di kampus barunya, Ia penasaran bagaimana situasi di sana. Dan orang yang tepat untuk Ia tanyakan perihal itu tentu saja Argantara karena Argantara mahasiswa di sana sejak awal semester, tidak sepertinya yang baru pindah.
“Seru, menyenangkan,” jawab Argantara dengan singkat.
“Aku nggak sabar kuliah di sana. Mama Papa aku yang nyaranin aku di sana, terus aku setuju. Dan aku baru tau ternyata kamu kuliah di sana,”
“Ya ‘kan memang kami sengaja supaya kalian berdua satu kampus,” ujar Fadli.
Perasaan Argantara semakin tidak menentu sekarang. Benar-benar muak sekali ada di situasi seperti ini. Ia ingin pulang secepatnya.
Kenyataan bahwa Ia dan Shelina sengaja dipertemukan di satu kampus, membuat Argantara semakin memanas.
“Gue nggak akan biarin lo nyaman sedikitpun. Justru sebaliknya, gue bakal bikin lo pindah ke kampus lain. Gue makin benci sama lo, Shelina,”
Argantara menyesali keputusan Shelina yang menerima keputusan orangtua mereka untuk menjodohkan mereka. Andai saja Shelina menolak, pasti pendapatnya didengarkan. Kalau hanya Ia yang menolak percuma. Orangtuanya tidak suka pada Alyla, dan Ia tidak diizinkan untuk menunggu Alya apalagi tetap mencintai Alya. Jadi mereka semakin gencar menjodohkan Argantara dengan Shelina karena mereka tahu Shelina anak yang baik, orangtuanya juga baik bahkan sudah bersahabat.
Hari ini pertunangan Argantara dan Shelina digelar. Hanya keluarga inti mereka saja yang hadir. Dan setelah acara berakhir Argantara langsung menunjukkan pemberontakannya yaitu pergi dari rumah, sampai malam tidak pulang-pulang.
Kedua orangtuanya khawatir, tentu saja. Setelah acara berakhir, tapu tamu masih ada, Argantara sudah melarikan diri dari tempat acara.
“Arga nggak sopan banget sih. Main pergi gitu aja, udah gitu sampai malam nggak balik-balik. Itu anak benar-benar ya. Sampai orangtua Shelina dan keluarga nanyain dia tuh,”
“Ditelpon nggak diangkat-angkat. Kemana dia sebenarnya?”
Fadli sejak tadi tidak henti menghubungi anak semata wayangnya itu tapi tidak kunjung ada jawaban. Fadli berpikir Argantara mungkin sengaja tidak mau ambil pusing dengan semua panggilan juga pesan dari orangtuanya yang ingin Ia segera pulang.
******
“Tadi pas kita mau pamit, Arga ‘kan pergi ya. Nah itu dia kemana ya? Kok tiba-tiba pergi gitu aja?”
“Ya mungkin lagi ada urusan kali, Ma,”
Shelina berpikiran positif. Ia tidak tahu kalau batin Argantara memberontak selama acara berlangsung.
“Iya kali ya, tapi kamu sama Arga nggak ada masalah apa-apa ‘kan, Shel?”
“Nggak, Pa. Masa iya aku ada masalah sama Arga? Kami tadi keliatan baik-baik aja ‘kan?”
“Iya sih, tapi barangkali aja gitu karena kamu sama dia lagi ada masalah, dia nggak nyaman sama kamu,”
“Nggak kok, Pa. Aku nggak ada masalah apa-apa sama dia,”
“Ya udah bagus kalau begitu, Nak,”
“Menurut kamu, Argantara gimana orangnya? Kamu nyaman nggak sama Arga?”
“Iya nyaman kok, dia baik,”
“Jadi beneran udah yakin ya?”
Shelina terkekeh, kalau Ia tidak yakin dengan pilihan orangtuanya, acara hari ini tidak akan mungkin terlaksana. Pasti Ia sudah bicara bahwa Ia menolak sesaat setelah bertemu dengan Argantara untuk pertama kalinya. Tapi kenyataannya apa? Ia tidak menolak, bahkan Ia semakin yakin kalau Argantara itu memang tepat untuknya.
“Kalau ada masalah apapun itu, segera diselesaikan, jangan ditunda-tunda. Biasanya menjelang pernikahan itu ada aja tantangannya. Nggak apa-apa, itu semua memang harus dilalui,” pesan Gani pada anak perempuan satu-satunya itu.
“Apalagi kalian masih muda ya, Pa. Pasti egonya masih sama-sama kuat. Pokoknya ada masalah apapun itu harus diselesaikan, apapun cobaannya harus dilalui, jangan menangkan ego,”
“Iya, Ma, Pa. Makasih untuk nasehatnya,”
Shelina tahu ke depannya akan ada banyak cobaan yang datang menghampirinya, Argantara, ataupun hubungan mereka berdua tapi Shelina percaya bahwa apapun cobaannya pasti bisa mereka lalui.
**********
Argantara menggulung lengan kemejanya semakin ke atas, kemudian Ia fokuskan pandangan pada bola billiard di hadapannya. Setelah itu Ia dorong dengan tongkat Ia pegang dengan yakin.
“Arghh gagal mulu,”
Argantara menyudahi permainannya dan itu mengundang tawa teman-temannya. Mereka bisa menebak Argantara sedang tidak baik-baik saja makanya datang dengan pakaian formal.
“Lo tuh sebenarnya kenapa sih? Uring-uringan aja keliatannya. Cerita lah, Ga. Lagian aneh sih sebenarnya, lo datang ke sini pakai baju formal gitu, lo abis ngapain, anjir?”
“Abis tunangan! Puas lo?!”
“HAH?! SERIUS LO TUNANGAN?!”
Tiga orang yang merupakan teman Argantara di kampus membelalakkan mata mereka masing-masing setelah mendengar ucapan Argantara yang akhirnya mau cerita juga. Sejak tadi datang tepatnya siang, sampai sekarang sudah malam, Argantara memang belum membocorkan sedikit pun. Pertanyaan dari temannya-temannya Ia abaikan. Seperti pertanyaan habis darimana? Kenapa pakai baju formal? Kenapa muka kusut? Intinya, tidak ada satupun pertanyaan mereka yang Argantara jawab.
“Eh Ga, lo seriusan baru abis tunangan? Kok nggak cerita dari tadi sih? Selamat ya, semoga langgeng,”
“Ah berisik lo, Den! Nggak usah doa yang baik-baik deh,”
“Lah orang doa yang baik-baik malah dilarang. Aneh banget ini orang ya,”
“Gue nggak mau langgeng sama dia! Intinya jangan pernah doain yang baik-baik soal pertunangan gue ini!”
“Emang lo tunangan sama siapa sih?”
“Shelina,”
“Waduh, anak mana tuh? Baru dengar namanya,” ujar Denis yang barusan memberikan selamat dan sekarang bertanya soal siapa Shelina itu sebab Ia belum pernah mendengar nama Shelina.
“Bakal pindah ke kampus kita, dia baru pindah dari luar,”
“Cantik nggak?”
“Lo kalau penasaran, ntar juga ketemu. Lo mau naksir sama dia? Silahkan, gue nggak peduli. Gue tunangan sama dia sebenarnya bukan kemauan gue,”
“Lho, terus kenapa tunangan?” Tanya Ardan yang juga tak kalah penasaran. Semua teman Argantara yang sedang bersama Argantara saat ini tentunya kaget setelah mendengar Argantara baru melaksanakan acara pertunangan. Mereka senang, tapi penasaran juga dengan alasan di balik pertunangan itu. Apalagi setelah tadi mendengar ucapan tegas Argantara tadi bahwa sebenarnya Argantara tidak menginginkan adanya tunangan itu.
“Ya karena nyokap bokap gue maunya begitu,”
“Kenapa nggak lo tolak aja, Ga?”
“Udah! Gue udah nolak, bahkan berkali-kali karena gue masih belum bisa move on dari Alya tapi orangtua gue nggak mau dengerin gue. Mereka malah terus terusan ngasih tau ke gue kalau Alya itu bukan perempuan baik-baik,”
“Kenapa orangtua lo ngomong begitu soal Alya? Pasti ada alasannya deh, gue yakin,” ujar Denis seraya menatap penasaran ke arah Argantara.
“Mereka berulang kali ngeliat Alya jalan sama cowok. Mereka udah ngasih unjuk bukti tapi gue tetap susah percaya karena gue tau Alya itu orang baik,”
“Tapi ya kalau dipikir-pikir. Menurut lo ‘kan Alya baik, nah kalau dia baik, dia nggak mungkin ninggalin lo sih, apalagi tanpa alasan apapun, ya ‘kan? Coba deh lo mikir ke sana,”
“Ya mungkin dia ada alasan yang belum bisa dia kasih tau ke gue. Tapi gue yakin dia pasti bakal balik ke gue dan kasih penjelasan,”
“Ih kok lo bego banget sih? Kalau dia udah pergi, ya artinya emang dia nggak mau lagi sama lo, entah apapun itu alasannya kalau udah ninggalin mah berarti nggak usah diharapin lagi, Ga. Mungkin orangtua lo benar kali ya. Dia udah punya yang lain makanya lo tinggal,” ujar Satria yang kali ini angkat bicara. Satria tidak setuju ketika Argantara terlalu menganggap bahwa Alya itu baik sampai tidak percaya dengan perkataan orangtuanya padahal Argantara sendiri bilang bahwa orangtuanya sudah menunjukkan bukti-bukti tentang Alya yang tidak baik.
“Kalian kenapa sih malah nggak belain gue? Gue tuh cinta sama Alya. Udah dari SMA dia sama gue, mana mungkin dia setega itu selingkuh dari gue?”
“Ya elah, Brody. Zaman sekarang, jangankan pacaran, orang yang udah nikah bahkan punya anak cucu aja bisa selingkuh, apalagi lo sama dia masih pacaran. Kalau mikir tuh yang masuk akal, Ga! Lo jangan di begoin sama cinta! Udah mendingan lo move on aja,”
“Maksud lo, gue move on je Shelina gitu? Dih najis,”
“Ya terserah lo mau move on ke siapa, intinya adalah, lo mesti move on nggak usah mikirin Alya lagi. Bisa jadi dia udah bahagia sama yang baru,”
“Kok omongannya Satria bisa sama gitu sih kayak nyokap bokap?” Batin Argantara.
“Tapi berhubung lo udah tunangan sama Shelina ya bagusnya sih lo buka hati buat dia, lo move on dari Alya dan coba belajar untuk nerima Shelina di hati lo. Daripada cinta sama orang yang udah ninggalin lo tanpa alasan, bikin lo sakit hati, mendingan cinta sama orang yang pasti-pasti aja, yang udah ditakdirin buat lo, Ga,”
“Heh! Nggak ada yang namanya takdir buat gue sama Shelina! Dia bukan takdir gue. Harusnya dia tuh nolak, tapi dia bodoh banget. Dia malas cari jodoh sendiri katanya, dia juga yakin kalau pilihan orangtuanya tepat. Kalau aja dia bantu gue untuk nolak, nggak bakal terjadi yang namanya perjodohan sialan ini. Tapi berhubung dia udah terlanjur setuju ya, gue bakal buktiin ke dia kalau pilihan orang tuanya salah! Gue bukan orang yang tepat buat dia dan begitupun sebaliknya. Gue cinta sama Alya, bukan dia, dan siapapun nggak ada yang bisa gantiin posisinya Alya,”
“Terus kalau misal Alya ternyata udah bahagia sama yang lain, lo bakal gimana? Lo tetap segila ini cinta sama dia? Hmm? Yang bener aja lo, Ga! Masa bego banget sih jadi cowok! Daripada cinta sama Alya yang udah tiba-tiba pergi ninggalin lo nggak jelas alasannya apaan,
Mendingan cintain tuh perempuan pilihan orangtua lo. Yakin aja kayak Shelina yang yakin pilihan orangtuanya tepat. Lo harusnya juga seyakin Shelina lah,”
“Udah, daripada lo stres gara-gara Alya, saran gue mah buka hati aja, Bro,”
“Tau ah, ngobrol sama lo pada bikin gue makin mumet,”
“Ya udah sana, mendingan balik. Ini udah jam sembilan,”
“Emang gue mau balik, nyokap bokap gue udah nelponin mulu dari tadi sebenarnya, apalagi bokap. Sampai rumah kayaknya gue bakal diomelin,”
“Hahaha yang sabar, brody. Mereka tuh ngomel karena ada tujuan,”
“Tujuan apaan? Nggak ada! Tujuan mereka tuh cuma jodohin gue doang,”
“Ya udah jalanin aja dulu, siapa tau suka, siapa tau cinta ya ‘kan? Jangan ngeluh mulu lo,”
Argantara mendengus, bagaimana Ia tidak mengeluh? Saat ini masa depannya sedang tidak baik-baik saja. Tak bisa dibayangkan akan seperti apa masa depannya bila Ia dan Shelina sudah benar-benar menikah.
********
“Darimana kamu? Hah? Kenapa baru pulang? Dari tadi hubungin nggak bisa-bisa. Padahal pergi sejak siang, tamu-tamu belum pada pulang, tapi kamu udah main pergi aja,”
“Aku abis main sama teman-teman aku, Pa,” jawab Argantara dengan santai tanpa beban. Wajar saja Ia pergi mencari ketenangan. Karena selama acara pertunangan berlangsung, batinnya benar-benar berontak. Ia tidak nyaman harus bersama Shelina, orangtuanya, maupun tamu-tamu karena sebenarnya acara itu bukan kehendaknya.
“Kamu jangan kurang ajar ya, Arga. Kamu yang punya acara, kenapa kamu malah pergi duluan ketimbang tamu udah gitu nggak balik-balik?”
“Itu bukan acara aku, Pa. Itu acaranya Mama Papa ‘kan?”
“Kamu udah setuju, nggak usah lagi bikin drama kayak tadi,”
“Tapi ‘kan setujunya terpaksa. Sebenarnya aku nggak mau dari awal, iya ‘kan? Tapi Mama Papa nggak mau dengerin omongan aku, dan karena Shelina setuju jadinya pertunangan tetap lanjut. Alasan kedua, supaya aku nggak ingat lagi sama masa lalu. Ya percuma lah, orang aku cintanya sama Alya,”
“Coba belajar dulu untuk terima Shelina, Kamu cintai dia. Ini ‘kan kalian masih tunangan, masih ada waktu untuk bikin hubungan kalian jauh lebih indah nantinya setelah nikah karena udah saling cinta,”
Argantara merotasikan bola matanya. Ia tidak senang mendengar ucapan papanya. Yang ada malah muak. Apa kata Fadli tadi? Ia belajar untuk menerima dan mencintai Shelina? Tidak semudah itu karena hatinya sudah terpaku pada satu perempuan dan itu Alya.
“Arga, besok ‘kan hari pertama Shelina masuk ke kampus yang baru, besok tolong kamu jemput Shelina di rumahnya terus kalian berangkat bareng ke kampus ya?”
“Apa, Ma? Aku jemput dia terus nganter dia ke kampus? Jangan bilang setelah ngampus aku harus ngantar dia ke rumahnya?”
“Iya itu lebih bagus. Shelina ‘kan anak baru, terus kalian juga udah dekat. Makanya nggak apa-apa dong kalau tiap hari pulang pergi bareng?”
“Emang aku supirnya? Aku nggak mau ah, kerajinan banget antar jemput orang. Aku nggak mau dibebani tugas yang sebenarnya bukan tugas aku, Ma,”
Argantara tidak jadi ke kamarnya karena tiba-tiba mamanya meminta Ia untuk mengantar jemput Shelina mulai esok hari dimana Shelina akan menjadi mahasiswa baru.
“Arga, kenapa sih susah banget mau berbuat baik ke orang? Hah?”
“Kata siapa sih, Pa? Aku gampang kok berbuat baik ke orang lain, tapi liat dulu siapa orangnya. Papa emang selama ini nggak bisa nilai aku ya? Aku emang pernah jahat ke orang kalau orang itu nggak mulai duluan? Nggak pernah ‘kan? Nah itu masih berlaku, Pa,”
“Ya ‘kan Shelina nggak jahat ke kamu, dia itu baik, jadi harusnya kamu juga bisa dong berbuat baik ke dia,”
“Aku nggak bisa berbuat baik ke dia, Ma, Pa,”
“Lho, kenapa? Dia ‘kan calon istri kamu,”
Geraham Argantara beradu satu sama lain mendengar ucapan Tina, mamanya. Sungguh Ia tidak terima mendengar kalimat Shelina itu calon istrinya, Shelina itu tunangannya, Shelina itu orang yang baik. Ia benar-benar muak.
“Dia jahat ‘kan ke aku,”
“Maksud kamu?”
“Karena dia nggak nolak perjodohan ini jadi aku anggap dia jahat, makanya aku juga bakal jahat ke dia,”
“Jangan sembarangan kamu kalau ngomong, Arga! Siapa bilang Shelina jahat? Dia cuma mau patuh sama orangtuanya aja. Justru karena dia anak yang baik, makanya dia patuh. Dia percaya kalau kamu itu memang pilihan yang tepat untuk dia,”
“Pokoknya besok kamu jemput Shelina di rumahnya dan kalian berangkat bareng. Kamu bisa jadi temannya dia di hari pertama yang pasti bakalan bikin dia bingung harus apa dan gimana. Nggak ada bantahan ya, Ga,”
Argantara langsung mendengus kasar, dan setelah itu pergi ke kamarnya sendiri dengan hati yang memanas. Ia sudah menolak tadi, Ia sebutkan alasannya juga kenapa Ia menolak. Tapi tetap saja orangtuanya ingin Ia menjadi supir sekaligus teman untuk Sherina.
“Okay nggak apa-apa besok gue baik ke perempuan itu, tapi di depan nyokap bokap. Besok gue bakal ngasih pelajaran ke dia supaya dia sadar kalau gue nggak sebaik yang ada di pikiran dia,” gumam Argantara setelah masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menutup pintu kamar.
Ia mengambil handuk kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah itu Ia akan istirahat, karena besok ada jam kuliah pagi.
******
“Sayang, kamu kok belum tidur? Mama kaget liat kamu duduk sendirian di ruang makan? Kamu lagi ngelamun ya? Emang apa yang dilamunin? Hmm?”
“Nggak, Ma. Aku nggak lagi ngelamun kok. Lagi nyemil aja nih,”
Sekitar jam sepuluh malam Shefia turun ke lantai bawah tepatnya dapur untuk mengambil persediaan air minum yang sudah kosong di kamarnya. Tapi Ia kaget ketika melihat ada seseorang yang duduk di kursi makan dengan posisi membelakanginya.
“Mama takut ya? Mama pikir aku hantu soalnya rambut aku gerai,”
“Nggak sih, cuma kaget aja Mama. Kamu ngapain sih malam-malam kok belum tidur?”
“Mama juga,”
“Ini Mama mau ambil minum,” ujar Shefia seraya berlaku ke dapur untuk mengambil air minum, setelah itu Ia ke ruang makan lagi menghampiri anaknya.
“Tidur dong, Sayang, jangan malam-malam. Kamu lagi kepikiran sesuatu ya?”
“Nggak kok, Ma. Aku emang lagi pengen ngemil aja di sini,”
“Beneran?”
“Iya,”
“Kirain lagi kepikiran sesuatu makanya belum bisa tidur terus akhirnya ke sini deh,”
“Kamu jangan malam-malam lho tidurnya. Kamu ‘kan besok mau kuliah,”
“Iya, Ma, tadi aku sempat kepikiran soal itu sih tapi sekarang udah nggak,”
“Kepikiran kenapa, Nak? Mau kuliah di kampus yang baru kok malah jadi kepikiran?”
“Aku deg-degan aja gitu, Ma,”
“Tenang, ‘kan Arga udah bilang kalau di kampus itu seru, menyenangkan. Insya Allah semua berjalan dengan baik, Sayang. Nggak perlu
Kepikiran lagi ya,”
“Tapi aku gugup gitu lho, Ma. Aku ‘kan jadi mahasiswa baru nih, dan aku takut juga deh kalau teman-teman aku nggak bisa nerima aku,”
“Ya ampun, Nak. Jangan berpikir begitu lah. Alasannya mereka apa sampai nggak mau nerima kamu jadi teman mereka? Selagi kamu baik sama orang, Insya Allah orang juga bakal baik ke kamu. Mama yakin kok mereka nggak begitu. Pasti mereka mau terima kamu. Secara kamu ‘kan cantik, punya prestasi jadi pindahnya bukan dikeluarin karena ada sebab sesuatu, tapi memang pengen pindah aja ke situ ‘kan sekalian pindah tempat tinggal juga karena pekerjaan Papa di sana di Jepang udah selesai,”
“Iya, Ma. Insya Allah mereka bisa nerima aku ya, Ma,”
“Pasti dong, Mama yakin. Ya udah kamu tidur sekarang deh sana, jangan begadang. Besok takutnya kamu kesiangan lho,”
“Okay siap, Mama,”
“Mama ke kamar duluan ya,”
“Iya silahkan, Mama cantik,”
Shelina membiarkan mamanya beristirahat, sementara Ia masih ingin bertahan di ruang makan sendirian. Tadi Ia sempat kepikiran tentang hari esok dimana Ia akan menjadi mahasiswa baru makanya Ia memutuskan untuk mencari pengalihan dengan bergegas ke ruang makan dan menikmati makanan ringan. Lama-lama Ia tidak kepikiran lagi, dan mamanya datang untuk menenangkan. Ia memang tidak seharusnya gugup, atau bahkan takut teman-teman di kampus barunya tidak bisa membuka tangan mereka dengan lebar untuk menerima kedatangannya dan menerimanya sebagai teman. Karena Argantara yang merupakan mahasiswa lama di sana saja sudah menjawab kalau situasi di kampus itu menyenangkan. Seharusnya Ia tidak perlu khawatir bahwa kehadirannya tidak diterima dengan baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!