Wanita dengan pakaian kantor itu menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya bersinar redup karena kelelahan menerima banyak tumpukan kertas dari sang bos yang kejam. Bukan hanya dia, beberapa teman kantornya bahkan mulai mengeluh dan ingin segera pulang.
Anila Rembulan, 22 tahun, bekerja sebagai pekerja kantoran dengan jabatan sekretaris di kantornya. Rambutnya sedikit bergelombang dengan warna hitam yang pekat.
"Aku tidak sanggup!" ungkap rekan kerjanya yang sedang mencuci wajah, "Monster itu menghantui kita. Bagaimana bisa menyelesaikan tugas itu? Dia sudah gila!"
Anila menatapnya sesaat. "Yang bisa kita lakukan hanyalah menuruti perintahnya, Maya."
"Kau selalu seperti itu," gerutu Maya. "Aku tidak bisa membayangkan apa yang kau lakukan untuk sampai pada posisi sekretarisnya."
Anila kembali membasuh wajahnya. Dia tidak ingin menanggapi ocehan teman kantornya hari ini, dia cukup lelah dengan pekerjaannya sendiri.
"Berhati-hatilah dengan ucapanmu, Maya. Aku takut kau mendapatkan masalah." Anila tersenyum dan beranjak pergi meninggalkan Maya yang menghela napas panjang.
Anila melangkah menuju ruangan bos sembari mengikat kuda rambut panjangnya. Tangannya bergerak meraih beberapa berkas yang ada di mejanya, membuka satu persatu untuk memastikan dia tidak membuat kesalahan, lalu mengangguk dan mengetuk pintu ruangan sang bos.
"Masuk, Anila." Sang bos menanggapinya.
Anila menarik napas sebelum memasang senyum bisnisnya dan meletakkan berkas-berkas itu di meja bosnya.
Pria berumur 25 tahun itu adalah bos muda di kantornya, dia mewarisi kekayaannya orang tuanya. Setidaknya itulah yang Anila tahu, bos tetaplah bos. Gajinya penting, dia harus menurut agar bosnya puas.
"Saya izin hanya meletakkan ini, Pak. Permisi."
Anila hendak mengambil langkah mundur jika saja bosnya tidak menyela.
"Anila."
Anila mengangkat wajahnya dengan sigap. "Ya, Pak?"
"Kau dipecat."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila terbangun. Dia memegang kepalanya yang berdenyut, napasnya ngos-ngosan. Astaga, mimpi apa itu?
Anila akhir-akhir ini memiliki mimpi buruk semenjak seorang wanita muncul dan bekerja lebih cakap darinya.
Natara.
Nama itu berputar di kepalanya, apalagi sang bos selalu mengandalkan wanita itu dalam beberapa pekerjaan sekretarisnya.
Anila bertanya-tanya apakah dia kurang dalam beberapa hal? Apa yang kurang dari pekerjaannya?
"Kak, aku boleh bertanya tentang materi ini? Aku–"
"Laskar, aku ingin mandi dan bersiap bekerja." Anila menolak permintaan adiknya yang sedang berdiri di ambang pintu.
Adiknya mengangguk. "Iya, Kak, maaf."
Anila merasa hatinya lemah. "Kakak akan jelaskan itu nanti malam, setelah pulang bekerja, mengerti?"
Adiknya tersenyum sumringah, "Oke Kak!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, Anila tidak bisa menepati janji tersebut pada adiknya. Anila tidak tahu, kenapa dan mengapa.
Natara memandangnya dengan mata hina, Maya berdiri di samping Natara dan tidak melakukan apa-apa untuknya.
Anila menatap kertas-kertas yang sudah lecek digenggam tangan bosnya. Bosnya dingin dan menatapnya tajam. Mata biru itu menelan keberaniannya.
Anila selalu patuh pada bosnya, lalu mengapa ini terjadi padanya?
"Bos, saya mengetik sesuai dengan permintaan." Anila berusaha menjelaskan, suaranya serak karena takut.
Bosnya menghantam kertas-kertas itu di meja kerjanya. "Tidak ada inisiatif? Kapan kamu berkembang, Anila?"
Anila tidak mengerti.
"Anila kamu tahu? Kamu selalu mengerjakan sesuatu sesuai dengan ide saya. Saya tidak pernah mendengar kontribusi kamu di dalam proyek saya." Bosnya berucap dingin.
Anila hanya terlalu patuh, dia ingin ideal.
"Natara mampu menyamai energi pekerjaan saya. Dia membantu saya dengan ide-idenya yang cemerlang."
Oh. Anila menggigit bibir bawahnya, sesak di dadanya. Natara lagi.
"Saya sudah berusaha, Pak. Saya membantu Anda dalam meeting selama ini."
"Kamu saya turunkan dari jabatan sekretarismu. Perbaiki lagi kerjamu, mungkin saya bisa berubah pikiran."
Bos dengan mata yang menelan lautan itu mulai pergi melewatinya. Anila menyugar rambut panjangnya, dia benar-benar sudah tamat. Karir yang dia capai berhenti di sini.
Anila harus memulai semuanya dari nol untuk menarik simpati sang bos.
Wanita berambut hitam itu kembali menatap Natara, kini Natara tersenyum. Alia meremas kertas di tangannya dengan emosi yang membuncah.
Wanita seperti Natara selalu membuat Anila sial. Sebelum kehabisan akal sehatnya, Anila meraih tasnya dan pergi keluar dari kantor. Matanya berair penuh kekecewaan.
Perpustakaan adalah rumahnya saat ini. Anila mengusap matanya, dia memasuki ruang penuh buku itu dan membawanya beberapa ke atas meja.
Semuanya berjalan normal, sebelum Anila menyadari bahwa dia tertidur. Anila tidak akan tidur jika dia mengetahui masa depan.
Anila menatap tangannya yang berlumpur. Dia mendongak melihat banyak prajuritnya pria menodongkan tombak di lehernya.
Sebuah layar biru mengambang di depan wajahnya.
[Peringatan!]
Alur cerita telah dimulai. Temukan putra mahkota dan cintai dia!
Anila membeku.
"Natara, tolong ajarkan pada Anila cara menyusun kegiatan ini." Salah satu staff pria memanggil Natara yang sedang mengetik di komputernya.
Anila menghela napas. Kenapa Natara lagi?
Natara mengangguk sembari tersenyum. Dia melangkah pelan dan mengambil kertas di tangan Anila. Wanita itu mengajak Anila ke mejanya.
"Memalukan. Sekretaris Pak Revan tidak bisa menyusun hal kecil seperti ini?" Bisikan itu menyapa telinga Anila.
Anila mengepalkan tangannya, dia menunduk. Semua tatapan rekan kerjanya tertuju pada satu titik, yaitu dia dan Natara yang sedang berdiri berhadapan. Mungkin mereka tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Natara, hanya Anila yang mampu menerima itu.
"Jika kau tidak mau, biarkan aku." Anila membalas dengan suara yang agak keras.
"Anila, kau tidak boleh menganggap Natara saingan. Dia rekan kita juga." Maya ikut campur.
Anila memandang rekan kerjanya itu, dia terpojok. Rasanya begitu menyiksa. Natara diam-diam tersenyum licik.
Anila mengangguk, dia selalu salah. Natara menjelaskan pekerjaannya, namun di sisi lain dia dengan suara yang sangat pelan akan mendesis dan menghinanya.
Anila hanya bisa menunduk, tangannya terus terkepal di atas pahanya. Dia ingin menangis, berbulan-bulan merasakan penghinaan ini tanpa ada yang ingin mendengarkan keluh kesahnya benar-benar membuatnya menderita.
Hari itu, Anila membereskan mejanya lebih awal. Beberapa pekerja mencemooh bahwa ia sudah tidak kompeten lagi. Anila tidak peduli, tangannya gemetar dan berlari keluar kantor.
Malam yang begitu gelap menyapanya di perjalanan pulang, Anila tidak ingin pulang lebih cepat. Setiap melihat ayahnya atau adiknya, dia lemah. Dia merasa punggung keluarga yang gagal. Anila tidak ingin melihat mereka dahulu.
Wanita itu mengangkat tangannya, rintikan hujan segera berlabuh di permukaan telapak tangan. Sungguh, sial.
Anila tidak berniat untuk berlari meneduh, dia terlalu lelah. Wanita itu mengabaikan beberapa berkas yang dia pegang, kakinya berjalan memasuki jalan tikus untuk mengantarnya ke sebuah perpustakaan malam.
Anila memandang bangunan itu.
"Sudah lama aku tidak ke sini," gumamnya.
Seorang wanita tua tersenyum menatapnya ketika ia mendorong pintu kayu perpustakaan. Anila menarik napas dalam-dalam, harum buku-buku mampu membuatnya tenang.
Anila melangkah menelusuri rak tinggi, dia mengambil satu buku yang menarik perhatiannya.
Volume Dua: Ratu.
Volume dua? Anila mengerutkan keningnya. Dia mendongak melihat adanya satu bagian kosong di rak itu. Anila mencari buku pertamanya, namun tidak ada.
Anila berjalan membawa buku kedua menuju penjaga perpustakaan.
"Maaf, apakah buku pertama dari novel ini tidak lebih dari satu buku?" tanya Anila. Buku pertama sudah pasti lebih dulu dipinjam orang lain.
"Astaga, maafkan aku. Buku itu sudah lama berhenti dicetak, jadi aku hanya mampu membeli satu tiap volume-nya."
Anila tersenyum. "Tidak masalah, terima kasih."
Anila lantas kembali membawa dua buku berikutnya, dia meletakkan pada permukaan meja baca.
Dia tidak ingin pulang. Tidak untuk sekarang.
Anila membacanya dari buku kedua, lalu dua jam berikutnya dia membaca buku ketiga, kemudian buku terakhir.
Anila cepat dalam membaca karena pekerja sekretarisnya menjadi makanan sehari-hari. Wanita itu larut dalam pelampiasannya malam itu. Dia sempat memutar kepalanya untuk melihat penjaga perpustakaan, namun nampaknya wanita tua itu sudah naik ke lantai atas untuk tidur.
Wanita tua itu tidak pernah ragu untuk meninggalkan perpustakaannya dengan keadaan tidak terkunci.
Anila sangat mengenal wanita itu.
Buku yang menceritakan zaman kerajaan itu menarik Anila hingga kepalanya jatuh di atas buku. Dia lelah, dia butuh tidur.
"Mungkin tidak masalah aku menginap di sini," gumamnya sembari menutup mata yang kian berat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
[Peringatan!]
Tubuh ditemukan, terdeteksi.
Anila terbangun dan menyadari ini bukan perpustakaan tempat dia menginap. Wanita itu melihat sekitar yang tidak memiliki ujung sejauh mata memandang.
Anila melihat layar biru yang mengambang di atas.
"Tubuh ditemukan ...?" Anila ketakutan. Di mana dia?
[Peringatan!]
Tubuhmu diselaraskan perlahan.
"Apa maksudnya ini?" Anila menyentuh layar itu.
[Kau adalah orang terpilih, silakan memasuki cerita dan temukan cinta!]
Anila tersedak. Wanita itu terkejut bukan main saat layar itu menjawab. "Apa maksudmu menemukan cinta?"
Anila tidak pernah jatuh cinta.
[Selesaikan cerita]
"Aku harus apa? Biarkan aku pulang!" ucapnya.
[Cintai Putra Mahkota!]
Apa Anila sudah gila? Ini mimpi?
"Kau siapa? Kenapa aku di sini?" tanya Anila bertubi-tubi.
[Peringatan!]
Tubuhmu sudah dibuat.
"Hah?"
Anila mengambang di udara, dia panik dengan perubahan yang terjadi. Tubuhnya perlahan menghilang dari ujung kaki, lalu Anila merasakan pusing di kepalanya.
Sebelum matanya tertutup, Anila melihat layar itu mengetik sesuatu. Anila bisa membacanya.
[Misi: Cintai Putra Mahkota]
Anila hanya bisa menyadari, bahwa buku yang dia baca di perpustakaan adalah tempat dia terdampar setelah ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anila membuka matanya lagi. Kali ini, tangannya terasa perih dan tubuhnya terasa sakit. Wanita itu menyadari sebuah tombak tertuju di depan wajahnya.
"Sekali lagi, jangan memberontak!" Seseorang dengan pakaian prajurit berteriak padanya.
Mata Anila turun melihat pergelangan tangannya yang terikat. Apa?!
Anila meringis saat prajurit lain mengangkat kedua lengannya dan menyeretnya masuk ke dalam kereta kuda.
Anila melihat banyak wanita yang senasib dengannya. Akan tetapi, tidak ada kekhawatiran di wajah mereka. Semuanya terlihat tenang meskipun tangan dan wajah mereka penuh lumpur seperti keadaan Anika saat ini.
"Kau memberontak?" tanya salah satu wanita melihat keadaan tubuhnya yang lebih kotor.
Anila tidak tahu, tapi mungkin 'pemilik' yang asli tubuh ini sempat memberontak entah untuk alasan apa.
"Untuk apa menolak diculik kerajaan?" balas salah satu wanita lain.
"Kita beruntung, aku hanya berharap bisa menjadi selir suatu saat nanti."
Anila terkejut.
Tak lama mereka berada di dalam kereta kuda, Anila kembali dipaksa keluar dan diseret pergi dari rombongan wanita tersebut.
"Kemana kalian ingin membawaku?" Anila mendesis sakit. Pergelangan tangannya lecet dan sangat menyakitkan ketika bergesekan dengan tali tebal yang melilitnya.
"Ada tempat yang lebih cocok untuk pemberontak sepertimu." Prajurit itu mendorongnya kepada salah satu prajurit lain.
Bahu Anila dipegang dengan hati-hati oleh prajurit itu. Anila mendongak, dia melihat mata panjang yang cantik menatapnya.
Dia prajurit wanita.
"Maafkan perilaku prajurit pria." Wanita dengan baju besi itu melepaskan tali yang ada di pergelangan tangannya dengan hati-hati.
Prajurit pria itu mendengus dan melangkah pergi meninggalkan Anila dan wanita itu.
"Namaku Amara dan kau ...?"
"Anila," jawabnya. Amara mengangguk, dia segera mengantar Anila menuju sebuah bangunan tinggi yang terlihat seperti asrama.
"Ini akan menjadi tempat tinggalmu mulai sekarang, Anila," Amara menjelaskan, "kau akan dilatih menjadi prajurit wanita untuk kerajaan. Aku harap kau dapat menerima ini."
Anila merasakan kakinya gemetar. "Iya."
Anila masih ingat dengan sistem layar biru yang mengambang sebelum dia pindah ke tempat ini. Sistem yang memintanya untuk mencintai putra mahkota negeri ini.
"Kau bisa masuk dan menanyakan kamar untukmu, ya? Mereka tidak galak, kau akan diterima dengan baik," kata Amara lembut.
Anila hanya bisa mengangguk.
"Kalau begitu, aku harus pergi. Putra Mahkota meminta kepala asrama untuk berkumpul." Amara melambaikan tangan kepadanya.
Anila tergagap, menutup rasa malu yang ada dalam dirinya, dia mengangkat suara. "Putra Mahkota?"
Ya, hanya itu.
Amara terkekeh. "Iya, Putra Mahkota. Aku memang tidak pernah melihat wajahnya, tapi dia selalu mengirim ajudannya."
Anila mengangguk lagi.
"Kau jangan malu. Kita akan menjadi rekan mulai sekarang." Amara tersenyum.
"Iya, tolong bantuannya!" Anila menunduk cepat.
Amara melambai lagi dan segera pergi meninggalkan Anila yang meneguk saliva menatap pintu asrama.
Anila mendorong pintu kayu itu, dia di sambut puluhan mata yang sedang mengangkut pakaian basah di tangan mereka.
"Permisi?" Anila meringis, canggung sekali.
"Oh, kau anak baru!"
"Wah, salam kenal!"
"Kau sangat kotor, pergilah mandi lebih dahulu." Seseorang dengan perhatian menurunkan keranjang pakaiannya dan menuntun Anila ke sebuah kamar.
"Ini kamarmu." Dia memberitahu. Anila mendorong pintu kamarnya. Lihatlah, ini kamar yang cukup layak.
Satu jendela, satu kasur dan ada kamar mandi. Kerajaan melakukan yang terbaik untuk membuat prajuritnya nyaman.
"Terima kasih." Anila tulus mengatakannya.
"Nikmati waktumu." Wanita itu meninggalkan kamarnya.
Anila menutup pintu kamarnya, lantas tubuhnya langsung merosot lelah. "Apa yang terjadi padaku ...."
Wanita dengan rambut hitam itu bergumam sedih. Dia meninggalkan ayah dan adiknya. Apa mereka akan melaporkan dirinya hilang? Bagaimana adiknya sekolah jika dia tidak memberikan uang bulanan?
Anila menarik napas. Dia membuka lemari kecil di kamar itu, lalu menemukan beberapa pakaian tidur.
"Tidak ada pilihan, aku harus belajar merayu." Anila meringis geli. "Aku harus berhati-hati karena targetku adalah seorang putra mahkota Raven Nabastala."
Raven Nabastala. Pria berumur 25 tahun yang kejam. Dia adalah antagonis dari cerita ini dengan perilaku obsesinya yang mengerikan. Sayang seribu sayang, sebagai antagonis dia berakhir meninggal karena dibunuh oleh prajurit pria biasa, seorang tokoh utama dari novel itu.
Sedangkan untuk tokoh utama wanita ..., Anila menatap rembulan yang bersinar. Dia mengetuk kaca jendela, berpikir.
"Amara Payoda." Anila bergumam menyebut nama yang tidak asing lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu Anila membereskan kamarnya yang terletak di lantai dua asrama, lalu menyapa teman-teman satu lantai. Rasanya seperti pertama kali masuk kantor dan harus berkenalan dengan rekan-rekan baru agar hidup kantornya terasa damai.
"Pakai ini. Pastikan memasangnya dengan benar agar kau aman."
Wanita yang diketahui bernama Wesa itu memberikan baju prajurit yang tergantung di lemari Anila padanya.
Anila menyambut pakaiannya itu sambil menggaruk kepalanya bingung.
Wesa berdecak, dia mengambil kembali pakaian itu dari tangan Anila. "Biar aku bantu."
Setelah berpakaian dengan benar, Anila menerima pedang yang cukup tajam dan panjang dari Wesa.
"Eh." Anila terkejut saat Wesa melepas pegangan pedang itu, membuat Anila menjatuhkan ujung pedang.
Berat sekali!
Anila meneguk saliva. Susah payah tangannya mengangkat pedang itu dan berjalan mengikuti Wesa menuju lapangan berlatih.
"Perhatikan gerakan rekan-rekan kita dan tirulah yang menurutmu mudah dahulu." Wesa menunjuk pada salah satu prajurit yang sedang melakukan tusukan berulang-ulang tanpa lelah.
"Gerakan berulang seperti itu dapat membuatmu terbiasa dengan berat pedang, karena kau harus mampu membuat pedang tetap lurus agar dapat menusuk lawan."
Wesa mengangkat ujung pedang Anila di tanah dengan jarinya. "Tidak jatuh seperti ini. Kau harus mampu menyeimbangkan pedangnya agar bersahabat denganmu."
Anila mengangguk. "Aku harus berlatih menusuk?"
Wesa menggeleng. "Bukan itu."
Anila mengerutkan keningnya.
"Aku membahas tentang keseimbangan dan bersahabat dengan pedang," ucap Wesa sambil memperlihatkan cara dia mendirikan pedang di depannya. "Dirikan pedangmu dan berjalanlah. Dirikan pedang hingga ujungnya setara dengan matamu."
Anila mendirikan pedang itu dengan serius. Dia melangkah perlahan, berusaha agar tangannya yang gemetar tidak membuat pedang itu jatuh.
Anehnya, seakan ada sesuatu dalam dirinya yang langsung merangsang pedang yang ia pegang. Anila dapat merasakan bahwa gagang pedang mulai terasa ringan, seperti otot lengannya mengencang.
Energi pemilik asli tubuh ini. Anila mulai menyatu dengan firasat itu.
Wesa termangu.
"Apa kau pernah berlatih sebelum ini?" tanya Wesa memegang bahu Anila.
Anila dengan cepat berpikir. Akan sangat aneh jika dirinya menjawab 'belum' karena dia mulai terbiasa dengan pedang tersebut. Sebagai orang normal yang baru belajar, Wesa akan curiga.
"Aku pernah mencobanya, tapi tidak mendalami ilmu bertarung." Anila membuat alasan.
Wanita di depannya menghela napas lega. "Ah, andai kau bilang dari awal. Baiklah, sekarang bergabung dengan prajurit pemula lainnya. Kau bisa belajar bersama mereka."
Anila mengiyakan ucapannya, dia segera berlari kecil untuk bergabung dengan kelompok itu.
Gelisah. Anila meniti sekitar.
"Fokus, Anila," ucap Amara yang sudah di depannya.
Anila tersentak, tersenyum konyol. "Maaf."
Anila meniru teman-temannya, dia mengulang gerakan menusuk dengan pose yang canggung. Perlahan-lahan dia juga mengangkat pedangnya seakan menusuk sesuatu di bawah tanah. Terkadang Anila akan menyeka keringatnya, dan melihat gaya latihan baru dari yang lain.
Selama seminggu Anila tinggal di sana tidak ada kemajuan. Hal ini membuat Anila frustrasi, dia juga mulai menulis informasi yang dapat dia ingat dari volume dua novel itu.
"Aku tidak membaca volume satunya!" Anila berdecak sembari meletakkan tintanya dengan gusar di atas meja.
Volume dua novel itu menceritakan tentang perjuangan Amara sebagai ketua asrama prajurit wanita dan kemudian bertemu dengan prajurit pria yang baru direkrut dan memiliki paras tampan.
"Volume satunya pasti bercerita tentang masa lalu Amara dan kisahnya sebagai prajurit wanita biasa."
Begitulah Anila menyimpulkannya.
Anila lantas mencoret kesal kertas kosong lainnya untuk melampiaskan kebuntuannya dalam mencari putra mahkota. Dia dekat dan tinggal di istana, tapi kenapa Anila tidak bisa melihatnya?
Wanita itu membuka jendela dan berniat melempar kertasnya ke dalam karung sampah yang ada di luar jendela.
"Ashh ...." Seseorang meringis dengan suara mendidih kesal.
Anila tersentak, dia membuka lebar jendelanya dan melihat ke bawah, lalu mendapati bahwa seorang pria sedang berjongkok sembari memegang kepalanya.
Tidak ingin mengganggu teman-temannya yang sudah tidur, Anila berbisik dengan suara yang cukup didengar oleh telinga pria itu.
"Maafkan aku, apa itu sakit?" tanya Anila.
Bodoh. itu hanya sebuah kertas remuk untuk apa Anila menanyakan hal itu?
Pria dengan mata sebiru lautan itu lantas mendongak ke jendela atas dan berhasil bertatapan dengan mata hitam miliknya. Anila cegukan, dia!
Pria itu sadar bahwa Anila mengenalinya, kemudian dia menyeringai. "Kau, aku tandai."
Mata Anila membulat, tubuhnya merinding. Lagipula, beraninya dia berkeliaran di luar asrama wanita?
Benar. Itu Raven Nabastala. Orang yang Anila cari dan harus ia cintai.
Pria itu merapatkan jubah hitam miliknya, netranya bahkan masih berkobar menilik mata Anila.
Raven membuang wajahnya, segera hilang di telan kegelapan saat itu juga. Anila hendak berteriak, dia ingin memanggilnya tapi terlalu segan. Sosok dari tokoh antagonis yang dimiliki Raven sangat terlihat.
"Ini sial atau keberuntungan?" monolog Anila sambil menarik anak rambutnya gusar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara berlarian membuka pintu kamar Anila keesokan paginya. Sosoknya sangat berantakan, bahkan Anila tidak yakin apakah dia sudah mandi atau belum dapat dilihat dari rambut kusutnya yang mencuat.
"Anila apa yang kaulakukan?" tanya Amara gelisah.
"Apa?" Anila berusaha tidak mengerti, dia tahu Raven selalu tidak sabaran. Anila harus memiliki mental yang kuat untuk itu.
"Putra mahkota mencarimu. Dia mencarimu!" ungkap Amara yang sudah dapat ditebak oleh Anila. Amara menggoyangkan tubuhnya panik.
Anila memegang bahu Amara. "Aku akan baik-baik saja."
"Kau sudah tahu masalahmu dengannya?" Amara tidak habis pikir.
"Aku akan segera kembali." Anila melambaikan tangannya ada Amara, dia membawa pedang juga di sisinya.
"Kau harus mandi."
"Aku sudah mandi." Anila tersenyum lebar menampilkan deretan gigi rapinya. Bangun pagi dan pergi ke kantor adalah makanan sehari-harinya, apalagi hanya ini.
"Apa kau ingat menuju tempat putra mahkota?" tanya Amara khawatir.
"Aku masih ingat. Lanjutkan tidurmu, Mara." Anila mendorong punggung Amara ke depan pintu asrama yang berjarak tiga kamar dari miliknya.
"Tapi—"
"Aku pasti kembali," kata Anila menenangkan Amara.
"Dia monster, La." Amara menatapnya lamat-lamat.
"Dia putra mahkota, dan kita tau itulah dirinya," balas Anila tenang. Nyatanya, jantungnya juga berdegup kencang karena memikirkan nasibnya setelah ini.
"Aku bisa menemanimu," tawar Amara.
"Kau sudah lelah bekerja kemarin, sekarang adalah waktu liburmu. Kau harus istirahat," tolak Anila.
"Anila ...."
"Mara," tegas Anila sambil menggeleng. "Jangan khawatirkan aku."
Amara menghela napas. "Tolong jangan membalas ucapan putra mahkota apapun yang dia katakan. Kau bisa dalam bahaya, mengerti?"
Setelah mendengar nasehat Amara, dia segera menuruni tangga asrama dan pergi keluar menuju pintu istana yang dijaga oleh dua prajurit pria yang ia kenali.
Prajurit itu saling memandang, sebelum menyingkirkan tombak mereka yang menghalangi jalan Anila.
Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara padanya.
Anila kembali berjalan, mengetuk pintu ukir yang tidak pernah ia sentuh. Inilah ruang kerja milik putra mahkota.
"Masuk." Suara berat dan dingin menyapanya.
Pertama kali melangkahkan kaki di ruangan itu, Anila hanya bisa merinding. Hawa yang dimiliki putra mahkota benar-benar mendominasi ruangan ini. Lantas wanita itu berdiri tegap dengan wajah tak kenal takut di hadapan Raven.
Raven menyipitkan matanya yang tajam. "Kau sangat berani menatapku langsung."
Jangan dijawab.
"Diam? menarik. Kau masih mencari jalan aman." Raven menurunkan pena di tangannya.
Kaki Anila gemetar. "Saya menerima panggilan Anda, Putra Mahkota."
Ruangan sunyi sejenak.
Raven mengangguk. Pria itu bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Anila. Terlalu dekat, Anila segera menurunkan matanya.
"Tatap aku."
Mata Anila gelisah kesana kemari.
"Anila Rembulan, tatap aku."
Anila terkejut, dia tidak pernah menyebutkan nama belakangnya pada siapapun termasuk Amara. Hal itu membuat Anila mendongak melihat wajah pahatan terindah sedang ada di depannya.
Mata Raven sedingin es. "Jangan tatap yang lain, hanya diriku. Di sini."
"Putra mahkota ... bagaimana bisa?" Lidah Anila kelu untuk bertanya secara benar.
"Namamu?"
Anila mengangguk.
Raven menyentuh ujung rambut panjangnya yang tergerai. "Orang yang menjualmu."
[**Peringatan!]
Kisahmu dimuat**.
Anila meneguk saliva, kini tubuh ini memiliki identitas nama yang sama seperti dirinya.
"Menjualku?"
Raven mengambil langkah mundur, dia bersandar di tepi jendela dengan tangan yang terlipat. "Bukankah lucu kau bertindak seberani ini sedangkan aku membelimu."
Anila mengepalkan tangan.
"Aku tidak pernah mau dijual."
Raven mendekat, dan mendorong anak rambut Anila ke belakang telinganya dengan lembut. "Dunia milik orang-orang yang berkuasa."
Anila menepis tangan itu. Giginya merapat kesal.
"Aku tahu kau orang seperti ini, Anila," bisik Raven seakan dia puas dengan tindakannya.
Anila tidak tahu apa yang ada dipikiran Raven saat ini. Anila hanya tahu Raven kehilangan akal sehatnya ketika penulis memutuskan untuk membuat sifat buruk menempel pada pria ini.
"Silakan kembali besok jika kau berminat." Raven memutar balik tubuhnya dan kembali duduk dengan tenang di meja kerja miliknya.
Apa yang dia bicarakan? Anila menyipitkan mata. Bagaimana bisa aku mencintai orang seperti ini?
Takdir sedang bermain dengan Anila.
"Terima kasih, tapi saya tidak berminat." Anila berjalan meninggalkan ruangan itu dengan otaknya yang terasa membengkak.
Pria itu menikmati permainan yang sedang ia buat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!