Hampir pukul satu siang ketika Irma tiba di tempat kerjanya, yaitu toko yang menjual ponsel dan accessories. Sebagai kepala toko, Irma memilih bekerja pada shift kedua, masuk jam satu, pulang jam sembilan malam.
Toko sedang lengang pengunjung ketika Irma datang. SPG (Sales Promotion Girl) yang berjumlah tiga orang sedang tertawa cekikikan, membully seorang pemuda yang kerap datang siang-siang hanya untuk membual soal ramalan masa depan.
Anehnya, hiburan itu selalu dinantikan oleh SPG yang sedang tidak ada pekerjaan tersebut. Entah karena Sang Peramal masih muda dan tampan, atau karena ramalannya selalu tepat, Irma tidak begitu peduli. Pekerjaannya banyak, tidak ada waktu untuk hahahihi bersama anak buahnya yang sebagian besar masih lajang.
Irma wanita bersuami, memiliki dua balita, dan sudah cukup berumur untuk ikut bermain ramal-ramalan masa depan dengan pemuda yang menurutnya seperti orang setengah tidak waras. Ia hanya mengamati dari balik meja kasir sambil memulas lipstik dan bedak yang tidak sempat dipoles di rumah.
Sesekali, Irma melirik pemuda sableng yang mengaku bisa meramal itu dengan ekspresi berkerut-kerut. Elz baru berusia 24 tahun, tapi terlihat lebih dewasa karena pembawaannya yang kadang super serius.
“Elz, aku besok-besok nikahnya sama siapa?” tanya salah satu SPG yang bernama Dewi sambil mengulurkan telapak tangan.
Elz memegang telapak tangan Dewi, membaca garis tangannya sebentar lalu menjawab dengan ekspresi main-main. “Kamu bakal nikah sama suami orang.”
Dewi spontan merengut, “Yang bener aja, masa aku nikah sama suami orang. Pelakor dong?”
“Iya, kamu nanti nikah sama suami teman kamu sendiri,” jawab Elz datar. Kali ini dengan raut serius. Matanya menatap wajah Dwi yang memerah malu.
“Males, ih! Masa ramalan aku jelek bener!” ujar Dewi bersungut-sungut. Ia tak bisa menyangkal lebih jauh karena memang sedang terlibat cinta segitiga. Pria yang jadi kekasihnya adalah suami temannya. Dwi menarik tangannya kesal.
“Kalau aku gimana, Elz?” tanya Nanik yang baru setahun menikah. Ia juga mengulurkan tangan untuk dilihat tukang ramal gadungan itu. Menyerobot antrian Lala dan Siska.
“Wah … Mbak Nanik susah punya anak nih kayaknya,” kata Elz dengan wajah tanpa dosa. Tidak menyadari kalau wajah Nanik berubah muram. “Eh, maaf!”
“Gitu ya?” Nanik bukan sedang menunda kehamilan, tapi dokter memang menyatakan kalau ia sulit hamil karena suaminya menderita diabetes. “Semoga ramalanmu salah, Mas!”
Nadia nyeletuk, “Jangan ngawur kamu kalau ngomong, Elz!”
“Aku loh ngomong serius, nggak percaya ya udah! Buktiin omonganku … kamu bakal nikah dalam waktu dekat, jodoh kamu ada di sekitar sini,” kata Elz tak mau kalah.
“Nah ini namanya ngaco, pacar aja nggak punya, gimana mau nikah cepet?” tanya Nadia kesal. “Kamu nggak lihat telapak tanganku, darimana kamu bisa meramal?”
Nadia sama sekali tidak percaya dengan ucapan pemuda yang doyan ngelantur itu. Ia sudah setahun menjomblo dan rasanya belum ada tanda-tanda akan punya pacar, apalagi menikah. Nadia tidak sedang dekat dengan pemuda manapun!
“Kalau Mbak Irma itu nanti bakal kehilangan suaminya. Ah … pokoknya sulit dijelaskan!” ujar Elz dengan wajah sedih. Ia menatap sekali lagi pada Irma yang sedang menyisir rambut, tak menggubris ucapannya sama sekali.
“Wah … parah kamu Elz, masa kamu doain Mbak Irma jadi janda?” protes Nadia. Semakin kesal karena ramalan Elz siang itu tidak ada yang membuat bahagia.
Elz menyahut tak kalah kesal, “Aku serius kok, sumpah!”
“Kamu kapan baca garis tangan Mbak Irma? Kacau kamu, Elz!”
“Aku nggak perlu lihat garis tangan kalian juga tau!” balas Elz cuek.
“Aku kan nggak minta diramal, Elz!” tegur Irma dengan mata tak suka. Ia berusaha tidak terusik dengan kalimat Elz yang meramal suaminya bakal pergi. Huh, ada-ada saja!
Siapa juga yang mau mendengar omong kosong pemuda yang kejiwaannya setengah terganggu?
Tidak! Elz normal, ia memang memiliki keanehan yang tidak bisa disebut kelebihan! Elz sudah berusaha mengobati kekurangannya untuk tidak melihat lebih jauh keadaan seseorang itu pada beberapa orang pintar. Ia juga menulikan telinga dari bisikan gaib yang kerap hadir dengan informasi seputar jagat. Hanya saja, masih belum berhasil.
“Aku pulang, kalian kayaknya kesel sama ramalanku hari ini. Udah jangan dianggap serius, aku juga nggak berharap hal buruk akan terjadi pada kalian semua! Terima kasih. Sampai ketemu beberapa tahun lagi!”
Elz pergi setelah acara ramal meramal selesai. Tidak ada bayaran yang diterima karena ia datang bukan untuk uang. Elz menyambangi tempat itu untuk menyapa teman-temannya, dan mengungkapkan apa yang dilihatnya. Ia juga baru beberapa kali datang.
Awalnya Elz hanya kenal dengan Nadia. Itupun tak sengaja. Setelah membeli nomor kartu perdana di toko tersebut, mereka bertemu di kafetaria dan akhirnya mengobrol satu meja sambil makan siang. Elz mengatakan sesuatu pada Nadia dan secara kebetulan esoknya terjadi. Sejak saat itu, Elz kadang diminta datang, dan semua teman Nadia ingin diramal untuk kesenangan semata.
Namun, Elz sedang sial hari ini. Ramalannya tidak ada yang baik, semua yang dikatakannya tidak bisa diterima teman-teman barunya dengan mudah. Padahal ia tidak berbohong. Elz mengatakan apa yang terlintas di kepalanya.
Hm, entah bagaimana kerlipan masa depan orang selalu tergambar jelas dalam benak Elz dengan sendirinya. Lagi pula salahnya dimana ketika ia memberitahukan takdir buruk seseorang? Tujuannya jelas, agar mereka bisa waspada dan bisa menghindari bencana yang bakal menimpa di kemudian hari.
***
Irma termenung di dalam kamar mengingat ramalan yang pernah disampaikan Elz tiga tahun lalu. Ia sekarang tak lagi bekerja di toko ponsel, tapi membuka toko sembako di rumah. Sementara suaminya masih tetap mengelola salon yang sudah menjadi usaha mereka selama bertahun-tahun.
Dewi telah menikah dengan kekasihnya. Elz benar, Dewi sudah mengambil suami teman dekatnya. Lalu Nanik, dalam kurun waktu tiga tahun keguguran dua kali, hamil yang ketiga anaknya lahir selamat tapi meninggal setelah berumur satu tahun.
Ramalan Elz pada Nadia terbukti paling jitu. Hanya dalam waktu tiga bulan sejak diramal Elz, Nadia menikah dengan salah satu pekerja toko ponsel yang tidak jauh dari lokasi tempat mereka bekerja dulu.
Apa semua serba kebetulan? Atau Elz memang benar ketika membaca masa depan seseorang?
Irma masih belum percaya pada ramalan Elz tentang dirinya. Kehidupannya tidak ada yang berubah. Rumah tangganya adem ayem tanpa gejolak apapun. Selama tiga tahun terakhir, suaminya sehat-sehat saja. Tidak ada indikasi sakit yang bisa membenarkan kalau ia bakal ditinggalkan suaminya.
Hari ini, warung sembako sengaja tutup lebih awal karena kedua anaknya rewel minta bermain monopoli. Irma memilih menemani keduanya di rumah, dan mengantarkan mereka tidur setelah selesai bermain. Kebetulan rumahnya hanya berjarak sepuluh meter dari warung dan salon yang berada tepat di pinggir jalan.
Irma membuka ponsel, menjelajah media sosial sambil menunggu suaminya pulang. Salon baru akan tutup satu jam lagi, kalau tidak ada pelanggan, paling lambat suaminya sampai rumah satu jam lebih sepuluh menit.
Sembari menahan kantuk, Irma menggeser layar untuk mengecek harga sembako di pasaran dan kuliner di efbe. Ia tahu kalau suaminya juga sedang online, mungkin karena tidak ada pelanggan di salon, sehingga suaminya santai.
Irma mengirim pesan pada suami, meminta salon untuk ditutup saja kalau sudah tidak ada pelanggan. Toh mereka sudah dapat uang cukup banyak hari ini, baik dari warung sembako maupun dari salon yang ramai sejak siang.
Suaminya menjawab belum merasa lelah dan merasa sayang kalau harus tutup cepat. Irma mengalah meski ia ingin segera berdua-dua dengan suaminya setelah lelah berjaga warung seharian.
Hingga satu jam berikutnya, Irma melihat suaminya tetap online. Padahal, mereka sudah tidak berkomunikasi via chat lagi. Irma menduga dalam satu jam terakhir tidak ada pelanggan lagi yang datang.
Sepuluh menit kemudian, suaminya yang bernama Beni masuk ke kamar dengan wajah sumringah. “Loh kok belum tidur? Katanya tadi ngantuk!”
Irma menggeliatkan badan, “Aku nunggu kamu, Mas. Mau makan malam nggak?”
“Mau mandi dulu, gerah banget!” jawab Beni. Ia keluar kamar lagi untuk membersihkan diri.
Irma ikut keluar kamar untuk menyiapkan makan malam suaminya. Matanya yang sudah berat semakin berat ketika menunggu suaminya yang tidak keluar-keluar dari kamar mandi. Padahal, ia sudah duduk selama tiga puluh menit di meja makan.
Irma hampir mengetuk pintu kamar mandi, tapi urung karena mendengar suaminya berbicara. Irma merapatkan telinga pada daun pintu kamar mandi yang tertutup, mencoba mencuri dengar pembicaraan.
Samar-samar terdengar suaminya sedang berbicara melalui telepon dengan seseorang, dengan nada lembut dan ceria. Sesekali tertawa renyah seolah candaan mereka sangat mengena.
Erma mengernyit penuh tanya, sejak kapan suaminya memiliki kebiasaan ke kamar mandi dengan membawa ponsel? Dan bertelepon ria di ruang tertutup itu lebih dari tiga puluh menit?
Benak Irma penuh dugaan-dugaan negatif. Adanya wanita idaman lain yang hadir dalam rumah tangganya menjadi kecurigaan paling utama dibanding hal lain.
Jantung Irma berdegup kencang, dari sekian banyak kemungkinan yang melintas dalam pikirannya, ia justru teringat dengan Elz dan ramalannya.
***
Irma kembali ke meja makan dengan perasaan tak enak. Ia mengingat kebiasaan suaminya beberapa hari terakhir. Selain bermain ponsel lebih banyak, tidak ada hal lain yang patut dicurigai.
Beni tidak keluar rumah, kalaupun pergi hanya sekitar satu sampai dua jam untuk membeli kebutuhan salon yang habis. Tidak ada indikasi Beni pergi untuk bertemu wanita lain, karena Irma sendiri sering pergi ke toko grosir yang menjual kebutuhan salon langganan mereka. Selain lokasi lumayan jauh dari rumah, toko itu selalu ramai dan antri.
Dua jam adalah standar waktu jika belanja banyak, sudah terhitung dengan waktu perjalanan memakai motor.
Hampir sepuluh menit Irma termenung, menatap mie rebus dalam mangkuk yang sudah tak beruap. Beni tak kunjung keluar dari kamar mandi, mie buatan Erma pun sudah dingin dan membengkak. Kuahnya mengering. Tapi Irma meneguhkan diri untuk tetap menunggu sampai Beni selesai dengan urusan kamar mandi.
“Loh kamu ngapain di sini?” tanya Beni dengan raut terkejut setelah keluar kamar mandi dan melintasi meja makan. Ia tak menduga kalau Irma membuatkan makan malam untuknya.
“Katanya tadi mau makan, jadi aku buatkan mie rebus. Lauknya habis sama anak-anak sore tadi,” jawab Erma datar, kesal karena suaminya merasa tak bersalah. “Tapi sekarang mie rebusnya udah berubah jadi mie goreng!”
“Aku sebenarnya nggak laper banget, tadi aku cuma bilang mau mandi dulu,” kata Beni berusaha menjelaskan. “Tapi aku makan aja nggak apa-apa, sayang kalau dibuang. Kamu istirahat aja sekarang, mata udah sipit begitu!”
Sebenarnya Irma enggan beranjak dari meja makan, ingin bertanya kenapa Beni begitu lama di kamar mandi. Ia juga ingin bertanya siapa yang dihubungi Beni malam-malam begini. Hanya saja waktunya tidak tepat, sudah malam. Ia tidak mau memancing pertengkaran.
Irma menatap mangkuk berisi mie yang bentuknya sudah seperti cacing-cacing besar. “Mau aku buatkan lagi? Udah nggak enak itu!”
“Nggak usah, ini masih bisa dimakan! Kamu istirahat aja sekarang, tunggu aku di kamar!” perintah Beni. Matanya menatap kasihan pada istrinya yang tampak lelah karena menjaga warung seharian.
“Ya udah kalau gitu,” pamit Irma. Ia beranjak ke kamar dengan wajah masam. Merasa tak diinginkan kehadirannya di meja makan. Beni mengusirnya secara halus.
Dalam berbagai situasi, Beni suka ditemani ketika makan. Beni juga suka dilayani, diambilkan minum, ditanya ini dan itu oleh istrinya. Mereka akan mengobrol ringan soal pendapatan harian, kebutuhan barang dan juga sekolah anak-anak.
Tapi malam ini, Beni ingin makan sendiri. Ia sedikit tak enak hati karena terlalu lama di kamar mandi. Istrinya yang lelah dan mengantuk tidak dibiarkannya lebih lama membuka mata hanya untuk menemani makan.
Irma merebahkan tubuh di kasur, masih berpikir penyebab suaminya berubah. Ia kembali membuka media sosial, menjelajah dunia maya untuk mencari sesuatu yang mengganjal hati. Menjadi stalker di akun sosial media suaminya. Mumpung Beni sedang ada di meja makan.
Hebatnya, Beni tak kunjung masuk kamar hingga satu jam berikutnya. Bukankah terlalu berlebihan jika harus menghabiskan semangkuk mie dalam waktu satu jam? Irma bahkan bisa makan mie dingin seperti itu hanya dalam waktu lima menit.
Irma sengaja menahan kantuk, ia sudah menutup ponselnya karena tidak mendapatkan apa-apa. Profil suaminya yang memakai nama Iben di media sosial tidak menunjukan gejala apa-apa, atau mungkin ia yang tidak tahu? Ya Irma tidak tahu sandi login efbe suaminya.
Mengecek ponsel Beni secara langsung adalah jawaban dari rasa penasarannya. Irma menunggu dalam selimut, memejamkan mata, pura-pura tidur. Mencari waktu agar bisa melihat ponsel sialan itu ketika suaminya tidur nanti.
Sekitar tiga puluh menit berikutnya, Beni masuk kamar, merebahkan tubuh. Masih bermain ponsel di belakang punggung istrinya. Irma menebak Beni sedang berbalas pesan dengan seseorang. Tidak ada bunyi notifikasi, tapi tangan Beni sibuk, gerakan jarinya menimbulkan suara samar di malam yang semakin senyap.
Irma hanya diam, menunggu hingga Beni terlelap. Sayangnya, matanya terlalu lelah untuk pura-pura terpejam hingga tengah malam. Ia justru tidur dalam rasa penasaran.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!