NovelToon NovelToon

Mendadak Jadi Istri BOS

KEPERGOK

Suara kecipak bibir menggema di sebuah ruangan. Seorang pria tampak asyik menikmati bibir seorang wanita cantik yang ada dipangkuannya. Sampai suara pintu yang dibuka secara kasar membuat mereka kaget dan menghentikan aktifitasnya.

"Mas, apa yang kau lakukan?" teriak Navia. Wajah wanita itu merah padam dengan nafas naik turun melihat Rama, suaminya tengah memangku seorang wanita. Tak hanya memangku, dia sempat melihat mereka berciuman.

Embun, wanita yang berada dipangkuan Rama itu turun sambil menyeringai. Jangan dikira dia takut karena kepergok, namun malah sebaliknya. Dia berteriak girang dalam hati. Karena apa? Karena sasaran telah masuk perangkap. Dia menggunakan nomor baru untuk memancing agar Navia datang ke kantor dan memergoki kelakuannya dan Rama.

"Tega kamu melakukan ini padaku Mas." Navia berusaha untuk tidak menangis meski hatinya terasa sakit. Baginya, pantang terlihat lemah didepan pelakor.

"Sa-sayang, aku bisa jelasin," Rama terlihat panik. Segera dia menghampiri istrinya yang masih mematung dan meraih kedua tangannya.

Navia menatap nyalang sang suami yang telah tega selingkuh dibelakangnya. Padahal ini masih tahun pertama pernikahan mereka, dimana mereka harusnya masih hangat hangatnya. Tapi ternyata, Rama sudah berbuat serong.

"Maaf, aku khilaf sayang. Dia terus menggodaku," Rama menunjuk Embun yang masih berdiri didekat mejanya.

Embun tak peduli dengan apapun yang dikatakan Rama meski itu menyudutkannya. Dia makin muak pada pria itu. Jelas-jelas, tadi Rama yang yang memaksa dia duduk dipangkuannya dan terus menyosor minta cium. Tapi sudahlah, itu tak penting sama sekali. Karena bagi Embun, kehancuran rumah tangga Rama adalah tujuan utamanya.

"Dan kamu tergoda? Kamu jahat Mas, jahat." Navia memukul-mukul lengan Rama, melampiaskan kemarahannya pada pria itu.

"Aku mohon maafkan aku Sayang," Rama mencoba membujuk istrinya. "Aku tahu aku salah, tapi aku janji tak akan mengulanginya lagi."

Embun memutar kedua bola matanya jengah. Dasar buaya darat, sekarang saja memelas dihadapan Navia. Tapi kalau dibelakangnya, dia selalu menjelek jelekkan Navia. Mengatakan jika wanita itu terlalu manja dan tak bisa melakukan apa apa. Daripada membuatnya senang, Navia lebih sering membuatnya repot.

Malas melihat drama rumah tangga mereka, Embun memilih pergi. Melewati keduanya sambil mengela nafas lalu keluar. Dia bergegas ke toilet untuk membersihkan bibirnya. Berkumur berkali kali demi menghilangkan bekas ciumannya dengan Rama. Jangan dikira, dia menikmati ciuman tadi. Sumpah demi apapun, dia sangat jijik.

Saat Embun masih sibuk membersihkan bibir, tiba-tiba pintu toiket dibuka kasar. Seorang wanita yang tampak emosi berdiri diambang pintu, siapa lagi kalau bukan Navia. Ternyata wanita itu menyusulnya kedalam toilet.

Melihat tak ada orang lain selain mereka berdua, Navia masuk dan langsung menutup pintu kembali.

"Dasar pelakor," maki Navia. Wanita yang sedang diliputi amarah itu meringsek maju dan hendak menjambak Embun, tapi sebelum hal itu terjadi, Embun lebih dulu menahan tangan Navia yang sudah terangkat keatas.

"Suamimu saja yang bajingan, bukan aku yang salah."

Cuhh

Mata Embun reflek menutup saat Navia meludah diwajahnya. Sebelah tangan Embun mengepal kuat dengan dada naik turun menahan emosi.

"Wanita menjijikkan sepertimu sangat pantas diludahi."

Embuh tersenyum, dia melepaskan tangan Navia lalu membersihkan wajahnya diwastafel.

"Apa tidak ada pria lain didunia ini? Kenapa harus suamiku hah?"

Karena dia telah meninggalkan luka yang sangat dalam dihatiku, Embun menjawab dalam hati.

"Jangan dikira karena kau lebih cantik daripada aku, terus kau bisa merebut suamiku?" Navia menatap nyalang pantulan wajah Embun di cermin. "Apa kau tidak takut karma? Apa kau tidak takut jika suatu saat, kau mengalami nasib yang sama denganku?"

Sebelum kau, aku sudah mengalaminya. Dan saat ini, aku hanya sedang mengirimkan karma pada suamimu.

"Jangan ganggu suamiku lagi. Enyah dari hidup kami."

Embun tersenyum getir mendengar itu. Dia membalikkan badan lalu menatap Navia. "Apa itu artinya, kau masih mau memaafkan suamimu? Pria itu bajingan," tekan Embun sambil melotot tajam. Dadanya tiba-tiba sakit. Segera dia memalingkan wajah agar Navia tak melihat jika saat ini, dia hampir manangis.

"Bajingan teriak bajingan," maki Navia. "Kau yang bajingan, jaalang, murahan, tak tahu malu. Jangan kau pikir aku akan meninggalkan suamiku karena skandal kalian. Aku tak akan kalah dengan pelakor. Jadi jangan berharap aku akan minta cerai lalu kau mendapatkan Mas Rama. Itu tidak akan pernah terjadi."

Embun tersenyum getir. Dia akui, Rama memang sangat tampan, dan Navia, tak aneh jika wanita itu tergila-gila padanya. Diapun, dulu juga sama, tergila gila pada Rama hingga rela menunggunya bertahun tahun hingga predikat perawan tua sering disematkan para tetangganya.

"Menjauh dari suamiku, atau kalau tidak, aku akan menyuruh kakakku untuk memecatmu. Aku yakin kau tahu adalah adik CEO perusahaan ini," ancam Navia.

"Tapi bagaimana jika suamimu yang justru mendekat terus padaku?" Tanya Embun sambil menyeringai dan bersedekap.

"Itu tidak akan mungkin. Mas Rama bukan pria seperti itu. Dia hanya khilaf karena kau terus merayunya."

Embun tergelak. "Dan kau senaif itu langsung percaya begitu saja? Ayolah Nona muda, buka matamu lebar-lebar, suamimu telah berselingkuh, dan kau masih percaya dengannya. Khilaf? Astaga, kalau begitu, kau juga jangan marah padaku, aku hanya khilaf." Embun membuang nafas berat lalu bersiap pergi. Tapi sebelum dia membuka pintu, dia kembali menoleh pada Navia.

"Selingkuh itu penyakit. Yakinlah, meski saat dia ini bilang menyesal, dia tak sepenuhnya menyesal. Dia akan kembali mengulaginya jika ada kesempatan." Embun keluar setelah mengatakan itu.

MASALALU

Embun kembali kemejanya. Memejamkan mata sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Ternyata tak mudah untuk menghancurkan rumah tangga Rama. Padahal hari ini, dia pikir Navia akan mengamuk dan langsung minta cerai, tapi sayang, semua itu hanya sebatas anggannya, karena kenyataannya, Navia masih memilih mempertahankan rumah tangganya.

Embun sudah muak menjalani drama ini. Menjadi selingkuhan Rama, astaga, menjijikkan sekali. Dia harus tertawa dan bahkan tak kadang merayu pria yang dia benci itu.

Kling

Suara notifikasi dari ponsel membuat Embun segera meraih benda pipih tersebut.

[ Maaf Sayang, aku terpaksa menyudutkanmu tadi. Jangan marah, please. Nanti saat ada kesempatan, kita ketemu. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan. Tolong jangan marah, aku sangat mencintaimu.]

Embuh tesenyum getir membaca pesan dari Rama. Mencintai, cinta seperti apa itu? Kalau cinta, kenapa menyakiti. Dia teringat masa lalunya dengan Rama.

Flashback 1 tahun yang lalu.

Embun yang baru pulang dari mengajar, tak sengaja bertemu dengan Nilam, tetangga sekalius teman seumurannya.

"Cie....yang pacarnya pulang, seneng nih," goda Nilam. "Pasti sebentar lagi bakalan ada yang dilamar. Setelah lamaran langsung nikah aja Mbun, biar cepet kayak aku," Nilam mengelus perut buncitnya. "Aku udah mau dua loh." Dia memamerkan kehamilannya yang kedua.

"Pulang?" Embun malah terlihat bingung.

"Ya elah, pakai pura-pura gak tahu. Si Rama kan pulang. Pasti bentar lagi janur melengkuh didepan rumah kamu. Secarakan, Rama udah selesai kuliahnya, dan udah jadi orang sukses. Aku ngikutin loh ig nya dia. Sumpah, cowok lo makin hari makin keren aja Mbun. Gak rugilah, kamu nunggui dia bertahun tahun."

Rama pulang? Embun bahkan tak tahu apa apa. Kekasihnya itu tak memberi kabar jika dia akan pulang hari ini. Beberapa bulan terakhir ini, Rama memang sedikit susah dihubungi, pria itu selalu beralasan sibuk.Tak hanya itu, Rama suka marah-marah saat dia tiba-tiba menelepon.

"A-aku pulang dulu ya Lam." Embun segera melanjutkan jalannya menuju rumah. Letak sekolah dasar tempat dia mengajar memang tak terlalu jauh, karena itu dia lebih suka jalan kaki.

Sesampainya dirumah, Embun segera menelepon Rama, tapi seperti biasa, Rama tak mengangkat. Ingin datang kerumahnya untuk memastikan apakah dia benar pulang atau tidak, rasanya terlalu memalukan. Ya, sebenarnya rumah mereka tidaklah jauh. Mereka masih satu desa, hanya berbeda gang saja.

Kling

Mata Embun berbinar saat melihat ada pesan dari Rama.

[ Nanti sore, aku jemput dirumahmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan ]

Perasaan Embun seketika membuncah. Jangan-jangan Rama akan mengatakan niatannya untuk melamarnya. 10 tahun mereka pacaran sejak SMA. Dan tentu saja, Embun sudah sangat berharap jika Rama akan melamarnya. Dia sudah bosan dikatain perawan tua karena sekarang usianya sudah 27 tahun. Sebenarnya belum bisa dikatakan perawan tua. Tapi karena teman teman sebayanya sudah pada menikah dan punya anak, dia jadi terlihat seperti perawan tua.

Sore itu, Embun sudah bersiap dengan pakaian terbaiknya serta make up flawless yang membuatnya terlihat makin cantik. Dia memang sangat cantik, bahkan julukan kembang desa, tersemat padanya.

[ Aku sudah didepan pagar, keluarlah ]

Embun mengernyit membaca pesan dari Rama. Kalau sudah didepan pagar, kenapa tidak masuk? Apakah pria itu tak ingin meminta izin pada ibunya sebelum mengajaknya pergi?

Mungkin Rama sedang menyiapkan kejutan untuknya. Ah sudahlah, lebih baik dia keluar agar Rama tak terlalu lama menunggunya.

Sesampainya diluar, Embun langsung tersenyum melihat Rama yang duduk diatas motor. Benar kata Nilam, Rama makin tampan saja. Terakhir kali, mereka bertemu saat lebaran tahun Lalu. Selama bekerja sekaligus kuliah di Jakarta, Rama memang hanya pulang setahun sekali. Maklumlah, tak ada uang untuk ongkos Jakarta - Malang.

Berbeda dengan Embun yang terlihat senang, Rama justru menampilkan ekspresi datar. Dia menyuruh Embun naik keatas motor lalu mengajaknya menuju sebuah taman yang dulu sering mereka datangi saat pacaran.

Meski melihat ada yang tak kena dengan Rama, tapi Embun masih berusaha untuk berpositif thinking. Selama perjalanan, dia melingkatkan kedua lenganya dipinggang Rama. Memeluk kekasih yang sangat dia rindukan tersebut.

Sesampainya ditempat tujuan, Rama mengajaknya duduk disebuah bangku panjang. Lagi-lagi, Embun merasa aneh. Dari parkiran hingga menuju tempat duduk, Rama tak menggandeng tangannya seperti yang dulu selalu mereka lakukan. Ada apa dengan Ramanya? Kekasihnya itu seperti sudah berubah. Mungkinkah Rama sedang berakting. Sedang mengerjainya sebelum akhirnya melamar.

"Mau ngomongin apa sih Ram?" tanya Embun yang penasaran. Jantungnya berdetak kencang, gugup karena mungkin saja, Rama akan segera melamarnya.

"Aku mau kita putus Mbun."

PECAT DIA

Embun langsung melongo. Putus, apakah dia sedang salah dengar? Atau ini sebagian dari prank yang sudah direncanakan oleh Rama?

"Maaf, sepertinya, hubungan kita memang hanya sampai disini saja."

"Kamu sedang becandakan Ram?" Embun menatap Rama nanar.

Rama menggeleng. "Sekali lagi Mbun, aku tak bisa melanjutkan hubungan kita."

Melihat wajah serius Rama, Embun jadi yakin jika ini bukanlah sebuah candaan. Rama memutuskanya. Pria yang dia tunggu bertahun tahun untuk segera melamar, malah mengakhiri hubungan mereka.

"Apa alasannya Ram?" tanya Embun pelan. Dia seperti tak punya lagi kekuatan. Separuh nyawanya seakan hilang.

"Aku sudah tak cinta sama kamu."

Ucapan Rama terdengar seperti petir yang menyambar. Alasan macam apa itu. Inikah balasan untuk 10 tahun kesetiaannya. Bahkan berkali-kali Embun menolak lamaran pria lain demi menunggu Rama.

"10 tahun Ram. Haruskah seperti ini akhir dari penantianku?" Air mata Embun mengalir kian deras. "Dimana janjimu dulu. Janjimu sebelum pergi ke Jakarta? Janji jika kau akan menikahiku."

Rama tak kuasa menatap Embun. Jujur, sampai saat ini, cintanya masih untuk Embun. Tapi di Jakarta, ada seorang wanita yang lebih bisa menjanjikan masa depan dibanding Embun. Dan saat ini, dia lebih memilih tahta daripada cinta. Dia rela kehilangan cinta demi masa depan cemerlang didepan mata.

"Sekali lagi, aku minta maaf Mbun."

Embun tertawa sekaligus menangis. Maaf, apakah kata itu sepadan untuk penantian panjangnya selama ini?

Embun teringat janji Rama 5 tahun yang lalu sebelum merantau ke Jakarta. Hari, itu Rama ikut datang ke kampus Embun saat gadis itu diwisuda. Melihat Embun mendapatkan gelar sarjana, ada Rasa minder dihati Rama. Apa kata orang nanti saat pendidikan istrinya lebih tinggi. Belum lagi jika setelah ini, Embun mendapatkan pekerjaan yang bagus, apa kata orang. Dia hanya montir disebuah bengkel motor, apakah akan sebanding jika bersanding dengan Embun dipelaminan. Keingingin untuk memantaskan diri itu mendadak muncul.

Rama mengutarakan niatnya untuk mencari kerja di Jakarta, ikut salah satu saudara yang ada disana. Dia ingin punya gaji yang sedikit lebih besar agar bisa sekalian kuliah.

Doakan aku berhasil di Jakarta Mbun. Setelah aku lulus kuliah dan dapat kerja bagus, aku akan langsung melamarmu. Tunggu aku Mbun, tunggu aku memantaskan diri agar bisa sebanding denganmu.

Tapi ternyata, ucapan Rama hanya bualan belaka. Buktinya setelah sukses, bukannya melamar, tapi malah mencampakkan.

Satu bulan setelah Rama kembali ke Jakarta. Kampung tempat tinggal Embun dibuat heboh dengan tersebarnya foto undangan pernikahan Rama dan Navia. Padahal mereka pikir, Rama masih berpacaran dengan Embun.

"Mbun, pacar kamu nikah minggu depan. Udah tahu belum?" Teriak Adam saat Embun hendak berangkat mengajar. "Yaelah Mbun, kalau aja dulu kamu mau nerima lamaranku, udah pasti kamu gak jadi perawan tua kayak gini. Kamu pasti sudah punya anak sekarang," ejek Adam. Pemuda itu seperti puas sekali melihat Embun tak jadi nikah dengan Rama. Rasanya, sakit hati karena penolakan Embun langsung terbalaskan.

Tak hanya Adam, para tetangga berlomba lomba membicarakannya, bahkan ditempat dia mengajar.

"Udah aku peringatin dari dulu, gak usah nungguin Rama. Kalau aja dulu kamu terima cintaku Mbun, sekarang mungkin kita sudah menikah. Tapi sudahlah, aku sudah menikah dengan wanita lain." Sama seperti Adam, Baskoro teman seprofesi Embun juga mencibir. Hampir semua pemuda bahkan duda yang dulu pernah ditolak Embun, muncul kembali kepermukaan hanya untuk mengejeknya.

Tak hanya para pria, para emak emak yang anaknya pernah ditolak Embun, ikut membulinya.

"Dulu jual mahal sih, pakai nolak anak saya. Sekarang dapat karmakan, jadi perawan tua."

Embun hanya bisa mengelus dada saat dikatai perawan tua. Apakah menolak cinta atau lamaran pria adalah suatu kesalahan? Kenapa saat ini, semua orang seperti sedang menghakiminya.

Tak hanya sakit hati ditinggal nikah, mental Embun benar benar diuji dari segala arah. Sampai akhirnya, kebenciannya pada Rama kian menumpuk. Dan keinginan untuk membalas dendam tiba tiba muncul. Embun memutuskan untuk ke Jakarta. Dia akan membalas sakit hatinya pada Rama. Dia tak rela Rama bahagia diatas penderitaanya.

Enam bulan setelah Rama dan Navia menikah, Embun pergi ke Jakarta. Bekerja ditempat yang sama dengan Rama. Kembali mendekatinya dengan dalih masih cinta. Memang terdengar sangat memalukan, tapi dia tak peduli. Dia hanya ingin Rama merasakan apa yang dia rasakan dulu. Dia akan menghancurkan rumah tangga Rama dengan menjadi orang ke-3.

Flashback off

Navia mendatangi ruangan Kakaknya. Dengan air mata berlinang, dia mengadukan tentang seorang staf wanita yang menggoda suaminya.

"Pokoknya Kakak harus pecat dia," Navia mendesak.

Nathan, sang kakak merasa iba. Dia tak menyangka jika rumah tangga adiknya yang baru seumur jagung, sudah mendapatkan cobaan.

"Tapi apa kau yakin jika mereka akan berhenti berhubungan jika aku memecat wanita itu? Bagaimana jika mereka tetap berhubungan diluar sana," ujar Nathan.

"Aku yakin mereka tak akan berhubungan lagi. Wanita itu tak akan bisa menggoda Mas Rama jika mereka tidak 1 kantor."

Nathan mendengus pelan. Dia merasa jika Navia terlalu naif. Sekarang meski tak 1 tempat kerja, mereka masih bisa berhubungan lewat ponsel. Jadi memisahkan mereka ditempat kerja, tak menjamin mereka tak akan berhubungan lagi.

"Apakah adil jika Kakak hanya memecat wanita itu? Suamimu juga salah."

Navia tak terima jika Rama ikut disalahkan. Baginya, semua ini salah Embun, karena dia yang menggoda suaminya.

"Aku jadi ragu pada suamimu sekarang," ujar Nathan.

"Kakak," pekik Navia. "Mas Rama gak salah. Perempuan itu yang terus menggodanya. Jadi aku mau, dia dipecat, titik."

Nathan memijit mijit pangkal hidungnya. Dia tahu seperti apa Navia. Adiknya itu sangat manja, dan apapun yang dia mau, selama ini selalu dituruti oleh orang tua mereka.

"Baiklah, Kakak akan segera memecatnya."

Setelah mendapatkan kepastian, Navia bernafas lega. Dia meninggalkan ruangan Nathan dan kembali ke ruangan suaminya.

Nathan memanggil asitennya, menyuruhnya untuk mencari tahu tentang gadis bernama Embun.

"Selidiki tentang gadis itu. Seberapa jauh hubungannya dengan Rama."

Nathan belum mau langsung memecat Embun. Dia ingin tahu dulu sejauh apa hubungannya dengan Rama. Jujur saat ini, bukan Embun yang paling membuatnya kesal, melainkan Rama. Pria itu jelas sudah menikah, tapi masih saja main serong.

"Baik Pak," sahut Dimas, asisten Nathan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!