NovelToon NovelToon

CINTA GAVESHA

Taruhan

Di sebuah cafe terlihat tiga pemuda sedang berbincang-bincang sambil tertawa bersama. Namun seketika tawa ketiganya terhenti saat seseorang melempar kotak bekal di atas meja mereka.

[Dug…]

Ketiga pemuda itu menatap bingung dan heran pada pemuda yang baru saja datang. Bahkan mereka menatap benda yang baru saja pemuda itu taruh dengan sedikit membanting di atas meja mereka.

"Kau kenapa, Ga? datang-datang muka udah ketekuk gitu, kayak kanebo kering dipaksa dilipat sama emak-emak," celetuk salah satu pemuda yang sedang duduk itu.

Saga berdecak kesal. "Sialan kau, Vin. Muka ku ganteng begini dikata kanebo kering kelipet," sahut Saga yang semakin bad mood dengan sahabatnya itu.

Semuanya tertawa mendengar jawaban Saga yang terdengar sangat tidak terima kalau wajahnya dibanding-bandingkan dengan suatu benda yang tidak bernyawa.

"Ya, kamunya juga salah! Datang-datang mukanya kayak kesel begitu, kenapa lagi? apa ada yang cari gara-gara sama kamu?" tanya Chandra yang sangat ingin tahu apa yang terjadi.

Saga menghela nafasnya dengan kasar. "Biasa tuh cewek nggak tahu malu, masih saja suka ngejar-ngejar. Tuh, dia ngasih gituan tadi," ketus Saga sambil menunjuk kotak makan yang dilemparnya di atas meja tadi.

"Dikata aku ini bocah TK, pakai dibawain bekal ke sekolah," sambung Saga yang masih sangat kesal.

Ketiga sahabatnya berusaha menahan tawa mereka, memang sudah tidak asing lagi kalau Saga kesal dengan seorang gadis yang sama, gadia yang setiap hari selalu mengganggunya. Seorang gadis yang selalu mengejar-ngejar cinta Saga, namun sayangnya Saga tidak menyukai gadis itu.

"Ya, sudahlah! dimakan saja, mubazir kalau nggak dimakan," kata Langit.

Chandra dan Marvin mengangguk setuju. "Yang diucapkan Langit benar, Ga. Mendingan dimakan saja, setidaknya hargai pemberiannya. Walaupun kamu gak suka sama orang yang memberikannya," cetus Chandra yang terlihat sangat dewasa dalam berpikir.

Ya, memang kalau diakui Chandra lah yang paling dewasa dan bijak dalam berpikir daripada ketiga sahabatnya itu. Walaupun terlahir dari keluarga yang kurang mampu, Chandra mampu melanjutkan kuliahnya sendiri walau melalui jalur beasiswa. Berbeda dengan ketiga sahabatnya yang terbilang orang berada.

"Kalau begitu kamu saja yang makan," Saga menyodorkan kota bekal itu kepada Chandra.

Marvin yang ada di sebelah Chandra langsung menyerobotnya. "Buat aku saja, Chandra sudah kenyang. Baru saja dia habis makan nasi padang bareng Langit," sosor Marvin yang langsung membuka kotak bekal tersebut.

Chandra dan Langit hanya tertawa kecil seraya menggelengkan kepalanya. Kotak bekal pun terbuka, kedua mata Marvin menatap berbinar pada isian bekal makannya.

"Wah, menu Hokben geys. Ini dia bikin apa beli online terus ditaruh di dalam kotak bekal?"

Saga, Chandra dan Langit saling melirik. Saga mengangkat kedua bahunya pertanda ia juga tidak tahu. Mungkin sangat tidak ingin tahu mengenai makanan tersebut.

"Kalau penasaran coba saja tanya ke Gavesha nya langsung," celetuk Chandra.

Yang memberikan kotak bekal berisikan menu makan siang untuk Sagara adalah Gavesha. Gadis yang sangat mencintai dan mengharapkan Saga untuk membuka hatinya hanya untuk gadis itu.

"Ck, kayak nggak ada kerjaan saja. Sudahlah jangan ganggu aku dulu, aku mau makan," sahut Marvin yang langsung melahap menu makan siang yang seharusnya menjadi milik Saga.

Marvin sekilas melirik kearah Saga. "Kamu beneran nggak mau, Ga?" tanya Marvin.

Saga menggeleng dengan cepat. "Nggak!" jawabnya dengan singkat.

"Oke,"

Tanpa memperdulikan yang lainnya Marvin pun segera kembali melahap makanannya. Sambil mengunyah makanannya, Marvin nampak berpikir. Saat melihat ke arah Saga, saat itu juga ide cemerlang dan gila hinggap di pikirannya.

"Kenapa kamu nggak terima saja si Gavesha?" tiba-tiba Marvin bertanya seperti itu padahal ia tahu apa yang akan di jawab Saga.

Saga menaikkan satu alisnya. "Kamu tahu kan, aku nggak suka sama cewek yang terlalu agresif. Ya, walau aku akui si Vesha itu cantik. Tetapi tetap saja minus di mataku," jawab Saga.

Marvin mengangguk paham setelah mendengar jawaban dari Saga.

"Hati-hati, Ga! jangan sampai kamu menyesal karena sudah menyia-nyiakan gadis seperti Gavesha, sepertinya dia sangat mencintaimu. Aku juga bisa lihat kalau Gavesha sangat serius sama kamu, Ga. Biasanya perempuan yang seperti itu yang paling setia sama pasangannya," kata Chandra.

Sagara menaikkan satu alisnya seraya tersenyum sinis. "Aku nggak suka cewek agresif seperti itu, Chan. Terlihat murahan dan gampangan sebagai seorang perempuan," cetus Sagara seraya berdecak kecil.

"Kalau kamu ikut tantangan bagaimana?" tiba-tiba Marvin berceletuk membuat pertanyaan yang sedikit ambigu.

"Tantangan bagaimana maksud kamu, Vin?" tanya Langit.

Marvin mengerutkan dahinya sembari memberi kode melalui tangannya agar semuanya menunggu dirinya. Ia mengambil air minum yang sejak tadi sudah ada di meja. Setelah meminum air tersebut, Marvin mengelap bibirnya dengan tisu sebelum melanjutkan kembali ucapannya.

"Bagaimana kalau kita buat tantangan? terutama tantangan ini buat kamu, Ga."

Sagara menautkan kedua alisnya dan menatap bingung pada sahabatnya itu. "Apa tantangannya?" tanya Sagara.

Marvin tersenyum tipis. "Tantangannya adalah… kamu harus menerima Gavesha buat jadi pacar kamu dalam 6 bulan," kata Marvin.

Baru saja Saga ingin menjawab, tiba-tiba saja Chandra langsung memprotes usul Marvin.

"Aku kurang setuju soal itu. Itu sama saja kamu mempermainkan perasaan seseorang, apalagi ini seorang perempuan. Sebaiknya jangan lakukan itu!" protes Chandra yang diangguki oleh Langit dan Saga.

Marvin berdecis. "Cuma 6 bulan aja, biar si Gavesha itu nggak penasaran sama si Saga. Lagian nanti akan aku kasih hadiah taruhannya. Kalau Saga mau, tapi kalau tidak ya sudah, tidak jadi!" ucap Marvin.

Sagara nampak berpikir, lalu ia menatap Marvin dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa hadiahnya?" tantang Sagara yang merasa sedikit tertantang saat mengetahui taruhan itu ada imbalannya.

Marvin tersenyum lebar. "Aku akan belikan motor H*nd* CBR1000RR SP1 dalam taruhan ini," jawab Marvin yang terus mengompori Sagara.

Saga, Langit dan Chandra membulatkan matanya. Pasalnya mereka sangat tahu harga baru dari motor tersebut, harganya masih terbilang cukup mahal bagi ketiganya. Terkecuali Marvin sendiri. Apalagi bagi Chandra, harga baru dari motor tersebut bisa untuk dirinya membeli 1 rumah di Jakarta.

"K-Kau yakin akan memberikan itu?" tanya Langit yang masih tercengang.

Marvin tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Tentu, kalian tahu bagaimana aku. Aku tidak mungkin berbohong soal hadiah taruhan ini," jawab Marvin.

"Oke, deal!" sahut Saga yang terlihat sangat semangat.

Chandra tercengang dengan ucapan Sagara, ia pun menatap Langit yang juga sedang meliriknya. Langit memasang wajah ketidakberdayaannya. Ia tahu bagaimana Sagara jika ia sudah memutuskan sesuatu. Apalagi hadiah yang diimingi Marvin sangatlah mahal, dan kebetulan sekali Sagara memang sangat ingin mengganti motor lamanya dengan yang baru.

"Deal! Kita sepakat, kamu harus menjadi pacar Gavesha selama 6 bulan. Tapi, kalau sebelum 6 bulan kalian putus kesepakatan kita batal," Marvin tersenyum menyeringai ke arah Sagara.

"Sip, aku terima tantanganmu!"

"Ga," tegur Chandra

Saat Chandra ingin berbicara, Langit sudah menepuk pundak Chandra seraya menggelengkan kepalanya. Chandra hanya mendesah kesal karena dirinya tidak bisa berbuat atau mencegah apa yang dilakukan Sagara. Chandra mengepalkan kedua tangannya, ia tahu dirinya hanya orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Namun sebagai seorang sahabat bukankah wajar jika menegur sahabat lainnya, agar tidak melakukan suatu hal yang dapat merugikan dirinya di suatu hari nanti.

Sementara itu, di sebuah kamar seorang gadis sedang tersenyum lembut sambil bersenandung kecil. Gadis itu menatap lembut pada sebuah sapu tangan yang tersimpan rapi di dalam sebuah kotak.

"Sagara," ucapnya lembut.

"Aku mencintaimu," gumamnya lagi.

Menyatakan Cinta

Pagi ini seperti biasa Veshabangun dengan hati yang begitu ceria. Ya, memang Vesha adalah gadis yang selalu ceria. Tidak sekalipun gadis itu memperlihatkan kesedihan di wajahnya, walau hatinya terluka Vesha selalu berusaha kuat dan tersenyum di depan orang lain. 

Vesha menuruni anak tangga, pagi ini seperti biasa Vesha akan sarapan pagi bersama kedua orang tuanya sebelum ia berangkat ke kampus. Senyum, sapa, ramah itu adalah motto dalam hidup Vesha. 

"Pagi Pa, Ma!" 

"Pagi sayang," jawab kedua orang tua Vesha. 

Adam memperhatikan gerak gerik putrinya sampai dahinya berkerut berbentuk tiga barisan. 

"Sepertinya hari ini putri Papa sedang bahagia. Apakah ada seseorang yang membuat princes Papa ini bahagia, hmm?" goda Adam pada putrinya seraya tersenyum. 

Vesha mencebikkan bibirnya. "Papa kepo, ih!" jawab Vesha sambil tertawa. 

Vita dari arah dapur pun tersenyum melihat interaksi suami dan putrinya. Ia menghampiri keduanya sambil membawa lauk di tangannya. 

"Seperti biasa, Pa. Pasti ini menyangkut soal Gara," celetuk Vita sedikit menyinggung putrinya. 

"Putri kita ini, Gavesha Arabelle sedang jatuh cinta dengan Sagara Dirgantara," sambung Vita yang masih menggoda putrinya. 

Gavesha tersenyum malu. "Apa sih, Ma! Namanya itu Sagara, kenapa sih Mama suka banget panggil Sagara itu Gara?" Gavesha berpura-pura kesal pada Vita. 

Namun wajah imut Gavesha bukannya  membuat Vita kesal melainkan ingin tertawa dan merasa sangat gemas dengan anak semata wayangnya itu. 

"Lho, masih masuk kan? kecuali namanya Sagara tetapi Mama manggil dia Ucup, kan nggak lucu." 

Vita langsung menutup mulutnya dengan satu tangannya, ia tertawa dan membuat Vesha semakin malu dan sedikit kesal karena nama pria yang disayanginya diganti-ganti seperti itu. Adam pun ikut tertawa mendengar istrinya menggoda sang putri. 

"Jadi putri Papa ini masih mencintai Sagara, putra Om Darel?" 

"Iya, siapa lagi. Sudah jelas putri kita itu suka sama si  daun Saga itu, Pa!" celetuk Vita lagi yang membuat Vesha semakin memajukan bibirnya karena kesal dengan sang mama. 

Adam tertawa mendengar ucapan istrinya yang memanggil putra temannya yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. 

"Mama," rengek Vesha karena tidak suka Vita mengganti nama Sagara. 

Adam ikut tertawa. "Sudah. Ayo, sebaiknya kita makan!" ucap Adam yang pada akhirnya menengahi gurauan istri dan anaknya. 

Mereka pun menikmati sarapan pagi ini dengan suasana senang dan bahagia. Vita menatap suami dan putrinya, ia berharap suasana seperti ini akan terus dialaminya. Vita juga selalu berharap dan berdoa untuk Vesha, agar putrinya itu selalu diberi kebahagian. 

Vesha berangkat ke kampus menggunakan ojek online, karena Adam tidak bisa mengantarnya. Pagi ini Adam ada meeting yang tidak bisa membuatnya datang telat, ia harus datang tepat waktu. 

Gavesha tiba di kampus, hal yang pertama ia cari adalah pria yang telah membuat hatinya selalu berbunga-bunga, bahkan detak jantungnya selalu berdegup kencang. Walau melihat pria yang dicintainya dari jarak jauh. 

Matanya berbinar senang saat melihat sosok pria yang saat ini sedang dicarinya. Vesha setengah berlari menghampiri  pria itu. 

"Sagara," panggil Vesha. 

Pria si pemilik nama itu pun menoleh. Wajah pria itu berubah datar dan dingin melihat gadis yang selalu mengusik dirinya. Saga menghela nafasnya jengah, namun dirinya saat itu juga teringat akan taruhan yang diberikan oleh Marvin. 

Saga tersenyum paksa, dengan langkah malas ia menghampiri Vesha. Vesha tersenyum manis saat melihat Saga mau menghampirinya, ini adalah momen langka yang dilakukan Saga. Degup jantung Vesha semakin berdetak kencang tidak karuan. 

"Oh, jantung bisakah kamu tidak berdetak berlebihan seperti habis dikejar-kejar gukguk?" batin Vesha. 

Vesha masih mengatur nafasnya setelah tadi setengah berlari mengejar Saga. Keduanya masih diam, namun beberapa detik kemudian Saga menarik dan membawa Vesha ke suatu tempat yang sudah di tentukan oleh Saga dan Marvin. 

Vesha mengulum senyumnya saat melihat tangannya digenggam oleh Saga.  menjadi tontonan siswa maupun siswi di kampus tersebut. 

Kini mereka berdiri di sebuah taman belakang kampus, yang dimana jarang sekali para mahasiswa bersantai di sana. Sagara menatap lekat Vesha. 

"Kamu suka sama aku kan?" tanya Saga. 

Vesha mengangguk cepat sambil tersenyum manis. 

"Kalau begitu, kamu mau jadi pacar aku?" tanya pria itu kembali. 

Vesha tercengang mendengar apa yang baru saja dikatakan Saga. Vesha masih bungkam dan belum bisa berkata apapun, ini bagaikan sebuah mimpi. Mimpi di dalam dunia nyata, tetapi nyatanya ini tidak mimpi. 

"Kamu mau kan?" Saga kembali bertanya. 

Vesha kembali mengangguk cepat. "Iya, aku mau." jawab Vesha dengan kecepatan penuh. 

Saga tersenyum, namun senyumnya itu bukan karena ia senang diterima oleh Vesha yang selalu mengejarnya. Melainkan hatinya senang karena pada langkah awal ia berhasil membuat Vesha jatuh dalam perangkapnya. 

"Mulai sekarang kamu sama aku sudah resmi pacaran, jujur aku sangat senang sekali." ucap Vesha dengan perasaan yang sangat sangat bahagia. 

"Eum, ini hari pertama kita jadian. Bagaimana kalau sepulang dari kampus, kita jalan-jalan merayakan hari pertama kita?" tanya Vesha dengan wajah yang begitu bahagia. 

Saga melihat binar mata Vesha yang terlihat begitu bahagia. Mata elang itu sedikit melirik ke arah dimana Marvin dan Langit sedang memperhatikannya. Lalu ia kembali melihat ke arah Vesha. 

"Nanti aku kabari lagi, sebaiknya kita masuk sebentar lagi ada kelas Pak Arga," jawab Saga. 

Vesha mengendurkan senyumnya, dan mengangguk lemah. Ia lupa kalau hari ini adalah jadwal kelas dosen yang sangat killer di kampusnya. Saga berjalan terlebih dahulu, dan disusul segera oleh Vesha. 

Setelah keduanya pergi, Marvin dan Langit pun keluar dari persembunyian mereka. Langit menyenggol lengan Marvin. 

"Kayaknya kamu harus mempersiapkan uang DP untuk motor yang sudah kamu janjikan pada Saga," celetuk Langit dengan tatapan yang terus mengamati Saga dan Vesha. 

Marvin memutar bola matanya malas. "Tenang saja, kalau sudah lewat 6 bulan motor itu akan ada di rumah Saga," jawab Marvin dengan santai. 

Langit berdecak kesal. "Sombong banget," gerutu Langit. 

Marvin tersenyum miring. "Kamu tahu siapa aku, kan?" ucap bangga Marvin sembari memakai kacamata hitamnya. 

"Ayo, masuk ke kelas.  Jangan sampai kena skor sama si dosen killer itu!" ajak Marvin 

Mereka berdua pun akhirnya berjalan masuk ke dalam kelas, di sana dapat ia lihat Saga sedang duduk bersama Vesha. Vesha terus berceloteh sambil sesekali menggenggam tangan Saga. Namun secara perlahan, Saga menjauhkan tangan ya dari genggaman Vesha. 

Dosen yang mereka takutkan pun akhirnya memasuki ruang kelas. Semua mahasiswa terdiam dan tidak ada yang berani berbicara di jam pelajaran dosen tersebut. Kecuali dosen itu bertanya pada mereka. 

Waktu terus berlalu, akhirnya jam perkuliahan pun selesai. Semuanya sudah berhambur keluar, namun tidak dengan Vesha, Saga, Langit, Chandra dan Marvin. Ketiganya menghampiri Saga dan Vesha. 

"Hai, Vesha!" sapa rama Langit. 

Vesha tersenyum. "Hai, juga. Kalian mau kemana setelah ini? Aku ingin ajak Saga jalan-jalan, karena hari ini kami baru saja jadian," ucap Vesha dengan senyum lebar di wajahnya. 

Langit dan Marvin berpura-pura terkejut, namun tidak dengan Chandra. Tanpa ada yang tahu, pria itu sudah mengepalkan kedua tangannya. 

"Benarkah?" tanya ulang Marvin. 

Vesha mengangguk cepat. "Itu benar. Iya, kan Ga?" 

Sagara menghela nafasnya kasar, dan mengangguk pasrah. Marvin menahan tawanya, ia tahu kalau saat ini Saga sudah sangat jengah dengan sikap agresif Vesha. 

"Makan-makan, nih!" sindir Langit. 

Vesha tersenyum lebar. "Boleh," jawabnya cepat. 

"Ayolah! perutku sudah sangat lapar," ucap Langit yang memang sengaja dilakukannya. 

Vesha pun langsung berdiri sambil mengambil tasnya. "Ayo," ajak Vesha seraya menarik tangan Saga. 

Dengan sangat terpaksa Saga bangun dan mengikuti keinginan Vesha dan teman-temannya. 

Kencan Pertama

Mereka berlima pun pergi bersama-sama ke cafe tempat mereka biasa berkumpul. Mereka semua membawa motor masing-masing, Vesha sangat senang karena pada akhirnya ia diboncengi oleh Saga. Vesha pun memeluk erat tubuh Saga dari belakang saat gadis itu sudah menaiki motor kekasihnya itu.

Saga meremas kuat stang motornya, hatinya merasa semakin kesal karena sikap agresif Vesha. Ingin rasanya Saga menyingkirkan tangan Vesha dari pinggangnya. Namun ia tidak ingin membuat gadis itu curiga dengan pernyataan cintanya tadi.

Seandainya ketiga sahabatnya tidak ada, mungkin saja Saga akan menurunkan Vesha di pinggir jalan. Sayangnya ketiga sahabatnya itu terus mengawasi Saga dan juga Vesha.

Mereka sudah tiba di cafe dan Vesha menyuruh Langit dan yang lainnya untuk memesan apa saja yang mereka inginkan. Vesha juga mengatakan kalau dirinya lah yang mentraktir mereka semua. Saga tersenyum penuh seringaian, lalu ia memiliki sebuah ide yang mungkin akan membuat Vesha kapok berlagak sok banyak uang.

"Kalau ingin traktir, sebaiknya kamu traktir pengunjung yang ada di cafe ini juga. Ya, anggap saja kamu sedang beramal atau membuang sial," ucap Saga yang seakan sedikit menyinggung perasaan Vesha.

Namun sayangnya itu tidak mempan untuk Vesha. Ia bahkan menyanggupi apa yang baru saja dikatakan Saga.

"Benar apa yang kamu katakan tadi, aku akan mentraktir mereka semua hari ini. Tunggu sebentar, ya!" jawab Vesha yang berdiri dan berjalan menuju ke arah kasir.

Sepeninggalnya Vesha, keempat pria itu saling menatap heran dan bingung pada Vesha.

"Gila tuh cewek bener-bener mau traktir seluruh pengunjung cafe ini?" tanya Langit yang masih menatap punggung Vesha yang sudah berdiri di depan kasir.

"Sekaya apa sih keluarganya si Vesha?" tanya Langit lagi.

"Kayaknya nggak kaya banget seperti aku, Lang. Masih kayaan aku ketibang gadis itu. Tapi, kok dia malah enteng banget menyetujui ucapan Saga," sahut Marvin seraya melirik ke arah Saga.

"Mungkin dia bekerja paruh waktu," celetuk Chandra yang masih fokus pada game di ponselnya.

Ketiganya menoleh ke arah Chandra dengan dahi berkerut.

"Sok tahu," celetuk Marvin.

Chandra menaikkan satu alisnya. "Kan tadi aku bilang mungkin, kalau mungkin kan belum tahu kebenaran yang sebenarnya. Istilahnya masih abu-abu ******," jawab Chandra seraya melihat ke arah Marvin.

"Monyet," kata Marvin yang membenarkan ucapan Chandra.

Chandra mendelikkan matanya. "Monyetnya nggak usah ke arah aku juga, Vin!" seru Chandra.

Marvin hanya tertawa menanggapi kekesalan Chandra, namun Saga hanya diam sambil memutar-mutarkan ponselnya di jemarinya. Langit masih fokus menghitung jumlah pengunjung yang datang ke cafe hari ini.

Mata Langit melotot sempurna sambil mengusap dadanya. Hal itu tentu saja menarik perhatian ketiga sahabatnya.

"Kamu kenapa, Lang?" tanya Marvin.

Langit yang masih mengusap dadanya pelan, menatap ketiga sahabatnya. Lalu ia pun sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan meja.

"Barusan aku menghitung jumlah pengunjung di cafe ini, dan kalian tahu berapa jumlahnya?" tanya Langit yang membuat ketiganya menggeleng pelan.

"Total semuanya itu ada 80 pengunjung dengan menu yang berbeda-beda. Kalau si Vesha nggak bisa bayarnya bagaimana? Apa taruhan ini masih terus berjalan?" ucap Langit yang mulai terlihat gelisah.

Saga tersenyum sinis. "Kalau dia tidak bisa membayarnya, maka kita berpura-pura tidak saling mengenal satu sama lain," jawab Saga dengan tersenyum licik untuk rencananya.

"Kalian pasti paham 'kan?" lanjut Saga tersenyum smirk.

Chandra menatap tajam ke arah Sagara. "Tapi aku tidak setuju, Ga."

Chandra langsung berdiri dan membuat ketiga sahabatnya menatap heran pada Chandra. Sagara berdecak kesal karena Chandra terlihat membela gadis itu.

"Cih, sok jadi pahlawan banyak uang," kesal Sagara dalam hatinya.

Chandra berjalan menghampiri Vesha, namun belum sampai di depan kasir gadis itu sudah berbalik badan.

"Oh, Chan. Apakah ada lagi yang ingin kamu pesan?" tanya Vesha bingung.

Chandra melirik sekilas ke arah kasir, lalu menatap gadis itu. "Kamu sudah membayarnya? Kalau boleh tahu berapa total keseluruhannya?" tanya Chandra balik.

"Sudah aku bayarkan semuanya," jawab Vesha seraya tersenyum dan mengangguk kecil.

"Berapa?"

"Tidak banyak, sudah sebaiknya kita kembali ke meja kita. Aku sudah pesankan makanan dan minuman untuk kalian," jawab Vesha yang masih tersenyum sambil mendorong tubuh Chandra.

"Tapi.."

"Sudah, ayo!" Vesha menarik lengan Chandra.

Chandra menghela nafasnya dan pasrah ikut bersama Vesha kembali ke meja mereka. Dari jauh Chandra dapat melihat senyum mengejek dari Saga.

Mereka kembali duduk di tempat masing-masing, Chandra menatap sendu ke arah Vesha. Lalu ia pun mendesah gusar dan kembali menatap ke arah lain.

"Seharusnya Saga tidak memperlakukan kamu seperti itu, Sha. Maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa," gumam Chandra dalam hatinya.

Vesha kembali mengobrol bersama Langit dan Marvin. Sedangkan Saga hanya memilih diam dan tidak mendengarkan apa yang Vesha bicarakan. Chandra hanya menyimak apa yang dikatakan Vesha. Dari pembicaraan Vesha, Chandra ada sedikit tahu apa yang sering menjadi kebiasaan gadis itu.

Acara kumpul-kumpul pun berlangsung cukup lama. Akhirnya mereka mengakhiri perkumpulan tersebut saat waktu sudah menjelang sore. Sagara mengantar Vesha dan berpisah dengan yang lainnya, sepanjang perjalanan. Vesha tersenyum lembut dan sesekali melirik ke arah depannya dimana Saga sedang menyetir motornya. Vesha mengeratkan pelukannya pada pinggang Saga dan membuat Saga mengeratkan genggamannya lagi di stang motor.

Tanpa sadar Saga mempercepat kecepatan kendaraannya, dan membuat Vesha semakin mengeratkan pelukannya.

"Sialan nih cewek, malahan semakin erat pelukannya," gerutu Saga dalam hatinya.

Saga memelankan pacu kendaraannya dan membuat Vesha mengernyitkan dahinya. Saga berhenti di pinggir jalan dekat halte bus.

"Turun!" titah Saga.

Vesha melepaskan pelukannya, dan menatap bingung ke arah Saga yang enggan melihatnya.

Saga menoleh dan menatap kesal pada Vesha. "Kamu nggak dengar aku bilang apa, heoh?" tanya Saga dengan suara membentak.

"Aku bilang turun, kamu tuli?" bentak Gara.

Vesha terhenyak mendengar ucapan Sagara. Kekasih barunya itu sedikit membentak dirinya. Vesha turun dari motor Sagara dan masih memberi tatapan bingung pada kekasihnya itu.

"Kenapa berhenti, Ga?" tanya Vesha dengan lembut.

"Aku nggak bisa nganterin kamu sampai rumah. Aku sudah ada janji sama Bunda, sebaiknya kamu naik bus atau pesan ojek online saja," jawab Saga.

Vesha membuka helmnya dan diambil Saga sedikit kasar dari tangan gadis itu.

"Kamu bisa kan, pulang sendiri?" tanya Saga.

Vesha mengangguk pelan dengan senyum tipisnya. Sebenarnya hatinya merasa sakit saat Saga menuruninya di pinggir jalan seperti itu. Apalagi jalan yang ditempuh untuk sampai ke rumahnya itu cukup jauh.

"Aku jalan, bye!"

Saga langsung tancap gas dan meninggalkan Vesha tanpa bersalah sedikit pun. Vesha menghela nafasnya seraya tersenyum tipis menatap punggung pria yang telah menjadi kekasihnya itu.

"Tidak apa aku ditinggal disini. Positif thinking saja Sha, Bundanya Saga lebih memerlukan Saga. Sebaiknya aku pesan ojek online saja," monolog Vesha.

Beberapa menunggu pesanan ojek onlinenya tiba, Vesha duduk sendirian di halte bus Transjakarta sambil memasang earphone di telinganya. Beberapa menit berlalu, akhirnya ojek online yang dipesan Vesha pun sudah datang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!