MANSION .....
"Selamat datang, Tuan Muda Zane."
Zane Benedict Lincoln, pria jangkung dengan rambut berantakan itu hanya menampilkan wajah tak sungguh tak bersahabat. Melepaskan dan melempar jas hitamnya, membuat seorang pelayan langsung menangkapnya dengan gerakan cepat.
"Selamat malam, Tuan Muda Zane!" sapa pelayan tersebut dengan keringat dingin.
"Siapkan air hangat!" perintah Tuan Muda tersebut.
"Ba ... baik, Tuan-"
"Dan ...," para pelayan langsung berdiri tegap, "di mana Mama?"
"Nyonya Besar sedang di taman bersama Nona kecil dan Tuan kecil, Tuan Muda!"
Dingin dan tak banyak bicara, itu adalah sikap alami yang di miliki seorang pria, tetapi Zane adalah pria yang sungguh disiplin dan tidak ingin di bantah, terlahir sebagai putra pertama dari keluarga Lincoln, Zane menjadi pewaris daru segala aset yang di miliki oleh keluarganya.
Memiliki dua adik kembar, tak memungkinkan sikap disiplin seorang Zane menghilang begitu saja. Menyandang status Third generation business king, semakin banyak yang tidak ingin memandang remeh pria yang memiliki dua kewarganegaraan itu.
"Kakak!"
Zane hanya diam di ambang pintu yang terhubung ke taman belakang. Anak laki-laki berusia sepuluh tahun berlari menyambut kedatangan Kakak laki-lakinya.
"Kakak pulang? Kakak akan menginap di rumah 'kan?" tanyanya dengan semangat.
"Ya,"
"Kak Zane!"
Pria berkepala tiga itu tersenyum manis dan menyambut pelukan gadis kecil itu. "Bagaimana keadaan mu, Alexia?"
Aaron Sky Lincoln dan Alexia Sky Lincoln, dua bocah kembar tak identik yang menjadi pilar kehidupan kedua bagi Zane. Usia yang terpaut jauh, tak memudarkan kasih sayang dari Zane untuk kedua adik kembarnya itu.
"Aku baik, tapi kemarin aku sakit, Kak." keluh Alexia dengan manja.
Aaron menarik lengan kemeja sang Kakak. "Kakak akan menginap 'kan?" tanya Aaron kembali.
"Twin, biarkan Kakak beristirahat dulu, Kak Zane sedang lelah." sahut seorang wanita paruh baya dengan beberapa helai rambut yang berubah putih.
Nadine Athena, wanita tercantik di hati seorang Zane, Ibunya. Wanita yang selalu Zane utamakan di atas segala-galanya.
"Tidak mau! Alexia kan masih ingin di manja oleh Kakak!" tolak Alexia yang mengeratkan pelukannya.
"Aaron juga, Ma!"
Nadine menepuk jidatnya, "Tapi twin-"
"Tidak apa-apa, Ma. Lagipula Zane akan lama di sini," jawab Zane menengahi mereka.
"Ya, untuk sekarang mungkin kamu ingat dengan rumah," sindir Nadine dengan sinis dan mencubit gemas paha Alexia.
"Ma,"
"Jangan begadang! Besok kalian harus sekolah!"
Nadine langsung pergi meninggalkan ketiga anaknya. Zane menatap kedua adiknya yang begitu manja kepada-nya. Bahkan Aaron yang memiliki watak dengan gengsi tinggi, kini berubah manja saat bertemu dengan Zane.
"Kalian ganti baju bersama Nanny, Kakak akan membersihkan diri terlebih dahulu,"
"Oke!"
Zane meregangkan tubuhnya sedikit setelah kepergian kedua adik kembarnya. "Kalau reaksi obat-obatan itu tidak berpengaruh, mungkin dengan operasi bisa menyembuhkan. Ya, Mama dan Papa harus mengetahui ini." gumam pria itu dengan helaan napas panjang.
"Tuan Muda,"
Zane menoleh. "Ada apa?"
"Tuan Nicholas dan Tuan Markus menunggu Anda,"
Alis tebal dan mata elang pria itu seketika menjadi kebingungan. Untuk apa kedua pria itu datang ke kediamannya?
"Minta mereka ke kamar saya!"
"Baik, Tuan Muda."
Pria itu membuka tiga kancing kemejanya dengan kasar dan melonggarkan dasinya yang begitu mencekik lehernya. "Mereka sungguh membuang waktuku,"
Dengan langkah cepat, pria itu menuju kamar pribadinya, entah apa yang akan kedua pria yang menjadi sahabat sekaligus bawahan Zane itu kali ini.
BRAK ....
"Damn shit, brother!"
"Tidak perlu marah seperti itu," celetuk satu sahabat Zane dengan santai.
"Kali ini keperluan apa?!" tanya Zane dengan hati yang tidak bersahabat.
Nicholas Vuitton dan Markus Gavriel, dua pria yang menjadi bawahan sekaligus sahabat dari sang atasan, Zane. Kedua pria yang memiliki sikap bertolak belakang, di mana Markus yang menyebalkan, maka Nicholas seperti photo copy dari Zane.
"Aku lupa menyampaikannya, tapi ini penting dari biasanya." kata Markus dengan bersungguh-sungguh. Pria berkacamata itu mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya.
"Kepala mandor meminta kita untuk terjun langsung ke lapangan, ada beberapa kendala di proyek, jadi selama beberapa hari belakangan, para buruh tidak dipekerjakan." jelas Markus dengan membolak-balik berkas proyek.
"Kita? Pergi ke desa?" tanya Zane dengan serius.
"Lalu siapa yang kamu minta pergi ke desa? Orang lain?"
Markus mengangguk setuju dengan jawaban Nicholas. "Ini proyek mu, jadi kamu yang harus pergi, mungkin kami berdua akan membantu saja."
"Terjadi longsor beberapa hari belakang, ini mempengaruhi pembangunan penginapan mu itu, Zane. Hujan terus-menerus turun, itu yang ....,"
"Berapa lama kita akan pergi?" tanya Zane yang merasa muak dengan ceramah dari sekretarisnya.
"Kalau tidak ada hambatan, tiga hari mungkin sudah cukup," jawab Markus yang langsung mengecek iPad miliknya.
"Kosongkan jadwal selama kita pergi, kita akan berangkat besok pagi."
"Kamu gila!" hardik Nicholas kesal.
Zane menaikkan alisnya dengan sinis, "Kamu ingin mengulur-ulur waktu? Lebih baik lebih cepat!"
Markus menatap kedua pria yang sedang berdebat itu. "Tapi, Zane, besok kamu ...."
"Tidak ada bantahan!"
...****************...
"Zane,"
Zane menoleh dan menaikkan alisnya melihat keberadaan sang Papa di ambang pintu kamarnya.
"Twin sudah tidur?"
Zane mengangguk dan bergegas keluar dari kamar. Pria itu baru saja menidurkan kedua adik kembarnya yang tertidur pulas, menutup pintu dengan pelan dan berakhir menghela napas lelah.
"Kamu menginap hari ini?"
"Iya, Nanny memberitahukan ku kalau Alexia kemarin menangis," jawab Zane dengan serius.
Owen Gervinho Lincoln, pria yang menjadi suami sekaligus orang tua dari Zane dan kedua adik kembarnya. Pria yang masih sangat tampan di usia nya yang senja. Owen adalah seorang pebisnis seperti Zane, tetapi tidak segila putranya.
Zane dan Papa Owen terduduk berdua di sofa yang ada di dekat kamar Zane. Kedua pria itu tampak serius hingga membuat suasana menjadi tegang.
"Kamu sudah menemui Dokter? Bagaimana katanya? Solusi nya apa?"
"Pa, penyakit yang di derita oleh Alexia, tidak dapat di sembuhkan." jelas Zane dengan berat hati. Pria itu tidak mengira, bahwa di dalam diri gadis kecil ceria terdapat penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
"Apa?" Rasa sakit menjalar di ulu hati orang tua itu. Papa Owen tertunduk lesu dan seperti tidak memiliki tenaga lagi untuk berbicara lebih panjang.
Zane menatap keterpurukan sang Papa, mendengar Alexia sakit juga membuat hatinya merasa perih. Zane sangat memanjakan kedua adik kembarnya, bahkan semua ia lakukan agar mereka bisa bahagia.
"Pa, Dokter menyarankan agar Alexia di rujuk ke rumah sakit untuk sementara. Infeksi bakteri di tubuh Alexia mungkin tidak dapat di sembuhkan, tetapi bisa di kontrol oleh obat-obatan dan terapi." Zane mencoba menenangkan sang Papa yang saat ini sungguh menyedihkan.
"Papa tahu, penyakit yang di derita oleh Alexia adalah penyakit yang sama yang di derita oleh Kakek mu, Zane. Penyakit Autoimun ini bila tidak di tangani dengan serius, komplikasi penyakit Autoimun sangat berbahaya, salah satunya adalah komplikasi penyakit jantung dan kerusakan organ," kata Papa Owen dengan nada lirih.
Putri satu-satunya dari keluarga Lincoln, bahkan keluarga Lincoln tak menyangka bila Alexia—si gadis manis dan cerita, mengalami penyakit itu.
"Pa, kalau Mama melihat ...."
"Sudah larut, bukankah kamu harus pergi ke desa mentari untuk peninjauan proyek mu?" sela Papa Owen yang langsung mengalihkan pembicaraan. Pria itu mengusap wajahnya yang basah karena air mata.
Zane menatap sendu dan mengangguk. "Papa tahu dari mana?"
"Nicholas yang memberitahu,"
Si brengsek itu! batin Zane yang menjadi kesal.
"Tidak perlu kesal, Papa yang memaksanya untuk bicara."
Zane berdecak kesal dan melenggang pergi setelah merasa sedih. Pria itu mungkin akan pergi sebelum kedua adik kembarnya terbangun, dan harus sedikit ingkar janji dengan mereka.
"Kamu tidak berniat mengajak kedua saudara sepupu mu itu?" tanya Papa Owen sedikit berteriak.
Zane menoleh kesal dan menggeleng sebagai penolakan. Lagipula dirinya bukan untuk berlibur, "Will never!" tegasnya.
Papa Owen tertawa kecil. "Jangan lama-lama, Papa dengar di desa itu banyak preman!"
"Semuanya sudah siap?"
Markus menatap semua barang yang akan mereka bawa selama tiga hari, "Mungkin." jawabnya dengan ragu.
"Kenapa kita harus pergi saat matahari saja belum terbit?"
Nicholas yang sedang memejamkan matanya, kini melirik ke arah Markus. "Agar Twin tidak melihat kepergian Kakaknya, Zane ingin ingkar janji lagi,"
Zane memutar matanya malas. "Kita segera berangkat!" ketusnya.
Semua barang bawaan mereka segera di angkut oleh beberapa bodyguard. "Bagaimana dengan tempat menginap?"
Markus menoleh kepada sang Atasan. "Aku sudah mengurusnya,"
Setelah memasukan semua barang, lima bodyguard ikut serta mendampingi Zane untuk berjaga-jaga, pria itu tidak ingin terjadi sesuatu yang merepotkan dirinya dan membuatnya terjerat masalah yang tidak penting.
"Zane,"
Zane yang hendak masuk ke dalam mobil, seketika menoleh ke arah pintu rumah. Ya, Mama Nadine memangilnya.
"Mama kenapa bangun? Ini masih sangat larut,"
Mama Nadine menatap dua mobil hitam yang sudah siap akan pergi meninggalkan kepadatan Ibu Kota. "Ini masih larut, kenapa pergi sekarang?" tanya Mama Nadine dengan mata sayu.
"Ma, aku harus pergi beberapa hari ke desa Mentari untuk meninjau pembangunan di sana, jadi aku harus pergi pagi-pagi buta agar tidak terkena macet dan kendala lainnya." jelas Zane dengan memegang pundak wanita tua itu.
"Mama tahu, kamu sudah berpamitan dengan twin? Nanti mereka mencari mu,"
Zane menghela napas panjang. "Aku sudah memberitahu kepada Nanny untuk menyampaikannya. Sekarang Mama masuklah, kembali istirahat."
Mama Nadine menggeleng pelan. "Mama ingin bicara sebentar kepada mu,"
"Ma,"
"Ekhem," Mama Nadine melirik ke arah Nicholas yang berdiri di pintu mobil. "Bicara lah Zane, kita masih punya banyak waktu."
Mama Nadine mengangguk setuju dengan ucapan Nicholas, Zane menghela napas dan akhirnya mengangguk. Mama Nadine mengajak putra sulungnya sedikit menjauh dari teras rumah.
"Apa yang ingin Mama bicarakan?" tanya Zane dengan tangan terlipat.
"Ini," Mama Nadine memberi sebuah amplop coklat. "Mama mengumpulkan beberapa foto wanita,"
Alis tebal itu mengerut bingung. "Untuk apa?"
"Untuk kamu! Kamu itu belum menikah, padahal usia kamu sudah kepala tiga! Kamu tidak malu?"
Dengan nada menggebu-gebu penuh semangat, Mama Nadine merebut kembali amplop coklat tersebut dan menunjukkan semua foto-foto berbagai macam wanita cantik. Bukannya tergoda, Zane malah bergidik ngeri melihat foto-foto wanita itu.
"Lihat, dia cantik bukan? Dia model papan atas,"
"Dan ini, dia ini anak teman Mama, Zane! Dia seorang desainer,"
"Ini juga, dia ini baik hati dan murah senyum!"
Zane mulai kesal dengan omong kosong yang di bicarakan oleh Mama Nadine. "Ma!"
"Dia ini ...," alis Mama Nadine terangkat sempurna. "Apa?" tanyanya dengan bingung.
"Aku ini sudah dewasa, dan aku sudah bisa mencari jodohku sendiri!"
"Oh ya?"
Zane menampilkan wajah yang tidak sedap di pandang. Mama Nadine berkacak pinggang dan langsung menyikut perut keras putranya.
"Pokoknya kamu harus menikah dengan salah satu wanita yang Mama pilihkan!"
"Ma, aku bisa mencari sendiri!"
"Seribu omongan mu itu selalu sama, buktinya sampai saat ini kamu masih lajang! Ingin menipu ku lagi?!" hardik Mama Nadine yang mulai kesal dengan putranya.
Zane menghembus napas panjang. "Oke, sekarang jelaskan apa yang Mama inginkan sebelum aku pergi ke desa?"
"Menikah! Mama ingin kamu menikah dengan wanita yang Mama pilihkan,"
"Selain itu, Ma!" kata Zane dengan tegas.
"Ck, Mama ingin cucu!" jawab Mama Nadine dengan menyeringai sang Putra.
Zane terbengong dengan permintaan gila Mamanya sendiri. "Mom must be joking, right?"
"Tidak, Mama tidak pernah bercanda!" Mama Nadine melipat kedua tangannya di dada. "Kamu cukup menyumbangkan benih mu kepada seorang wanita, jadi kamu akan memiliki keturunan tanpa menikah, simple."
Zane mengacak rambutnya dengan frustasi. Mama Nadine melipat bibirnya dengan samar, rencana kecilnya mungkin akan terus menghantuinya Zane saat ini.
"Ma ... oke, aku akan menikah tapi tidak sekarang!"
Mama Nadine mendelik tajam. "Zane! Setidaknya lirik foto-foto wanita ...."
"Aku tidak tertarik! Aku memiliki tipe ideal ku sendiri!"
"Zane!"
"Aku pergi,"
Mama Nadine tak percaya bila rencana kecilnya akan berakhir gagal seperti sekarang. Wanita itu terbengong dengan kepergian dua mobil di gelap malam.
"Anak itu mirip sekali dengan Owen! Membuat ku kesal saja!"
...****************...
"Kapan kita akan tiba di desa itu?"
Markus yang awalnya santai, kini langsung mengecek iPad miliknya. "Masih cukup jauh, Zane. Sekitar lima jam lagi, kita akan sampai di desa Mentari."
Zane tampak berdecak kesal, Markus melirik Nicholas yang juga terdiam sejak tadi.
"Sepertinya Nyonya Nadine mendesak mu untuk menikah," celetuk Nicholas tiba-tiba.
"Ck, jangan membahas itu!" tegas Zane yang di sambut tawa kecil dari Nicholas.
"Jadi, Nyonya Nadine memintamu untuk menikah? Zane, itu sangat mudah sekali."
Zane membuka matanya dan menatap Markus yang ada di kursi depan, "Berisik!"
"Lebih baik segera menikah daripada nanti terdengar rumor yang tidak sedap," kata Nicholas dengan menatap Zane di sebelahnya.
"Aku tidak ingin tergesa-gesa,"
"Kamu tidak ingin tergesa-gesa karena kamu belum menemukan wanita yang cocok, Zane." sahut Markus yang di anggukan oleh Nicholas.
"Kenapa membahas tentang ku! Lebih baik kalian berdua saja yang menikah lebih dulu!" cemooh pria itu dengan tatapan tajam.
"Bagaimana kalau kamu memilih salah satu dari banyaknya gadis di desa Mentari? Aku dengar, desa itu terkenal karena banyak gadis cantik,"
"Aku tidak tertarik!" balas Zane dengan cepat. Bahkan pria itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun.
"Kamu jangan terlalu cepat mengatakan tidak tertarik, karena kamu belum melihat mereka!"
"Zane, dengarlah pepatah mulut mu adalah harimau mu." ucap Nicholas dengan menyeringai.
Zane benar-benar tidak habis pikir dengan dia pria di dalam satu mobil yang sama dengannya. "Kalian berisik!"
Markus tertawa kecil melihat jawaban dari sang atasan. Hari yang gelap, kini berubah menjadi matahari yang begitu terik, Nicholas melemparkan satu buah kacamata kepada Markus dan Zane.
"Udara di desa jauh lebih segar dari Ibu Kota, mungkin kita bisa betah berlama-lama di sini." kata Nicholas memberitahukan kedua sahabatnya.
"Aku tidak ingin berlama-lama,"
Markus yang sudah antusias, kini mengomel tanpa mengeluarkan suara. Suasana hati Zane sangat buruk karena perbincangannya dengan Mama Nadine yang begitu menguras jiwa kesalnya.
Drttt ....
Zane menatap layar ponselnya, "Mama?"
"Angkat saja, Nyonya Nadine pasti menanyakan posisi kita."
Zane menyunggingkan senyum, "tidak."
"Pria bodoh!" umpat Nicholas yang langsung merebut ponsel Zane dan mengangkat telpon dari Mama Nadine.
"Nicholas!" berang Zane dengan menggebu-gebu.
"Zane! Kenapa kamu mematikan ponsel? Mama belum selesai bicara tadi!"
Zane menutup kedua telinganya saat suara Mama Nadine begitu memecah gendang telinganya. Nicholas menampilkan mata sinis dan mendekatkan ponsel Zane pada sang pemilik.
"Bicara!"
"Ma, tidak ada sinyal ...."
"Banyak sekali alasan mu itu ya, dasar anak nakal!" potong Mama Nadine dengan kesal.
"Ma, aku matikan ya, aku mengantuk sekali!"
"Bila kamu mematikan panggilan, kamu tidak boleh ketemu dengan Twin!"
DEG ....
Markus dan Nicholas tersenyum mendengar ancaman dari Mama Nadine, Zane membulatkan kedua matanya dan merebut ponselnya dari Nicholas.
"Ma! Itu tidak adil!"
"Oh ya? Kalau begitu, bawa satu gadis dari desa dan perkenalkan kepada Mama! Aku tidak menerima penolakan!"
"Tapi, Ma ...."
Terputus.
Zane meremat ponselnya dan mengacak rambutnya dengan frustasi. "Percepat sedikit mobilnya, sialan!"
"Kapan kita akan tiba di desa itu?"
Markus yang awalnya santai, kini langsung mengecek iPad miliknya. "Masih cukup jauh, Zane. Sekitar lima jam lagi, kita akan sampai di desa Mentari."
Zane tampak berdecak kesal, Markus melirik Nicholas yang juga terdiam sejak tadi.
"Sepertinya Nyonya Nadine mendesak mu untuk menikah," celetuk Nicholas tiba-tiba.
"Ck, jangan membahas itu!" tegas Zane yang di sambut tawa kecil dari Nicholas.
"Jadi, Nyonya Nadine memintamu untuk menikah? Zane, itu sangat mudah sekali."
Zane membuka matanya dan menatap Markus yang ada di kursi depan, "Berisik!"
"Lebih baik segera menikah daripada nanti terdengar rumor yang tidak sedap," kata Nicholas dengan menatap Zane di sebelahnya.
"Aku tidak ingin tergesa-gesa,"
"Kamu tidak ingin tergesa-gesa karena kamu belum menemukan wanita yang cocok, Zane." sahut Markus yang di anggukan oleh Nicholas.
"Kenapa membahas tentang ku! Lebih baik kalian berdua saja yang menikah lebih dulu!" cemooh pria itu dengan tatapan tajam.
"Bagaimana kalau kamu memilih salah satu dari banyaknya gadis di desa Mentari? Aku dengar, desa itu terkenal karena banyak gadis cantik,"
"Aku tidak tertarik!" balas Zane dengan cepat. Bahkan pria itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun.
"Kamu jangan terlalu cepat mengatakan tidak tertarik, karena kamu belum melihat mereka!"
"Zane, dengarlah pepatah mulut mu adalah harimau mu." ucap Nicholas dengan menyeringai.
Zane benar-benar tidak habis pikir dengan dia pria di dalam satu mobil yang sama dengannya. "Kalian berisik!"
Markus tertawa kecil melihat jawaban dari sang atasan. Hari yang gelap, kini berubah menjadi matahari yang begitu terik, Nicholas melemparkan satu buah kacamata kepada Markus dan Zane.
"Udara di desa jauh lebih segar dari Ibu Kota, mungkin kita bisa betah berlama-lama di sini." kata Nicholas memberitahukan kedua sahabatnya.
"Aku tidak ingin berlama-lama,"
Markus yang sudah antusias, kini mengomel tanpa mengeluarkan suara. Suasana hati Zane sangat buruk karena perbincangannya dengan Mama Nadine yang begitu menguras jiwa kesalnya.
Drttt ....
Zane menatap layar ponselnya, "Mama?"
"Angkat saja, Nyonya Nadine pasti menanyakan posisi kita."
Zane menyunggingkan senyum, "tidak."
"Pria bodoh!" umpat Nicholas yang langsung merebut ponsel Zane dan mengangkat telpon dari Mama Nadine.
"Nicholas!" berang Zane dengan menggebu-gebu.
"Zane! Kenapa kamu mematikan ponsel? Mama belum selesai bicara tadi!"
Zane menutup kedua telinganya saat suara Mama Nadine begitu memecah gendang telinganya. Nicholas menampilkan mata sinis dan mendekatkan ponsel Zane pada sang pemilik.
"Bicara!" desak Nicholas dengan berbisik pelan.
"Ma, tidak ada sinyal ...."
"Banyak sekali alasan mu itu ya, dasar anak nakal!" potong Mama Nadine dengan kesal.
"Ma, aku matikan ya, aku mengantuk sekali!"
"Bila kamu mematikan panggilan, kamu tidak boleh ketemu dengan Twin!"
DEG ....
Markus dan Nicholas tersenyum mendengar ancaman dari Mama Nadine, Zane membulatkan kedua matanya dan merebut ponselnya dari Nicholas.
"Ma! Itu tidak adil!"
"Oh ya? Kalau begitu, bawa satu gadis dari desa dan perkenalkan kepada Mama! Aku tidak menerima penolakan!"
"Tapi, Ma ...."
Terputus.
Zane meremas ponselnya dan mengacak rambutnya dengan frustasi. "Percepat sedikit mobilnya,
...****************...
Saat matahari mulai tenggelam, di saat itu lah dua mobil mewah tiba di permukiman penduduk. Semua warga yang akan pulang dari sawah, terheran-heran dengan kedatangan dua mobil mewah di desa mereka.
"Pak, kayaknya ada pelancong ke desa kita,"
"Kayaknya bukan pelancong, tapi mereka bawa orang kekar tuh."
"Mereka dari desa kelihatannya,"
Desas-desus kedatangan dua mobil mewah mulai menyebar di seluruh desa Mentari, banyak gadis-gadis desa yang sengaja berjalan melewati penginapan di desa.
Zane yang merasa ada yang tidak beres, mulai kesal dengan gadis-gadis desa yang seperti ingin mengetahui tentang mereka.
"Mereka ini sengaja lewat ya?!" ujar Zane dengan kesal. Pria itu memakai kemeja hitam dengan kecamatan yang masih bertengger di batang hidung.
"Wajar saja, karena kita ini seperti tamu yang tidak di undang," celetuk Markus dengan memberikan sang atasan segelas kopi.
"Mereka mengira kita pelancong,"
Zane melirik Nicholas yang terduduk di lantai teras dengan semua alat-alat yang ia bawa. "Pakai ini,"
"Untuk apa HT ini?" tanya Markus setelah menerima HT kabel dari Nicholas.
"Hanya untuk berjaga-jaga,"
Markus mengangkat bahunya acuh dan tetap memakai HT telinga itu. Zane memutar matanya dan menyeruput kopi miliknya.
"Kepala desa akan datang sebentar lagi, jadi bersiap lah." kata Markus kepada kedua sahabatnya.
"Besok, kepala desa akan ikut melakukan peninjauan ke lokasi proyek, beliau juga yang akan menjelaskan tentang kondisi tanah di sekitar proyek," tambah Nicholas yang hanya di anggukan oleh Zane.
Zane, pria itu sejak tadi seolah-olah tidak berminat untuk membahas tentang proyek pembangunan penginapan elit, pikirannya terus saja tertuju kepada Alexia yang pasti sedang merengek meminta dirinya.
Menyadari Zane yang hanya diam, Nicholas menghela napas panjang dan melempar sesuatu ke arah Zane.
"Apa ini?"
"Aku dengar, Nona Alexia menyukai senja sore. Bagaimana kalau kita berburu sunset?"
Netra mata Markus seketika membesar, "aku setuju dengan ajakan mu!"
"Di sini kan tidak ada pantai,"
"Tapi Tuan Muda, walaupun di desa tidak ada pantai, bukan berarti tidak memiliki sunset." sahut seorang bodyguard dengan kepala tertunduk.
"Sekalian kita akan menyapa warga sebagai ramah-tamah,"
Nicholas memakai sepatunya dengan segera, melirik Zane yang ternyata tidak menolak ajakannya itu. "Baiklah,"
Zane, Markus, dan Nicholas berjalan menyusuri jalanan berbatu yang belum terkena aspal itu. Kelima body yang ikut dengan mereka, tampak menikmati jalan-jalan sore mereka dengan menyapa beberapa para warga yang hendak pulang.
"Selamat sore, Tuan." sapa seorang Bapak dan Ibu dengan ramah.
Nicholas menatap penampilan pasangan suami-isteri tersebut dan membungkuk hormat sebagai balasan, "selamat sore juga, Bapak dan Ibu."
"Kalian dari Kota?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan senyuman yang tak luput menghiasi wajahnya.
Markus mengangguk semangat, "Benar, Bu! Kita dari kota,"
"Berarti kalian yang digosipin sama anak-anak gadis ya?"
Zane menaikkan alisnya, "anak-anak gadis?" gumamnya.
"Iya, Tuan. Banyak anak-anak gadis yang membicarakan tuan kota yang datang ke desa kami, bahkan mereka terus bolak-balik tidak jelas melewati sawah Bapak sama Ibu,"
Zane berdecak kesal dan memasukkan tangannya ke saku celana dengan angkuh. "Mereka seperti tidak memiliki pekerjaan yang lain saja!" cibirnya dengan sinis.
"Bapak sama Ibu mau pulang? Kayaknya berat bawaannya, mau kami bantu?" tawar Markus dengan senang.
Melihat banyaknya bawaan, pasangan suami-isteri tersebut menggeleng sungkan. "Tidak perlu, Tuan. Kami sudah terbiasa, kalau begitu kami pamit, mari."
"Hati-hati, Pak." Markus tersebut menatap kepergian suami-isteri tersebut.
"Sepertinya kamu sangat senang bila tinggal di desa," sindir Nicholas.
Markus menyisir rambutnya dengan jari. "Tentu saja, desa adalah satu-satunya wilayah yang tidak tercemar asap kendaraan, udaranya bersih dan segar, apalagi kita bisa melihat sungai yang bersih tanpa sampah,"
"Bahkan di sini juga ada sawah, sapi, bebek, dan juga kembang desa." tambah Markus dengan melirik Zane yang juga menatapnya dengan wajah tajam.
"Kenapa kamu menatapku?!" tanyanya dengan nada tinggi.
"Bos, aku memiliki informasi, apakah kamu ingin dengar?"
"Tidak," Zane melenggang pergi meninggalkan yang lain begitu saja. Nicholas menaikkan alisnya dengan menatap Markus yang semakin tersenyum lebar.
"Kamu tidak berencana untuk menikahkan kembang desa itu dengan Zane kan?"
Markus menyunggingkan senyum miring. Nicholas seketika menggelengkan kepalanya, "terserah kamu saja!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!