NovelToon NovelToon

Istri Rahasia MAFIA

1. Si Culun

"Hei, culun! Tugas kami sudah kau buatkan, bukan? Berhubung kau selalu menjadi kesayanan para dosen di kampus ini, ya kami akan berusaha berbuat baik padamu." Seorang gadis yang dikawal oleh beberapa anggota lainnya kini tengah mengepung seorang mahasiswi dengan kacamata yang tebal, berjalan seperti orang yang terus ketakutan.

"Sepertinya kamu masih terlihat sama seperti biasanya," tambah Adel, selaku orang yang berdiri di posisi tengah memasang wajah penuh sindiran.

Gadis yang dipanggil dengan sebutan 'culun' itu menunduk, mencoba untuk tetap tenang. "Oh ya, tentu saja." Gadis bernama Silka itu segera merogoh ransel yang tersandang di punggungnya . Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan buku-buku itu menyerahkannya kepada Adel, selalu pimpinan.

Adel tertawa sinis menatap anggota yang berdiri mengelilinginya. "Bagus! Kali ini kau selamat!" Adel memutar tubuh memberi kode kepada seluruh anggotanya.

Mereka meninggalkan Silka yang menunduk seolah memasang wajah ketakutan. Tanpa mereka ketahui, gadis yang dipanggil culun itu tersenyum sinis dalam bibirnya.

Beberapa saat setelah perkuliahan usai, Adel dan kawannya kembali menghadang Silka. Silka kembali menundukan kepalanya.

Adel memberi kode kepada anak buahnya. Para anggota gengster kampus itu menganggukan kepala dan menarik rangsel yang tergantung di punggung Silka. Mereka mulai menggeledah ransel milik Silka, mencari sesuatu di dalam map.

Setelah menemukan sesuatu yang dicari, dengan amarah sang anak buah meremukan lembar kerja milik Silka. "Del, dia mendapat nilai A+!" ucapnya gusar.

Adel menarik rambut Silka. "Kau makin ke sini makin berani kepada kami? Apa yang kau lakukan pada tugas kami? Kenapa nilaimu A+ sedangkan nilai kami hanya E?"

Silka berusaha menahan emosi dan rasa sakit yang luar biasa karena Adel menarik rambutnya dengan sangat kuat. "Itu kan tugasmu, kamu harus mengerjakannya sendiri."

"Kau pikir kau punya hak untuk bicara?Jangan pikir karena kami sudah baik padamu, hingga kamu merasa orang yang penting. Jika kau masih seperti ini, jangan salahkan kami bila kau akan habis setelah ini."

"A-aaampun!" ucap Silka memasang wajah ketakutan.

Adel tiba-tiba melihat sosok dosen yang berjalan menyusuri lorong. Ia memberi kode kepada anggotanya yang lain untuk segera melepaskan Silka. Lalu mereka bersikap seolah tidak terjadi apa-apa menganggukan kepa saat sang dosen melewati mereka.

Silka tidak kehabisan akal. Dia segera mengejar sang dosen yang baru saja lewat. "Prof, tunggu!"

Sang dosen menghentikan langkahnya memutar kepala menatap Silka yang baru saja memanggilnya. "Ada yang bisa saya bantu, Silka?" tanya dosen itu.

"Begini, Prof. Saya ingin menanyakan beberapa materi perkuliahan yang kurang saya pahami," ucap Silka dengan sopan.

"Oh, tentu. Kita bicarakan di tempat yang tenang." Sang Dosen kembali melanjutkan langkah diikuti oleh Silka. Silka melirik kawanan Adel yang baru saja ingin melakukan sesuatu yang buruk padanya.

"Oh, lihat saja nanti. Kita akan melihat seberapa jauh kamu bisa melindungi dirimu sendiri," ucap Adel geram.

Di sisi lain, Tom, utusan Maximo, diam-diam memantau keadaan Silka. Bersembunyi di balik bayangan, pura-pura berpenampilan layaknya mahasiswa di kampus sana. Ia mengawasi setiap gerak-geriknya dengan ketelitian yang cermat.

Tom berbisik kepada rekannya lewat headset. "Pastikan kau tetap berjaga, dan pastikan Nona Silka dengan hati-hati. Kita tidak boleh membiarkan siapa pun menyakitinya."

"Paham, Boss. Kami telah memastikan bahwa tidak ada yang musuh klan kita yang mendekatinya," balas rekan Tom dari headset tersebut.

Tom melanjutkan memantau Silka dari kejauhan, melihat bagaimana ia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Ia berusaha mencari tanda-tanda bahaya atau ancaman yang mungkin mengintai. Kewaspadaan dan ketajaman mata Tom menjadikannya utusan yang handal bagi Maxim.

Tom mengamati Silka yang berbicara dengan seorang dosen, hatinya merasa sedikit lega melihat Silka telah terlepas dari kawanan yang biasa merudung yang dipanggil dengan Nona itu.

"Sepertinya Nona Silka baik-baik saja. Tapi aku tidak boleh lengah. Selalu ada bahaya yang mengintai."

Tom terus memantau keadaan sekitar Silka, siap untuk melindunginya jika ada situasi yang membutuhkan keamanan segera. Ia menyadari bahwa sebagai utusan Maxim, melindungi istri bosnya merupakan tugas yang paling penting.

Melalui pantulan cahaya yang redup, Tom terus mengawasi setiap langkah Silka, tetap waspada terhadap segala kemungkinan ancaman. Dalam gelapnya malam, ia menjadi bayang-bayang setia meski gadis itu tidak menyadari kehadiran mereka di sekitarnya.

Saat Silka menuju toilet, tanpa disadarinya, salah satu mahasiswa yang tadi membulinya memutuskan untuk mengurungnya di dalam. Namun, secara diam-diam, Tom dan rekannya terus memantau kejadian tersebut menunggu situasi lebih kondunsif.

Dengan diam-diam, Adel menunggu Silka yang berada di dalam bilik kecil. Suara air pun terdengar menandakan orang yang ia tunggu telah menyelesaikan hajatnya.

Krek

Terdengar suara pintu mulai dibuka. Silka terperenjat melihat siapa yang telah memasang wajah beringas menunggunya bersidekap dada.

"Mau apa kau?" Silka mencoba melewati hadangan Adel.

Adel mendorong Silka hingga terjatuh. "Mau kabur lagi?" ucapnya dengan nada sinis.

"Ah, sepertinya Mr. Brown masih menungguku. Masih ada hal yang kami bahas," ucap Silka beralasan.

"Oh, begitu? Aku rasa Mr. Brown juga akan mengerti jika wanita suka berlama-lama jika masuk ke toilet," ucap Adel masih dengan sinis.

Adel masuk ke dalam toilet mencari sesuatu dan ia keluar membawa sebuah ember yang penuh terisi air. "Aku rasa ini bisa menghapus rasa sakit hatiku karena nilai E yang kau berikan tadi."

Byuuuurrr

Air itu diguyurkan tepat di atas kepala Silka. Silka tampak sedikit ngos-ngosan karena tembakan air itu begitu tiba-tiba.

"A-apa yang kau lakukan?" Silka memeluk dirinya sendiri mendapat siraman air yang terasa sangat dingin, di negara yang begitu dekat dengan kutub utara ini.

"Aku rasa kau belum mandi semenjak seminggu lalu. Barangkali saja, penampilanmu terlihat lebih cantik setelah ini." Adel beranjak dan mengunci pintu toilet tersebut dari luar.

"Biar kau tahu rasa!" rutuk Adel beranjak mulai meninggalkan tempat itu.

Silka menggigil kedinginan. Kedua tangannya memeluk tubuhnya agar sedikit merasakan kehangatan.

Silka pun bangkit hendak keluar dari toilet dan. mencoba membuka pintu. Namun, ternyata pintu itu terkunci. "Hei, Adel, buka pintunya! Ini tidak lucu!" teriaknya setengah menggigil.

Di luar toilet, Tom dan rekannya yang tidak tahu apa yang terjadi di toilet putri tersebut, akhirnya menyadari apa yang terjadi.

"Cepat lakukan! Kita harus menolong Nona Silka. Hitung sampai tiga, sampai pintu terbuka, kita harus menghang kembali.

"Paham," sambut rekan yang lain. Tom memutar kunci yang masih menggantung

"Satu, dua, tiga!"

2. Suami Si Culun

Braaak

Pintu toilet itu terbuka. Silka sedikit kaget karena pintu yang tadi ia sadari terkunci dari luar kini menganga dengan sendirinya.

Tom dan rekannya langsung meninggalkan tempat setelah berhasil membuka pintu toilet dan melihat Silka memeluk dirinya sendiri menggigil kedinginan. Mereka memastikan kembali keadaan sekitar. Ternyata, tidak ada lagi rombongan yang tadinya mengunci istri pimpinan klan Maximo.

Dalam waktu singkat, Tom dan rekannya bergerak dengan cepat dan tanpa suara meninggalkan area tersebut. Mereka menghindari kontak langsung dengan Silka. Mereka hanya ditugaskan bekerja di belakang layar dan dilarang menampakan diri di hadapan Silka.

Silka pun beranjak dalam keadaan menggigil. Ia tidak bisa berbuat apa-apa hanya merasa sendirian. "Oh Tuhan, apa yang Kau berikan padaku? Kenapa hidupku selalu sulit seperti ini?" gumamnya mengusap kedua tangan.

Ia melewati lorong yang dilalui mahasiswa lain. Semua mata memandang dirinya yang kuyup meski tak ada hujan setitik pun. Silka pun memilih untuk kembali ke rumah, di mana beberapa hari ini telah ia tempati, sebagai istri seorang yang ditakutinya.

Di sisi lain, Tom melaporkan kepada Max dengan suara serius, "Boss, Nona Silka baru saja dibuli oleh sekelompok gengster kampus. Mereka dipimpin oleh gadis bernama Adel. Mereka mengancam serta merusak buku tugasnya, dan bahkan menumpahkan air dingin pada tubuhnya."

Maxim mendengarkan dengan marah dan bertanya, "Bagaimana keadaan dia saat ini? Kalian ke mana saja? Kenapa tidak melindunginya?"

Tom menjawab, "Kami berhasil membantu Nona Silka keluar dari toilet dan gadis-gadis gengster itu telah pergi. Namun, Adel dan kawan-kawannya masih berada di kampus. Nona Silka masih berada dalam bahaya hingga kemudian hari."

Maxim berbicara di balik saluran telepon kepada Tom dengan penuh emosi. "Mereka tidak akan bisa aku lepaskan. Mereka telah menyakiti istriku, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi begitu saja. Tom, aku minta kau dan anggotamu memberi balasan yang tepat kepada mereka!"

Tom terkejut mendengar perintah tersebut dan berkata dengan ragu, "Boss, apakah kau yakin dengan tindakan balasan ini? Kita bisa mencari solusi lain untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka terlalu muda untuk mendapat serangan dari kita?"

"Mereka harus tahu, mereka tidak bisa sembarangan menyakiti dia. Dia adalah istriku, hanya aku yang bisa berkuasa terhadapnya. Jika ada yang mau main-main denganku, mereka harus mendapat balasan! Tom, tugas aku berikan kepadamu. Tangani mereka secepatnya!" ucap Maxim dengan tegas.

Tom mengangguk, meski merasa terbebani dengan tanggung jawab tersebut, ia hanya bisa pasrah sebagai anak buah yang setia. "Baik, Boss. Aku akan melaksanakan perintahmu dengan baik. Mereka tidak akan kami lepaskan begitu saja."

Maxim tersenyum sinis di balik panggilan. Tom adalah orang kepercayaannya. "Lakukan apa yang perlu dilakukan, Tom. Jaga dia agar tetap aman dan pastikan beri hukuman yang sangat pantas mereka terima! Klan Maximo tidak akan membiarkan mereka berbuat semena-mena kepada Queen of Maximo."

Tom, dengan tekad yang kuat, berkata, "Baik Boss, aku akan menyelesaikan ini dengan baik. Aku akan memastikan para gengster kampus itu merasakan akibat dari perbuatannya. Nona Silka akan mendapatkan keadilan yang pantas."

Maxim mengangguk dengan tegas dan mengatakan, "Aku percaya padamu, Tom. Lakukan apa yang harus dilakukan, dan jaga keamanan dia."

Silka pulang dengan langkah lesu, wajahnya pucat, dan masih terlihat ketakutan. Kedinginan yang dialaminya membuatnya gemetar saat ia berjalan menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, Silka memasuki kamarnya dengan hati yang hancur. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya, mencoba menghangatkan diri dan menenangkan pikirannya yang kacau.

Tangisnya pecah begitu saja, memenuhi kamar dengan suara yang menyedihkan. Silka merasa terluka secara fisik dan emosional. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang-orang bisa begitu jahat padanya hanya karena ia menolak untuk membiarkan mereka memanfaatkannya.

Setelah beberapa saat, Silka mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi ini. Meskipun tubuhnya lelah dan terluka, dia tahu dia harus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan melindungi dirinya sendiri.

Dengan tangan gemetar, Silka mengambil ponselnya dan mencari nomor hotline kampus yang dapat dia hubungi untuk melaporkan insiden tersebut. Dia berharap dapat mendapatkan dukungan dan bantuan dari pihak berwenang yang bertanggung jawab.

Sambil menunggu sambungan telepon terhubung, Silka berbisik dalam keheningan kamar, "Mereka tidak akan luput dari hukuman. Aku harus melawan mereka." Bisiknya dalam keheningan kamar.

Max, suami Silka, memang telah membuat keputusan untuk tidak tidur dalam satu kamar dengan Silka semenjak awal. Meskipun ia berdiri di balik pintu kamar dengan tatapan datar, ia tidak berniat masuk ke dalam kamar istrinya. Hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran dan rasa marah terhadap orang-orang yang menyakiti Silka.

Dalam keheningan yang mencekam, Max memegang erat genggamannya, mencoba menahan emosinya yang meledak-ledak. Dia tahu bahwa harus tetap tenang dan berpikir dengan jernih dalam situasi ini. Keselamatan dan keamanan Silka adalah prioritas utamanya.

"Aku akan membalas mereka untukmu," gumam Max dengan suara lirih, mengingatkan dirinya sendiri tentang tujuannya untuk membalas perlakuan kejam yang dialami Silka. Meskipun hatinya penuh dengan amarah, dia tahu bahwa tindakan balas dendam yang gegabah tidak akan membantu situasi.

Dengan mantap, Max mengambil teleponnya dan mulai mencari informasi dan sumber daya yang dapat membantu dalam melawan para penindas tersebut. Dia tidak akan membiarkan mereka melarikan diri dari konsekuensi perbuatan mereka.

Dia melangkah pergi dari pintu kamar Silka, membawa tekad dan tekad yang kuat untuk melindungi istrinya dan memastikan bahwa keadilan akan tercapai.

Silka memutuskan untuk menghibur dirinya dengan berlari sore. Dalam pakaian olahraga yang nyaman, ia keluar dari rumah dan mulai melangkah menuju area jogging yang biasa ia kunjungi.

Langkah-langkahnya yang cepat dan teratur mencerminkan ketekunan dan keinginannya untuk melepaskan beban emosional yang sedang ia alami. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan terluka, Silka merasakan semangat dan kekuatan dalam setiap langkah yang dia ambil.

Saat matahari perlahan terbenam di langit, Silka memasuki taman yang dikelilingi pepohonan hijau. Udara segar dan angin lembut menyapu wajahnya, memberikan kelegaan dalam hatinya yang gelisah.

Dengan nafas teratur, Silka mempercepat kecepatan lari dan merasakan kebebasan di setiap langkahnya. Dia melepaskan diri dari bayang-bayang kejadian buruk yang terjadi padanya, membiarkan energi positif mengisi pikirannya.

Melalui hiruk-pikuk kota yang sibuk, Silka terus berlari dengan tekad yang kuat. Setiap hentakan kakinya di tanah menjadi simbol kekuatan dan keteguhan hatinya. Dia tahu bahwa meskipun terkadang hidup bisa kejam, dia akan terus berjuang dan menghadapi segala tantangan yang ada.

Sambil berlari, Silka mengalihkan fokusnya pada keindahan sekitarnya. Ia mengagumi pemandangan matahari terbenam yang memancarkan warna-warni indah di langit. Keadaan ini memberinya ketenangan dan membangkitkan semangatnya.

Setelah berlari sejauh yang ia inginkan, Silka melambatkan langkahnya dan akhirnya berjalan menuju rumah dengan senyum kecil di wajahnya. Meskipun lari sore itu tidak bisa menghapus semua luka dan rasa sakit, ia merasa sedikit lebih lega dan kuat untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.

Saat memasuki rumah layaknya istana itu, akhirnya ia melihat orang yang selalu dihindarinya.

"Kau dari mana saja?" tanya Max dengan wajah datarnya.

3. Silka & Maxim

Mendengar suara dingin milik Max, Silka mundur beberapa langkah menundukan kepalanya. Ia hanya diam tanpa banyak bicara.

"Kau masih mencoba berlaku seolah tak melihatku?" Kembali, suara dingin Max membuat gadis itu tertekan.

"Ingat, semenjak beberapa hari lalu, kau adalah istriku! Bukan kah aku sudah mengatakan bahwa kau hanya boleh keluar rumah hanya sekedar untuk kuliah saja? Kenapa kau berani pergi tanpa mengatakan satu kata pun kepada siapa pun orang yang ada di rumah ini? Kau pikir, kami semua ini apa?" Max mengatakannya dengan nada penuh penekanan.

"Aku tidak mau menjadi istrimu!" bisik Silka.

Max memasang senyum sinisnya. "Kau pikir kau memiliki pilihan?" Max berjalan semakin mendekati Silka. Dengan kasar ia menarik dagu gadis yang berpenampilan memakai kacamata itu.

Wajah Silka mendongak menatap Max dengan nanar. Silka bisa melihat senyum sinis dari bibir pria yang mengancam akan memb*nuh ayahnya jika tidak mau menikah dengannya.

"Apa yang kau inginkan dariku? Kenapa harus aku? Bukan kah banyak wanita lain yang lebih cantik di luar sana?"

Max berdecak menarik wanita yang menjadi istrinya menjadi semakin mendekatkan Silka pada dirinya. "Aku menginginkanmu. Kau adalah milikku! Hanya aku yang boleh berkuasa atas dirimu!" Max menc!um paksa bibir milik Silka.

Silka merasa terh1na mencoba mendorong Max. Namun, tubuh kekar milik Max tak bergerak sama sekali untuk menjauh. Malah, tangannya kini mulai liar menyentuh dan m3r3mas dada wanita yang telah bergejolak ingin lepas darinya.

Amarah Silka semakin kuat dan tangannya mulai mengepal. Silka melayangkan tinju tepat pada ulu hati Max. Tubuh Max tersentak, c!uman paksanya terhenti. Dengan datar ia melepaskan Silka.

Tanpa mengulur waktu, Silka beranjak dan berjalan cepat menuju kamarnya. Max kembali tersenyum. Kali ini ia mengusap dagu tampak puas dengan apa yang baru saja ia dapatkan.

"Ini lah Silkana Aquela yang aku tahu." Ia mengusap bagian perut yang baru saja mendapat bogem mentah. "Seorang bersabuk hitam ternyata kuat juga." Max menatap tangannya yang sengaja memainkan dada Silka. Alisnya naik sebelah.

"Kapan kau bisa mengenali aku?" Max masih memasang wajah datarnya dan beranjak.

Sementara itu, di dalam kamarnya Silka terlihat penuh amarah memeluk dirinya sendiri. Ia sungguh merasa terhina oleh perilaku laki-laki b1adab yang memaksa untuk menikah dengannya.

Silka mengeluarkan amarahnya dengan memukul, meninju, dan menendang angin hingga tenaganya benar-benar terkuras dan habis. Ia meluapkan seluruh tenaga yang dimiliki pada setiap bagian di kamarnya yang sangat luas itu. "Bastaaard! Sialaaan! Laki-laki kurang ajar! Kubun*h kau!" teriaknya meluapkan emosi yang sudah tidak bisa ia bendung.

Setelah tenaganya benar-benar terkuras, keringat telah membanjiri setiap inci pada kulitnya. Silka menghempaskan diri pada ranjang sangat empuk dan sangat besar itu.

"Awas kau, kurang ajar!" Tetapi, kali ini suara Silka terdengar semakin lemah. Silka memukul-mukul kasur empuk itu.

"Bastard! Bastaaard! Kenapa aku harus ditimpa kesialan bertubi-tubi seperti ini?" ringisnya.

Air mata Silka pecah dan ia menangis dalam beberapa waktu. "Dad, kenapa? Kenapa? Padahal, hanya Daddy lah tempatku bertumpu. Kenapa? Kenapa kau tega menjualku pada baj1ngan kep4rat itu?"

Silka kembali membenamkan wajahnya sedikit berputus asa. Tepat seminggu lalu, Max dan gerombolannya mendorong tubuh ayahnya yang penuh luk4 dengan senyuman sinis.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!