"Sanaya, temui aku di mushola saat adzan nanti, ya," ucap Jordy dengan nada sangat pelan untuk menyuruh sang gadis ketemuan.
Pria itu bahkan bicara super hati-hati dengan mata jelalatan memantau situasi. Takut saja kalau ada yang melihat mereka berdua, sepasang muda mudi yang sedang berusaha untuk saling menyampaikan rasa. apalagi di pagi hari seperti ini, sungguh sangat bahaya!
Gadis cantik yang dipanggil Sanaya, tersenyum sumringah. Bertemu dengan pujaan hati, jelas dia senang sekali. Jika bisa jingkrak-jingkrak gadis itu akan melakukannya saat ini.
Tapi tentu saja tidak dilakukan, image kalem harus tetap dipertahankan. Jangan sampai Jordy ilang feeling melihat kelakuan aslinya, gadis itu mendekat sedikit ke arah Jordy.
"Siap Mas Jordy, emangnya ada apa?" tanya Sanaya yang penasaran. Suara gadis itu sedikit berbisik, tapi matanya penuh selidik.
Gadis itu tidak ingin mati penasaran, apa sih yang mau diobrolin oleh babang ganteng itu. Itulah pertanyaan yang menggelantung di dalam kepalanya saat ini.
"Ada deeh, kejutan buat adek cantik. Udah ah, mas mau pulang dulu ya. Awas matanya jangan kemana-mana karena aku akan cembukur tingkat dewa!" lanjut Jordy dengan sedikit ketegasan diiringi dengan senyum yang terlihat menggemaskan, apalagi ketika matanya sedikit mengedip manja.
Ingin sekali rasanya Sanaya menangkup kedua pipi lelaki itu dan menarik-narik hidung mancungnya, tapi ingat itu belum bisa dilakukannya sekarang karena status mereka tentu saja belum sah di mata agama dan juga semua orang.
Pria itu berlagak posesif bak seorang CEO dominan yang ada di komik-komik, sering dibaca Sanaya pada salah satu platform warna merah bernama Mangatoon. Gadis itu memang sedikit aneh, umurnya memang sudah kepala dua tetapi sifatnya masih saja suka membaca komik-komik bergambar. Begitu pun komik yang sengaja dibacanya secara online, apalagi kalau bisa platform yang digunakan tanpa koin. Sanaya pasti akan mengejar dan mengubernya, bahkan Gadis itu mau tidak tidur semalaman demi membaca update-an terbaru komik kesukaannya. Satu kata untuk Sanaya, parah akut!
"Heiiii, kenapa kau malah melamun padahal aku sudah mau pamitan, Sayang?" Jordy mendekat, ingin sekali menoel pipi seperti bakpao yang sering menjadi lamunannya setiap malam sebelum tidur tapi sayang tiba-tiba saja suara seseorang terdengar memekakkan telinganya.
Tentu saja lelaki itu sudah sangat hafal suara siapa yang barusan seperti petir menyambar telinganya bahkan kalau diperkirakan mungkin ada kilatan melintang lurus di atas kepala memberikan sedikit api yang menyala.
"JORDYY!! PULAAANG!!" Teriakan membahana tanpa bantuan toa masjid itu pun membuat si empunya nama, auto lari ngibrit bak ketahuan sedang mencuri.
Pria itu tidak lupa meninggalkan sun jauh untuk gadis yang membuat hatinya berbunga-bunga. Sementara Sanaya sendiri hanya bisa terkikik geli melihat tingkah sang calon suami, eh benarkah Jordy bakal jadi suaminya nanti? Wajah Gadis itu merona merah sendiri membayangkan pikiran nakal yang ada di dalam benaknya saat ini.
Bahkan terkadang Gadis itu ketika membaca komik kesukaannya, seringkali membayangkan wajah Jordy sebagai MC prianya dan dia yang akan menjadi peran wanitanya apabila komik yang sedang dibacanya bertemakan romantis lope-lope.
"Issh kak Ros tu, ganggu aja," gerutu Sanaya yang tentu tak ada yang mendengarnya.
Gadis itu hanya bisa mengerucutkan bibir ke depan merasa kesal karena adegan romantis yang hampir saja tercipta, tiba-tiba harus buyar begitu saja gara-gara si mulut toa kakak perempuannya Jordy.
Kakak perempuan Jordy yang galaknya 11-12 dengan mama Carla itu sudah terkenal susah dapat jodoh. Gimana tidak susah, kalau suaranya saja bikin semua cowok merinding saat mendengarnya.
Sanaya melangkah riang dengan bersiul senang, tanpa dia pikirkan apa yang barusan terjadi dengan kekasih tampan tapi belum halal untuknya itu.
Plak!
Sebuah tepukan sedikit keras mendarat indah di bahu kirinya membuat Gadis itu terlonjak dengan suara cemprengnya. Tentu saja Ibu Maya langsung tertawa saat melihat tingkah putrinya yang selalu suka melamun ketika habis bertemu dengan seseorang. Siapa lagi kalau bukan pujaan hatinya! Sayangnya sang emak tak pernah tahu.
"Emak! Ngagetin aja deh, kwkwkwk,” ucap Sanaya terkejut dengan ulah emaknya.
Maya, wanita yang telah melahirkan Sanaya memang selalu bersikap seperti layaknya teman dengan anak gadisnya itu, mereka hanya tinggal berdua, setelah kepergian Pak Budi ke alam baka.
"Diih segitu kagetnya, kayak baru melihat hantu aja, emang dari mana kamu, Ya?" tanya Maya penuh selidik dengan menaikkan sebelah alisnya bak seorang detektif kampung yang siap tempur untuk menginterogasi targetnya.
“Ayo … anak gadis nggak boleh sering ngelamun! Entar kalau dapat jodoh aki-aki bangkotan baru tahu rasa, emak nggak sudi punya mantu udah aki-aki apalagi rambutnya disemir merah hijau kuning kelabu. Astaghfirullah ,,, jadi nyanyi begini sih ini gara-gara elu yang ngelamun!” Wanita itu memberikan kresek belanjaan ke tangan putrinya yang kosong, gadis itu menerimanya dengan senyum maut demi membahagiakan emak semata wayangnya.
Yaah jelas lah emak semata wayang, pak Budi kan gak poligami, hehehe. Untuk banyak hal Sanaya selalu terbuka dengan Maya, tapi untuk perihal hubungan di balik tembok dengan Jordy tentu saja wajib disembunyikannya dengan sangat rapi agar kasus percintaan yang dilarang kedua orang tua mereka tak mencuat ke permukaan.
Kalau perlu Mak-nya nggak bakalan pernah tahu sampai mereka terpisah alam. Dasar anak kurang ajar! Sananya terkadang memang sangat nakal dengan pikirannya sendiri jika menyangkut tentang lelaki tampan baik hati yang sedang berhubungan dengan cara belakang, tentu saja yang gadis itu maksud bukan mereka main anu-an lewat belakang tapi pacaran mereka belum diketahui sang emak yang musuh bebuyutan dengan maknya si tampan alias Jordy.
Bisa keluar tanduk dan taring, jika Maya mengetahui hubungan gelap mereka. Padahal rumah mereka bersebelahan dan selalu terang benderang dengan full cahaya lampu 100 watt bagian teras rumah, hanya saja rumah mereka dibatasi oleh sebuah tembok kokoh nan tinggi hasil kesepakatan para leluhur dulu.
Tentu saja kesepakatan konyol itu berawal dari para leluhur yang memang sudah saling bermusuhan hingga sampai buyut-buyutnya sekarang. Peraturan itu ternyata berdampak juga pada Sanaya dan Jordy yang malah saling jatuh hati. Bukankah mereka berdua sama saja sedang berusaha menciptakan perang dunia ke-3 ke-4 dan ke-5?
“Ayo ngaku, kamu tadi ketahuan senyum-senyum seperti hantu eh salah kok hantu senyum hahaha, harusnya hantu nyeremin, ya? Mak bingung tau … elu itu senyum-senyum sambil ngelamun, lagi mikirin apa? Jangan bilang elu dapat lotre dengan hadiah gede! Mak gak sudi nerima uang begituan yang ada entar elu ketagihan, emangnya mau makan uang haram?” tanya sang Emak kembali bak seorang Polwan yang mengintrogasi seorang pencuri.
Sanaya mesti putar kepala dan pikiran mencari alasan pasti yang sesuai biar tak dapat omelan sepanjang masa tanpa jeda karena Maya belum berhenti bertanya sebelum puas dengan jawabannya.
"Ya seneng lah mak karena besok Aya udah mulai kerja. Pas di batas desa yang menuju kota, ada perusahaan baru, Mak. Iseng aja ngelamar, eeehh alhamdulillah diterima." Sanaya menjawab dengan kedua mata berbinar dan riang gembira.
“Alhamdulillah … tapi tunggu! Kamu masuk ke sana gak lewat jalur si hidung belang itu, kan?”
“Alhamdulillah … tapi tunggu!! Kamu masuk ke sana gak lewat jalur si hidung belang itu kan?” tanya sang Emak kembali menatap tajam wajah putrinya sebab ada kabar menyebar beberapa pekerja di bagian personalia memiliki kebiasan buruk mengajak gadis-gadis bekerja setelah ‘saling mengenal’ luar dan dalam. Tentu saja yang dikenal bagian luar dan dalam pakaiannya dan itu membuat Maya ikutan cemas dengan anak gadisnya.
“Ya enggak lah, Mak! Apaan sih pikirannya, anak Emak ini pintarnya bukan kaleng-kaleng tapi ori!” sanggah Sanaya tak habis pikir darimana emaknya mengerti hal yang begituan.
“Baguslah kalau begitu, jangan bikin jasad bapakmu merasa malu di kuburan sana!” omel emaknya sembari berlalu.
‘Emangnya orang yang udah mati bisa ngerasa malu, apa?’ tanya Sanaya sok polos di dalam hati.
Mereka berdua kini sudah sampai di depan pagar. Dengan cekatan Sanaya membuka pintu. Sekilas tatapan Maya melihat Carla dari arah pagarnya. Dengan cepat mereka berdua mendengus dan sama-sama membuang muka, entah permusuhan apa yang membuat mereka saling mengumbar emosi seperti ini.
Sanaya yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala saja. Gadis itu selalu bersyukur karena telah dilahirkan pada era milenial. Jadi semua doktrin dendam kesumat yang ditanamkan Maya tidak mempan pada dirinya. Secara perhitungan Sanaya adalah keturunan ke delapan, itu artinya dia tidak harus menerima warisan kebencian dari kedua keluarga itu, bukan?
“Kenapa sih dia harus ikutan keluar juga, keliatan banget kalo caper. Ish … keturunan mak lampir mah nggak mungkin bisa berubah kan, ya?” gumam Maya lirih jelas bertanya tapi entah pada siapa.
Wanita itu bahkan terus saja menggerutu dengan sebutan-sebutan aneh yang jika Sanaya rajin mendengarnya, mungkin gadis itu bisa memiliki banyak kosakata baru dan juga koleksi nama para tokoh fiksi di masa lalu.
“Mak, udah deh jangan ngomel gitu. Emangnya Mak nggak mau bikin selametan buat Aya udah keterima kerja?” tanya Sanaya dengan sengaja mengalihkan perhatian sang emak agar tak lagi menggerutu sebelum sampai ke pintu.
Kini mereka sudah memasuki rumah dengan desain arsitektur lama bergaya kuno, inilah rumah peninggalan leluhur yang sudah berusia ratusan tahun. Namun, bangunannya masih saja kokoh dan baru sedikit ada yang diperbaiki atau direnovasi agar tetap kuat sepanjang masa.
Maya dan Sanaya berasal dari keluarga menengah, ekonomi mereka ditopang dengan beberapa unit toko yang disewa oleh orang di pasar besar dan tiga unit toko peninggalan ayah Sanaya yang berada di pasar kota.
Sepasang ibu dan anak itu terkadang memang sangat lucu, suka sekali berbicara seperti orang Betawi tetapi tak lama kemudian akan kembali ke mode asli. Entah kenapa keduanya selalu memiliki sifat yang sangat serasi, hingga rumah pun tak pernah sepi walau sebenarnya hanya dengan sedikit penghuni.
Rumah mereka berada tepat di perbatasan antara desa dan kota, jadi tidak butuh waktu lama jika mereka ingin ke kota. Sanaya sendiri kini sudah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dengan cepat. Kecerdasan gadis itu mungkin menurun dari eyang buyutnya, karena cara pikir Maya sendiri tidaklah seberapa dan pak Budi pun punya IQ biasa-biasa saja.
“Looh jelas itu, abis ini mak buatin tumpeng setinggi gunung deh hahaha, nanti kabari pakde Gun dan pakde Amin, suruh datang kesini, ya. Eh iya, jangan lupa bude Dar juga, mereka pasti akan ngasih angpao ke kamu buat jajan pergi kerja, kan lumayan dapat tambahan hihihi,” sahut Maya penuh semangat selaras kekehan yang selalu tersungging dari bibirnya, sungguh emak sangat semangat, seperti semangatnya para pengantri yang berjibun di depan kantor pos untuk menunggu mengucurnya dana BLT dari pemerintah.
Jiwa yang selalu merindukan uang memang tidak pernah enyah dari pikiran seorang Maya, walaupun sudah beberapa kali di ruqyah tetap tidak mempan karena peruqyah ternyata salah sasaran.
‘Kesempatan nih ketemu mas Jordy, kan rumah pakde Gun ngelewatin mushola. Yes … emang kalo jodoh itu nggak akan lari kemana, hihihi,’ gumam Sanaya di dalam hati sembari terkikik geli.
Untung saja kekehannya hanya tertutup di dalam hati, entah apa jadinya kalau suara hatinya itu sampai terdengar keluar, bisa-bisa emaknya akan memanggil sang peruqyah lagi untuk mengeluarkan kuntilanak dari dalam tubuh putrinya. Itupun kalau ada hahaha.
“Siap 86, Mak! Nyonya Emak tenang aja, ntar sang putri Aya tercantik sejagat hati Emak akan pergi ke sana dengan penuh pesona hehehe,” sahut Sanaya ringan tanpa dosa.
Maya hanya bisa menggelengkan kepala, selalu merasa terhibur dengan tingkah konyol putrinya. Bahkan terkadang senyuman itu perlahan-lahan terlihat sendu, karena Maya sering merasa rindu akan sosok sang suami, yang memiliki sifat humoris persis seperti putrinya. Wanita paruh baya itu akhirnya melangkahkan kaki menuju ke arah dapur meninggalkan Sang Putri yang entah sedang memikirkan apa? Namun, baru saja wanita yang telah melahirkan Sanaya itu melangkah, tiba-tiba dirinya berhenti dan langsung membalikkan badan, berputar mengarah lagi menghadap putrinya.
Seeettt!
‘Sepertinya Aya nggak perlu harus pergi kesana deh. Duh otak ini memang suka sekali lelet kayak signal kegantung, kan ada benda canggih yang bisa digunakan untuk menelpon hehehe!’ Alisnya saling bertaut dan matanya menatap sang putri penuh selidik.
“Aya, sepertinya kamu nggak perlu capek-capek pergi ke rumah mereka segala! Bukankah kamu bisa telpon aja pakde dan budemu. Emak nggak mau kamu sampai kecentilan nantinya, apalagi si ono noh, pasti mikirnya liat kamu keluar rumah langsung yang macem-macem.” Maya menelisik sengit seolah sedang memperingatkan.
Sanaya terpaksa mengembangkan senyum super mautnya, hal ini tentu saja untuk menutupi rasa gugup yang sedang melanda.
“Emaak jangan gitu, Aya ini kan mau minta para tetua untuk datang ke rumah kita, ya sopan-sopannya kan Aya yang harus mendatangi dengan tampak muka, Mak. Mana bisa main telepon kayak begitu, apalagi main telepati, ntar dikira anak cantik Emak ini gak punya etika,” jawab Sanaya santai dengan segudang alibi yang biasanya sangat mempan mempengaruhi pikiran emaknya.
“Lagian kamu itu lucu sekali pake gaya sok ngajarin anak sopan segala, gimana anaknya mau sopan kalo emaknya aja norak kayak kuda lumping, begitu! kalo nggak percaya coba tuh pake cermin yang paling gede, pasti nampak wajah asli yang kurang ajar!” Suara cempreng Carla terdengar menggema dari arah jendela yang menghadap ke halaman rumah tetangga sebelah utaranya.
Rumah Bu Dewi, pas sekali waktunya paman sayur lagi mangkal disana. Carla yang sedang belanja pun sempat-sempatnya mendengarkan pembicaraan ibu dan anak itu.
“Ya Tuhan, terbuat dari apakah si Carla itu! Kenapa telinganya bisa mendengarkan suara yang selembut salju dari tenggorokanku?” Gerutu Maya bertanya kesal, dengan cepat wanita itu menutup gorden jendelanya. Hatinya merasa panas karena dibilang kuda lumping norak.
“Huuff … again,” keluh Sanaya yang menghembuskan nafasnya kasar. Maya sudah bersiap untuk beranjak keluar rumah ke sisi pagar yang menghadap ke rumah Bu Dewi. Tidak lupa wanita itu menyingsingkan lengan daster yang memang sudah berlengan tiga perempat
“Heh topeng monyet! tolong mulutnya di sekolahin ya!”
“Hah, apa kau bilang?”
“Heh topeng monyet! tolong mulutnya di sekolahin ya!” raung Maya dengan nada menggema, cocok sekali kalau untuk jualan obral di dalam pasar.
“Hah, apa kau bilang?” Ibu Carla tentu saja tak bisa menerima begitu saja ocehan kasar dari mulut sang tetangga, “Keluar sini kalau berani, jangan cuma di kandang sendiri aja beraninya!” teriak Carla memancing emosi.
Maya sebenarnya tidak menyukai situasi rusuh seperti ini. Tapi mungkin pengaruh hormon bulanannya, jadi pantang baginya untuk mundur walau sejengkal.
Sanaya dengan cepat menangkap tubuh ibunya, gadis itu memeluk tubuh bak gitar spanyol milik Maya dengan erat. Ini harus dihalangi, jangan sampai membuat keduanya gelap mata hingga tidak punya urat malu lagi.
“Emak, udah-udah … sabar, Mak. Jangan di ladenin, kan udah tau dia orangnya kurang sesendok. Ntar kalo cantiknya Mak luntur gimana dong? Atau kalau pita suara Emak rusak gara-gara ngeladenin wanita sirik kayak dia, gimana coba? Sanaya nggak bisa lagi dong dengar nada merdu penuh rindu kalau Emak lagi mengaji,” ucap Sanaya merayu biru.
Napas Maya sudah memburu, siap untuk menyeruduk musuh seperti banteng yang selalu unggul.
Sementara di luar pagar, tepatnya di halaman rumah Bu Dewi. Wanita yang seumuran dengan Maya dan Carla itu pun melakukan hal yang sama dengan Sanaya. Sekuat tenaga dia memeluk erat tubuh Carla agar tidak memanjat pagar rumah Maya. Rumah Dewi tidak memiliki pagar, jadi memang sering dibuat mangkal paman sayur dan paman bakso.
“Carla, udah ya … malu di lihat orang. Udah jangan dilanjutin, aku rasanya kok pengen tobat liat kalian berdua selalu kayak gini.” Dewi berusaha membujuk Carla yang masih mencak-mencak. Setelah mendengar ucapan temannya, Carla menoleh ke arah Dewi.
“Loh, kenapa malah kamu yang jadi mau tobat, Wi, harusnya aku kan yang tobat?!” tanya Carla dengan tatapan heran binti kebingungan yang kakak adik sama cengo.
“Yaakkk ….” sahut Dewi tak kalah heran dengan jawaban orang yang dia peluk dari belakang.
Sebenarnya Maya dan Carla adalah sahabat Dewi, tapi ajaibnya Dewi tidak bisa mendamaikan kedua orang itu. Tiga orang wanita dengan status janda itu memiliki karakter yang berbeda, tapi Dewi sangat menyayangi kedua sahabatnya itu dengan cara yang berbeda tentunya.
Setelah lelah dengan saling berbalas ucapan yang unfaedah, akhirnya kedua wanita sakti itu pun berhenti. Lelah mendera tubuh mereka yang tidak lagi muda, Carla duduk di teras rumah Dewi dan menikmati segelas air dingin yang wanita itu berikan.
Sementara Maya pun duduk di kursi yang ada di teras rumah nya sambil meminum segelas air dingin pemberian putri tercintanya.
Huft!
Entah sampai kapan keadaan ini berlangsung, terkadang Dewi dan Sanaya merasa jenuh dengan ulah mereka berdua. Warisan kebencian yang tidak jelas akar masalahnya itu, sudah menjadi cerita rakyat di daerah mereka. Bahkan sampai segitu melegendanya ya kisah mereka ini.
Setelah keadaan kembali tenang, kini Sanaya dan Maya sudah kembali masuk ke dalam rumah masing-masing. Waktu terus berjalan, untuk pertengkaran ajaib itu sukup sudah menguras tenaga Sanaya. Gadis itu sibuk memikirkan untuk mencari waktu yang tepat.
*
*
Waktu yang dirasa tepat sudah tiba, gadis itu juga harus berusaha sabar menghadapi sang emak yang seringkali moodnya berubah-ubah. Ingatan Maya kembali pada pembicaraan mereka, yang terputus karena teriakan Carla tadi.
“Emak, kita jadi ngundang pakde dan bude nggak, nih?” tanya Sanaya hati-hati. Gadis itu tentu saja harus bertanya kembali karena tak ingin dirinya salah dalam mengambil tindakan ketika emosi sang emak sedang berada di tingkat tertinggi.
Sesaat Maya berpikir memang ada benarnya juga, mereka semua adalah keluarga dari sebelah almarhum suaminya. Semantara Maya sendiri tidak punya saudara di Indonesia, mereka semua berada di negeri Jiran.
Sejatinya Maya adalah warga negara asing yang terdampar di bumi pertiwi ini dan ditemukan oleh pak Budi yang baik hati. Karena cantik, sopan dan rajin memasak, Budi pun jatuh cinta karena terbiasa dengan masakan Maya.
Pernikahan mereka menghasilkan Sanaya dan ternyata Budi tidak berumur panjang. Serangan jantung di usia yang terbilang masih muda membuat Maya jadi janda kembang beranak satu. Pola hidup Budi yang tidak sehat membuat pria itu mengidap penyakit diabetes parah, makanan serba instan dan minuman bersoda adalah kesukaannya. Hal itu dia lakukan jika sedang bekerja, kalau di dalam rumah sudah jelas Maya membuat perutnya mengkonsumsi makanan yang sehat semua.
“Okelah anak emak yang paling cantik, berangkatlah siang nanti ke rumah mereka, ingat jangan keluyuran. Kamu itu anak perempuan emak, jadi tolong jaga nama emak baik-baik, jangan sampai merusak citra keluarga kita selama ini yang belum pernah memperlihatkan sifat buruk pada masyarakat!” pesan Maya pada akhirnya.
Sanaya akhirnya bisa bernafas lega, tidak sia-sia dia memberikan senyuman terbaiknya dengan alibi yang sempurna kepada sang ibunda.
Mereka berdua berjibaku menyiapkan syukuran dadakan sebagai hasil ide dari Sanaya. Setelah sampai pada waktu yang sudah ditetapkan, Sanaya pun pamit pada sang emak untuk berangkat ke rumah pakdenya. Rumah pertama yang akan dia datangi adalah rumah pakde Amin, setelah itu dia akan menemui Jordy, baru kakinya akan dilangkahkan ke rumah pakde Gun dan bude Dar.
Sempurna sudah rencana yang dibuat oleh Sanaya. Tidak lupa gadis itu membawa cemilan untuk mengunjungi para tetua itu, dengan sedikit memberikan bedak pada wajahnya yang berminyak akibat kepanasan di dapur tadi, sekarang terlihatlah seorang gadis yang lumayan rapi.
Setelah dirasa rapi dan enak dipandang, gadis itu pun melangkah ke dapur untuk berpamitan pada sang emak. Sanaya melihat Bik Sri yang sudah bergabung dengan emaknya di dapur. Seperti biasa, bik Sri akan menyelesaikan pekerjaannya cuci-cuci dan membereskan rumah serta halaman belakang, barulah dia akan menemani Maya di dapur.
“Mak … Aya jalan dulu, ya!” teriaknya setelah berada di ruang tamu berpamitan pada sang emak yang masih berada di dapur.
Sanaya memang gadis seperti itu, berteriak di dalam rumah adalah hobinya. Itu juga yang membuat suasana rumah menjadi ramai dengan suara cemprengnya.
Kini dia sudah berada di rumah pakde Amin, hanya sebentar saja Sanaya berada disana. Menyampaikan maksud dan tidak lupa mencium punggung tangan sang pria sepuh.
“Pakde jangan lupa dateng ya di syukurannya Aya, hadiahnya juga loh pakde,” ucap Gadis itu sambil berpamitan.
Pakde Amin yang sudah terbiasa dengan permintaan keponakannya itu, hanya bisa mesem-mesem manis demi menutupi giginya yang ompong dan sedikit menghitam pengaruh rokok dan minuman kopi.
“Kamu kan nggak ulang tahun, Ya, mana ada pake hadiah segala,” sahut pakde Amin terkekeh geli.
Gadis itu mengerucutkan bibir mungilnya, tanda tidak terima dengan jawaban dari sang pakde.
Melihat hal itu tentu saja Amin merasa tidak tega. Apalagi sejak sang keponakan menjadi yatim pria itu selalu tidak merasa tega membiarkan sananya merasakan kesedihan tak punya ayah lagi!
“Hehehe, iya-iya, sudah sana jalan lagi,” ucap pakde Amin penuh pengertian. Sontak senyum lebar ala iklan odol pun terpampang indah pada wajah bulat telur asin milik si gadis.
“Kamu kapan nikahnya, Ndok?”
Glek!
Ini merupakan pertanyaan maut yang paling dihindarinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!