NovelToon NovelToon

Dilema Pernikahan 150 Hari

Bab 1-Hancur

Zico Wiratama, siapa yang tidak mengenal seorang Zico? Laki-laki tampan, bertubuh atletis, juga pesonanya yang kuat membuatnya digandrungi oleh banyak perempuan. Tidak hanya itu, Zico juga sukses memerankan karakter siapapun dari berbagai film, drama yang dimainkannya. Tidak heran jika ia menjadi salah satu artis terkenal yang memiliki banyak penggemar.

Pesona Zico memang tidak bisa dielakkan, siapapun perempuan yang melihatnya pasti akan terkesima dengan wajahnya yang tampan dan manis. Membuat siapapun tidak bosan memandangnya.

"Aku gak akan pergi, sampai kamu kasih tau alasan kamu mutusin aku, Jihan!" seru Zico sembari mengusap wajahnya gusar.

Perempuan dengan rambut sebahu itu memalingkan wajahnya, tangannya membekap mulutnya untuk menahan isak tangis yang entah sejak kapan keluar. "Aku mohon kamu ngerti, Rei! Kita udah gak bisa sama-sama lagi," lirih perempuan itu tanpa memandang wajah Zico yang ada di hadapannya.

Zico meraih kedua tangan perempuan yang ada di hadapannya, seraya mengusapnya lembut. "Aku yakin kamu punya alasan kenapa tiba-tiba kamu minta putus dari aku. Aku juga tau kalo kamu ngelakuin ini bukan atas kemauan kamu sendiri, Jihan." Zico perlahan melepaskan tangan perempuan itu, lalu kembali menatapnya.

"Aku gak akan maksa kamu lagi. Kalo menurut kamu kita jauh bisa buat kamu bahagia, aku akan pergi. Tapi aku cuma minta satu hal, jangan pernah kamu netesin air mata kamu yang berharga itu lagi. Aku mau kamu bahagia, walaupun bukan sama aku." Zico kini tersenyum lembut, walaupun hatinya tidak bisa bohong. Tentu saja ini bukanlah kemauannya. Namun jika kepergiannya dapat membuat perempuan di hadapannya bahagia, ia akan lakukan.

Perlahan Zico melangkah mundur sembari menatap wajah perempuan di hadapannya dalam-dalam, untuk menyimpan kenangan indah yang terakhir kalinya. Hingga akhirnya Zico berbalik dan melangkah menjauhi perempuan itu, tepat di saat air matanya kembali terjatuh.

"Cut!" seru seorang sutradara sembari tersenyum puas. "Oke, bagian Zico selesai. Kita break dulu lima belas menit, sebelum kita take bagian Alda lagi sama Teo," lanjut Rio--Sutradrara muda yang hampir seumuran Zico, hanya terpaut dua tahun di atasnya.

Zico tersenyum lega, karena akhirnya hari ini bagiannya selesai. Menyisakan take bagian lawan mainnya--Alda yang berperan sebagai Jihan tadi dan Teo. "Selesai juga akhirnya," ucap Zico bersemangat. Bagaimana tidak, biasanya ia selalu pulang malam karena bagiannya yang sangat banyak. Namun hari ini ia dapat pulang sore, lebih cepat dibanding biasanya.

Zico melangkah menuju kursinya, yang mana di sebelahnya terdapat Arya--Manajer sekaligus sahabatnya. Zico duduk di sebelah Arya sembari menerima air mineral yang disodorkan oleh manajernya itu.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Arya.

Zico meneguk air mineralnya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Iya, gue ada urusan lagi."

"Oke, tapi jangan lupa besok pagi lo ada talkshow Bang Boy, terus sorenya lo shooting hari terakhir nih. Awas aja kalo lo ketiduran," ancam Arya seraya menunjuk Zico dengan tangannya.

Zico terkekeh mendengar celotehan Arya. Sahabatnya itu selalu saja cerewet mengenai jadwalnya. "Iya, siap! Udah lo tenang aja, gue masih belom pikun, kok." Zico kembali tertawa seraya bangkit dari kursinya.

"Gue duluan, ya!" seru Zico seraya mengenakan jaket kulit berwarna coklat miliknya, lalu berpamitan pada kru-kru lain dan melangkah meninggalkan lokasi shooting.

"Woi, Co! Mau kemana, lo?" tanya Teo yang kebingungan melihat Zico melangkah keluar.

Zico terpaksa menghentikan langkahnya, saat mendengar suara Teo. "Pulang, lah. Sorry nih, bagian gue mah udah selesai." Zico tersenyum penuh kemenangan.

Teo memutar bola matanya jengah melihat ledekan Zico. "Yeee dasar, gak ke basecamp dulu lo?"

Zico menggeleng seraya membalikkan badannya. "Enggak dulu, salamin aja ya. Bye, gue duluan!" seru Zico sembari melanjutkan langkahnya, tanpa menoleh ke arah Teo.

Hari ini ia sedang buru-buru, karena ia tengah menyiapkan sesuatu yang spesial untuk seseorang. Walaupun tubuhnya sedikit lelah karena habis shooting, tetapi lelahnya akan hilang begitu harapannya menjadi kenyataan. Zico berharap hari ini akan berjalan sesuai keinginannya. Setidaknya usahanya tidak sia-sia jika itu terjadi.

***

Sebuah mobil Ferrari 488 Pista berwarna putih, berhenti tepat di salah satu restoran mewah yang ada di kota Jakarta. Bangunan mewah dengan kaca-kaca besar yang ditambah dengan aksen glamor menambah pesona restoran tersebut.

Seorang perempuan turun dari mobil Ferrari putih tersebut, wajahnya terheran-heran melihat parkiran mobil yang tampak sepi seperti tidak ada tanda-tanda orang lain.

"Ayok, masuk!" seru Zico lembut sembari menggenggam tangan perempuan itu.

Perempuan bernama Aletta Maudy itu terkejut saat Zico meraih tangannya ke dalam genggamannya. Namun ia kembali menormalkan ekspresi wajahnya, mengingat jika Zico adalah sahabat dekatnya, jadi ia rasa tidak masalah dengan itu.

Zico dan Aletta berjalan bersisian dengan tangan saling bertautan. Tepat saat mereka berdua masuk ke dalam restoran tersebut, Aletta semakin kebingungan, karena isinya pun benar-benar kosong tidak ada siapapun.

"Zico, ini restorannya kenapa sepi, ya?" tanya Aletta pada Zico.

Bukannya menjawab, Zico justru terkekeh kecil. Ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan Aletta. Hingga akhirnya mereka sampai di salah satu meja yang di atasnya dihias bunga mawar merah dan lilin-lilin di tengahnya.

Zico menarik kursi Aletta dan mempersilakan untuk duduk. Baru kemudian Zico duduk tepat di hadapan Aletta. Di situlah Zico akhirnya membuka percakapan. "Kamu pasti dari tadi bingung, kenapa di restoran ini cuma ada kita doang? Aku bakal jelasin, tapi kamu dengerin aku baik-baik ya." Zico berucap lembut sembari menatap manik mata Aletta dalam.

Aletta yang ditatap seperti itu ditambah ucapan Zico yang terdengar lembut di telinganya, membuatnya sedikit salah tingkah. "Iya," balas Aletta singkat, karena ingin cepat-cepat mendengar perkataan Zico selanjutnya.

"Sebenernya aku ngajak kamu ke sini, karena ada hal yang mau aku omongin. Aku sengaja booking restoran ini buat kita doang, biar ada privasi dan aku bisa lebih serius ngomonginnya." Zico berhenti sejenak sembari mengembuskan nafas panjang.

Zico kembali menatap Aletta, tangannya mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah yang ada di sakunya. "Aletta, aku udah lama suka sama kamu. Aku tau kamu itu wanita yang mandiri, cerdas, cantik, dan aku makin yakin cuma kamu yang bisa jadi pendamping yang sempurna di hidup aku." Zico membuka kotak berwarna merah tersebut yang memperlihatkan sebuah cincin berlian yang sangat cantik, ia kemudian menyodorkannya di hadapan Aletta.

"So, Aletta! will you marry me?" tanya Zico dengan wajah serius, ia memandang Aletta dengan penuh harap.

Tes!

Setetes air bening jatuh tepat di atas tangan Zico yang tengah menyodorkan cincin untuk Aletta. Zico mengerutkan dahinya bingung melihat Aletta yang justru menangis, ia jadi bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan kata-kata nya.

"Kenapa?" lirih Aletta masih dengan air mata yang seakan tidak mau berhenti menetes.

Zico semakin bingung dengan jawaban Aletta. "Kenapa? Maksudnya?" tanya Zico yang benar-benar tidak mengerti maksud dari ucapan Aletta.

"Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa hati kamu harus berlabuh buat aku? Kenapa kamu gak mencintai orang lain aja, Zico? Kenapa cinta kamu yang tulus itu, harus kamu jatuhin buat orang yang gak mencintai kamu? Kenapa?!" Air mata Aletta semakin deras berjatuhan, tatkala mengatakan itu. Ia benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaan Zico.

Sementara Zico, perasaannya bagaikan disengat listrik ribuan volt. Waktu seakan berhenti berputar, hatinya seolah mati sekian detik. Wajahnya yang tadi memancarkan binar cinta, kini seolah redup. Ia bahkan tidak bisa mengatakan apapun sekarang, lidahnya terasa kelu.

Aletta yang melihat Zico hanya bergeming dengan wajah datar, semakin merasa bersalah. Ia memberanikan diri menyentuh tangan Zico, bermaksud untuk menenangkannya. Tapi Zico justru menghempaskan tangannya.

"Zico, aku minta maaf gak bisa balas perasaan kamu. Tapi aku mohon jangan pernah jauhin aku, jangan pernah kamu menghindar karena masalah ini! Aku gak mau pertemanan kita bertahun-tahun harus hancur karena ini," ujar Aletta berusaha menenangkan Zico.

Zico menggeleng cepat, ia tahu jika ini bukan salah Aletta. Namun tidak tahu kenapa saat ini ia merasa marah. Ia tidak mau mengatakan hal-hal yang akan membuatnya menyesal, karena dalam kondisi marah seperti ini.

Zico memasukkan kembali cincin yang tadi ingin ia berikan pada Aletta, dan bangkit dari kursinya. Ia bergegas melangkah keluar meninggalkan Aletta, tetapi ternyata perempuan itu berlari mengejarnya dan memeluknya dari belakang. Ia dapat mendengar isak tangis Aletta.

Aletta mencoba menghapus air matanya yang masih saja terus mengalir. "Zico, aku mohon jangan kayak gini. Aku minta maaf, tapi aku gak bisa maksain perasaan aku ke kamu. Kamu pantes dapet orang yang lebih tulus sayang sama kamu, dibanding aku."

Zico melepaskan tangan Aletta yang memeluknya dari belakang. Tanpa berkata apapun Zico kembali melangkah cepat, mengabaikan teriakan Aletta yang memanggil namanya.

Ia terus melangkah hingga sampai di parkiran mobilnya, ia lantas langsung masuk dan melajukan mobilnya keluar meninggalkan restoran mewah yang tidak mau ia kunjungi lagi.

Di dalam Zico memukul setir mobilnya dengan keras, ia benar-benar berharap jika usahanya akan berbuah manis melihat perhatian Aletta selama ini. Namun ternyata salah, perhatian Aletta kepadanya tidak lebih hanya sebatas teman saja. Zico terlalu bodoh mengira Aletta juga mencintainya, tanpa memastikannya terlebih dahulu.

Sekarang bahkan ia tidak tahu apakah ia bisa berteman baik lagi seperti dulu, karena melihat wajah Aletta saja dapat membuat hatinya sakit.

Tepat di hadapan lampu merah, Zico menghentikan mobilnya di tepi jalan. Ia meraih kembali cincin yang ingin ia berikan pada Aletta tadi, kemudian membuangnya ke sembarang arah di dalam mobilnya. Ia benar-benar benci dengan semua yang berkaitan dengan Aletta, karena itu dapat memunculkan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Betapa percaya dirinya ia mengira semuanya akan berjalan sesuai keinginannya, seolah-olah itu hal yang pasti. Ia menyesal telah memikirkan hal-hal indah yang bahkan tidak akan pernah terjadi.

Brukk!

Di tengah kemarahannya, Zico merasakan sesuatu menabrak mobilnya. Ia melihat lampu merah yang tadi kini sudah berganti menjadi hijau, dan kendaraan lain pun sudah berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal Zico yakin mereka semua tahu apa yang terjadi, hal itu lantas membuat Zico yang sudah dalam mood yang buruk semakin buruk. "Argghh!" teriak Zico kesal. Masalah apa lagi sekarang? ia bahkan belum selesai menenangkan diri, sudah muncul lagi masalah baru. Kenapa semua harus muncul di waktu yang bersamaan?

***

Bab 2-Masalah

Masalah demi masalah datang silih berganti, seolah ingin membombardirnya. Hingga rasanya ia lelah dengan hari yang begitu sial menurutnya. Dengan langkah gusar, Zico melangkah keluar menghampiri orang yang menabraknya. Ia memperhatikan sejenak apa yang terjadi pada bagian belakang mobilnya. Benar saja, mobilnya lecet parah dan ia yakin biaya perbaikannya akan sangat mahal melihat kerusakan mobilnya cukup parah.

Zico mengalihkan pandangannya pada seseorang yang masih terdiam sembari meringis, karena terjatuh dari motor yang ditumpanginya. "Woi, lu punya mata gak, sih?! Mobil gue diem aja lo tabrak!" sentak Zico kesal.

Seseorang itu tampak panik, bahkan rasanya luka yang ada di kakinya pun tidak terasa, karena memikirkan biaya ganti rugi yang ia yakin akan sangat mahal. Ia memberanikan diri mendongak, untuk melihat orang yang memarahinya. Matanya terpaku beberapa saat menatap laki-laki di hadapannya. "Lho, Zicooo! Kamu Zico yang artis itu, kan? Yang lagi shooting film terbaru 'Putus atau Terus'. Aku nungguin banget filmnya tayang," ucap perempuan bernama Sally Zevanya itu dengan girang, seolah lupa apa yang ingin dikatakannya tadi.

Sementara Zico mengusap wajahnya frustasi, entah makhluk aneh darimana yang ada di hadapannya ini. Di sisi lain ia bersyukur karena tidak ada yang menyadari keberadaannya, karena kalo itu terjadi bisa-bisa wajahnya masuk televisi dengan kasus tabrakan yang akan membuatnya malu. Untungnya pula mobilnya berada di tepi jalan, sehingga tidak menghalangi jalan orang lain.

Zico kembali memandang orang di hadapannya dengan wajah yang semakin kesal, habis sudah kesabarannya. Matanya memandang geram orang aneh di hadapannya, lalu berucap, "Lo sadar gak, sih! Lo nabrak mobil gue! Gue gak butuh modelan fans aneh kayak lo, tau gak! Gue cuma butuh tanggung jawab lo!"

Sally meringis mendengar ucapan Zico, tapi ia sadar jika ini memang salahnya. Ia tidak berhak balik marah pada Zico, terlepas betapa menyebalkannya ucapan laki-laki itu. "Iya, aku sadar aku salah. Maaf banget, aku gak sengaja nabrak mobil kamu."

Zico menatap sinis orang di hadapannya. "Maaf? Kalo gue gak sengaja ngancurin rumah lo, apa bakal selesai kalo gue minta maaf doang?!" sindir Zico masih dengan tatapan tajamnya.

Lagi-lagi Sally dibuat meringis mendengarnya. "Ya, enggak! Aku bakal tanggung jawab, kok. Tapi boleh dicicil, gak? Kira-kira selama ...." Sally menghentikan perkataannya sejenak, seolah tengah menaksir berapa besar biaya perbaikan mobil Ferrari di depannya ini. "5 tahun," lanjutnya setelah mengetahui perkiraan pelunasan biaya perbaikan mobil Zico.

Zico terperanga mendengarnya, apa perempuan di hadapannya ini selain aneh juga gila? Yang benar saja ia harus menunggu selama lima tahun untuk memperbaiki mobilnya. "Gila ya, lo! Gue gak punya waktu buat nunggu lima tahun, kelamaan!" sentak Zico yang sudah benar-benar frustasi sekarang. Sebenarnya ia mampu untuk memperbaiki mobilnya sendiri, namun tetap saja ia tidak mau orang di hadapannya itu lepas tanggung jawab.

"Ya mau gimana lagi, Gajiku gak sebanyak itu. Aku juga punya kebutuhan lain, jadi gak bisa cepet buat lunasin biaya perbaikan mobil kamu." Sally sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, ia benar-benar menyesal karena kecerobohannya membuatnya jadi terjebak masalah seperti ini. Apalagi bukan dengan orang biasa, tetapi dengan Zico yang merupakan artis terkenal. Salah sedikit saja, ia bisa masuk berita di televisi.

Di sisi lain Zico sudah benar-benar muak dengan hari ini. Sudah ditolak Aletta, mobil kesayangannya lecet parah, bertemu dengan orang aneh pula. Apa tidak bisa jika satu-satu, kenapa harus bersamaan.

Baru saja Zico ingin membalas ucapan Sally, tetapi urung saat ia mendengar ponselnya berbunyi. Entah apalagi sekarang, ia dapat menebak jika itu dari Arya yang ingin mengingatkannya mengenai jadwalnya. Huh, ia sudah benar-benar lelah sekarang. Dengan cepat ia mengambil ponsel yang ada di sakunya, tetapi saat melihat nama orang yang tertera di ponselnya itu ternyata salah bukan Arya. Orang itu adalah ... Aletta. Zico lantas bergeming, dengan rasa sakit yang seolah kembali muncul.

Tidak mau membuat rasa sakitnya semakin dalam, ia langsung menekan tombol merah di ponselnya untuk memutuskan sambungan telepon. Ia kembali menatap perempuan di hadapannya. "Gue tau gimana cara lo tanggung jawab, tanpa harus nunggu lima tahun."

Sally sontak berbinar mendengar ucapan Zico. Apa Zico berniat meringankan tanggungannya, kalau iya sungguh laki-laki itu baik sekali mau membantunya. "Apa?" tanyanya pada Zico.

Zico mengembuskan napas panjang terlebih dahulu, ia tidak tahu keputusannya ini tepat atau tidak. "Nikah kontrak sama gue," balasnya dengan wajah tanpa ekspresi.

"Apa?!" Mata Sally membulat sempurna mendengar jawaban Zico yang menurutnya sangat tidak masuk akal.

"Cuma lima bulan, lo gak perlu mikirin soal biaya, justru gue yang bakal bayarin semua kebutuhan lo selama itu. Gampang, kan?" Zico berucap santai, seolah-olah perkataannya bukanlah sesuatu yang besar.

Sally terperanga tidak percaya, mudah sekali Zico membawa-bawa pernikahan untuk masalah ini. Tentu saja ia tidak mau, baginya pernikahan bukanlah sebuah kontrak yang bisa ditentukan seberapa lamanya sesuka hati. Terlebih ia memimpikan pernikahan indah bersama orang yang ia cintai, bukan karena paksaan seperti ini. "Enggak, aku gak mau! Kamu pikir nikah itu mainan, hah! Aku bakal tanggung jawab, tapi bukan dengan cara ini."

Zico melipat kedua tangannya, ia masih dapat mengontrol ekspresi santainya. "Terus mau lo? Gaji lo aja gak cukup, mau ganti rugi pake apa? Atau lo mau jual rumah lo buat ganti rugi? Ya kalo lo maunya gitu sih gapapa gue terima."

Sally semakin kesal dibuatnya. Ia tahu ia hanya orang biasa, tetapi bukan berarti ia bisa diatur-atur oleh orang besar seperti Zico. "Kamu itu sombong banget, ya. Mentang-mentang kamu orang berada, kamu bisa memperlakukan orang seenaknya. Aku nyesel, tau gak! Nyesel karena pernah mengagumi orang yang gak punya hati kayak kamu," ketus Sally kesal.

"Ya terus lo mau gimana? Disuruh ganti rugi gaji lo gak cukup, gue kasih pilihan buat lo ganti rugi tanpa harus bayar juga gak mau. Gue gak mau ya lo lepas tanggung jawab," ujar Zico tidak terima, ia yang sudah berusaha untuk tenang lagi-lagi dibuat kesal dengan ucapan Sally.

Sally terdiam, mata melihat ke sembarang arah untuk menghindari tatapan tajam Zico. Jujur saja ia juga tidak tahu bagaimana cara mengganti biaya perbaikan mobil Zico, tetapi ia juga tidak mau jika harus menikah dengan orang tidak punya hati seperti Zico.

"Siniin hp, lo! Gue gak mau lo kabur dari tanggung jawab, jadi siniin nomer lo." Zico menengadahkan tangannya di hadapan Sally.

Sally yang tidak punya pilihan, terpaksa menyerahkan ponselnya. Ia tidak tahu, tapi ia rasa ke depannya hidupnya tidak akan tenang lagi seperti sebelumnya.

Zico memasukkan nomer Sally ke ponselnya, lalu mengembalikannya kembali pada Sally. "Gue kasih lo waktu sampe besok buat mikirin ini, kita ketemu buat bahas ini lagi nanti. Inget ya, lo jangan coba-coba buat lari dari tanggung jawab!" ancam Zico sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Sally dan masuk ke dalam mobilnya. Tidak berselang lama, mobil Ferrari putih itu melaju menjauhi Sally yang masih bergeming dengan perasaan campur aduk.

Sally tidak menyangka jika hari ini ia akan terbawa-bawa masalah yang melibatkan Zico. Ia tidak tahu akan seperti apa selanjutnya, yang ia tahu hidupnya tidak akan sama lagi. Entah bagaimana ia melanjutkan hidupnya dengan masalah besar yang menghujaninya ini, tetapi Sally harap ia mampu untuk setidaknya melewati hari-hari berat yang akan datang setelah ini.

***

Bab 3-Fakta baru

Malam seharusnya menjadi waktu yang paling menenangkan. Karena hanya di waktu malam, Sally dapat mengistirahatkan sejenak pikirannya dari segala naskah cerita yang ia buat. Kini, seolah semuanya berubah sejak kejadian sore tadi.

Sally menatap pelataran rumahnya dengan tatapan kosong. Ia bingung keputusan apa yang harus diambilnya. Apakah ia harus menerima tawaran dari Zico atau tidak. Sedangkan ia tidak memiliki pilihan lain, tidak mungkin ia menggadaikan rumah peninggalan orang tuanya untuk membayar biaya perbaikan mobil Zico.

Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan dari orang tuanya sebelum peristiwa itu terjadi. Sebelum ia dan keluarganya mengalami kecelakaan hebat yang membuatnya kehilangan kedua orang tuanya, sekaligus kembarannya sepuluh tahun lalu.

Hanya rumah ini yang dapat mengobati kerinduannya pada orang tua dan kembarannya--Salma Zevanya. Suasananya yang masih ia ingat jelas, bagaimana ramai dan hangatnya rumah ini saat keluarganya masih utuh. Sally tidak mungkin menggadaikan harta yang paling berharganya ini pada orang lain, ia tidak ingin kehilangan suasana rumah ini.

Lalu apa yang bisa dilakukannya untuk dapat membayar Zico, ia benar-benar tidak punya ide lain. Tangannya bergerak mengambil sebuah pigura yang ada di atas nakas kamarnya. Di foto itu memperlihatkan dua orang anak kecil yang tersenyum sembari saling merangkul bersama dua orang dewasa yang juga tersenyum lembut ke arah kamera.

Tes!

Setetes air bening lolos dari pelupuk matanya, mengingat kenangan yang masih belum bisa ia lupakan sampai saat ini. Andai saja peristiwa itu tidak terjadi, mungkin kehidupan Sally tidak akan sesepi ini. Ia kembali menaruh pigura itu di atas nakas sembari menghapus air matanya.

"Enggak, aku gak boleh nyerah. Pasti ada jalan buat ngelaluin semua ini, semangat!" seru Sally pada dirinya untuk menyemangatinya. Ia tidak mau larut dalam kesedihan yang dapat membuatnya down.

Sally beranjak dari kamarnya dan melangkah menuju ruang tamu, ia berniat menonton televisi untuk setidaknya melupakan pikiran-pikiran yang menganggunya. Ia mengambil kopi yang baru dibelinya tadi di kulkas, sebelum akhirnya duduk di sofa panjang seraya menyalakan televisi di hadapannya.

"Ya balik lagi di 'Talkshow Bang Boy', talkshow para artis! hari ini kita kedatangan bintang tamu idaman para kaum wanita lho, Kira-kira siapa ya? Ada yang bisa nebak?" Sang presenter itu menyampaikan perkataannya dengan penuh semangat.

Sally sangat menyukai acara ini, karena menurutnya acara ini lebih berbobot, tidak pernah membahas gosip-gosip para artis seperti program-program lain di televisi.

Ia menonton dengan sangat antusias, penasaran siapa kali ini bintang tamu yang diundang. Sally asik menonton sembari meneguk kopinya tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi di hadapannya.

"Artis kali ini pasti udah kalian tunggu-tunggu, jadi langsung aja kita sambut ... Zico Wiratama!" seru Sang presenter dengan antusias.

Mendengar nama seseorang yang tidak asing itu, lantas Sally yang tengah meneguk kopinya itu tersedak. Matanya reflek menatap tajam pada laki-laki tampan yang ada di layar televisi.

"Wah, akhirnya Zico bisa kesini juga ya. Udah lama banget kita ngundang Zico, tapi jadwalnya gak pernah bisa nih. Gimana kabarnya, Zico?" tanya Boy--sang presenter seraya mengulurkan tangannya untuk menyalami Zico.

Zico tersenyum sembari menyalami tangan Boy. "Alhamdulillah baik, Bang. Aku seneng banget sih akhirnya ada kesempatan buat dateng ke talkshow Bang Boy. Makasih banget udah ngundang aku ke sini."

Sally memandang sinis mendengar perkataan Zico yang terlihat ramah itu. "Heleh, sok ramah banget dia," ucapnya kesal.

"Gimana kesibukan kamu, denger-denger mau ada film baru lagi ya. Coba ceritain dong tentang apa ceritanya?" tanya Boy.

"Iya, kebetulan aku lagi shooting film 'Putus atau Terus'. Buat ceritanya sendiri aku spoiler dikit deh, selebihnya nanti kalian tonton di bioskop ya kalo udah tayang. Jadi cerita ini tentang orang yang dilema buat milih mutusin atau lanjut sama pasangannya, karena berbagai masalah yang ada. Intinya gitu deh, aku belum bisa spoiler lebih banyak." Zico tertawa di ujung kalimatnya.

Sally yang sudah kesal dengan gaya bicara Zico yang tampak halus ketika di televisi, langsung mengganti ke acara lain.

Bukannya lega, ia justru semakin kesal karena lagi-lagi wajah Zico yang muncul di iklan. "Muncul mulu sih perasaan, mentang-mentang terkenal tv isinya jadi dia mulu," dumel Sally kesal, ia kembali mengganti acara televisi lain.

"Mau keliatan keren, pas ngedate? Pake 'Zar Parfum', aromanya yang maskulin, buat pacar kamu betah lama-lama sama kamu." Zico tersenyum manis sembari menunjukkan parfum yang ada di tangannya.

Lagi-lagi wajah Zico yang muncul. Jika dulu ia akan senang melihat Zico di televisi, saat ini ia justru kesal melihat wajah tampannya itu. Tunggu, apa tadi ia mengucapkan tampan? ralat wajah menyebalkan maksudnya.

Lelah karena wajah Zico yang selalu muncul, Sally memilih mematikan televisi dan beranjak untuk ke kamarnya. Ia lebih baik tidur, sepertinya memang pikirannya perlu diistirahatkan dari segala yang berhubungan dengan Zico.

Sally merebahkan tubuhnya di kasur miliknya, tangannya bergerak mematikan lampu yang ada di nakas. Ia menaikkan selimutnya dan mulai memejamkan matanya. Ia berharap hari esok akan menjadi lebih baik dibanding hari ini.

***

Pagi ini Zico akan melakukan pemotretan majalah, lalu sorenya ia akan melakukan take bagian terakhir dalam filmnya. Cukup padat jadwalnya, tetapi Zico masih menyempatkan waktu untuk datang ke butik milik Aletta.

Semenjak peristiwa kemarin, Zico merasa jika sikapnya keterlaluan pada Aletta. Kemarin ia terbawa emosi, karena hal yang diharapkannya terjadi justru dihempaskan oleh kenyataan yang ada.

Zico menghentikan mobilnya tepat di depan butik dengan dominan warna putih tersebut. Tulisan 'Aletta Boutique' menyambut pandangannya, ia tersenyum tipis melihatnya. Sejak SMA Aletta memang sangat berbakat desain pakaian, kini mimpi Aletta dapat terwujud karena kegigihan perempuan itu.

Zico turun dari mobilnya dan melangkah memasuki butik milik Aletta. Baru saja ia ingin masuk, ia melihat Aletta yang tengah berpelukan dengan sahabatnya--Devian. Sontak tangannya mengepal kencang.

"Dev, kamu pulang ke Indonesia kenapa gak ngomong, sih! Tau gitu kan aku bisa jemput kamu di bandara," ucap Aletta kesal sembari menepuk pelan bahu Devian.

Laki-laki bertubuh jangkung dengan lesung pipit di pipinya itu terkekeh. "Ya karena itu aku gak bilang, aku gak mau ngerepotin kamu sama Zico. Lagian aku sengaja mau ngasih surprise," balas Devian sembari melepaskan pelukannya. Ia mengusap lembut puncak kepala Aletta yang masih memasang wajah kesal. "Udah, dong. Jangan ngambek lagi, aku bawa oleh-oleh buat kamu," bujuk Devian.

Aletta yang mendengarnya tersenyum riang, ia menarik tangan Devian untuk membawanya ke ruangannya di atas. Ia ingin berbincang banyak dengan Devian yang sudah lama tidak bertemu. "Yaudah, ayok! aku mau denger banyak cerita kamu selama di Amerika."

Zico yang melihat kedua sahabatnya tampak mesra itu hanya bergeming. Ia dapat mendengar jelas pembicaraan keduanya, dan ia dapat melihat tatapan rindu dan ... cinta di mata Aletta. Ia baru menyadari jika perhatian Aletta padanya dan pada Devian berbeda. Pantas saja Aletta menolaknya, pasti itu karena Devian.

Zico merasa sangat bodoh, kenapa ia tidak menyadari jika Aletta mencintai Devian selama ini. Kalau ia tahu lebih awal, pasti perasannya ini tidak akan terlanjur dalam pada Aletta. Dari dulu memang tipe Aletta seperti Devian, yang seorang businessman, tenang, karismatik, bisa mengatur dengan sistematis hidupnya. Bukan sepertinya yang hidupnya berantakan.

Tidak mau berlama-lama di sini, Zico beranjak menuju mobilnya. Ia menekan tombol bertuliskan kontak dan mencari nama 'si ceroboh'. Saat menemukannya ia langsung mendial nomer tersebut, tidak berselang lama sambungannya tersambung.

"Halo, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, nanti malem gue tunggu di Camelie Cafe. Jam setengah delapan, jangan telat!" Zico langsung menutup teleponnya. Setelahnya ia menghidupkan mobilnya dan melajukannya menjauhi butik milik Aletta.

Ia menuju ke lokasi pemotretan untuk menjalani aktivitasnya, mau bagaimanapun perasaannya Zico selalu berusaha profesional dengan pekerjaannya. Walaupun saat ini rasa marah dan rasa sakit masih bersinggah di hatinya. Terkadang pekerjaan mampu membuatnya lupa dengan perasaannya sejenak. Ya, walaupun hanya untuk sejenak.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!