NovelToon NovelToon

JAYABAYA : Perjalanan Menjadi Sang Legenda

Penculikan Sang Putra Mahkota

Jllleeeggggeeeeeeerrrrr!!!!

Jllleeeggggeeeeeeerrrrr!!!!!

Suara keras guntur menggelegar di langit membuat suasana seisi Kotaraja Daha begitu mencekam. Udara dingin bulan terakhir di penghujung tahun ini sangat menusuk tulang. Gelapnya malam bercampur dengan hujan deras yang mengguyur wilayah Kotaraja Daha semakin membuat semua orang enggan beringsut dari tempat tinggal mereka. Kotaraja Daha menjadi seperti kota mati.

Di tengah suasana hujan deras itu, dua orang sosok bayangan hitam berkelebat cepat kearah istana megah yang menjadi tempat tinggal Prabu Bameswara dan anggota keluarga nya. Sosok dua bayangan hitam ini seolah tak bisa ditembus oleh hujan deras yang terus menerus turun seolah-olah sedang tumpah dari langit.

Begitu sampai di atas tembok istana, dua sosok bayangan hitam ini berhenti. Mata keduanya segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling istana negara ini. Setelah melihat pucuk bangunan utama dari Istana Daha, keduanya segera melesat cepat kearah tempat itu seolah terbang meskipun tanpa sayap. Mereka memang bukan manusia.

Di salah satu sudut bangunan besar yang merupakan tempat peristirahatan permaisuri raja, nampak Dyah Kirana sedang asyik menidurkan sang buah hatinya yang baru berusia 7 purnama. Bayi laki-laki yang dinamakan dengan nama Mapanji Jayabhaya ini nampak tidak tenang. Sejak tadi sore, bocah ini terus rewel. Berulang kali dia menangis meski sang ibunda telah menyusui nya seolah ingin mengatakan sesuatu.

Ooooeeekkkkk oeeeekkkkk!!

Tangis bayi Mapanji Jayabhaya kembali terdengar. Dyah Kirana segera menggendong putra laki-laki satu-satunya Prabu Bameswara ini untuk menenangkan nya.

"Cuppppppp cuppppppp...

Diam to Le.. Ibu mu ada disini loh, jangan rewel lagi ya..", bujuk Dyah Kirana sambil memasukkan ****** *********** ke mulut bayi Mapanji Jayabhaya dengan harapan dapat meredam kerewelan sang buah hati.

Dayang istana, Sundari dan Padmini yang ada di tempat itu turut bingung dengan sikap sang pangeran kecil yang begitu rewel tak seperti biasanya.

"Kog Ndoro Gusti Pangeran Jayabhaya rewel terus ya Yu? Tidak seperti biasanya, anteng dan enak momongannya", ujar Sundari pada Padmini yang lebih tua darinya. Keduanya adalah dayang istana yang bertugas melayani segala kebutuhan Dyah Kirana selaku permaisuri raja.

Prabu Bameswara mengangkat Dyah Kirana sebagai permaisuri utama setelah hanya dia yang melahirkan bayi laki-laki hingga saat ini. Memang selain Dyah Kirana, istri Prabu Bameswara alias Panji Tejo Laksono yang lain seperti Ayu Ratna, Luh Jingga, Gayatri dan Dewi Rara Kinanti semuanya melahirkan bayi perempuan. Hanya Song Zhao Meng alias Dewi Wulandari saja yang sampai saat ini masih belum melahirkan keturunan untuk sang Maharaja Panjalu.

"Mana ku tahu, Ri??

Wong biasanya kamu yang sering menggendong Ndoro Pangeran Mapanji Jayabhaya. Aku kan cuma sesekali saja to momong dia", balas Padmini setengah berbisik karena takut akan menjadi pengganggu istirahat majikan mereka.

Jllleeeggggeeeeeeerrrrr!!!

Suara keras guntur kembali terdengar. Padmini dan Sundari sampai menutup telinga mereka saking takutnya. Kilat yang menyambar begitu terang seperti hendak menerangi seluruh jagat raya terlihat mendahului bunyi keras sang guntur.

Ooooeeekkkkk oeeeekkkkk!!!

Bayi Mapanji Jayabhaya kembali menangis keras bersamaan dengan kilat yang kembali terlihat. Dari arah luar jendela, terlihat dua pasang mata merah menyala mengintip ke dalam kamar tidur Dyah Kirana. Sosok dua makhluk menyeramkan itu segera menerjang masuk ke dalam kamar.

Brruuaaaakkkkkkkh!!!

Dyah Kirana yang sedang menyusui bayi Mapanji Jayabhaya seketika melompat menjauh dari datangnya dua bayangan hitam ini.

"Setan alas!!!

Dua makhluk halus seperti kalian berani masuk ke dalam Istana Kotaraja Daha. Apa ingin dimusnahkan ha?", hardik Dyah Kirana segera.

"Ehehehehehehe...

Kami hanya suruhan. Apapun yang diperintahkan oleh junjungan kami adalah kewajiban yang harus dilakukan. Dyah Kirana, serahkan bayi itu pada ku sekarang! Jika tidak, aku tidak akan segan untuk membuat mu hidup segan mati tak mau", ucap salah seorang diantara mereka berdua.

Ya, keduanya adalah dua orang utusan dari Ratu Laut Selatan, Dewi Angin-angin yang bernama Wingit dan Kundala. Kelahiran Mapanji Jayabhaya yang sempat menggegerkan dunia siluman tempo hari membuat Dewi Angin-angin Sang Ratu Siluman Laut Selatan ingin mengangkat nya sebagai putra angkat. Dewi Angin-angin tahu, bahwa keinginan itu harus di dapatkan dengan jalan kekerasan karena tidak mungkin Prabu Bameswara akan menyerahkan putra laki-laki satu-satunya untuk dijadikan sebagai putra angkat nya.

"Setan bodoh!

Kau benar benar sudah bosan hidup rupanya", setelah berkata demikian, sambil menggendong bayi Mapanji Jayabhaya, Dyah Kirana menerjang maju ke arah Wingit dan Kundala. Putri angkat Resi Ranukumbolo dari Pertapaan Gunung Mahameru ini sudah melapisi tubuhnya dengan mantra penghancur siluman.

Whhhuuuggghhhh..

Dhhaaaassshhh dhhaaaassshhh!!

Dua serangan beruntun Dyah Kirana membuat dua makhluk halus dari Laut Selatan ini terdorong mundur. Pertarungan sengit antara mereka pun segera terjadi. Adu kepandaian ilmu beladiri, adu kekuatan dan kelincahan menghancurkan seisi ruangan ini.

Plllaaaakkkkk plllaaaakkkkk!!

Dhhaaaassshhh!!!

Wingit yang lebih unggul dalam ilmu kanuragan menoleh ke arah Kundala untuk membuat serangan bersama-sama agar memecah konsentrasi Dyah Kirana.

Dua utusan Ratu Laut Selatan ini pun melesat cepat kearah Dyah Kirana. Di tengah pergerakan, Wingit merubah gerakan tubuhnya dan langsung menyerang sisi bawah sedangkan Kundala mengincar bagian tubuh atas Dyah Kirana.

Mendapati dirinya sedang diincar dari dua arah berbeda, Dyah Kirana mundur beberapa langkah sebelum bergerak cepat menghindari dua serangan makhluk halus Laut Selatan ini. Namun begitu ia mendarat, Wingit sudah muncul di dekatnya sambil menghantam perut sang Ratu Panjalu.

Dhhaaaassshhh..

Aaauuuuggggghhhhh!!!

Dyah Kirana tersurut mundur beberapa langkah ke belakang dan bayi Mapanji Jayabhaya terlepas dari gendongan nya. Kundala langsung menyambar bayi yang masih berselimut kain biru ini. Setelah mendapatkan nya, Kundala langsung bergerak ke samping Wingit.

Tepat di saat itu, Panji Tejo Laksono datang ke kamar Dyah Kirana. Padmini yang tidak pingsan saat kedua makhluk halus itu menerjang masuk ke dalam kamar tidur Dyah Kirana, langsung berlari keluar dari tempat itu dan memberitahu Panji Tejo Laksono yang sedang menerima pisowanan Tumenggung Ludaka dan Demung Gumbreg.

"Kurang ajar kalian berdua!!

Kembalikan putra ku sekarang! Jika tidak, akan ku hancurkan kalian berdua menjadi abu!!", ucap Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara dengan penuh amarah. Dada sang raja mengeluarkan cahaya kuning keemasan dan Keris Nagasasra muncul di sana. Prabu Bameswara segera menggenggam erat gagang pusaka yang sanggup membunuh makhluk halus ini.

Wingit dan Kundala saling berpandangan sejenak karena gentar dengan keampuhan Keris Nagasasra. Segera Wingit membuat keputusan sendiri dengan mengedipkan sebelah matanya ke arah Kundala. Mata Kundala langsung melebar karena tahu apa yang akan di lakukan oleh saudaranya itu.

Dengan cepat, Wingit bersedekap tangan di depan dada. Tubuhnya seketika mengembang. Semakin lama semakin besar. Kundala langsung mundur selangkah demi selangkah ke belakang.

"Hidup Gusti Ratu Laut Selatan!!!!", ucap Wingit lantang.

Dan...

Blllaaammmmmmmm!!!!

Ledakan dahsyat terdengar saat tubuh Wingit meledak. Prabu Bameswara segera mengeluarkan Ajian Tameng Waja untuk melindungi Dyah Kirana dari ledakan dahsyat ini. Seluruh kamar tidur Dyah Kirana dan separuh bangunan hancur porak poranda akibat ledakan ini. Saat Prabu Bameswara melihat ke belakang bekas ledakan dahsyat itu, Kundala telah menghilang bersama dengan bayi Mapanji Jayabhaya.

"Kangmas Prabu, Jayabhaya...", setelah berkata demikian, Dyah Kirana langsung pingsan seketika. Prabu Bameswara alias Panji Tejo Laksono langsung menoleh ke arah Padmini dan Sundari yang bersembunyi dibalik bangunan tak jauh dari tempat pertarungan.

"Kalian berdua, urus Gusti Ratu mu.. Aku akan mengejar penculik itu!!".

Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara pun segera menyerahkan Dyah Kirana yang pingsan pada Padmini dan Sundari. Menggunakan Ajian Halimun nya dia mengejar Kundala yang telah kabur membawa bayi Mapanji Jayabhaya ke arah selatan.

Dalam pelarian nya membawa bayi Mapanji Jayabhaya, Kundala yang merupakan siluman terbang dengan cepat kearah barat daya karena tahu bahwa Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara tidak akan membiarkannya begitu saja.

Saat hendak melintas di kaki Gunung Wilis sebelah selatan, tiba-tiba...

Shhiuuuuttthh!!

Cahaya putih kebiruan meluncur cepat kearah Kundala. Siluman ini yang tak menduga bahwa akan ada serangan ini, langsung terkena hantaman cahaya putih kebiruan ini

Blllaaaaaarrr..

Hoooaaarrrrrrggggghhhhh!!!

Tubuh Kundala langsung terpelanting ke tanah. Masih dengan menggendong bayi Mapanji Jayabhaya yang tertidur pulas karena sirep yang telah dia gunakan, Kundala langsung bangkit sambil menatap ke arah datangnya serangan cepat yang telah menjatuhkannya.

Seorang lelaki tua berjanggut putih panjang dengan tubuh kurus dan pakaian layaknya seorang pertapa, terlihat sedang berdiri di atas pucuk pohon sambil menatap tajam ke arah bayi yang sedang di gendong Kundala. Cahaya bulan purnama yang cukup terang menerangi sekitar wilayah selatan Gunung Wilis karena daerah ini tidak hujan, membuat pandangan mata lelaki tua itu jelas melihat sosok bayi yang sedang tertidur pulas ini.

"Siluman, kenapa kau membawa-bawa bayi manusia itu ha?!!

Lekas serahkan kepada ku", kakek tua itu segera mengulurkan tangannya ke arah Kundala yang perlahan terbang ke langit sehingga sejajar dengan nya.

"Manusia bau tanah!!

Jangan ikut campur urusan ku. Pergi kau dari sini. Aku tidak punya waktu berurusan dengan mu. Minggir!!!", hardik keras Kundala segera.

"Aku tidak akan ikut campur urusan dunia siluman jika kau tidak membawa bayi itu.

Kau boleh pergi setelah menyerahkan bayi itu padaku karena bayi itu bukan dari kalangan bangsa siluman", ucap kakek tua ini dengan tenang.

"Keparat bau tanah!!

Rupanya kau ingin merebut bayi ini dari ku. Jangan harap aku akan menyerahkan nya walaupun nyawa ku menjadi taruhannya", ucap Kundala sembari memamerkan gigi taringnya yang perlahan memanjang.

"Siluman bodoh, kau cari mati!!"

Sekali hentak, tubuh kakek tua berjanggut panjang itu segera melesat ke arah Kundala dan pertarungan sengit di atas udara antara mereka langsung tak dapat dihindarkan lagi.

Whuuuggghh whuuuggghh..

Dhasshhh dhasshhh dhasshhh!!

Oouuugghhhhhh!!!

Kundala langsung melengguh tertahan kala tendangan keras kaki kanan kakek tua itu telak menghantam perutnya. Tubuh siluman asal Laut Selatan ini langsung meluncur jatuh ke tanah dan menghantam bumi dengan keras. Namun Kundala belum juga mau menyerah. Siluman berwujud manusia setengah anjing laut ini hendak bergerak maju ke arah kakek tua itu namun tubuh nya tak bisa digerakkan. Dia langsung menatap tajam ke arah kakek tua yang sedang komat kamit membaca mantra. Tasbih biji genitri berwarna kecoklatan di tangan kanannya terus berputar satu persatu.

Selusin rantai yang tercipta dari untaian huruf Jawa Kuno mengikat tubuh Kundala dari berbagai penjuru. Sekuat tenaga Kundala meronta, dia tidak juga bisa melepaskan diri dari ikatan rantai ghaib ini. Malahan rantai ghaib ini semakin erat mengikat tubuhnya.

Hhoooaaaaaaaarrrrrgggghhhhh!!!

"Aku sudah baik-baik meminta mu agar menyerahkan bayi manusia itu kepada ku tapi sayang kau keras kepala. Jadi terpaksa aku harus melakukannya", ucap sang kakek tua berjanggut panjang ini sembari melayang turun ke hadapan Kundala.

"Bajingan tua bangka!!

Lepaskan aku! Ratu Laut Selatan pasti tidak akan memaafkan perbuatan mu jika kau berani membunuh ku hoooaaarrrrrrggggghhhhh!!!!", teriak Kundala sembari terus menerus meronta.

"Rupanya kau anak buah Dewi Angin-angin. Huhhhhh, bahkan ratu gusti mu itu akan berlari ketakutan jika berjumpa dengan ku. Aku ampuni nyawa mu tapi sebagai gantinya,

aku mengambil bayi manusia ini", tangan kakek tua itu segera bergerak mengambil bayi Mapanji Jayabhaya yang masih dalam gendongan tangan kiri Kundala. Hebatnya, tangan kakek tua itu mampu menembus tubuh siluman Kundala dan mengambil bayi Mapanji Jayabhaya tanpa kesulitan sama sekali.

Begitu dalam gendongan kakek tua itu, bayi Mapanji Jayabhaya menguap lebar dan terbangun dari tidurnya.

"Bocah yang tampan.. Aku akan membawa mu pulang ke tempat tinggal ku hehehehe..", ucap kakek tua berpakaian pertapa ini sambil terbang ke arah Utara. Meninggalkan Kundala yang masih terikat rantai mantra ghaib yang diciptakan nya.

Setelah cukup lama Kundala terikat pada rantai mantra ghaib ini, menjelang pagi tiba, perlahan rantai ini menghilang dengan sendirinya.

Kundala yang bebas dari belenggu rantai mantra ghaib ini segera bergegas terbang menuju ke arah selatan.

"Aku harus melaporkan hal ini pada Gusti Ratu Laut Selatan!"

Pertapaan Watu Bolong

Prabu Bameswara alias Panji Tejo Laksono terus bergerak cepat menuju ke arah pantai selatan Jawa. Dalam waktu sekejap mata, sang raja Panjalu itu segera tiba di pesisir pantai yang berpasir putih.

Di tepi pantai, Sang Maharaja Panjalu itu segera duduk bersila. Dia langsung merapal mantra Ajian Ngrogoh Sukmo yang didapat dari ayahnya, Mendiang Prabu Jayengrana, sesaat sebelum sang raja sepuh menghembuskan nafas terakhirnya.

Perlahan, sukma Prabu Bameswara segera meninggalkan badan kasar nya dan bergerak menuju ke arah tengah Laut Selatan. Dalam waktu beberapa kejap mata saja, sang penguasa Kerajaan Panjalu ini telah sampai di Istana Laut Selatan, dimana Dewi Angin-angin bertahta sebagai Ratu.

Kedatangan Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara segera mendapat sambutan berupa kepungan para prajurit siluman Istana Laut Selatan. Mereka semua segera menghunus senjata mereka masing-masing dan mengacungkan nya sebagai ancaman bagi sang raja.

"Tahan semuanya!!!!"

Dari arah dalam Istana Laut Selatan, seorang wanita cantik berbaju hijau tua dengan rambut panjang hitam legam serta memakai mahkota layaknya seorang ratu keluar dengan iringan para prajurit siluman. Sekilas jika dilihat dari penampilannya, wanita cantik itu berusia sekitar 2 dasawarsa lebih sedikit. Wajahnya yang bulat telur, bibir mungil merah merona, hidung mancung dan alis mata yang tebal membuat perempuan cantik itu ibarat seorang dewi diantara para prajurit siluman yang memiliki tampang aneh. Ada yang nampak seperti seorang tua namun sesungguhnya itu adalah wajah yang penuh dengan tentakel gurita, ada yang matanya menonjol keluar layaknya seekor kepiting, ada pula yang mulutnya terlihat kecil namun ketika terbuka maka gigi gigi tajam layaknya gigi ikan hiu. Semuanya terlihat patuh pada perempuan cantik yang memegang sebuah tongkat emas bertahtakan batu berlian hijau yang saja datang itu.

"Mundur kalian, jangan ganggu tamu kehormatan ku!", perintah si perempuan cantik berbaju hijau tua itu. Para prajurit siluman Istana Laut Selatan yang mengepung Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara langsung mundur selangkah demi selangkah ke belakang walaupun tetap mengacungkan senjata mereka masing-masing ke arah Raja Panjalu ini.

"Selamat datang di Istana Laut Selatan, Prabu Bameswara..

Maaf jika penyambutan ku tak mengenakkan bagi mu wahai Raja Panjalu yang perkasa", ucap perempuan cantik itu sambil tersenyum manis.

"Aku tidak butuh basa-basi mu, Ratu Laut Selatan.

Sekarang katakan pada ku, dimana kau sembunyikan putra ku Mapanji Jayabhaya?", balas Prabu Bameswara segera.

"Ckckckckckk..

Jangan terburu-buru menuduh, Prabu Bameswara. Kalau aku yang menculik anak mu, aku sudah pasti akan menunjukkan nya kepada mu sekarang. Meskipun dunia siluman dianggap sebagai tempat kejahatan, namun disini kami semua memegang kejujuran diatas segalanya", balas perempuan cantik yang di sebut sebagai Ratu Laut Selatan oleh Prabu Bameswara ini.

"Jangan coba-coba untuk berkelit, Dewi Angin-angin. Jelas-jelas siluman yang menyatroni tempat tinggal ku mengaku sebagai utusan mu. Kau tidak bisa mengelak untuk tuduhan ini", balas Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara segera.

"Maksud mu, siluman yang kau katakan menculik anak mu adalah bawahan ku?

Kundala, kemari kau sekarang!!!", titah Dewi Angin-angin sang Ratu Laut Selatan. Seorang siluman bertubuh kekar dengan bentuk setengah manusia setengah anjing laut yang memiliki kumis jarang dan taring besar yang menonjol keluar hingga janggut melangkah maju ke samping Dewi Angin-angin. Siluman anjing laut yang tak lain adalah Kundala ini segera menghormat pada Ratu Laut Selatan ini. Setelah menghormat, dia bangkit dan berdiri di samping Ratu Laut Selatan.

"Siluman busuk ini yang membawa lari putra ku, Ratu Laut Selatan..

Heh, siluman anjing laut!! Kemana kau sembunyikan putra ku ha? Cepat katakan!!", hardik Panji Tejo Laksono langsung.

Kundala langsung menoleh ke arah Dewi Angin-angin. Melihat anggukan kepala dari Ratu Laut Selatan ini, Kundala kembali menatap Panji Tejo Laksono alias Prabu Bameswara.

"Aku memang membawa putra mu, Prabu Bameswara. Akan tetapi, sewaktu perjalanan pulang ke Laut Selatan, ada seorang lelaki tua berjanggut panjang mencegat ku dan merebut bayi mu dari tangan ku. Ilmu kanuragan nya sangat tinggi hingga aku tak berdaya hingga dikalahkan oleh nya. Dia membawa putra mu ke arah Utara", ujar Kundala, sang siluman anjing laut punggawa Istana Laut Selatan itu segera.

"Bohong!!

Itu semua hanya akal-akalan mu saja untuk menghindar dari tanggung jawab. Lekas kembalikan putra ku. Jika tidak, aku tidak akan segan-segan untuk mengobrak-abrik Istana Laut Selatan ini", ancam Prabu Bameswara segera.

Mendengar perkataan itu, Ratu Laut Selatan segera hentakkan tongkat emasnya ke lantai istana.

Bhhuuuuummmmmmhh!!!

Seketika laut bergolak dan lantai Istana Laut Selatan bergoyang seperti terkena gempa bumi. Semua penghuni Istana Laut Selatan langsung ketakutan setengah mati melihat kemarahan sang ratu. Panji Tejo Laksono pun harus mengerahkan segenap daya agar tidak terjatuh oleh getaran ini.

"Prabu Bameswara!!!

Jangan lupa ini adalah Istana Laut Selatan! Tak seorangpun bisa seenaknya sendiri disini! Apa kau pikir aku takut pada mu?!!

Kami siluman Laut Selatan memang selalu dipandang sebelah mata. Di cap sebagai setan dan makhluk jahat oleh semua orang. Tapi sekalipun demikian, tapi ada satu hal yang perlu kamu tahu. Ada aturan baku di tempat ini yang harus dipatuhi oleh semua siluman yang tinggal disini yaitu di larang berbohong. Aku berani memastikan bahwa Kundala tidak berbohong sedikitpun tentang masalah putra mu.

Aku memang mengutus Wingit dan Kundala untuk menculik anak mu karena ingin ku didik sebagai putra angkat ku. Ini karena putra mu adalah manusia istimewa. Aku tidak perhitungan dengan mu tentang kematian Wingit di tangan mu, tapi kau juga sebaiknya tahu diri di dalam Istana Laut Selatan ", Dewi Angin-angin menatap tajam ke arah Panji Tejo Laksono.

Hemmmmmmm..

"Baiklah aku terima apa yang kau ucapkan, Dewi Angin-angin..

Tapi kalau sampai di kemudian hari, aku mendapati bahwa siluman anjing laut itu berdusta dan Istana Laut Selatan melindunginya, maka aku tidak akan segan lagi untuk menyatakan perang dengan Istana Laut Selatan. Aku permisi..", setelah berkata demikian, sukma Prabu Bameswara segera melesat meninggalkan Istana Laut Selatan untuk kembali ke badan kasarnya.

"Gusti Ratu, kenapa kita begitu mudah melepaskan Prabu Bameswara? Hamba takut bila di kemudian hari ia melaksanakan ancamannya", ujar manusia setengah gurita yang bernama Sambu yang merupakan Patih Istana Laut Selatan segera setelah Panji Tejo Laksono pergi.

"Tak segampang itu, Patih Sambu..

Prabu Bameswara ini meskipun tidak memiliki ilmu kebatinan yang tinggi, namun dia masih titisan Dewa Kamajaya. Jika sampai kita berbuat apa-apa dengan nya, ini akan merusak tatanan alam semesta.

Lagipula dia masih memiliki Ajian Brajamusti yang sanggup melukai bangsa siluman bahkan bisa membunuhnya. Aku tidak mau hanya karena masalah ini, Panjalu akan membuat perkara dengan Istana Laut Selatan.

Kundala....", Ratu Laut Selatan segera menoleh ke arah siluman setengah anjing laut yang berdiri di samping nya.

"Daulat Gusti Ratu, ada perintah untuk hamba?", Kundala langsung menghormat pada Dewi Angin-angin sebelum berbicara.

"Masalah ini kau yang menyebabkan. Tanggung jawab mu untuk mencari keberadaan bayi Prabu Bameswara sampai ketemu. Jika kau tidak mampu merebut nya kembali, setidaknya kau tahu dimana bayi itu berada.

Berangkatlah sekarang juga!", perintah Ratu Laut Selatan segera.

"Baik Gusti Ratu", Kundala langsung menghormat sebelum melesat cepat meninggalkan Istana Laut Selatan.

*

Hilangnya putra sulung Prabu Bameswara segera membuat seluruh Kerajaan Panjalu gempar. Bagaimana tidak, putra satu-satunya yang di harapkan kelak akan menjadi penerus tahta Kerajaan Panjalu justru hilang di culik orang.

Ini menjadi bahan omongan oleh semua orang di seluruh wilayah Kerajaan Panjalu. Kabar yang beredar luas lewat mulut para pedagang yang berkeliling di wilayah Kerajaan Panjalu, selalu menjadi topik hangat yang di perbincangkan oleh semua orang. Ada yang menyayangkan kenapa hal itu bisa terjadi, ada pula yang malah bersyukur karena hilangnya putra mahkota berarti semua menantu Prabu Bameswara kelak lah yang akan menjadi penggantinya.

Prabu Bameswara pun langsung mengumumkan sayembara untuk menemukan keberadaan sang pangeran kecil. Ada hadiah besar dan menggiurkan menanti bagi siapapun yang berhasil melakukannya. Jabatan, uang ribuan kepeng dan tanah ratusan tombak luasnya menjadi hadiah.

Seluruh pendekar dunia persilatan pun segera berlomba mencari keberadaan sang pangeran kecil. Baik dari golongan hitam maupun golongan putih, semuanya berupaya keras untuk menemukan jejak keberadaan sang putra mahkota Kerajaan Panjalu. Tak hanya satu dua orang pendekar saja yang ikut serta dalam sayembara itu. Jumlahnya bahkan mencapai ribuan orang.

Tak hanya itu, para rakyat jelata yang ingin merubah nasibnya karena tergiur dengan hadiah yang diberikan, ikut serta dalam sayembara ini. Bahkan ada yang membentuk sebuah kelompok agar lebih cepat menemukan petunjuk keberadaan sang pangeran kecil.

Para punggawa Kerajaan Panjalu dari punggawa Istana Kotaraja Daha, pejabat daerah setingkat kadipaten hingga tingkat terendah yakni tingkat Wanua pun di kerahkan seluruh nya. Semua pejabat ini juga di tugaskan untuk mengumpulkan berita seputar keberadaan Mapanji Jayabhaya jika mereka mendengarnya.

Namun semua usaha untuk menemukan jejak keberadaan sang pangeran kecil itu sia-sia saja. Sosok penculik Mapanji Jayabhaya seolah menghilang di telan bumi. Dia menghilang tanpa jejak sedikitpun.

Tahun demi tahun berlalu, dan pencarian sang pangeran kecil ini perlahan mulai di lupakan orang. Mereka semua bahkan mulai lupa bahwa ada seorang putra raja Panjalu yang telah hilang dari Istana Kotaraja Daha. Waktu memang sanggup membuat orang lupa dengan semua hal penting.

****

Di sisi Utara Gunung Lawu, tepatnya di Pertapaan Watu Bolong....

Whuuuggghh whuuuggghh!!

Dhhaaaassshhh dhhiiieeeeesssshhh!!!

Blllaaaaaammmm....!!!!

Dua orang lelaki berbeda usia tersurut mundur beberapa tombak ke belakang setelah beradu ilmu kesaktian. Ledakan keras yang baru saja terdengar adalah dari benturan ilmu kanuragan mereka berdua. Keduanya terlihat ngos-ngosan mengatur nafasnya usai mengatasi permainan silat lawan.

Sang pemuda tampan bertubuh tegap dengan tatapan mata teduh dan hangat yang menjadi lawan tanding kakek tua ini berusia sekitar 1 dasawarsa lebih 1 windu. Rambutnya hitam legam sedikit ikal sebahu hanya diikat asal-asalan saja menggunakan kulit rotan yang dipilin kecil, nampak berbanding terbalik dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Pakaian nya dari kain coklat hitam yang sudah lusuh seperti hanya itu saja pakaian yang dia miliki. Meskipun peluh keringat membasahi dahinya, namun itu tidak mengurangi ketampanan pemuda yang baru saja menginjak usia dewasa ini. Dari balik bajunya yang tanpa lengan, sebuah tanda lahir berbentuk bulatan merah yang sepintas jika dilihat seperti bergerigi tersembul keluar meskipun hanya sebagian kecil.

Sementara itu lawannya adalah seorang kakek tua renta yang mungkin berusia lebih dari seabad. Keriput di wajah nya nampak jelas mengatakan bahwa ia sudah melewati waktu hidup cukup lama di dunia. Di wajahnya yang tersungging senyuman tipis, ada tatapan mata teduh yang sanggup membuat orang lain seketika menghormati nya. Kakek tua renta itu mengenakan pakaian warna putih namun sudah terlihat beberapa noda di beberapa tempat. Sepertinya dia tidak memiliki banyak pakaian ganti hingga warna putih pakaian pertapa nya terlihat lusuh. Lelaki tua berjanggut panjang ini segera menurunkan telapak tangan kirinya sembari menghela nafas panjang.

"Bagus sekali, Umbaran..

Kau sudah mampu menguasai ilmu yang ku turunkan kepada mu. Ajian Guntur Saketi ini adalah ajian tingkat tinggi yang tidak semua pendekar mampu untuk menghadapi nya. Aku yang guru mu saja harus mengeluarkan seluruh tenaga dalam agar mampu menahan serangan mu.

Kau sungguh-sungguh berbakat", ujar lelaki tua renta berjanggut putih panjang itu sembari berjalan mendekati sang pemuda. Si pemuda tampan yang dipanggil dengan nama Jaka Umbaran ini segera membungkuk hormat kepada lelaki tua itu.

"Saya bisa seperti ini, karena bimbingan dari guru. Kalau bukan karena guru, saya yang bodoh ini tentu tidak mungkin dapat menguasai ilmu yang guru ajarkan", balas Jaka Umbaran segera.

"Hehehehe, bagus sekali. Meskipun sudah menguasai ilmu kanuragan tingkat tinggi, kau tidak berubah menjadi pongah sama sekali, Cah Bagus. Aku suka sekali dengan sifat mu ini.

Ilmu kanuragan sudah ku turunkan kepada mu, Umbaran. Selain Ajian Guntur Saketi, kau juga memiliki Ajian Bandung Bondowoso yang membuat tubuh mu kebal dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Sekarang waktunya kau menerima ilmu kebatinan tingkat tinggi sebagai bekal mu kelak agar mampu menghadapi tantangan dari para makhluk tak kasat mata.

Bertapa lah di Sendang Inten di bawah bukit sana. Setelah 40 hari 40 malam, aku akan mengunjungi mu", ujar lelaki tua berjanggut panjang ini segera.

Dia adalah Maharesi Siwamurti, seorang resi sepuh yang memiliki ilmu kepandaian beladiri juga ilmu kebatinan tingkat tinggi. Resi sepuh penyendiri ini hanya memiliki dua murid. Satu sudah melanglang buana dengan nama Jiwandana dan satu nya yang sedang dia didik saat ini, Jaka Umbaran.

Mendengar perintah dari sang guru, Jaka Umbaran segera menghormat sebelum melesat cepat kearah Sendang Inten yang berada tak jauh dari Pertapaan Watu Bolong. Maharesi Siwamurti menghela nafas panjang setelah melihat murid kesayangannya itu menghilang di balik rimbun pepohonan yang tumbuh subur di kaki Gunung Lawu sembari menggumam lirih,

"Kau sudah cukup dewasa, Umbaran. Tak terasa 18 tahun berlalu begitu cepat. Sebentar lagi, kau harus melanglang buana untuk menegakkan keadilan di atas negeri ini sambil mencari tahu jati diri mu yang sebenarnya.

Kau harus melakukan nya..."

Ajian Lebur Saketi

Sendang Inten sebuah kolam kecil berpagar pepohonan besar yang terletak di kaki Gunung Lawu. Meskipun terlihat seperti telaga kecil biasa, namun ada sesuatu yang berbeda bagi para pendekar yang mengerti ilmu kebatinan tingkat tinggi. Di tempat itu, sejak jaman awal peradaban, di percaya oleh para warga masyarakat di sekitarnya sebagai tempat berkumpulnya kekuatan ghaib yang ada di Gunung Lawu.

Kedatangan Jaka Umbaran ke telaga kecil itu sontak membuat sepasang makhluk tak kasat mata yang telah ratusan tahun menghuni sebatang pohon beringin besar yang ada di dekat tempat itu terpancing emosi. Keduanya adalah Pancer dan Suketi, sepasang siluman yang memiliki wujud aneh. Pancer berwujud manusia tinggi besar dengan kulit merah yang menakutkan, sedangkan Suketi berwujud seorang perempuan kecil berkulit sawo matang yang tingginya hanya seketiak suaminya. Keduanya sering muncul di alam nyata sebagai sepasang kera yang terlihat bermain di pohon beringin besar ini.

"Apa mau manusia itu Kakang Pancer? Kenapa dia berendam di Sendang Inten?", ujar Suketi sembari menunjuk ke arah Jaka Umbaran yang sedang duduk bersila di tengah Sendang Inten. Tubuh pemuda tampan itu separuh tenggelam di dalam telaga kecil nan jernih ini.

"Sepertinya dia mau bertapa, Nini Suketi..

Sudah biarkan saja, paling-paling cuma kuat dua hari sudah menyerah. Manusia tidak akan sanggup bertahan begitu lama dalam air Sendang Inten apalagi dengan udara Gunung Lawu yang begini dingin", ucap Pancer sembari melompat ke arah cabang pohon besar yang ada di dekatnya. Suketi sekilas melihat Jaka Umbaran sebelum dia mengikuti langkah sang suami untuk kembali ke sarangnya.

Sore berlalu begitu saja. Udara panas di sekitar Gunung Lawu seketika berganti dengan dingin yang menggigit. Apalagi kala malam mulai menyelimuti seluruh tempat itu.

Jaka Umbaran yang sedang duduk bersila di dalam Sendang Inten, harus mati-matian menahan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Menjelang pagi hari, suhu udara di sekitar tempat itu menurun drastis hingga terasa semakin menyiksa tubuh pemuda tampan itu.

Akhirnya matahari pagi muncul juga di ufuk timur. Cahaya jingga kemerahan perlahan tapi pasti mulai membuat seisi jagat raya terlihat indah bersama terusir nya sang malam yang dingin mencengkeram bumi. Cericit burung berkicau di ranting pohon beringin besar di sisi timur Sendang Inten, semakin menambah suasana indah di pagi hari itu.

Suketi dalam wujud monyet kecil itu sekilas melihat ke arah Jaka Umbaran yang masih tetap duduk bertapa di dalam Sendang Inten.

'Ah paling besok dia sudah tidak kuat. Abaikan saja lah', batin siluman betina itu sambil melompat meninggalkan tempat tinggalnya, melompat dari satu dahan ke dahan pohon besar lainnya untuk mencari makanan di rimbunnya hutan kaki Gunung Lawu.

Hari berganti dengan cepat. Tak terasa sudah 2 pekan berlalu sejak Jaka Umbaran mulai bertapa di Sendang Inten. Tubuhnya telah terbiasa dengan panas yang menyengat pada siang hari dan dingin yang menusuk tulang di malam hari dalam keadaan berendam di telaga kecil ini. Suketi mulai tertarik untuk mencoba mendekati Jaka Umbaran. Sesekali ia berjalan mendekati Sendang Inten karena ingin mengganggu tapa brata Jaka Umbaran namun dia tidak berani untuk menyentuhnya langsung. Beberapa kali ia melempari batu kerikil kecil pada tubuh manusia itu untuk mengganggu nya namun sedikitpun Jaka Umbaran tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya semula.

Menjelang satu purnama, gangguan yang diterima dari Suketi semakin bertambah. Dia semakin berani untuk langsung mengacau di Sendang Inten. Bukan Suketi saja yang melakukannya, bahkan suaminya Pancer semakin sering ikut-ikutan membuat ulah. Tapa brata Jaka Umbaran memang mengganggu kehidupan para siluman di sekitar Gunung Lawu.

Semakin lama Jaka Umbaran bertapa, semakin banyak siluman yang berdatangan ke Sendang Inten karena merasa gerah dengan aura panas yang keluar dari tubuh manusia yang bertapa di telaga kecil ini. Tak hanya Suketi dan Pancer, puluhan siluman seperti siluman ular, siluman kijang, siluman musang, siluman kelinci hingga siluman kelabang mendatangi Sendang Inten agar tapa brata Jaka Umbaran segera berakhir. Suara suara aneh seperti orang minta tolong, anak kecil yang sedang menangis hingga tawa terbahak-bahak terdengar di telinga Jaka Umbaran namun sang pemuda tampan itu tak juga terpengaruh oleh semua itu.

Pada hari ketiga puluh sembilan pertapaan Jaka Umbaran, beberapa siluman yang tidak dapat menahan diri lagi karena semakin panasnya udara di sekitar Sendang Inten akhirnya bersepakat untuk mengganggu tapa brata Jaka Umbaran secara langsung.

"Kita tidak boleh bersabar lagi dengan orang ini. Kita harus segera mengusirnya keluar dari tempat pertapaan nya agar tempat tinggal kita kembali seperti semula", ujar siluman kalajengking sembari menunjuk ke arah Jaka Umbaran di dalam Sendang Inten.

"Aku setuju dengan pendapat mu, Kala..

Biar aku dulu yang mencoba untuk membangunkan tapa brata nya", ucap siluman gagak sembari melesat cepat kearah Jaka Umbaran yang tetap tak bergeming sedikitpun dari tempatnya bertapa.

Siluman gagak ini segera mengayunkan cakarnya ke arah Jaka Umbaran.

Shhhrrrraaaaaakkkkkkh!!

Namun saat cakar tangan siluman gagak menyentuhnya, seketika itu juga dia terpental jauh ke belakang dan nyaris menimpa kawannya sendiri. Jemari cakarnya putus seperti terbakar dan putus sebuah.

Melihat itu, kawannya yang lain, siluman elang dan siluman kalajengking langsung melesat maju bersamaan ke arah Jaka Umbaran. Siluman kalajengking bersenjatakan capit besar dan siluman elang mengandalkan sepasang cakar tangan nya mengayunkan senjata andalannya ke arah sang murid Maharesi Siwamurti ini.

Chhrraaaaakkkkkkk....

Shhhrrrraaaaaakkkkkkh!!!!

Aaaarrrgggggghhhhh.... !!!!

Kedua siluman itu menjerit keras saat serangan mereka menyentuh kulit sang pemuda tampan yang sedang bertapa di dalam Sendang Inten ini. Keduanya mental dan mencelat jauh ke belakang. Dua siluman itu meraung kesakitan karena senjata mereka yang merupakan bagian dari tubuh mereka gosong seperti terbakar api. Daya linuwih yang tercipta dari pertapaan Jaka Umbaran membuat tubuhnya seperti memiliki pelindung gaib yang tak terlihat, yang tak mampu di tembus oleh para siluman.

Para siluman terus bergantian mengganggu tapa brata Jaka Umbaran termasuk Suketi dan Pancer suaminya. Namun semua usaha para siluman Gunung Lawu ini sia-sia belaka karena tak satupun dari mereka ada yang mampu mengacaukan tapa brata murid Maharesi Siwamurti ini.

Pagi menjelang tiba di kawasan Gunung Lawu dan sekitarnya. Cahaya mentari pagi indah bersinar di ufuk timur, perlahan mengusir embun yang ada di pucuk-pucuk daun. Semilir angin dingin yang berdesir dari arah selatan membuat suasana dingin semakin terasa di Pertapaan Watu Bolong.

Pagi itu, selepas melakukan puja bakti pada Sang Hyang Akarya Jagat, Maharesi Siwamurti beringsut dari sanggar pamujan nya setelah menaburkan bebungaan dan kemenyan pada anglo tanah liat sehingga asap putih berbau harum menyebar ke sekeliling Pertapaan Watu Bolong.

Sembari menapaki tangga turun dari batu berwarna hitam, Maharesi Siwamurti menggerakkan jemari tangannya. Dia terlihat seperti sedang menghitung sesuatu. Tiba-tiba hitungan nya berhenti dan dia tersenyum simpul.

"Sudah 40 hari rupanya..

Hehehehe, sudah waktunya bagi ku untuk membangunkan tapa brata Jaka Umbaran murid ku..", ucap Maharesi Siwamurti lirih. Setelah itu, sang pertapa tua itu segera melesat cepat bagaikan terbang di atas pucuk pohon yang tumbuh di lereng Gunung Lawu ini ke arah Utara.

Hanya dalam waktu singkat saja, Maharesi Siwamurti sampai di Sendang Inten. Kedatangan pertapa tua itu segera membuat para siluman yang mengerubungi Sendang Inten semburat kabur menyelamatkan diri. Tentu saja mereka semua tidak ada yang berani untuk menantang pertapa tua ini karena dia memiliki sebuah ajian yang bisa membuat siluman terbunuh dengan sekali serang.

Begitu sampai di tepi Sendang Inten, Maharesi Siwamurti terus berjalan tanpa mempedulikan para siluman yang mengintip dari kejauhan. Ajaibnya, Maharesi Siwamurti menapakkan permukaan air telaga kecil ini seperti berjalan di daratan saja. Bahkan kakinya pun tak basah sama sekali.

Maharesi Siwamurti segera berhenti tepat di depan tempat Jaka Umbaran bertapa.

"Ngger Cah Bagus Jaka Umbaran..

Bangunlah dari tapa brata mu Ngger, kewajiban mu sudah selesai..", ucap Maharesi Siwamurti dengan suara berat nan berwibawa.

Mendengar suara itu, Jaka Umbaran perlahan mulai membuka matanya. Begitu melihat kedatangan Maharesi Siwamurti, dia tersenyum tipis dari bibirnya yang pucat. Lalu dengan sigap, dia bangkit dan menghormat pada sang guru.

"Sembah bakti saya Guru", ucap Jaka Umbaran segera.

"Hehehehe benar-benar murid berbakti..

Sekarang kau ikut aku untuk menerima apa yang sudah ku janjikan kepada mu 40 hari yang lalu..", usai berkata demikian, Maharesi Siwamurti segera menarik tangan kiri Jaka Umbaran dan membawanya terbang ke arah puncak Gunung Lawu.

Suketi dan Pancer suaminya segera mengikuti langkah sang pertapa. Keduanya segera melesat cepat mengejar arah perginya Maharesi Siwamurti dan Jaka Umbaran.

Di salah satu puncak Gunung Lawu, tepatnya di salah satu wilayah yang disebut dengan nama Repat Kepanasan atau juga bisa disebut sebagai Cakrasurya, Maharesi Siwamurti menghentikan langkahnya. Tepatnya di salah satu ujung tebing batu dekat jurang yang dalam, Maharesi Siwamurti meminta Jaka Umbaran untuk duduk disana.

"Umbaran, hari ini aku akan menurunkan Ajian Lebur Saketi sebagai pelengkap Ajian Guntur Saketi. Jika Guntur Saketi kau gunakan untuk melindungi diri dari manusia, maka Lebur Saketi kau pakai untuk menghadapi bangsa siluman.

Bijaksana lah Ngger Cah Bagus dalam menggunakannya", ujar Maharesi Siwamurti sembari tersenyum tipis.

"Murid patuh kepada semua perintah guru", ujar Jaka Umbaran sembari menghormat pada sang guru.

Mendengar jawaban itu, Maharesi Siwamurti tersenyum lebar. Perlahan dia memindahkan tasbih biji genitri berwarna kecoklatan yang selalu berada di tangan kanannya ke tangan kiri. Sementara mulut pertapa sepuh berjenggot putih panjang itu komat-kamit membaca mantra. Di telapak tangan kanan nya memancarkan cahaya biru kekuningan yang cukup menyilaukan mata.

"Kosongkan seluruh pikiran mu, Ngger Cah Bagus. Buka 9 lubang tubuh mu dan biarkan hawa kehidupan alam semesta merasuk kedalam nya..", perintah Maharesi Siwamurti segera. Jaka Umbaran segera melakukan perintah dari gurunya.

Sembari terus menerus membaca mantra, tangan kanan Maharesi Siwamurti segera diletakkan pada ubun-ubun kepala Jaka Umbaran. Seketika cahaya biru kekuningan itu menyebar ke seluruh bagian tubuh pemuda tampan ini. Tubuh Jaka Umbaran bergetar hebat dan keringat dingin mulai mengucur deras dari setiap pori-pori kulit.

Setelah Ajian Lebur Saketi bersatu dengan tubuh Jaka Umbaran, Maharesi Siwamurti melepaskan tangannya dari ubun-ubun kepala pemuda ini. Jaka Umbaran langsung menghela nafas lega karena hawa panas yang dirasakan oleh setiap bagian tubuh nya berangsur menghilang. Namun pemuda itu segera memejamkan mata untuk menata jalan nafas dan aliran darah nya.

Di saat yang bersamaan, Suketi dan Pancer sepasang siluman kera yang mengikuti mereka sampai di tempat itu. Ini tak lepas dari pengamatan Maharesi Siwamurti. Pertapa tua itu segera tersenyum penuh arti.

"Umbaran, buka mata mu.. Dan lihat lah, di alam nyata ini ada beberapa makhluk tak kasat mata.

Coba kamu temukan mereka..", ucap Maharesi Siwamurti segera. Jaka Umbaran dengan patuh membuka mata. Pupil matanya seketika mengeluarkan cahaya kuning keemasan. Segera dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu dan menemukan Suketi dan Pancer sedang mengawasi mereka berdua dalam wujud monyet.

"Guru, dua ekor monyet itu...", Jaka Umbaran menoleh ke arah Maharesi Siwamurti dan pertapa tua itu segera tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

"Kau bisa menguji kemampuan Ajian Lebur Saketi pada mereka", mendengar jawaban itu, Jaka Umbaran segera menghormat pada gurunya sebelum melesat cepat kearah Suketi dan Pancer. Dua siluman kera ini terkejut bukan main melihat kedatangan Jaka Umbaran.

"Kenapa kalian berdua mengikuti ku kemari?", tanya Jaka Umbaran segera.

"Ka-kakang Pancer..

Di-dia bisa melihat wujud kita yang sebenarnya", Suketi gagap berbicara saking gugupnya.

"Huhhhhh, memangnya kenapa kalau dia bisa melihat wujud kita Suketi?

Aku sudah tidak tahan lagi untuk menghajar manusia busuk ini..", ujar Pancer sembari melesat cepat kearah Jaka Umbaran. Tubuhnya seketika berubah menjadi sesosok makhluk tinggi besar dengan kulit kemerahan dengan wajah menyeramkan. Sembari menggeram keras, Pancer menghantamkan tangan kanannya ke arah Jaka Umbaran.

Hoooaaarrrrrrggggghhhhh!!!

Whhhuuuggghhhh!!!

Jaka Umbaran segera berkelit menghindari hantaman Pancer. Pemuda tampan itu segera memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan keras pinggang Pancer.

Bhhhuuuuuuggggh!!

Pancer hanya menyeringai lebar sembari menoleh ke arah Jaka Umbaran karena tendangan keras dari sang pemuda tampan itu sama sekali tidak terasa apa-apa baginya.

"Hanya itu saja kemampuan mu? Kau akan segera mati!!", teriak Pancer semakin beringas menerjang ke arah Jaka Umbaran. Pertarungan sengit antara mereka berlangsung seru di Repat Kepanasan.

Setelah beberapa jurus berlalu dan Jaka Umbaran masih belum bisa menjatuhkan Pancer, pemuda tampan itu segera melompat mundur ke belakang. Mulutnya komat-kamit merapal mantra Ajian Lebur Saketi. Dia ingin menjajal kemampuan ajian kanuragan yang baru saja diterimanya.

Dengan tapak tangan kanan yang memancarkan cahaya biru kekuningan, Jaka Umbaran menerjang maju ke arah Pancer. Awalnya Pancer begitu percaya diri menghadapi Jaka Umbaran namun teriakan keras Suketi langsung menyadarkan siluman kera ini.

"Awas Kakang, i-itu Ajian Lebur Saketi!!!"

Muka Pancer pucat seketika saat tapak tangan kanan Jaka Umbaran menghantam dada nya.

Blllaaammmmmmmm...

AAAARRRGGGGGGHHHHH!!!

Pancer meraung keras saat itu juga. Tubuhnya yang besar sekali terlempar jauh ke belakang dan menghantam batu besar di tebing Repat Kepanasan. Seketika wujudnya berubah menjadi seekor monyet kecil yang kemudian berubah lagi menjadi sebuah cincin dengan permata merah. Di dalam permata merah ini ada wujud seekor monyet kecil yang sedang tidur bergelung.

Jaka Umbaran segera melesat cepat mendekati cincin itu. Ia pun segera memungut nya sembari memperhatikan cincin bermata permata merah ini. Maharesi Siwamurti segera mendekati Jaka Umbaran yang sedang menimang cincin itu.

"Jagad Dewa Batara..

Ini adalah takdir, Ngger Cah Bagus", ucap Maharesi Siwamurti sembari tersenyum simpul. Jaka Umbaran yang tidak mengerti apa maksud omongan gurunya segera bertanya,

"Apa maksud omongan Guru??"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!