NovelToon NovelToon

Gus And Me

Trauma

Bismillah.

Bumi terus perputaran pada pada porosnya akan berlangsung selama 23 jam 56 menit 4 detik.

Disebuah gedung aluan musik indah terdengar disetiap telinga orang yang menghadiri acara ulang tahun di gedung tersebut, suasana yang tampak ramai dan megah membuat kesan lebih elegan untuk acaranya. Diantara banyaknya orang yang datang diacara itu terlihat seorang gadis mengenakan gamis syar'i berwaran biru dongker dengan hijab coklat sedang menatap sekitar dia sedang mencari seorang.

Entah kenapa gadis itu tiba-tiba saja memegang kepalanya yang mungkin terasa sakit, sebuah kenangan masa lalu terlintas di kepalanya membuat trauma kembali kambuh setelah sekian lama.

"Au....Astagfirullah." Rintih Nafisa.

Gadis tersebut adalah Nafisa Az-zahra Amran cucu sulung keluarga Amran yang amat terkenal di kota Jogja. Nafisa terus memegangi kepalanya yang semakin terasa sakit.

"Bunda." Ucapnya pelan.

"Bunda jangan tinggalkan Nafisa." Dia kembali bersuara.

"Ark! Bunda jangan pergi!" teriak Nafisa semakin kencang.

Semua orang menoleh pada Nafisa yang baru saja berteriak sontak saat itu juga dia menjadi pusat perhatian banyak orang.

"Bunda." Ucapnya sekali lagi, diambang kesadarannya.

Bruk!

Nafisa akhirnya pingsan, untung dia tak sampai jatuh karena ada seorang laki-laki yang menahan tubuhnya.

"Astagfirullah." Ucap laki-laki yang menolong Nafisa karena terkejut.

Dia bingung sendiri. Dia tak ingin bersentuh dengan perempuan yang bukan mahramnya tapi saat ini situasinya sedang gawat.

"Nafisa." Teriak Reni menghampiri temannya.

"Mas, tolong bawa teman saya ke rumah sakit." Pinta Reni memohon.

Laki-laki itu menghembuskan nafas kasar, dia tidak ada pilihan lain. "Bismillah."

"Ya Allah, maafkan aku sudah menyentuh perempuan yang bukan mahramku." Dalam benaknya laki-laki itu terus mengucapkan istighfar.

Dia merasa telah melakukan dosa sudah melanggar apa yang dilarang oleh agamanya.

Untung saja Nafisa berpakaian syar'i jadi auratnya sedikitpun tak terkepos.

Tak butuh waktu lama mereka sudah sampai di rumah sakit. Dokter langsung memeriksa keadaan Nafisa, dia terlihat tidak baik-baik saja.

"Bunda jangan pergi! Bunda Nafisa mohon jangan tinggalkan Nafisa."

"Maaf istri anda keguguran."

"Nafisa tidak jadi punya adik yah? Nafisa mau adik dan bunda ayah!"

"Bundaa...!" teriaknya.

Dokter yang memeriksa Nafisa terus berusaha membuat gadis itu agar segera kembali pada alam sadarnya.

"Astagfirullah." Nafisa langsung membuka kedua bola matanya, nafasnya terengah-engah seperti orang yang baru saja melakukan sprint. Dokter wanita yang memeriksa keadaan Nafisa bernafas lega setelah melihat gadis itu bangun.

"Syukurlah kamu sudah bangun."

"Dok saya kenapa? Kok saya bisa ada di rumah sakit?" bingung Nafisa.

"Tadi suami kamu yang bawa kesini, sama ada temen kamu. Kalau gitu saya permisi dulu." Pamit dokter.

Nafisa hanya cengo saja, "suami?" ulang Nafisa yang masih bengong. "Siapa yang udah punya suami." Gadis itu masih belum mengerti apa yang baru saja dokter tadi katakan.

Sampai suara cempreng seorang yang sangat Nafisa kenali membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

"Nafisa!" teriak Reni menghampiri Nafisa yang masih setia duduk di atas brankar rumah sakit.

Melihat temannya datang Nafisa memutar bola matanya malas, Reni selalu teriak dimana saja tidak tahu tempat. Dia belum lama kenal dengan Reni, tapi karena Reni orangnya mudah berbaur membuat Nafisa cepat beradaptasi pada gadis yang terlihat sedikit tomboy itu.

"Nafisa, are you oke?" tanya Reni memastikan, Nafisa hanya mengangguk lemah.

Tiba-tiba saja Nafisa menatap kosong Reni dan segala arah seakan dia sedang mengingat apa yang terjadi pada dirinya dulu. Nafisa tak menyangka jika trauma yang dia alami akan berdampak seburuk ini.

Reni mengerutkan dahi heran melihat Nafisa menatap kosong dirinya, padahal baru saja mereka berdua mengobrol. Terpaksa Reni mengguncang pundak Nafisa sedikit kuat.

"Nafisa, are you oke?" tanya Reni sekali lagi, dia berusaha membawa Nafisa kembali pada alam sadarnya.

Sama-sama mendengar suara Reni, akhirnya Nafisa tersadar jika dia sedang melamun dan mengingat hal yang amat menyakitkan itu.

"Astagfirullah," Nafisa sudah sadar kembali.

"Maaf Ren membuatmu khawatir." Sesal Nafisa.

Reni menatap lekat Nafisa sejenak, sejujurnya dia ingin bertanya apa yang sudah terjadi pada Nafisa. Hingga dia teriak kencang diacara ulang tahun tadi apalagi semua orang menatap heran kearah Nafisa kala itu. Untung ada dua orang laki-laki yang mau menolong Nafisa.

"Sebenarnya ada apa, Na?"

Nafisa menyungging senyum pada Reni, senyum agar dirinya terlihat baik-baik saja dan tidak membuat Reni khawatir.

"Aku belum bisa cerita sekarang nanti saja oke."

"Baiklah." Pasrah Reni.

Reni tidak ingin memakas Nafisa, karena dia tahu saat ini teman barunya itu masih dalam keadaan sedang tidak baik-baik saja. Reni dapat melihat jelas dari netra Nafisa yang sesekali masih menampakan tatapan kosong disana. Sebenarnya ada perasaan bersalah yang masuk kedalam rongga hati Reni telah mengajak Nafisa pergi keacara ulang tahun itu.

"Ren kok bengong." Kini Nafisa yang menyadarkan Reni.

"Nggak papa Na, semoga kamu cepet sembuh ya Na." Ucap Reni sungguh-sungguh.

"Apa sih Ren, orang aku nggak papa kok." Nafisa sedikit tertawa melihat Reni yang mengkhawatirkan dirinya. Sementara Reni merasa sedikit lega Nafisa sudah kembali tertawa.

Tak lama setelah itu dokter dan seorang suster yang tadi memeriksa dirinya, kembali datang untuk kembali memeriksa keadaan Nafisa lebih lanjut lagi.

"Maaf saya akan periksa lagi ya." Nafisa mengangguk patuh saja.

Untung sekarang mereka berada di Bandung buka Jogja, kalau di Jogja pasti semua keluarganya akan khawatir dengan keadaan dirinya saat ini.

"Apa yang anda rasakan? Sudah jauh lebih baik atau masih sedikit pusing?"

"Saya sudah merasa lebih baik dok, boleh saya pulang sekarang?"

Jujur Nafisa tidak betah sama sekali berada di rumah sakit bau obat yang sangat menyengat mengganggu indra penciumannya.

"Boleh, tapi harus tunggu 30 menit lagi." Nafisa mengangguk saja.

"Baik dok terima kasih banyak." Ucap Nafisa ramah pada dokter yang tadi memeriksanya juga. Setelah itu dokter kembali meninggalkan Nafisa dan Reni di ruang istirahat tersebut.

Setelah kepergian dokter dan suster barusan Nafisa teringat akan sesuatu. "Ren siapa yang bawa aku ke rumah sakit? Seingatku, aku sempat teriak diacara ulang tahun itu abisnya aku nggak ingat apa-apa lagi."

Nafisa hanya bisa mengingat sampai situ saja tidak lebih, bahkan dia tidak tahu siapa yang sudah menolong dirinya diacara ulang tahun tadi, seingat Nafisa sebelum pingsan dan kepalanya sakit dia tengah mencari keberadaan Reni. Tapi tak kujung menemukan keberadaan temannya itu.

"Tadi ada dua cowo yang nolong kamu, nggak tau sekarang orangnya kemana, tadi pas aku kesini mereka masih urus administari pembayaran buat kamu abis itu nggak tau lagi mereka kemana." Jelas Reni.

"Padahal aku belum ngucapin terimakasih sama mereka."

"Udah Na, jangan pikirin itu dulu." Nafisa mengangguk membenarkan apa yang dikatan temannya ini.

Tawaran

Bismillah.

"Gus." Laki-laki yang dipanggil gus itu pun menoleh pada sumber suara seorang yang baru saja memanggil namanya.

Gus Magrib terlihat menghela nafas panjang sebelum memulai berbicara, dia benar-benar merasa bersalah. Istighfar tak pernah terhenti dalam benaknya. Walaupun begitu raut wajahnya tetap terlihat begitu tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.

"Andika tolong jangan katakan apapun pada uma dan abah masalah tadi, biar nanti saya langsung yang bicara pada mereka."

"Tapi gus."

"Saya mohon Andik, untuk sekarang saya belum siap bercerita pada uma maupun abah. Yang pasti saya pasti tetap akan cerita."

"Ya, gus saya mengerti, tapi apakah saat diacara tadi tidak ada yang mengenali gus Magrib?"

Kali ini laki-laki yang dipanggil gus Magrib itu tersenyum, sungguh perubahan sifat yang amat cepat dan tidak tertebak.

"Insya Allah, tidak ada Andiak, mereka semua tidak mengenaliku menggunakan panggilan Magrib. Mereka hanya kenal dengan nama Zega. Lagipula cuman kamu dan para santri abah yang memanggilku gus Magrib." Tutur Zega lembut.

"Baik gus saya paham, jadi sekarang kita kemana? apakah mau kembali lagi ke tempat acara ulang tahun tadi?"

"Kita harus kembali kesana Andika, masih ada hal yang harus saya selesaikan disana."

Tidak banyak tanya lagi Andika langsung melajukan mobil yang dia kendari menuju tempat awal mereka pergi tadi. Sedangkan Zega yang duduk disebelah Andika berulang kali memejamkan matanya.

Aroma parfum gadis yang tadi dia tolong seakan tidak ingin pergi dari dirinya, berulang kali Zega berusaha menghilangkan bau parfum yang wangi dan amat mengganggu indra penciumannya itu tapi tak kunjung hilang. Setiap kali dia juga memejamkan matanya wajah gadis yang tadi dia tolong terus muncul di kepala Zega. Dia tak henti-hetinnya mengucap istighfar.

Padahal saat menolong Nafisa berulang kali Zega mengucap istighfar, dia juga terus berusaha agar tidak melihat wajah gadis itu. Mungkin saat itu memang kebetulan atau memang takdir Zega untuk melihat wajah cantik perempuan yang ada di dalam gendongannya itu. Ketika Zega menurunkan Nafisa dari gendongannya dia tidak sengaja melihat jelas wajah Nafisa. Bibir yang terlihat begitu indah, bulu mata lentik yang semakin membuat paras Nafisa terlihat begitu anggung dalam keadaan pingsan saja gadis itu masih terlihat cantik dan damai.

"Huft! Astagfirullah." Sudah berulang kali Magrib mengucap istighfar sampai membuat Andika yang sedang mengemudikan mobil merasa heran sendiri apa yang telah terjadi pada gusnya ini, anak dari guru tempat dirinya menimba ilmu itu.

Sejak keluar dari rumah sakit tadi Andika dapat melihat jelas kalau gus Magrib sedang tidak baik-baik saja. Andika yakin pasti ada sesuatu yang sudah mengganggu pikiran gusnya.

"Gus Magrib, baik-baik saja?" tanya Andika memberanikan diri, dia takut terjadi sesuatu pada Zega.

"Aku baik-baik saja Andika, tetap fokuslah mengemudi aku tak apa." Sahut Zega tenang. Andika mengangguk patuh, sampai mereka di tempat tujuan awal sudah tidak ada lagi pertanyaan yang keluar dari mulut Andika.

"Ikut saya, Andika." Suruh Zega.

Zega segera mencari seorang diacara ulang tahun itu, sebenarnya mereka berdua datang bukan untuk menghadiri pesta ulang tahun yang digelar di gedung megah tersebut. Melainkan Zega hendak bertemu seorang yang sudah berjanji pada dirinya akan bertemu di tempat ini satu minggu lalu.

"Paman." Sapa Zega pada seorang laki-laki yang masih terbilang muda kira-kira umurnya sudah hampir mencapai 38 tahun.

Laki-laki itu menoleh pada sumber suara. Mereka saat ini ada di dalam ruangan tertutup dalam gedung tersebut.

"Zega akhir kamu datang juga. Duduklah." Suruh orang yang tadi Zega panggil paman.

"Zega paman tidak mau basa-basi, sebelumnya paman juga sudah membahas hal ini pada abahmu, beliau sudah setuju. Besok kamu mulai menjadi dosen untuk mahasiswa-mahasiswi S2 di Universitas milik paman."

"Tapi paman Cahyo."

"Paman sudah katakan padamu Zega, tidak ada tawar menawar lagipula abah sudah setuju. Kalau tidak setuju paman akan menyerahkan rekaman video apa yang terjadi dipesta ulang tahun tadi." Cahyo tersenyum menyeringai sambil memberikan rekaman video saat Zega menolong Nafisa tadi. Tapi wajah Nafisa tidak terlihat jelas, paling jelas wajah Zega tengah membantu seorang gadis.

"Astagfirullah." Kaget Zega.

"Pama semua itu tidak seperti yang paman kira. Aku hanya menolongnya saja." Zega menatap pamannya memohon, dia tidak ingin uma dan abahnya salah paham atas kejadian tadi pagi.

Andika tidak bersuara sedikitpun, karena dia merasa tidak ada hak untuk ikut campur dalam urusan ponakan dan paman ini.

"Baiklah Zega setuju atas tawaran paman, tapi Zega minta tolong agar paman tidak memberikan video itu pada abah dan uma. Zega sendiri nanti yang akan menjelaskan pada mereka."

"Baik, pamamu ini setuju mulai besok kamu sudah harus menjadi dosen untuk S2." Zega hanya dapat mengangguk setuju atas tawaran yang diberikan oleh pamannya tanpa bisa bernegosiasi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Nafisa sudah diperbolehkan pulang, Reni sedari tadi terus membantu dirinya sampai membuat Nafisa merasa tidak enak pada Reni.

"Re, maaf udah nyusahi kamu." Sesal Nafisa.

Reni memutar bola matanya malas, dia benar-benar tidak bisa menebak seperti apa karakter Nafisa sungguh sulit sekali dibaca padahal sudah 2 minggu ini mereka tinggal di apartemen yang sama.

"Tidak ada yang direpotkan. Oh iya Na, denger-denger dari anak-anak kita bakal ada dosen baru. Dosen lama bu Irma sudah pensiun."

"Padahal aku senang tau diisi sama ibu Irma penjelasan beliau mudah dipahami, kapan-kapan kita berkunjung ke rumah ibu Irma yuk." Usul Nafisa.

"Boleh juga, tapi aku masih penasaran siapa dosen baru kita."

Nafisa menatap malas pada temannya yang satu ini, hal besok kenapa pula harus dipikirkan sekarang. Tidak perlu penasaran besok juga dia akan tahu bukan siapa dosen yang akan mengisi kelas mereka.

Nafisa dan Reni adalah dua gadis jenius yang dipertemukan di kota orang. Diumur mereka yang masih 20 tahun keduanya sudah mengejar gelar S2. Tapi untuk Reni dia lebih tua 2 tahun dari pada Nafisa jadi umurnya saat ini 22 tahun hampir menginjak 23 tahun.

Kini kedua gadis yang memiliki perbedaan karakter sanagat jauh itu sudah berada di dalam sebuah taksi untuk membawa mereka menuju apartemen tempat keduanya tinggal di kota Bandung.

"Ren, kita nggak mau cari makan dulu aku laper." Nafisa hanya bisa menatap Reni sambil nyengir saja.

Berada di sebelah Reni, Nafisa merasa seperti kembali memiliki seorang kakak. Seperti kak Ayu dan kak Rafli secara bersama. Sebenarnya dia ingin memanggil Reni dengan embel-embel kak. Tapi Reni tidak mau, dia hanya ingin dipanggil Reni saja.

"Kita gofood aja ya sampai di apartemen."

"Baiklah."

Dosen baru

Bismillah.

"Denger-denger dosen baru kita laki-laki masih mudah lagi Na." Ucap Reni memberitahu Nafisa.

Nafisa melirik sekilas pada temannya itu, sambil terus berjalan tanpa berniat menghentikan langkahnya. "Memang kenapa kalau dosen muda Ren? Why? Ada masalah tidak adakan."

"Jawaban kamu itu loh Na, seperti gadis yang bodo amat akan cowok."

"Memang itu faktanya Reni ku, sayang."

Nafisa dan Reni berjalan seiringan menuju kelas mereka, sebentar lagi matakuliah pertama sudah akan segera dimulai. Mereka tidak boleh terlambat hari ini ada dosen baru yang akan mengajar ditambah lagi kalau mereka sampai terlambat dari peraturan kampus mereka tidak boleh masuk matakuliah dijam yang telat.

"Tapi serius Na, dosennya masih muda aku dengar dari beberapa orang di kelas kita." Reni masih berusaha agar bisa membuat Nafisa tergiur akan topiknya kali ini.

Tiba-tiba saja Nafisa memberhentikan langkahnya lalu menghadap Reni, kebetulan sekali mereka sudah berada di depan kelas.

"Aku sudah katakan Reni, apa masalahnya? Mau dosen kita laki-laki masih muda atau aki-aki aku juga tidak peduli." Dengus Nafisa sebal.

Setelah mengatakan hal tersebut pada Reni lalu Nafisa kembali menghadap pintu kelasnya, secara bersama seorang laki-laki juga akan masuk ke dalam kelas tersebut. Dia juga sempat mendengar perdebatan Reni dan Nafisa.

"Dia..." Ucap Reni menatap gus Magrib tak berkedip.

Sementara Nafisa yang memang tidak tahu jika laki-laki di hadapannya saat ini orang yang kemarin sudah menolong dirinya.

"Maaf..." Ucap Nafisa sopan lalu masuk ke dalam kelas meninggalkan Reni yang masih bengong di depan pintu masuk kelas.

"Kamu mau tetap berdiri disitu atau mau masuk kelas saya?" tegus gus Magrib datar.

"Eh, iya pak." Sahut Reni buru-buru menyusul Nafisa yang sudah duduk di bangkunya.

"Ternyata dosennya laki-laki yang kemarin nolong Nafisa, mana itu anak kagak tau lagi kalau pak dosen muda ini yang udah nolongin dia." Ucap Reni dalam benaknya.

Tidak ada perkenalan saat gus Magrib mulai mengisi kelas Nafisa, kelas teknik arsitektur tersebut semuanya dalam mode serius. Ada sekitar 20 orang yang mengikuti kelas gus Magrib. Mereka semua tidak ada yang berani berbicara sedikitpun hanya ada kesunyian dan suara gus Magrib yang menerangkan berapa hal.

Waktu bergulir 1 jam telah berlalu gus Magrib akhirnya selesai mengisi kelas teknik arsitektur. Sebelumnya gus Magrib menyuruh para mahasiswanya memanggil dirinya dengan sebutan Zega.

"Baiklah pertemuan hari ini cukup sampai disini saja dan untuk tugas kalian saya hanya memberi waktu 5 hari, lewat dari 5 hari ada yang belum mengumpulkan tugas saya anggap gugur."

"Yah pak kok cuman 5 hari sih, biasanya kita diberi wakut satu minggu sama bu Irma." Protes salah satu mahasiswa.

Gus Magrib menatap tenang seorang mahasiswa yang baru saja perotes perihal waktu tugas dikumpulkan, dia tersenyum simpul.

"Kalian keberatan?" tanya gus Magrib memastikan.

"Benar pak kami keberatan." Protes beberapa mahasiswa.

Walaupun diprotes banyak orang gus Magrib tetap tenang bahkan senyum tak sedikitpun pudar dari wajahnya, dosen muda itu terlihat menghela nafas sejenak lalu membuangnya perlahan.

"Baiklah kumpulkan dalam waktu 3 hari, saya tidak terima protes. Kelas ini saya akhirnya Assalamualikum sampai bertemu di kelas selanjutnya."

Tanpa menunggu jawaban salam dari para mahasiswa dan mahasiswinya gus Magrib segera meninggalkan kelas tersebut yang sedang menghela nafas kecewa.

Cek!

"Semua gara-gara lo, Atlas! kita cuman dikasih waktu 3 hari harus buat gambar dan desain teknik yang memuaskan." Reni menatap tajam teman satu kelasnya.

"Udah Ren kagak usah protes lagipula kita ngerjaninya kelompok kan, kagak sendiri. Kita beruda kurang dua orang lagi." Ujar Nafisa menjelaskan, dia paling tidak suka membuang-buang waktunya.

Cek!

"Siapa yang mau sekelompok sama kita, Na?" Reni mengecilkan suaranya.

Kedua gadis itu menatap seisi kelas, mereka dapat melihat dengan jelas orang-orang sedang berdiskusi untuk membentuk sebuah kelompok. Hanya ada 5 kelompok disi 4 orang anggota kelompok.

Nafisa masih melihat orang-orang yang tengah mencari kelompok, sedangkan Reni sudah pasrah. Dia terduduk kembali di mejanya, saking malasnya Reni sampai lupa dia ingin memberitahu tentang dosen muda mereka hari ini.

"Bencana datang." Gumun Nafisa pelan, bagimana tidak pasalnya tidak ada yang mau satu kelompok dengan Atlas dan sohibnya si Ari otomatis dua orang itu akan satu kelompok denga mereka.

Ari dan Atlas sama-sama menghampiri Nafisa dan Reni yang masih duduk di tempat mereka tanpa bergeser sedikitpun.

"Bencana apa, Na?" bingung Reni yang sudah bisa mengontrol dirinya.

Nafisa tidak menjawab pertanyaan Reni, tapi dia melirikkan matanya pada Atlas dan Air yang sedang berjalan untuk menghampiri mereka. Reni peka akan maksud Nafisa langsung saja menoleh kebelakang pasalnya dia saat ini sedang memunggungi semua orang.

"Astagfirullah! bencana benar-benar datang." Dengus Reni sebal apalagi saat melihat Ari dan Atlas tengah tersenyum pada dirinya dan. Nafisa. Rasanya ingin sekali Reni menonjok wajah kedua laki-laki itu.

"Sama mereka nggak dulu dah kayaknya Na." Ujar Reni malas.

"Kita nggak bisa pilih kelompok lagi Ren, yang tersisa cuman kita berdua sama mereka berdua." Sahut Nafisa.

Nafisa tidak masalah satu satu kelompok dengan siapa saja. Masalahnya hanya satu jika Reni, Atlas dan Air disatukan yang ada kelompok mereka akan hancur hanya untuk mereka bertiga berada argumen saja. Nafisa sudah pernah merasakan hal seperti ini 1 minggu yang lalu saat masih ibu Irman yang mengisi kelas mereka.

"Na, Gue sama Ari satu kelompok sama lo ya." Ucap Atlas peda saja. Nafisa tidak dapat berbuat banyak dia hanya mampu mengangguk lemah sedangkan Reni menatap malas kedua teman sekelasanya itu.

Disisi lain gus Magrib baru saja sampai di dalam ruangannya, dia meruntuti kebodohannya sendiri karena langsung memberi tugas pada kelas Nafisa. Sebenarnya rencana awal gus Magrib bukanlah itu tapi saat bertemu dengan Nafisa dan tau kalau Nafisa berada di kelasnya semua buyar begitu saja.

"Astagfirullah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa gadis itu selalu ada dipikiranku." Keluh gus Magrib.

Berulang kali di dalam kelas tadi dia mengucapkan istghfar di dalam hatinya dan dia juga berusaha agar tidak melihat kearah Nafisa.

"Semua sudah terlanjur aku harus konsisten dengan tugasku, menjadi seorang dosen ternyata tidaklah mudah. Apalagi mengisi S2 untuk beragam orang yanh mungkin lebih banyak tau dari pada aku. Tapi bismillah saja dan usaha Insya Allah hasilnya tidak akan mengecewakan." Gus Magrib menyemangati dirinya sendiri.

Dia duduk di kurisnya dan segera memeriksa data beberapa semua mahasiswa dan mahasiswinya yang harus gus Magrib pegang penuh. gus Magrib sudah mulai fokus pada tugasnya. Tangannya tergerak untuk membuka data-data itu yang ditulis di dalam sebuah kertas, tadi pagi dia dapat semua itu dari pamannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!