“Astaghfirullahal’adzim. Pak, Bapaakkk...”
“Arya... Bangun, Nak. Banguunn...”
“Bapaaakk. Cepat kesini, ini Arya kenapa.”
Aku yang mendengar suara teriakan Surti, istriku, bergegas lari masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang saat itu sedang terjadi di dalam rumah. Saat itu aku sedang sibuk memberi makan kambing-kambingku di kandang belakang rumah. Tiba-tiba saja, Surti berteriak histeris seperti telah terjadi hal-hal yang mengerikan di dalam sana.
“Arya kenapa, Bu? Bukannya tadi dia baru saja pulang dari bermain?” Tanyaku saat melihat kondisi Arya, anakku, yang sangat memprihatinkan. Tubuhku bergetar hebat melihat apa yang terjadi pada anak semata wayang kami. Tubuh mungil Arya bergetar hebat, mengejang dengan tatapan mata kosong, kedua bola matanya melotot menatap ke atas langit-langit seolah sedang menahan kesakitan yang luar biasa. Surti menangis tergugu.
Aku terdiam saat melihat kondisi Arya, anak kesayanganku itu. Namun aku tak bisa berbuat apa pun. Bahkan untuk menghentikannya pun aku tak mampu. Ya, akulah orang yang membuat Arya seperti itu.
Tahun lalu, aku sudah membuat sebuah perjanjian dengan bangsa jin untuk diberikan kekayaan secara mudah. Aku sudah lelah di hina oleh warga kampung dan juga keluarga Surti.
“Heh, kamu mau nyolong, ya?” teriak salah satu warga yang melihatku sedang mengorek tempat sampah di depan rumahnya. Aku yang kebetulan sedang memunguti barang bekas di tempat sampahnya menjadi bulan-bulanan warga. Orang itu membuat cerita jika aku berusaha mencuri rumahnya. Padahal aku hanya memungut barang bekas yang kemungkinan besar sudah di buang olehnya sebagai pemilik rumah.
“Sabar, Mas. Memang kalau orang kaya seperti itu. Semena-mena.” Ucap Pak Andi, lelaki yang menolongku dari amukan warga.
“Te-terimakasih banyak, Pak.” Jawabku tertunduk. Pak Andi tersenyum, kemudian menghela nafas panjang sambil menepuk pundakku.
“Saya bisa bantu kamu, biar semuanya bisa berubah.” Ucapnya kemudian. Aku menoleh bingung ke arahnya.
“Serius. Kamu bisa kaya seperti orang itu dalam sekejap.” Tunjuknya pada sebuah rumah mewah di ujung jalan.
“Ah, mana mungkin, Pak.” Tepisku sambil tersenyum kecut. Entah apa maksud Pak Andi, tapi yang pasti aku tak ingin terlalu banyak berharap untuk bisa memutar roda kehidupan keluargaku.
“Kalau kamu mau, kamu bisa bertemu denganku kamis besok. Ini alamatku.” Pak Andi menyerahkan secarik kertas berbentuk persegi panjang kepadaku. Ia kembali menepuk pundakku perlahan dan meninggalkanku seorang diri dengan sejuta kebingungan.
Ya, aku dulunya hanyalah seorang pemulung, kerjaanku setiap hari hanya mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas yang ku temukan di sepanjang jalan dengan berkeliling desa berjalan kaki. Kini aku sudah memiliki gudang pengepul sendiri. Tak hanya terbesar di desa kami, tapi juga terbesar di kota kami.
“Pak, jangan bengong saja. Ayo bawa Arya ke Rumah Sakit.” Teriakan Surti mengagetkanku.
“I-iya.” Gugup aku mengambil dan segera membopong tubuh Arya yang terus mengejang. Aku tahu kalau saat ini Arya sedang berjuang dengan rasa sakit yang luar biasa. Hanya saja, aku tak bisa menolongnya. Sesuai perjanjian, aku hanya bisa menatap tubuh anakku yang mengejang menahan sakit tanpa bisa melakukan apa pun untuk membantunya.
Semakin lama tubuh Arya semakin melemah. Tubuhnya yang awalnya kaku karena mengejang lambat laun mulai melambat, melemah kemudian berhenti dengan sendirinya. Tangannya yang tadi sempat mencengkeram lengan bajuku, kini perlahan terlepas. Surti menangis meraung-raung melihat kondisi Arya saat ini. Detak jantungnya sudah tak terasa. Namun karena paksaan dari Surti, aku tetap membawa Arya ke Rumah Sakit untuk di periksa.
“Aneh, tapi anak Bapak dan Ibu benar-benar sehat. Bahkan jantungnya pun tak ada sumbatan sedikit pun. Syaraf-syaraf di otaknya juga semuanya normal.” Ucap Dokter yang memeriksa kondisi Arya sambil geleng-geleng kepala merasa heran.
Atas permintaan Surti, pihak Rumah Sakit memeriksa keseluruhan kondisi Arya dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Arya. Hanya saja, Dokter yang berpengalaman pun tak menemukan penyebab dari kematian Arya.
Di ujung ruangan, aku menyunggingkan sedikit senyum. Membayangkan jumlah uang dan emas yang sebentar lagi akan ku terima dari menukarkan nyawa Arya, anakku.
“Baik, permintaanmu akan ku kabulkan. Tapi ada syarat yang harus kamu penuhi.” Ucap dukun yang membantuku berinteraksi dengan jin pemberi kekayaan.
“Apa pun syaratnya, Mbah. Yang penting saya bisa kaya. Saya capek di hina terus.” Ucapku memohon.
“Tumbal.” Seketika aku terdiam. Menelan saliva yang terasa sesak dan menyakitkan di tenggorokan. Mendengar kata tumbal saja sudah membuatku merinding, apalagi ini aku belum mendengar syarat tumbal yang harus ku penuhi.
“A-apa tumbalnya, Mbah?” tanyaku lirih.
“Nyawa.” Jawab Mbah Kromo jelas.
“Nya-nyawa? Nyawa si-siapa, Mbah?”tanyaku lirih. Mendengar syarat tumbal yang harus ku penuhi membuatku sedikit menciut. Namun rasanya tak mungkin ku urungkan niatku untuk meminta kekayaan setelah jauh-jauh sampai di tempat ini. Dengan beralasan ingin mencari pekerjaan lain di kota pada Surti, tak mungkin juga jika aku harus kembali dengan tangan kosong tanpa membawa hasil apa pun.
“Terserah kamu. Kamu tinggal pilih saja. Nyawa istrimu, anakmu, atau bahkan bisa di tukar dengan nyawamu sendiri.” Ucap Mbah Kromo dengan suara yang menggelegar.
Sejenak aku terdiam, menimang keputusan mana yang akan ku ambil. Mengingat Surti adalah wanita pilihan yang ku perjuangkan dengan sekuat tenaga hanya untuk mendapatkan hatinya, aku tak mungkin mengorbankan dirinya untuk menukar dengan harta. Bagiku, Surti adalah wanita tercantik yang mau menerima kondisiku seperti ini. Aku mencari harta pun untuk membahagiakannya. Jadi, salah jika aku harus kehilangan dia hanya untuk mendapatkan kekayaan.
Sedangkan jika aku harus menukarkan dengan nyawaku sendiri, jelas aku tak akan mau. Untuk apa aku bersusah payah menjadi kaya jika aku tak bisa menikmati hasilnya. Tentu saja aku tak mau menukarkan nyawaku dengan harta. Akan rugi jika aku harus mati tanpa merasakan apa yang sudah ku upayakan.
“Bagaimana? Apa pilihanmu? Kalau tidak mau menerima syaratnya, mending pulang saja. Masih banyak yang mengantri untuk datang kesini.” Ucap Mbah Kromo kasar.
Pak Andi yang ikut serta datang bersamaku, menyikut lenganku perlahan. Membuatku tersentak, tersadar dari lamunanku.
“Sa-saya pilih a-anak, Mbah.” Ucapku ragu. Bagaimana pun, ada yang harus ku korbankan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.
“Tak apalah, toh anak masih bisa punya lagi.” Ucap Pak Andi memberikanku semangat. Aku yang mendapat dukungan dari pria yang telah menolongku hanya mengangguk pasrah. Meskipun di dalam hatiku terasa berat, namun inilah konsekuensi yang harus ku ambil untuk mendapatkan apa yang ku inginkan.
“Setiap kamu memiliki anak, dan setiap anakmu berusia lima tahun, penguasa akan mengambilnya. Maka, jangan pernah kamu halangi semua itu meskipun menyakitkan bagimu.” Ucap Mbah Kromo tegas, aku pun mengangguk pasrah.
Jenazah Arya sudah langsung di makamkan sore tadi. Para tetangga yang datang untuk melayat pun juga sudah kembali ke rumahnya masing-masih. Rumah sudah terlihat lebih rapi. Sisa bunga untuk meronce pun sudah di bersihkan dan di tumpuk di luar rumah. Hanya terlihat tumpukan kain jarik bekas untuk memandikan jenazah Arya serta menutupi jenazah Arya sebelum di mandikan. Mungkin esok Surti yang akan mencucinya. Aku menatap pilu tumpukan kain yang sengaja di letakkan di dalam ember yang sudah di sediakan oleh pelayat yang membantu acara pemakaman Arya.
Suasana rumah begitu sepi. Tak ada suara canda dan tawa maupun keributan lagi yang sering di lakukan oleh Arya dan ibunya. Surti pun juga tak terlihat sejak kepulanganku dari makam tadi.
Aku menjatuhkan bobot tubuhku di sofa ruang tamu. Dimana dulu semua sofa ini hanyalah sebuah lincak yang sudah reot yang ku dapat dari pemberian tetangga yang sudah tidak terpakai lagi oleh mereka.
Mataku menyapu ruangan. Sungguh berbeda dengan suasana tadi pagi. Dimana Arya masih berlarian kesana kemari karena di minta mandi oleh Surti, ibunya. Namun sore ini keadaan berubah total. Tak terasa aku meneteskan air mata mengenang masa-masa itu yang tak akan pernah lagi ku rasakan.
Entah berapa lama aku terlelap. Rasa lelah dan kantuk yang menyergap membuatku tiba-tiba saja tertidur entah berapa lama. Kondisi rumah sudah tampak gelap. Bahkan satu pun lampu tak ada yang di nyalakan. Bergegas aku bangkit dan menekan tombol saklar tak jauh dari tempatku duduk.
“Bu.” Aku mencari keberadaan Surti, wanita yang sangat ku cintai itu. Hanya ada satu tempat yang ku tuju, kamar Arya. Perlahan ku tekan gagang pintu kamar putra semata wayangku itu. Rupanya Surti berada di sana. Dengan suara isak tangis yang terdengar tertahan. Surti masih meratapi kepergian Arya yang secara tiba-tiba.
Ku nyalakan lampu kamar Arya yang mungkin sengaja tak di nyalakan oleh Surti.
“Bu, sedang apa kamu gelap-gelapan disini?” tanyaku menghampiri Surti yang menangis terisak.
“Paaaakkk...” Surti menghambur ke pekukanku. Menangis sesenggukan hingga membuatku kebingungan. Aku hanya bisa menepuk punggungnya perlahan. Rasa bersalah sudah pasti ada. Mengingat semua kejadian ini aku yang menginginkannya. Namun aku tak bisa mengakuinya pada Surti. Apalagi semua ini ku cari untuk menyenangkan hidupnya.
“Sudah, Bu. Biarkan Arya beristirahat dengan tenang. Jangan di tangisi terus seperti ini.” Ucapku berusaha menenangkan hatinya.
“Pak, maafkan Ibu. Ibu tak bisa menjaga Arya.” Ucapnya di sela-sela isak tangisnya.
“Sssttt... Sudah, sudah. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti ini. Semua sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Kita hanya bisa pasrah, dan ikhlas dalam menjalani.” Ucapku dengan nasehat yang ku buat sebijak mungkin.
Ikhlas? Aku sendiri pun tak bisa ikhlas dengan kondisi hidup yang serba pas-pasan, sehingga membuatku nekat melakukan hal-hal yang di larang oleh agama tentunya.
*
“Pak, sedang apa disini?” aku terlonjak kaget saat Surti tiba-tiba saja muncul dari belakang.
“Oohh, eeehh... Enggak, Bu. Ini, tadi Bapak dengar ada suara berisik di dalam. Bapak lihat, siapa tahu ada tikus.” Ucapku setelah dengan cepat menutup kembali pintu gudang dan menyimpan kuncinya ke dalam kantong celana. Jangan sampai Surti curiga dengan keberadaanku di dalam gudang tengah malam begini.
Wajah Surti mengernyit, namun tak banyak tanya. Ia hanya diam dan berlalu. Ku ikuti langkah kakinya, rupanya ia hanya ingin ke dapur. Surti menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya hingga tandas.
“Kok belum tidur, Bu?” tanyaku perlahan. Takut membuat Surti curiga.
“Tadi sudah tidur, tapi tiba-tiba Surti mimpi buruk.” Jawabnya. Ia langsung duduk di kursi meja makan dan meraih tanganku dengan cepat hingga membuatku kaget.
“Pak, Arya minta tolong sama Surti.” Ucapnya kemudian. Matanya memerah, terlihat kedua matanya berkaca-kaca.
“Mi-minta tolong kenapa?” tanyaku dengan wajah takut.
“Surti tidak tahu, Pak. Tapi yang pasti, anak kita kesakitan di sana. Surti melihat kedua tangan Arya di ikat dengan rantai, begitu juga dengan kakinya. Banyak sekali anak kecil di sana yang bernasib sama dengan Arya.” Ucapan Surti membuat tenggorokanku tercekat. Aku tak mampu memberikan jawaban atas cerita Surti.
“Pak.” Panggilnya.
“I-iya, Bu. Itu hanya bunga tidur. Jangan terlalu di pikirkan. Mungkin kamu masih belum ikhlas dengan kepergian Arya.” Ucapku terbata.
“Bagaimana kalau Arya mati di santet? Atau jadi tumbal?” kedua mataku membelalak mendengar penuturan Surti.
“Tu-tumbal?” tanyaku. Surti mengangguk. Sedangkan aku tak mampu berkata-kata.
“Pak, kamu sakit?” Surti meraba dahiku, namun ku tepis.
“Ayo istirahat. Kamu tampak pucat dan berkeringat.” Surti memapahku masuk ke dalam kamar.
Hari menjelang pagi, Surti masih terlelap dalam tidurnya setelah menangis semalaman meratapi mimpi buruknya. Mungkin itu pertanda yang di perlihatkan pada Surti tentang kondisi Arya disana. Hanya saja, aku tak bisa mengakui kalau semua itu salahku. Aku yang menumbalkan Arya dan menjadikannya budak di tempat bangsa jin tempatku meminta kekayaan.
Bergegas aku berjalan mengendap-endap keluar dari kamar, layaknya seorang pencuri yang takut ketahuan oleh sang pemilik rumah. Secepat kilat aku menyelinap masuk ke dalam gudang. Tak lupa juga aku menguncinya dari dalam untuk berjaga-jaga jika saja Surti tiba-tiba terbangun dan mencari keberadaanku.
Kedua bola mataku terbelalak melihat begitu banyak emas dan tumpukan uang berwarna merah di dalamnya. Aku meraupnya dan menciuminya dengan rasa yang sulit di gambarkan. Begitu banyak uang yang dulu selembar pun aku tak punya. Seketika aku melupakan rasa sedihku atas kehilangan Arya. Semua terganti begitu saja setelah melihat banyaknya harta yang ku dapat dari menukarkan nyawa Arya.
"Akan ku belikan sesuatu untuk Surti. Pasti dia akan senang sekali jika ku berikan sebuah kejutan." gumamku. Aku memasukkan banyak sekali lembaran uang berwarna merah itu ke dalam ransel yang sudah ku siapkan.
"Pak. Bapak." tiba-tiba saja Surti memanggil. Rupanya dia sudah bangun. Dengan cekatan aku menyimpan kembali gentong berisi harta itu ke tempat yang tertutup agar tak di ketahui oleh Surti. Serta menyembunyikan ransel yang ku gunakan untuk wadah uang yang belum ku masukan semuanya.
Terdengar langkah kaki melewati gudang. Rupanya Surti berjalan ke arah dapur. Ia tak lagi mencariku. Terdengar ia sedang mengiris sesuatu yang baru saja ia keluarkan dari dalam lemari es. Mungkin ia akan memasak untuk sarapan.
Perlahan aku membuka pintu gudang agar Surti tak mendengar. Ku lihat dia masih fokus dengan sesuatu di tangannya. Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang.
"Pak, dari mana tadi?" tanyanya. Rupanya ia sedang mengiris bawang.
"Bapak habis jalan-jalan sebentar tadi." jawabku berbohong.
"Yasudah, tunggu disitu. Biar Ibu masak dulu, ya." jawabnya masih dengan suara parau. Meskipun Surti sudah tampak biasa, namun wajahnya tak bisa berbohong. Masih ada kesedihan yang mendalam di dalam hatinya yang masih terpancar dari raut kedua matanya.
Aku melihat Surti yang masih saja menangisi kepergian Arya. Bagiku wajar, orangtua mana yang tak merasa kehilangan saat anak yang mereka cintai pergi meinggalkan mereka untuk selamanya. Tentu saja aku merasakan hal yang sama. Hanya saja, semua ini ku lakukan untuk membahagiakan Surti, istriku.
Hari ini aku berniat untuk memberikannya kejutan. Sebuah hadiah kecil yang mungkin akan membuatnya melupakan kesedihan yang ia rasakan saat ini. Aku membawa Surti ke sebuah dealer mobil terbesar di kotaku. Senyum lebar ku berikan padanya berharap dia akan menyambutnya dengan gembira. Namun rupanya tak sesuai harapanku, Surti hanya terdiam tanpa ekspresi.
“Mengapa kita kesini, Pak?” Tanyanya bimbang. Kami menuruni mobil bersama. Ku gandeng tangannya dan segera memasuki dealer mobil dengan senyum sumringah. Lain halnya dengan Surti. Ia hanya tersenyum sekedarnya hanya untuk membalas sapaan para sales yang langsung menghampiri kami dan menawarkan beberapa mobil kepada kami.
Aku berbincang sebentar pada salah satu karyawan dealer untuk di berikan rekomendasi mobil mana yang bagus dan banyak di sukai oleh kaum wanita. Namun mataku tertuju pada Surti yang masih tampak murung. Ia terlihat duduk di kursi tunggu sambil memainkan gawainya. Sedikit pun tak tampak rasa senang pada wajahnya.
“Bu, sini.” Surti yang ku panggil langsung menghampiri dengan langkah gontai.
“Kamu mau yang mana?” tanyaku sambil menyodorkan brosur mobil pada Istriku itu. Surti menerimanya dengan malas, hanya sebentar ia melihat brosur yang ku berikan kemudian di kembalikannya lagi padaku.
“Kita pulang saja, Pak. Ibu lelah.” Jawabnya membuatku sedikit kecewa. Bagaimana pun aku sedang berusaha menghiburnya.
“Tapi, kamu belum memilih mobil mana yang mau di beli.” Jawabku.
“Untuk apa, Pak? Ibu tak butuh itu.” Jawabnya menusuk tepat di dadaku.
Aku tak bisa membujuk Surti. Ia tetap ingin pulang tanpa membeli mobil yang sudah ku tawarkan padanya terlebih dahulu.
Sepanjang perjalanan, Surti hanya terdiam. Tak ada obrolan di antara kami. Surti malah terus menatap ke jendela samping, entah apa yang ia lihat di sana.
“Bu.” Panggilku. Surti menoleh sebentar lalu pandangannya kembali pada luar kaca jendela.
“Kita mampir untuk makan dulu, ya.” Tawarku. Namun dia masih terdiam. Tampak dari pantulan kaca jendela kalau ia memejamkan mata. Tarikan nafasnya panjang-panjang, menandakan jika ia sedang merasa tidak baik-baik saja.
“Kamu mau makan apa?” aku menawarkan beberapa menu yang ada di buku. Aku memilih menepikan mobil di sebuah rumah makan yang di sukai oleh Surti. Biasanya, kami pergi ke rumah makan ini bertiga bersama Arya saat malam minggu. Arya suka sekali dengan restoran ini, selain lesehannya luas, ada kolam ikan yang cukup besar di sini.
“Apa saja, Pak. Tapi Ibu belum lapar.” Jawabnya.
“Tapi kamu harus makan. Bapak nggak mau kalau Ibu sakit.” Bujukku.
Akhirnya Surti mau makan setelah berulang kali ku bujuk. Meskipun tak sampai habis, setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.
“Kamu mau kemana lagi?” tawarku. Hari masih siang, namun Surti sudah tampak kehilangan selera untuk bepergian.
“Kita pulang saja, Pak. Aku benar-benar lelah.” Jawabnya.
Sesampai di rumah, Surti langsung masuk ke dalam kamar Arya dan menguncinya dari dalam. Aku yang berusaha mengejarnya tertahan di depan pintu yang tertutup rapat. Terdengar suara isak tangis Surti dari dalam kamar. Tangisan Surti benar-benar berhasil menyayat hatiku.
Aku memilih untuk masuk ke dalam kamarku dan Surti. Tak lupa ku kunci juga pintu kamar untuk berjaga-jaga kalau saja tiba-tiba Surti masuk ke dalam. Ku tarik ransel besar yang ku simpan di dalam laci bawah ranjang yang sudah ku siapkan sebelumnya. Surti tak mengetahui jika ranjang yang setiap hari kami gunakan itu memiliki laci rahasia tempatku menyimpan uang hasil pesugihan. Melihat jumlah tumpukan uang dan emas, membuatku langsung melupakan kesedihan yang ku rasakan karena kehilangan Arya. Binar bahagia menyelimuti hati dan pikiranku. Bagaimana tidak, aku yang dulunya seorang pemulung miskin kini jadi kaya raya tanpa takut kekurangan.
Pernah Surti bertanya, dari mana aku memiliki modal untuk membeli sebuah gudang besar untuk di jadikan tempat mengepul barang rongsokan yang di jual oleh para pemulung. Aku mengaku, jika semua itu ku beli dengan hasil menjual sawah almarhum Bapakku di kampung. Aku mengarang cerita jika Bapak meninggalkan beberapa hektar sawah kepadaku sebelum meninggal. Hanya saja, selama ini sawah itu di kelola oleh Bibi, adik dari almarhum Bapak. Padahal sebenarnya, Bapak tak meninggalkan apapun untukku setelah kepergiannya. Surti yang memang baru mengenalku sebentar, ditambah ia seorang pendatang yang merantau mencari pekerjaan, ia tak tahu banyak tentang keluargaku. Jadi apapun yang ku ceritakan padanya tentang keluargaku ia akan percaya.
Surti dulu hanyalah pegawai pabrik sepatu. Aku tertarik kepadanya karena selain cantik, hanya dia yang selalu sopan dan menghargaiku meskipun aku berpenampilan kumal dan bau. Dimana kawan-kawannya selalu memandang rendah kepadaku, Cuma Surtilah yang tak pernah merasa jijik mengobrol denganku. Aku biasa memungut sampah di kawasan industri tempat Surti bekerja. Setiap sore aku melihatnya menunggu ojek langganannya di depan pagar pabrik tempat ia bekerja. Di situlah awal mula kami berkenalan. Aku yang memiliki wajah lumayan, meskipun penampilan kumal dan acak-acakan, berhasil mengambil hati Surti dan akhirnya berhasil menikahinya. Meskipun hidup kami pas-pasan, bahkan untuk biaya hidup dan makan sehari-hari banyak di tanggung oleh Surti dengan gajinya, ia tak pernah mengeluh. Bahkan ia tetap menghargai dan memperlakukan aku dengan hormat. Hanya saja, keluarganya selalu memandangku remeh. Bahkan Surti sering dibilang bodoh karena mau menikah denganku yang hanya berprofesi sebagai pemulung. Namun, Surti tetap membelaku dan tak pernah berubah dalam memperlakukanku. Itulah yang membuatku bertekad untuk membahagiakannya bagaimanapun caranya.
“Jangan di pikirkan, Mas. Rejeki sudah ada yang mengatur. Aku tetap bahagia hidup sama kamu. Aku tidak pernah menyesal meskipun mereka semua mengatakan jika aku bodoh telah memilihmu.” Ucapan Surti benar-benar membuatku merasa di hargai sebagai suami.
Surti seorang yatim piatu. Kami menikah di walikan oleh pamannya, kakak dari Bapaknya Surti. Bapaknya sudah meninggal sejak Surti berumur sepuluh tahun. Sejak saat itu, Surti ikut dengan pamannya serta bibinya. Selepas lulus sekolah, Surti merantau ke kota untuk bekerja hingga akhirnya takdir mempertemukan kami berdua.
“Apa tidak ada laki-laki lain, Ti?” tanya Bi Enoh, istri dari paman yang menikahkan kami berdua.
“Memangnya kenapa, Bi? Mas Rudi itu baik. Apa salahnya jika dia menjadi suamiku?” Surti berusaha memberikan pengertian.
“Ya sudah kalau itu maumu. Tapi, kamu jangan menyesal di kemudian hari.” ucap Bi Enoh.
“Menyesal kenapa, Bi?”
Bi Enoh menghela nafas.
“Pernikahan itu akan banyak cobaannya. Semoga kalian bisa dan mampu melewatinya. Karena cobaan ekonomilah yang sering membuat gagalnya dalam berumah tangga.” Nasehat Bi Enoh yang selalu ku ingat saat tak sengaja mendengar obrolan Bibi dan keponakannya itu.
Sebenarnya Bi Enoh orang yang baik. Bahkan ia sudah menganggap Surti seperti anaknya sendiri. Namun, saudara sepupu Surti yang selalu menghinanya. Dari kecil, mereka memang kurang menyukai Surti yang tiba-tiba saja ikut tinggal bersama mereka. Bahkan mereka merasa cemburu dengan perlakuan Bi Enoh kepada Surti yang dibilang istimewa.
“Adikmu itu yatim piatu. Kalian jangan sekali-kali menyakiti hatinya. Ingat, dosa menyakiti anak yatim piatu seperti adikmu itu.” Itulah pesan Bi Enoh kepada anak-anaknya saat Surti baru saja di buat menangis oleh mereka.
Bi Surti memiliki empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Hanya Mas Andrilah, anak tertua dari Bi Surti dan Paman Sapto yang baik dan menyayangi Surti seperti adiknya sendiri. Bahkan hingga sekarang, hanya Mas Andrilah yang masih berhubungan baik dengan kami, menjaga silaturahmi pada keluarga kecilku. Bahkan, saat kematian Arya kemarin, Mas Andri datang sejak sore hari setelah kami kabari jika Arya meninggal dunia bersama istri dan anaknya. Bi Surti dan Paman Sapto pun turut juga. Ketiga adiknya datang di hari berikutnya, dimana jenazah Arya sudah akan di angkat untuk di makamkan. Namun perlakuan mereka sudah tak seperti dulu. Melihat kondisi ekonomi kami sudah berkembang pesat, jauh dari sebelumnya dimana mereka melihat kami hidup serba kekurangan, membuat mereka seolah sedang menjilat ludahnya sendiri. Memperlakukan kami dengan sangat baik dan di sanjung-sanjung layaknya orang terhormat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!