Empat tahun berlalu, sejak perceraian dengan mantan istrinya. Pierre berhasil menduduki jabatan sebagai direktur di rumah sakit milik keluarganya.
Mungkin bagi sebagian orang di luar sana hidup Pierre begitu sempurna. Memiliki wajah tampan, karier yang bagus dan keluarga yang bahagia.
Namun siapa sangka, dirinya sampai saat ini masih terus terpaku dengan masa lalu yang membelenggunya. Selama empat tahun lamanya atau lebih tepatnya setelah perginya Madeline dalam hidupnya, tak sehari pun melewatinya dengan segala penyesalan yang mengarungi.
Sejak tadi, Pierre terus menatap figura yang selalu ada di meja kerjanya. Foto Madeline dengan wajah yang terlihat kelelahan, namun aura kecantikan semakin menguat, hingga kerap kali Pierre merasa rindu pada mantan istrinya.
"Kau tahu, aku selama ini tak pernah berhenti mencarimu. Aku selalu mencarimu, tapi keluargamu begitu pandai untuk menutupi keberadaanmu," Pierre berbicara seorang diri sambil mengusap figura Madeline.
Pierre seperti orang kehilangan arah sejak perginya Madeline dari hidupnya. Pria itu terus mencarinya, bahkan yang lebih parahnya Pierre sering memimpikan Madeline. Tapi tidak hanya Madeline saja, ada seorang anak kecil di belakanganya Madeline.
Karena terlalu fokus memikirkan Madeline, membuat Pierre tak sadar jika Dokter Arsen masuk ke ruangan miliknya. Agar tidak menjadi bahan ejekan nantinya, Pierre menaruh figura Madeline di dalam laci mejanya.
"Tak perlu kau sembunyikan, aku sudah tahu kau sedang menatap foto Madeline," celetuk Arsen.
Pierre langsung mendengus karena kesal,"Ada apa kau kesini?" tanyanya dengan ketus.
"Oh slow, dude. Jangan seperti wanita yang sedang datang bulan. Kerjaanmu ini tiada hari tanpa marah-marah," gerutunya.
Pierre tak mengambil pusing ucapan Arsen, pria itu terus menatap ke arah Arsen.
"Ada apa kau kesini, jika tak ada kepentingan lain kau bisa keluar dari sini. Tau pintu keluar di mana, bukan?" tanyanya.
Arsen menghela nafas dengan panjang, semenjak Madeline pergi. Pierre menjadi terlalu sensitif dan suka menyendiri. Hingga terkadang keluarga Spencer khawatir dengan putranya itu, dan tak hanya itu, keluarga Spencer sampai mengatur kencan dengan anak rekan bisnisnya agar Pierre segera menikah dan memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Madeline.
Tapi semua tak sesuai harapan tentunya, Pierre tetap tak ingin memulai lagi. Perasaan cintanya sudah habis untuk Madeline yang pernah ia sia-siakan dulu.
Sekalipun ia ingin menjalin hubungan baru. Itupun hanya ingin ia lakukan dengan Madeline. Tapi, apa Madeline masih ingin bersamanya? Setelah apa yang ia lakukan kepada wanita itu?
"Apa kau seperti ini karena ada paksaan dari keluargamu lagi, huh?" tanya Arsen. Ia lebih suka Pierre yang dulu. Suka menindas dan banyak di gemari sekitar.
"Seperti yang kau sudah ketahui selama ini," terdengar suara gamang Pierre yang melontarkan kata-kata yang mampu membuat Arsen membalas telak ucapan rekan sekaligus atasannya ini.
"Mungkin itu adalah karma untukmu yang sudah mempermainkan hidup Madeline, makanya kau hidup tanpa gairah, gersang seperti pasir di gurun," celetuknya tanpa memikirkan perasaan Pierre. Ia berbicara sekaligus meluapkan kekesalannya pada pria itu.
Wajar saja Madeline pergi jauh, toh apa yang di perbuat Pierre memang tak termaafkan meski Pierre bersujud di bawah kaki Madeline sekalipun.
Pierre langsung diam, matanya terus menerawang pada kejadian yang sudah hampir empat tahun berlalu itu.
"Tak usah bahas karma, sekarang beritahu padaku jadwal selanjutnya. Aku ingin kembali ke apartment," suruh Pierre. Ia memilih untuk menghindari pembicaraan sensitif itu daripada nantinya ia akan mati kutu karena masalah di masa lalunya itu.
Arsen menggelengkan kepala,"Tidak ada, adanya bulan depan," jawabnya.
"Bulan depan?" tanya Pierre dengan penasaran.
Arsen ponsel dari saku jas yang ia kenakan, pria itu memberikan tentang jadwal yang akan Pierre lakukan bulan depan.
"Bulan depan ada pertemuan dari himpunan dokter onkologi antar negara, dan kau sebagai pemimpin sekaligus bagian dari dokter di haruskan untuk datang." jelas Arsen. Pria itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas.
Pertemuan? Antar negara? Pierre memang tahu akan tentang ini. Tentang pertemuan yang di adakan beberapa tahun sekali dan melibatkan dokter-dokter hebat di negaranya.
Kurang lebih lima tahun lalu, pertemuan itu di hadiri oleh Madeline yang tak lain dokter onkologi paling berkompeten di rumah sakit ini.
Tapi sekarang? Entahlah, siapa yang ini mewakilkan rumah sakit ini.
"Apa bisa di wakilkan dengan yang lain saja?" Tanya Pierre. Ia tak lagi memiliki semangat untuk ikut dalam kegiatan besar ini, Pierre hanya ingin kembali ke apartment untuk mengurung diri.
Arsen menggelengkan kepala. Sejak awal ia sudah memprediksi jika Pierre akan menolak untuk datang, tapi perintah tuan Spencer tak bisa ia abaikan begitu saja atau nanti dirinya itu di salahkan dalam hal ini.
"Tidak bisa, Tuan Spencer sendiri yang memintamu untuk menghadirinya kali ini. Soalnya beberapa tahun terakhir ialah yang selalu datang mewakili rumah sakit ini setelah Madeline mengundurkan diri," jawab Arsen.
Pierre berpikir sejenak. Ingin menolak ia pun tak ada kuasa, mengingat tuan Spencer masih ikut campur dalam urusan rumah sakit, meskipun tidak sepenuhnya seperti sebelumnya.
"Di mana pertemuan itu dilaksanakan?" tanya Pierre.
"Di Milan."
Milan? Nama kota yang berada di belahan bumi utara, tempat di mana sering kali ia kunjungi. Berharap menemukan Madeline di sana, mengingat Madeline pernah bercerita jika ia memiliki sepupu yang tinggal di sana.
Toh, siapa tahu ia disana. Tapi itu semua nihil, ia tak menemukan apapun di sana.
Pierre meraup oksigen dengan rakus, mengisi paru-parunya yang terasa gersang saat ini. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada memupuk penyesalan seperti yang Pierre rasakan saat ini.
"Aku akan usahakan untuk datang," jawabnya setelah beberapa saat diam.
Arsen mengangguk, pria berjalan mendekati Pierre dan menepuk bahu kekar pria itu.
"Kau harus datang, siapa tahu di sana banyak dokter cantik dan bening seperti bihun," selorohnya dengan penuh semangat.
Pierre langsung menatap nyalang ke arah Arsen, seakan meminta penjelasan akan ucapan pria itu.
"Apa maksudmu? Apa kau pikir aku menghadiri pertemuan ini untuk mencari jodoh,"
"Ya siapa tahu, yang namanya jodoh tidak kemana, bukan?"
Ucapan Arsen tidak salah memang, hanya saja dirinya begitu terusik dengan hal itu. Mencari jodoh? Di umurnya yang sudah matang seperti ini memang dirinya membutuhkan pasangan hidup. Pasangan yang akan menemani dalam suka duka...
Tapi, mencari itu semua tidak seperti mencari sebongkah emas di toko perhiasan. Tidak semudah itu! Ia perlu mencari tahu asal-usul sampai tentang dari wanita yang akan ia pilih. Ia tak ingin kecolongan seperti saat menjalin hubungan dengan Yara di belakang Madeline.
Yang tanpa Pierre ketahui, jika wanita itu mendekati agar mendapatkan apa yang diinginkan. Yaitu uang Pierre saja.
"Sampai saat ini kau tak tahu kabar Madeline?"
Arsen menggelengkan kepala,"Aku tak pernah mencari tahu kabarnya, aku khawatir saat aku mengetahuinya akan menjadi celah untukku mendapatkan dirinya." jawab Arsen. Ia tak pernah bohong tentang apapun yang ia ucapkan kepada Pierre. Termasuk tentang dirinya yang pernah menaruh perasaan dengan dokter cantik itu.
Pierre langsung menatap jengah ke arah Arsen, pria itu memang mampu membuat suasana hati dan pikirannya kacau hanya dengan menyebut nama Madeline.
"Lupakan perasaan bodoh itu, karena sampai kapanpun kau takkan bisa mendapatkan itu," tekan Pierre.
Arsen hanya tersenyum miring,"Aku takkan mungkin bisa lupa, Pierre. Bahkan, sampai saat ini rasa itu masih nyata aku rasakan. Dan kau jangan lupa, selain aku dan kau. Masih ada Raiden yang masih menaruh perasaan terlarang itu kepada Madeline." Ingat Arsen.
Pierre terdiam, ia pikir selama ini saingannya adalah Raiden. Namun ternyata salah, banyak di luar sana yang menanti Madeline. Bahkan menerima Madeline setelah menjanda darinya.
Ia semakin menyesal karena melepas Madeline, ia takut membayangkan Madeline yang hidup bahagia bukan dengan dirinya.
"Mungkin jika sedang mengenakan seragam kerja, kita adalah rekan kerja. Tapi jika di luar, kita tetaplah lawan," Arsen menekankan pada Pierre tentang batasan di antara keduanya.
"Aku permisi," pamitnya.
Arsen langsung berlalu meninggalkan Pierre, pria itu membuka tuas pintu ruangan kerja Pierre. Lalu setelah itu menoleh ke arah pria itu.
"Oh iya aku lupa, nanti malam kau ada jamuan makan dengan rekan Daddymu di restoran yang ada di pinggir kota Los Angeles," Arsen sampai melupakan hal itu karena membahas Madeline yang tak ada hentinya.
Bagi Arsen sendiri, Madeline adalah cewek sempurna di mata. Tidak hanya cantik, pintar dan dewasa. Wanita itu memiliki daya pikat tersendiri bagi arsen, yaitu cerewet. Wanita itu banyak sekali berbicara hingga pada akhirnya wanita itu pergi.
Dan Arsen sangat merindukan suara berisiknya itu.
Dan kini, hanya tinggal Pierre seorang diri diruangan kerjanya. Pria itu berkali-kali menyugarkan rambutnya dengan tangan.
"Argh!" Pierre tak tahu lagi harus melakukan apa saat ini, ia tak bisa berpikiran dengan jernih.
"Lebih baik aku cari makan saja, setelah itu baru kembali berpikir." Pierre melepas jas putih yang membalut tubuhnya. Lalu pria itu berjalan keluar ruangan menuju lift yang letaknya tak jauh dari ruangan kerja miliknya.
Sambil menunggu lift terbuka, Pierre memainkan ponsel miliknya. Ia berselancar di internet sambil mencari tahu keberadaan Madeline dari media sosial milik wanita itu.
Namun tetap saja nihil, media sosial milik wanita itu terakhir kali aktif adalah lima tahun lalu.
Ting! Suara lift terbuka. Pierre langsung segera masuk dan menekan tombol lift untuk sampai ke lantai bawah.
Pierre langsung keluar dari lift setelah sampai di lantai yang ia tuju, ia terus berjalan melewati lorong rumah sakit yang terlihat sedikit sepi.
Pierre terus melangkahkan kakinya hingga ia tak menabrak seseorang.
"Lain kali gunakan matamu untuk berjalan, lihat kalau ada orang." ucap seorang pria dengan nada yang terdengar begitu kesal.
Pierre seperti kenal dengan suara itu, ia sering kali mendengar suara itu saat dirinya memohon untuk memberitahu kepadanya tentang keberadaan Madeline.
"Raiden...,"
"Long time no see, direktur Pierre Cardin Spencer." ucapnya dengan tersenyum sinis. Jika mengingat tentang Pierre, Raiden jadi ingat dengan Madeline yang selalu menangisi pria itu. Maka dari itu, sampai kapanpun Raiden takkan memberitahu keberadaan Madeline kepada Pierre meskipun pria itu menyerahkan nyawanya sekalipun kepadanya.
Seperti biasa, Pierre takkan mengambil pusing ucapan Raiden. Ia akan terus meminta kepada Raiden untuk memberitahu kepada tentang keberadaan Madeline, meski Pierre sadar jika itu adalah hal yang nihil.
"Aku sibuk mencari Madeline, tapi sampai saat ini tidak ketemu juga. Mungkin kau bisa berbaik hati memberitahu padaku tentang keberadaan Madeline." jawabnya dengan tenang namun penuh dengan harap.
Raiden kembali tersenyum miring, pria itu sudah bisa menebak sebelumnya. Namun pria itu sengaja agar bisa melontarkan kata-kata menyakitkan kepada Pierre sebagai balasan karena telah menyakiti Madeline.
"Kau ingin tahu, tuan Spencer?"
Pierre dengan penuh harap mengangguk,"Tentu, sangat ingin."
Raiden berjalan mendekati Pierre, dan tangannya mendorong bahu Pierre hingga membuat Pierre mundur selangkah.
"In your dream! Cari saja sendiri." Setelah mengatakan itu, Raiden langsung berlalu meninggalkan Pierre yang masih terdiam.
Pierre perlahan sadar saat Raiden sudah jauh darinya, ia memutuskan untuk pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang sejak tadi terus bernyanyi tanpa henti.
Jauh di Milan, seorang wanita saat ini sedang menggandeng anak laki-laki yang sebentar lagi menginjak usia empat tahun.
Ya, wanita itu adalah Madeline. Seorang ibu sekaligus ayah untuk putranya yang bernama Kenneth Marshall Spencer.
Keduanya keluar dari sebuah pusat perbelanjaan sambil membawa tas belanja yang berisi keperluan serta mainan untuk Kenneth nantinya saat ia kembali bekerja.
Sejak beberapa bulan melahirkan Kenneth, Madeline memutuskan kembali bekerja sebagai dokter onkologi di sebuah rumah sakit yang ada di kota Milan. Tentu semua itu berkat bantuan Piero yang memiliki rekan bisnis yang bergerak di bidang kesehatan.
Sementara Kenneth, bocah berusia empat tahun itu ia titipkan kepada Daddy-nya yang memutuskan untuk pensiun karena ingin menghabiskan waktu bersama anak dan cucunya itu.
Jadilah Madeline bekerja untuk menghidupi kedua orang tersayangnya, meskipun sepupunya sering kali mengirimkan uang dengan alasan untuk jajan kenneth. Hal itu tak membuat Madeline berpangku tangan kepada sepupunya. Toh, sepupunya juga sudah memiliki keluarga sendiri yang harus ia hidupi.
"Mommy, aku sudah memiliki mainan ini. Lalu untuk siapa yang ini?" tanya Kenneth sambil menunjukkan kotak mainan yang berisi mobil remote.
Madeline menatap putranya sambil mengelus surainya yang begitu mirip dengan Pierre yang tak lain mantan suaminya itu.
"Itu untuk Clovis, boy. Mobilan Clovis rusak karena di tabrakan ke tembok dan tak bisa lagi di gunakan." ucap Madeline dengan lembut. Saat itu Kenneth sedang berada di mansion sepupunya untuk mengajak putranya bermain di sana sekaligus bertemu dengan Clovis. Kenneth yang saat itu memainkan mobil remote Clovis, dengan tak sengaja menekan tombol hingga mobilan itu melaju dengan kencang hingga menabrak tembok dan akhirnya hancur.
Kenneth yang mendengar ucapan Mommy-nya merasa bersalah. Karena itu semua adalah salahnya, tapi ia tak bisa berbuat banyak selain meminta maaf pada Clovis yang saat itu menangis karena mainan kesayangannya rusak.
"Maaf, Mommy." ucapnya sambil menundukkan kepala.
Madeline mengangguk, langsung menangkup wajah putranya yang begitu lucu. Ia menghadiahkan dengan sebuah kecupan di pipi.
"Mommy maafkan, boy. Lain kali harus hati-hati, okey. Jangan sampai seperti kemarin." pesan Madeline.
Kenneth mengangguk,"Baik, Mommy." ucapnya sambil sikap hormat.
Madeline langsung menggandeng tangan kecil putranya untuk masuk ke sebuah restoran jepang yang ada di mall itu.
Saat keduanya sedang menunggu pesanan datang, di kejutkan dengan kedatangan seorang pria yang saat ini berusaha masuk ke dalam kehidupan keduanya.
"Hello, boy," sapa pria itu yang kini duduk di samping kenneth.
Kenneth langsung menoleh, seulas senyum terbit dari bibir tipisnya.
"Uncle...," Kenneth langsung memeluk pria itu dengan penuh kerinduan, hidup tanpa sosok ayah membuatnya begitu banyak mencari perhatian dengan pria itu.
Madeline yang melihat pun ikut tersenyum,"Oliver? Apa kau mengikuti kami?"
Ya, pria itu bernama Oliver. Salah satu pria yang saat ini sedang mendekati Madeline. Awal mengenal Madeline adalah saat keduanya harus di libatkan dalam operasi besar pada pasien yang komplikasi saat itu.
Oliver yang merupakan dokter jantung, begitupun dengan Madeline yang merupakan dokter onkologi.
Kedekatan keduanya sering kali menjadi perbincangan sekitar. Dan tak hanya itu, ia juga sering kali menjadi bahan ejekan sepupunya yang meminta untuk segera menikah.
Menikah? Yang benar saja? Sampai saat ini Madeline belum berani untuk membuka hati, cukup Pierre saja yang menyakiti dirinya. Jangan sampai pria lain melakukan hal sama seperti yang dilakukan Pierre kepadanya.
Perihal perasaan Madeline kepada Pierre. Madeline sendiri sudah bisa memastikan jika tak ada lagi nama pria itu di hatinya, hanya saja ia tak ingin terlibat hubungan dengan siapapun sampai benar-benar dirinya siap.
Oliver, pria itu mendengar ucapan Madeline hanya bisa tertawa.
"Kau ini terlalu percaya diri, nona Marshall,"
"Lantas, apa yang kau lakukan sampai bisa tahu kita ada disini?" tanya Madeline yang tak ingin asumsinya di salah artikan.
Oliver hanya mengedikkan bahu,"Entahlah, aku kebetulan ingin membeli dasi untuk pertemuan bulan depan. Bukankah kita berdua adalah perwakilan?" tanya oliver.
Madeline yang mendengarnya langsung menepuk dahinya. Bisa-bisanya ia melupakan agenda penting itu karena terlalu sibuk menghabiskan waktu bersama Kenneth.
"Astaga! Bagaimana aku bisa lupa seperti ini." seru Madeline.
Oliver hanya bisa tersenyum menatap Madeline, wanita itu menurutnya begitu lucu jika sedang panik seperti itu.
"Maka dari itu aku mengingatmu," ucap Oliver sambil menyesap minuman yang ia pesan tadi.
Madeline pun ikut tersenyum. Sungguh, Madeline sendiri belum mempersiapkan apapun termasuk pakaian yang akan ia kenakan nanti. Tapi untungnya, Oliver mengingatkan dirinya hingga dirinya masih ada waktu untuk mencari barang yang ia perlukan.
"By the way, thank's sudah mengingatkan aku. Mungkin setelah ini aku akan mencari pakaian untukku,"
Oliver mengangguk,"Dengan senang hati, nona cantik." balasnya sambil melontarkan pujian.
Madeline yang mendengarnya pun langsung bersemu merah. Jarang sekali ia di puji oleh lawan jenis selain para sepupu tampannya itu.
"Jangan memujiku, aku malu dengan Kenneth," ucap Madeline.
Oliver sampai berdecak melihat Madeline tersipu malu, pria itu menoleh ke arah Kenneth yang sejak tadi menjadi pendengar setia.
"Kenapa harus malu, harusnya kau senang." ucap Oliver. Pria itu menatap Kenneth.
"Kenneth, Mommymu cantik, bukan?" tanya Oliver.
Kenneth mengangguk dengan penuh semangat,"Mommy selalu cantik di mataku, uncle." jawabnya.
Aish, rasanya ingin sekali Madeline bersembunyi di balik tumpukan jerami saking malunya saat ini.
"Kalian ini bicara apa, sih."
"Sudah, ayo kita makan. Makanan sudah datang," suruh Madeline saat melihat makanan yang mereka pesan sudah ada di hadapan.
Kedua pria beda generasi itu mengangguk, lalu mereka hormat ke arah Madeline.
"Siap, Mommy." jawabnya dengan bersamaan.
Dan lagi, Madeline tak mampu lagi menutupi rona merah di wajahnya. Tapi untuk kali ini ia abaikan, mengingat mereka harus mengisi perutnya yang sejak tadi keroncongan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!