NovelToon NovelToon

ZIELL

ZIELL ; The Prologue.

Malam itu hujan turun deras, menciptakan suara gemuruh yang menyelimuti kota seperti alunan simfoni yang suram. Kilatan petir sesekali menerangi langit malam, diiringi oleh gemuruh guntur yang memecah kesunyian. Di salah satu sudut kota, sebuah rumah sakit berdiri megah, tapi kehangatan yang biasanya memancar dari tempat seperti itu lenyap, digantikan oleh ketegangan yang terasa di setiap sudut ruangan beraroma antiseptik.

Di dalam ruangan bersalin yang remang, tangisan seorang bayi memecah suasana hening. Bayi perempuan itu baru saja lahir, namun bukan kebahagiaan yang menyambutnya. Di pelukan ibunya, bayi tersebut menangis sejadi-jadinya, seakan mengetahui betapa kelamnya dunia yang baru saja dia masuki. Wanita yang menggendongnya, Sweetly Vivienne Svetlana, menatap anak itu dengan mata sembab, tanda betapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan selama beberapa hari terakhir. Pipinya masih basah, wajahnya pucat dan terlihat sangat lelah.

Sweetly baru saja melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya. Kematian Anzel Rafendra Pratama, suami yang dia cintai, menghantam dirinya seperti badai yang menghancurkan segalanya. Dia merasa seakan hidupnya telah hilang seiring dengan kepergian pria yang telah memberinya kebahagiaan sesaat. Kini, hanya bayi kecil yang dia lahirkan ini yang tersisa—buah cinta dari Anzel, satu-satunya yang membuatnya tetap bertahan.

Sweetly menarik napas panjang, berusaha meredakan gemuruh di hatinya. Meski lelah dan hatinya dipenuhi kesedihan yang mendalam, dia tahu bahwa dia harus segera pergi. Tidak ada waktu lagi untuk bersedih, karena dunia di luar sana tidak pernah memberi tempat bagi mereka yang lemah. Di luar ruangan, langit menumpahkan hujan deras, seolah turut berduka bersama Sweetly.

Tanpa banyak bicara, dia bergegas keluar dari ruangan bersalin, membawa bayi itu dalam dekapannya yang penuh cinta, tapi juga ketakutan. Rintik hujan mulai membasahi pakaiannya begitu dia keluar dari rumah sakit, namun Sweetly tidak memedulikannya. Di dalam hatinya, hanya ada satu keinginan—melindungi anaknya dari semua bahaya yang ada. Dia berjalan cepat menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan, berusaha melawan rasa cemas yang semakin mencekam.

Namun, di kejauhan, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti, mesinnya masih menyala, lampu depannya menerangi jalan basah yang diguyur hujan. Di dalam mobil itu, seorang wanita duduk dengan ekspresi yang dingin dan tak terbaca. Tatapannya tertuju pada satu titik—sosok wanita yang sedang menggendong bayi di dekapan eratnya, berlari menembus hujan.

Wanita itu adalah Stella Victoria Parvyez, mantan tunangan Anzel, pria yang kini telah tiada. Tatapan matanya begitu tajam, hampir seperti predator yang mengintai mangsanya. Wajahnya yang cantik tak menunjukkan emosi apa pun, namun di balik kesunyian itu, dendam lama berkecamuk hebat di dalam dadanya. Stella telah lama menyimpan kemarahan yang mendidih terhadap wanita yang kini ada di depannya, Sweetly. Wanita yang dulu dia anggap sebagai sahabat baiknya, kini telah menjadi musuh terbesarnya. Sweetly, yang telah merebut Anzel, pria yang seharusnya menjadi miliknya.

Dulu, Stella dan Sweetly seperti saudara. Mereka berbagi banyak hal, termasuk mimpi-mimpi mereka tentang cinta dan masa depan. Tapi semuanya berubah ketika Anzel, tunangan Stella, memilih untuk bersama Sweetly. Saat itu, Stella tidak hanya kehilangan pria yang dia cintai, tapi juga kehilangan harga dirinya. Anzel meninggalkan dirinya untuk wanita yang dia pikir hanya sahabat, dan itu adalah pengkhianatan terbesar yang pernah Stella rasakan.

Anzel sudah tiada sekarang, tapi dendam Stella tidak mati bersama kepergiannya. Dendam itu semakin membara di dalam hati Stella, dan dia tahu bahwa Sweetly harus membayar harga atas apa yang telah dia lakukan. Stella tidak bisa membiarkan Sweetly hidup dengan damai, tidak setelah semua yang terjadi. Dan malam ini, di tengah hujan deras, Stella akan memastikan Sweetly merasakan apa yang pernah dia rasakan—kehilangan segalanya.

Stella menatap tajam ke arah Sweetly yang berusaha masuk ke dalam mobilnya. Di dalam dekapan Sweetly, bayi itu menangis semakin kencang, seakan merasakan kecemasan yang ada disekelilingnya. Stella memperhatikan dengan teliti setiap gerakan Sweetly, seolah sedang menunggu momen yang tepat untuk bertindak.

Sopir di samping Stella menatapnya, seolah menunggu perintah. “Jangan sampai dia lolos,” perintah Stella dengan suara yang datar namun tegas. Sopir itu mengangguk tanpa bicara dan segera memacu mobilnya, memotong jalur mobil Sweetly yang baru saja keluar dari parkiran rumah sakit. Kejadian berikutnya terjadi begitu cepat—suara klakson yang panjang, ban yang berdecit di atas aspal basah, dan kemudian, tabrakan keras yang tak terhindarkan.

Suara benturan logam beradu terdengar menggema di jalanan yang lengang. Mobil Sweetly terlempar ke samping, menabrak tiang lampu jalanan sebelum akhirnya terbalik. Kaca mobil pecah berhamburan di jalan, bersama dengan dentingan suara hujan yang terus mengguyur tanpa henti.

Di dalam mobilnya, Stella duduk diam, memperhatikan kehancuran yang baru saja dia sebabkan. Senyum tipis terbentuk di bibirnya, senyum yang dingin dan tanpa emosi. Dia membuka pintu mobilnya dengan perlahan, melangkah keluar ke dalam hujan deras yang membasahi tubuhnya. Stella tidak peduli dengan pakaian mahal yang kini kuyup oleh air hujan. Matanya tetap tertuju pada mobil Sweetly yang terbalik, tempat di mana semua dendamnya akan terbayar malam ini.

Dengan langkah mantap, Stella berjalan mendekati mobil yang hancur itu. Di antara puing-puing kaca yang berserakan di jalan, suara tangisan bayi masih terdengar—nyaring dan memilukan. Sweetly terbaring di kursi kemudi, tidak bergerak, darah mengalir dari pelipisnya, membasahi wajahnya yang pucat. Tapi bagi Stella, Sweetly sudah tidak lagi penting. Hanya satu hal yang menarik perhatiannya—bayi kecil yang masih berada dalam pelukan Sweetly.

Stella berhenti di depan mobil yang terbalik itu, memandang bayi yang menangis histeris di dalam dekapan ibunya. Dengan tangan dingin dan tanpa ragu, Stella membungkuk dan mengulurkan tangannya mengambil bayi itu dari pelukan Sweetly yang tidak lagi bisa melawan. Bayi itu menjerit lebih kencang saat tangan Stella menyentuhnya, seakan tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Stella mengangkat bayi itu ke dalam pelukannya, menatap wajah kecil yang kini berada dalam genggamannya. "Vanellye Arch Equeenza," bisiknya, memberikan nama baru kepada bayi yang baru saja dia ambil dari ibunya. Bayi itu kini menjadi miliknya—bukan sebagai anak yang dicintai, tapi sebagai alat balas dendam. Dia akan membesarkan bayi ini di bawah pengaruh kebencian dan dendam, dan setiap kali dia melihat mata anak itu, Stella akan teringat akan pengkhianatan yang dilakukan oleh Sweetly.

Stella melangkah mundur, meninggalkan Sweetly yang terbaring tak bergerak di antara puing-puing kehancuran. Hujan terus turun deras, menyapu bersih darah yang mengalir di jalan, namun tidak ada yang bisa menyapu bersih dendam di dalam hati Stella. Dia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

Dan Ellyenza, bayi kecil yang tidak bersalah, kini telah menjadi bagian dari permainan gelap yang Stella ciptakan.

...• Bersambung •...

ZIELL 1 ; Bayangan Masa Lalu.

..."Pertemuan itu tak selalu indah, perpisahan juga bukan selamanya merupakan suatu hal yang menyakitkan."...

...- Kenzie William Franklyn -...

...●●●...

Pagi di awal musim gugur. Sinar matahari yang lembut menerobos melalui celah-celah tirai tebal di kamar Ellyenza, menciptakan bayangan samar yang menari-nari di dinding. Udara terasa sedikit dingin, dan suara burung-burung yang berkicau di kejauhan hampir tidak terdengar di balik dinding kamar yang tebal. Di sudut ruangan yang redup, di depan sebuah cermin besar berbingkai kayu gelap, Ellyenza berdiri dengan tatapan kosong.

Seragam sekolah menengah atasnya—kemeja putih bersih dengan rok abu-abu yang sedikit kusut di bagian pinggir—tergantung rapi di tubuhnya, namun ada sesuatu yang tidak sejalan antara penampilannya dan ekspresi wajahnya. Rambut panjangnya yang tergerai lepas tampak sedikit berantakan, beberapa helai melayang di udara, tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya yang tajam, penuh dengan kelelahan, menatap lurus ke pantulan dirinya di cermin. Ellyenza menarik napas panjang, seolah sedang berusaha menenangkan gemuruh yang terjadi di dalam dadanya.

Dia tidak pernah menyukai cermin, bukan karena dia tidak menyukai penampilannya, melainkan karena setiap kali menatap pantulan dirinya, ingatan-ingatan dari masa lalunya yang kelam selalu menghampiri. Cermin itu seperti portal yang membuka kembali luka-luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Masa-masa ketika dia masih seorang gadis muda yang penuh harapan, sebelum semuanya berubah. Sebelum Kevin.

Kevin Sultan Alaswell. Nama itu muncul di pikirannya seperti duri yang menusuk. Dua tahun lebih tua darinya, lelaki itu adalah cinta pertamanya. Kevin dengan segala janji manisnya, senyum yang membuat Ellyenza merasa istimewa, dan tatapan yang dulu membuatnya berpikir bahwa dia adalah satu-satunya di dunia ini. Namun, semua itu hanyalah kebohongan.

Ellyenza menggigit bibirnya, menahan perih di dadanya yang kembali muncul saat mengingat saat-saat itu. Saat dia berusia 15 tahun, jatuh cinta untuk pertama kalinya, dan juga pertama kali dikhianati. Kevin, yang seharusnya menjadi pendukungnya, malah meninggalkannya ketika dia paling membutuhkan. Saat ia mengetahui bahwa dia hamil, Kevin memilih untuk kabur, meninggalkannya sendirian dengan masalah yang begitu besar. Dunia Ellyenza yang dulu penuh warna tiba-tiba runtuh, dan dari reruntuhan itulah, dia membangun dirinya yang sekarang—sosok yang keras, sinis, dan penuh pemberontakan.

"Tidak ada yang berbeda dari hari ini dengan hari sebelumnya ..." gumam dia lirih, suaranya nyaris tanpa emosi. Matanya tetap terpaku pada bayangannya di cermin. Setiap hari adalah perjuangan yang sama, melawan ingatan-ingatan pahit, menahan sakit yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Tangannya bergerak merapikan kerah seragamnya yang sedikit miring, lalu dia menatap cermin itu sekali lagi, lebih lama kali ini. Dia tahu, tidak ada yang bisa mengubah masa lalunya, tidak ada yang bisa menghapus jejak luka yang telah tertanam dalam di hatinya. Gadis ceria yang dulu penuh dengan impian dan harapan telah lama pergi. Yang tersisa kini hanyalah sosok yang berusaha bertahan di dunia yang terus-menerus menghantamnya dengan kenyataan pahit.

Setelah mengambil tas sekolahnya yang tergeletak di kursi dekat tempat tidur, Ellyenza melirik ke cermin untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Pintu kamar tertutup di belakangnya dengan pelan, menyisakan bayang-bayang dari masa lalu yang selalu setia menghantuinya.

...•••...

Langkah kaki Ellyenza terdengar berat ketika dia menuruni tangga menuju ruang makan. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh aroma kopi dan roti panggang, tanda bahwa keluarganya telah memulai sarapan pagi. Di meja makan, ibunya, Stella, duduk di ujung meja dengan sikap yang begitu dominan. Ekspresi wajahnya seperti biasa—dingin dan angkuh, seolah dunia berputar hanya di sekitar dirinya.

Di seberang meja, Caramel Elise Parvyez, saudari yang baru dia ketahui beberapa bulan lalu, duduk dengan sikap lembutnya yang khas. Penampilannya sempurna, rambutnya tertata rapi, dan wajahnya menunjukkan ketenangan yang hampir membuat Ellyenza muak. Seolah-olah Caramel tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini, tapi pada saat yang sama, dia terlihat begitu diterima. Ellyenza merasa ada jurang yang tak terlihat namun sangat nyata di antara mereka.

Stella, tanpa menoleh, berbicara dengan nada yang tegas namun tanpa emosi. “Besok kau akan menemani Kara ke acara keluarga,” katanya sambil menyibukkan diri dengan secangkir kopi di tangannya.

Ellyenza mendengus kecil, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Apakah aku punya pilihan lain?” tanyanya, meski dia tahu jawabannya sudah pasti.

Stella tidak menanggapi dengan ekspresi apa pun. “Kamu tidak akan pernah berubah, Ellyenza.” katanya dengan nada yang lebih rendah, sendok di tangannya bergerak anggun untuk mengambil sesendok bubur.

Ellyenza merasa sindiran itu seperti tusukan kecil yang tidak lagi bisa menyakitinya. Sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dia balas dengan senyuman tipis, penuh sarkasme. “Tentu saja tidak. Bukankah itu yang paling kau sukai dariku, ma?”

Stella tetap tidak bereaksi, pandangannya tetap fokus pada makanannya, seolah kehadiran Ellyenza di ruangan itu hanyalah sebuah bayangan yang tidak penting. Bagi Ellyenza, ini bukan hal baru. Ibunya selalu memperlakukannya dengan sikap dingin seperti itu—seolah-olah Ellyenza tidak lebih dari pion yang bisa diabaikan.

Di sisi lain meja, Caramel duduk dengan tenang, tampak terasing meski berada di tengah-tengah mereka. Tangannya yang halus mengaduk-aduk makanan di piringnya tanpa benar-benar makan. Sikapnya yang selalu tenang dan lembut, bagi Ellyenza, terasa seperti ejekan. Ellyenza merasa Caramel seperti bayangan sempurna yang selalu ada di hadapannya, mengingatkannya pada semua hal yang dia tidak miliki—dan mungkin tidak akan pernah miliki.

“Kara, jangan lupakan tugasmu hari ini.” ujar Stella dengan nada lebih lembut saat berbicara kepada Caramel, jauh berbeda dengan nada suaranya ketika berbicara dengan Ellyenza.

Caramel mengangguk pelan, “Iya, mama. Kara tidak akan lupa.” Suaranya lembut dan penuh ketundukan, sesuatu yang membuat Ellyenza semakin muak.

Ellyenza meletakkan sendoknya dengan kasar di atas meja, membuat sedikit suara, tapi tidak ada yang bereaksi. Dia tahu dia tidak diinginkan di sini, tapi dia juga tahu bahwa tidak ada tempat lain untuknya. Dengan cepat, dia berdiri dari kursinya, meneguk kopi hitam di depannya dalam sekali tegukan, meskipun rasa pahitnya memenuhi mulutnya seperti hari-harinya di rumah ini.

Sambil melangkah keluar dari ruang makan, Ellyenza tidak berkata apa-apa. Dia sudah cukup tahu bahwa segala sesuatu di rumah ini tidak akan pernah berubah. Hanya ada satu cara untuk bertahan: melawan atau menerima.

Tapi Ellyenza bukan orang yang mudah menyerah.

...• Bersambung •...

ZIELL 2 ; Interaksi Yang Dingin.

..."Bukannya takut untuk berhadapan, hanya saja ketika itu terjadi sulit buat mengendalikan perasaan."...

...- Vanellye Arch Equeenza -...

...●●●...

Aula OSIS yang luas dipenuhi oleh suara riuh anggota yang sedang berdiskusi mengenai berbagai agenda sekolah. Suara kursi yang bergeser dan percakapan yang menggema di dinding aula memberikan kesan bahwa rapat hari itu akan berlangsung cukup lama. Di depan, Kenzie William Franklyn, ketua OSIS yang dikenal tegas dan disiplin, berdiri dengan postur tegap. Tampilannya rapi dengan seragam putih yang terpasang sempurna, lengan kemejanya tergulung hingga siku. Ekspresi wajahnya serius, matanya tajam mengamati beberapa catatan di tangannya sebelum dia mulai berbicara.

"Rapat hari ini kita mulai dengan membahas persiapan acara festival sekolah bulan depan," kata Kenzie dengan nada tegas, suaranya jelas terdengar di seluruh ruangan. Dia memimpin rapat dengan cara yang efisien, tidak membuang-buang waktu pada hal-hal yang tidak perlu. Anggota OSIS lainnya mendengarkan dengan seksama, meskipun beberapa di antara mereka tampak agak gelisah.

Di tengah keseriusan itu, pintu aula berderit pelan saat Ellyenza melangkah masuk. Semua mata sedikit beralih padanya, namun dia tampak sama sekali tidak peduli. Seragamnya tidak serapi yang lain. Kemejanya tidak dimasukkan dengan benar, dan rok abu-abunya tampak sedikit kusut. Rambut panjangnya tergerai bebas tanpa usaha untuk menatanya lebih baik. Ellyenza masuk dengan langkah santai, hampir seolah tidak ingin berada di sana. Dia menatap sekeliling aula dengan tatapan datar sebelum duduk di bangku belakang tanpa sepatah kata pun.

Kenzie, yang sedang berdiri di depan, melirik ke arahnya sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, namun gerakan halus alisnya sedikit terangkat, menandakan ketidakpuasannya terhadap keterlambatan Ellyenza. Namun, dia tidak berkata apa-apa. Hanya mendesah pelan, mengalihkan kembali perhatiannya ke rapat dan mencoba mengabaikan ketidakhadiran semangat dari salah satu anggotanya itu.

"Seperti yang kita bahas minggu lalu," lanjut Kenzie, nada suaranya kembali stabil, "kita perlu memastikan bahwa setiap divisi sudah siap dengan tanggung jawab mereka untuk festival. Ini akan menjadi acara terbesar tahun ini, jadi aku harap kalian semua bisa bekerja dengan maksimal."

Ellyenza menyilangkan lengannya di depan dada, matanya melirik Kenzie yang terus berbicara dengan penuh semangat tentang tanggung jawab OSIS. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengus dalam hati. Bagi Ellyenza, semua ini hanyalah formalitas yang tidak menarik. Kenzie dengan segala kesempurnaan dan kedisiplinannya, tampak membosankan baginya. Meski dia tahu bahwa Kenzie adalah ketua OSIS yang dihormati oleh banyak orang, bagi Ellyenza, pria itu hanyalah seseorang yang terlalu terpaku pada aturan dan tidak bisa bersenang-senang.

Rapat berlangsung selama hampir satu jam. Kenzie tetap memimpin dengan sikap yang sama-tegas dan penuh kontrol. Namun, selama rapat itu, sesekali matanya kembali melirik ke arah Ellyenza, seolah ingin memastikan apakah dia memperhatikan atau tidak. Ellyenza, di sisi lain, hanya duduk di sana, tampak acuh tak acuh, seolah tidak ada satu hal pun yang menarik perhatiannya.

Ketika rapat berakhir, Kenzie memberikan instruksi terakhir sebelum semua anggota mulai beranjak keluar dari aula. Ellyenza berdiri dengan malas, melempar pandangan sekilas ke arah Kenzie sebelum melangkah keluar, tanpa sepatah kata pun diucapkan. Kenzie melihatnya pergi, bibirnya menipis, tapi lagi-lagi dia memilih untuk tidak menanggapi. Interaksi mereka selalu seperti itu-dingin dan penuh jarak.

...•••...

Di dalam kelas, suasana berbeda dari aula OSIS yang penuh formalitas. Saat pelajaran matematika berlangsung, kebanyakan siswa tampak bosan, menatap ke papan tulis tanpa banyak minat. Ellyenza duduk di bangku tengah bersama dua sahabatnya, Ayu dan Chitra, yang juga tampak lebih sibuk dengan percakapan mereka daripada pelajaran yang sedang berlangsung. Guru di depan sedang menerangkan rumus-rumus aljabar yang rumit, namun Ellyenza sama sekali tidak memperhatikannya.

Ayu, dengan rambut hitam panjang yang dikepang rapi, menoleh ke arah Ellyenza dan berbisik, "Ell, kamu jadi datang ke pesta akhir pekan nanti, kan?"

Ellyenza tersenyum kecil, mengangguk santai. "Tentu saja. Aku nggak mungkin melewatkan acara kayak gitu."

Chitra, yang duduk di sebelah Ayu, ikut menyeringai. "Aku dengar acaranya bakal seru banget. Kamu udah siapkan dress yang bakal bikin semua orang terpesona, kan?" tanyanya sambil menggoda.

Ellyenza tertawa pelan. "Pasti dong. Aku bakal datang dengan penampilan terbaik. Ini kesempatan buat bersenang-senang, kan?"

Ayu mengangguk setuju, matanya berbinar-binar membayangkan keseruan pesta yang akan datang. "Aku dengar DJ-nya juga keren. Pokoknya harus seru!"

Namun, di tengah percakapan seru mereka tentang pesta, Chitra tiba-tiba menyikut Ellyenza dengan senyum nakalnya. "Ngomong-ngomong soal seru ... Kamu ada hubungan apa sama Kenzie?"

Ellyenza langsung memutar bola matanya, mendengus. "Kenzie? Jangan bercanda! Dia cuma cowok membosankan yang nggak punya nyali buat bersenang-senang."

Chitra tertawa terbahak-bahak, menutupi mulutnya agar tidak terlalu menarik perhatian guru di depan. "Iya, iya, aku tahu. Tapi setiap kali kalian ketemu, pasti ada aja ketegangannya."

Ayu ikut tersenyum, menambahkan, "Mungkin dia sebenarnya tertarik sama kamu, Ell. Tapi caranya menunjukkan itu agak beda."

Ellyenza menggeleng cepat. "Nggak mungkin. Dia terlalu serius untuk hal-hal kayak gitu. Lagi pula, aku nggak tertarik sama orang kayak dia. Hidupnya cuma tentang aturan dan disiplin. Bosan banget!"

"Coba deh, siapa tahu di balik sikap seriusnya itu ada sesuatu yang menarik," goda Chitra lagi, membuat Ellyenza hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

Sementara percakapan mereka berlanjut, guru di depan masih berbicara tanpa menyadari bahwa beberapa muridnya sudah tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Bagi Ellyenza, hari-harinya di sekolah tidak lebih dari rutinitas yang harus dijalani. Pesta akhir pekan nanti adalah satu-satunya hal yang saat ini membuatnya bersemangat, setidaknya untuk sementara mengalihkan pikirannya dari segala hal yang membuatnya merasa tertekan.

Meski begitu, di balik canda dan tawa bersama teman-temannya, Ellyenza tahu bahwa ada sesuatu tentang Kenzie yang selalu membuat pikirannya terusik. Bukan karena dia tertarik, tapi karena setiap kali mereka bertemu, selalu ada ketegangan yang tidak bisa dia jelaskan. Mungkin karena Kenzie begitu berbeda darinya, atau mungkin karena dia selalu merasa bahwa Kenzie mengawasinya dengan cara yang berbeda.

Saat bel tanda istirahat berbunyi, Ellyenza, Ayu, dan Chitra berdiri dari kursi mereka, bersiap untuk pergi ke kantin. Percakapan mereka masih berkisar tentang pesta akhir pekan nanti, tapi di dalam kepala Ellyenza, pikirannya sempat melayang sejenak, memikirkan Kenzie yang selalu terlihat begitu tenang dan terkendali. Entah mengapa, dia merasa sedikit terganggu dengan ketenangan itu.

...• Bersambung •...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!