Hantaman keras mendarat di pipi seorang siswa sampai membuatnya terjungkal cukup jauh. Bambang, pria yang baru saja memukul siswa bernama Laut menyuruh Mardhi, rekannya yang bertubuh paling besar dan kekar di angkatannya untuk menjagal anak laki-laki itu.
“Aku masih belum selesai!” hardik Bambang yang langsung disusul dengan pukulan beruntun, meski tak ada tanda-tanda pria di depannya akan melawan.
Di sisi lain Reza melakukan live streaming pada media sosial mereka sambil meminta koin untuk setiap pukulan yang dilayangkan oleh Bambang.
Darah yang keluar telah menggenang di tanah berdebu, beberapa percikannya menodai pakaian yang mereka kenakan. Namun sekali lagi tidak ada niat untuk mereka berhenti sampai semua emosi Bambang puas tersalurkan. Cerca terus saja dilontarkan, meski telah berlangsung lama, walau sama sekali tak mendapatkan respons apa pun.
Bambang beserta gengnya sebetulnya bingung akan reaksi yang dilontarkan oleh Laut. Sudah beberapa hari ini mereka mengerjainya dengan sengaja menyiprat seragam sekolahnya dengan lumpur, menaruh karet di tempat duduknya, membuang baju olahraganya, bahkan menipu wali kelas kalau ia membawa rokok ke sekolah. Namun tidak ada perlawanan, tak ada kalimat apa pun yang keluar dari mulutnya, yang selama ini biasa mereka dapatkan dari anak-anak lainnya. Terutama si kutu buku seperti Laut. Justru reaksi yang mereka bertiga dapatkan hanyalah tatapan mata tajam.
Tatapan mata itulah yang membuat Bambang dan gengnya risih, yang kini rasa geram itu tak lagi bisa ditahan hingga akhirnya mereka menyeret pria itu ke gedung belakang sekolah untuk memukulinya, tapi sekali lagi tak ada tanggapan apa pun selain tatapan tajam. Bahkan setelah Bambang memukulinya berulang kali, Laut masih saja menatap tajam ke arahnya.
”Apa yang kau lihat, brengsek!“ raung Bambang sembari melancarkan pukulan kuat hingga membuat pegangan Mardhi lepas, membiarkan anak laki-laki itu kembali mencium tanah berdebu.
“Kenapa kau melepasnya?!“ Bambang memprotes dengan napas terengah-engah.
“A-aku cape,” tutur Mardhi. “apa sebaiknya kita berhenti saja?”
Bambang yang menaruh kedua tangannya pada lutut karena kelelahan hanya memberikan tatapan menusuk ke arah Mardhi, tapi pria berotot itu tak ingin melanjutkan kegilaan Bambang karena ia mengira bisa saja Bambang justru membuat Laut mati.
Reza yang baru saja mengakhiri live streaming¬-nya menghampiri Bambang lalu menepuk pundaknya. “Sudah cukup, Bos.” anjur Reza. “Ga ada serunya mainan yang ga bisa dipakai lagi,”
Bambang berdiri sempurna lalu menengadah kepala dan mengembus napas keras. “Urusan kita belum selesai, pecundang!” sentaknya.
Terpogoh-pogoh Laut bangkit. Kedua bola matanya masih tajam mengarah ke Bambang dan gengnya. Ia berkata, “Berhenti menggangguku.”
Mendengar itu Bambang naik pitam, hendak melancarkan tinjunya lagi, tapi dengan sigap dihalau oleh Mardhi dan Reza.
“Lepaskan aku! Si brengsek itu perlu diberi pelajaran!” Bambang meraung memaksa melepaskan jagalan rekan-rekannya.
”Sudahlah Bos, sudah cukup hari ini,” pinta Reza memelas.
“I-iya, sudah cukup,” imbuh Mardhi.
“Hey kutu buku!” Reza berseru. “Cepat pergi dari sini!”
Tanpa bantahan Laut pergi meninggalkan para perundungnya begitu saja. Hatinya sama sekali tak menyimpan dendam, otaknya tidak memikirkan cara untuk membalas mereka, justru mengulas materi yang akan diujikan minggu besok.
***
Seminggu berlalu cepat. Bambang dan kedua rekannya tak lagi mengganggu Laut meski mereka berulang kali mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Entah apa yang terjadi, juga entah apa yang telah mereka siapkan untuk merundung Laut lagi. Apa pun itu sama sekali tak ia pikirkan. Laut hanya fokus pada ujiannya.
Kala ujian berakhir, seluruh siswa diminta tinggal di kelas untuk mengoreksi hasil pekerjaan mereka sendiri. Si guru bangkit lalu meminta ketua kelas membaca kunci jawaban di depan kelas, sementara dirinya pergi ke ruang guru.
”Koreksi jawaban kalian sendiri. Ingat, kecurangan tidak akan diberi ampun!” si guru berseru.
”Baik.” Para siswa menjawab dengan kompak.
Ketika guru sudah meninggalkan kelas, Hadi melangkah maju melakukan tugasnya: membacakan kunci jawaban. Sementara dua puluh empat siswa laki-laki lainnya di kelas X IPA-10 mengoreksi jawaban mereka masing-masing.
”Satu A, dua C, tiga D, empat B, lima E, enam....”
Semuanya berjalan biasa, sewajarnya siswa menengah atas. Tanpa protes, tanpa kecurangan, tanpa ada kegaduhan sama sekali. Selayaknya sekolah favorit. Sampai pada nomor tujuh belas, salah seorang siswa menggebrak meja keras membuat semua mata terfokus padanya. Namun tak ia pedulikan, tetap pada aksinya, kesal. Pria itu geram lantaran pelajaran yang selama ini ia mati-matian belajar akhirnya mendapat satu kesalahan. Kesalahan yang baginya mustahil terjadi karena soal itu terbilang sangat mudah, baginya.
Kemarahan pria itu jelas terlihat dari tatapan mata juga alisnya yang meruncing. Bahkan saat ketua kelas kembali melanjutkan membaca kunci jawaban, pria itu tetap bergeming. Giginya gemeletuk menahan amarah yang begitu besar. Tangannya menggenggam bolpoin dengan sangat kencang hingga patah.
Sampai akhirnya emosi tak lagi bisa ditahan, seketika pria itu bangkit, menghentakkan kaki keras, melangkah ke kursi paling pojok belakang. Menatap tajam mata siswa di depannya lalu mendaratkan kepalan tangan tepat di pipi pria itu sampai terjungkal dan ambruk menubruk tembok.
Seluruh siswa terkejut akan apa yang baru saja terjadi. Mereka mematung melihat Bambang, putra sulung keluarga Bhaskoro yang menyumbang dana besar di sekolah mereka tersungkur di lantai berdebu setelah dihantam oleh Laut yang pendiam dan penggila belajar.
Setengah bulan lalu.
Dering alarm berbunyi keras, tapi tak sanggup membangunkan seorang anak laki-laki remaja meski sudah setengah jam tidak henti bersuara.
”Laut! Lauuut!“ gema ayahnya berseru hampir ke tiap sudut ruangan. “Bangun! Kau bisa kelaut !“
Kesal pria berkepala lima itu membuka tirai dengan keras. Menyilakan cahaya matahari menusuk wajah anaknya yang masih pulas tertidur. Ia lihat muka putranya sekali lagi, bahkan walau sekujur tubuhnya telah terpapar sinar, tak ada tanda-tanda ia akan bangun.
“Anak ini,” gerutunya. Setelah mengembus napas, pria itu menyingkirkan selimut lalu menarik kaki anaknya keras sampai jatuh dari kasur.
Brak!
Anak laki-laki remaja yang dipanggil Laut akhirnya terbangun setelah kepalanya terbentur keras. Dengan setengah nyawa, ia duduk sambil mengusap kepalanya.
“Bangunlah, aku juga mesti berangkat sekarang.” ucap si Ayah meninggalkan kamar anaknya.
Laut memandang ke arah jam weker, samar, tapi ia coba fokuskan sampai membuat matanya terbelalak. Jam tujuh kurang dua puluh menit! Segera ia bersiap berangkat karena perjalanan menuju sekolah memakan waktu sedikitnya setengah jam.
Melihat anaknya yang kebut-kebutan menyiapkan diri, sampai melupakan sarapan membuat pria beruban itu kembali mengeluh. “Kenapa kau bisa diterima di SMA favorit kalau bangun saja selalu kesiangan?” tanya ayahnya dengan tetap menyantap sarapannya.
“Aku belajar sampai malam,” kata Laut sembari memakai sepatu.
“Bilang saja kau malas bangun,”
“Mana mungkin?” tanggapnya sambil meraih kunci motor dari atas meja. “aku pinjam ini,”
“Hey! Kau belum punya SIM!” ayahnya hanya berseru melihat anaknya berlari keluar rumah bagai bajing loncat, lalu memakai satu-satunya motor yang mereka punya. “Sialan! Itu kan mau kupakai buat berangkat kerja,” ia kembali menggerutu. ”ah sudahlah! Akan kuambil nanti pas istirahat makan siang.” katanya kemudian mengunci pintu rumah.
Di jalan, Laut berkendara cukup ugal-ugalan, tak jarang sesekali ia menerobos lampu merah. Untung saja hari itu tidak ada polisi yang bertugas, kalau saja ada, tamatlah pria itu. Kegesitannya dalam berkendara cukup membuahkan hasil, hingga membuatnya tak terlambat sampai sekolah. Meski nyaris saja gerbang ditutup oleh satpam.
***
Sampai di kelas X IPA-10, ia mengamati sekeliling. Beberapa siswa telah ngobrol, ada juga yang tampak membuat geng. Laut tak memedulikan, ia duduk pada kursinya. Dan tepat setelah ia duduk, sampai bel berdering tak ada satupun siswa yang mengajaknya bicara. Seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya.
Awal sekolah seperti kebanyakan sekolah diisi perkenalan dan penentuan pengurus kelas. Hadi, siswa yang ditunjuk sebagai ketua kelas memilih beberapa siswa lain untuk membantunya mengelola kelas. Semuanya berlangsung menyenangkan, tapi tidak bagi Laut. Ia lebih sibuk dengan bukunya, belajar mandiri walau buku pelajaran sama sekali belum dibagi.
Selesai masa-masa yang hangat akhirnya wali kelas mengajukan pernyataan yang membuat hampir seluruh siswa kelas X IPA-10 terkejut. “Dilarang pakai motor juga mobil kalau kalian belum punya SIM!”
Mata Laut tercekat mendengar pernyataan wali kelasnya. Terlebih ia baru saja membawa kabur sepeda motor ayahnya agar tidak telat meski belum punya SIM. Dan yang paling tidak mengenakkan hati adalah perkataan wali kelas berikutnya. “Semua siswa yang hari ini bawa motor atau mobil, ikut Bapak ke ruang guru!”
Tak ada satupun yang berdiri kecuali dirinya. Semua siswa kelas X IPA-10 bersorak, mengumpat dengan kata-kata sewajarnya siswa yang baik yang seketika lenyap saat wali kelas menyentak, “Diam! Atau kalian juga akan kena!”
***
Jam istirahat, setelah selesai mendapat omelan guru juga catatan perilaku buruk. Termasuk menelepon ayahnya—walau ayahnya yang menelepon duluan—untuk mengambil sepeda motor langsung di sekolah, Laut kembali ke kelas, duduk di mejanya lalu membuka buku untuk belajar. Berusaha melupakan kesalahan yang mustahil dihilangkan.
“Hey begundal!” Salah seorang siswa menggebrak meja milik Laut. Mardhi namanya. Ia satu-satunya siswa paling tinggi dan berotot di kelas X IPA-10. Katanya ia dipromosikan masuk ke SMA ini karena sering memenangkan kejuaraan karate. “kenapa berandalan sepertimu bisa diterima di sini?”
Laut tak merespons, ia tetap sibuk mengerjakan soal pre-test yang didapatkan dari internet.
“Sok amat!” serunya dengan membuang buku yang sedang Laut pakai.
Laut menatap tajam mata Mardhi tanpa kata lalu mengambil buku di sisi kirinya. Belum juga tumpukan kertas itu terangkat salah seorang siswa lainnya sengaja menaruh kakinya di atas buku itu. Kembali Laut hanya memberikan tatapan tajam tanpa kata.
”Sorry, accidentally—“Maaf, ga sengaja,”
Bahkan setelah Laut mengembus napas, anak di depannya tak kunjung mengangkat kakinya. Membuat ia memaksa untuk menarik bukunya hingga siswa itu tersentak dan punggungnya menubruk ujungan meja.
“Sh*t!” Pria itu berseru lalu mendaratkan bogem tepat ke arah muka Laut.
Laut terjungkal bersama meja dan kursinya sampai ia mencium lantai.
”Strike!” Reza berseru girang.
Sementara siswa lain hanya melihat apa yang Bambang dan gengnya lakukan tanpa berani mengganggu apalagi melaporkan.
”Look at your position, jerk! You’r our slave now!—“Lihat posisimu, brengsek! Kau adalah budak kami sekarang!”
Itulah awalnya, awal dari semua mimpi buruk yang akan dialami Laut setiap hari di SMA favorit. Sekolah yang selama ini ia impi-impikan dapat belajar di sana yang kini menjadi mimpi paling buruk yang takkan pernah seorang pun bisa membayangkannya.
Pukulan itu menghantam tepat di wajah Laut, membuatnya ambruk bersama meja dan kursinya. Kala semua mata tertuju ke arahnya dan kata-kata cemoohan terlontarkan, ia tetap mengatup mulut sambil memegangi pipinya. Bibirnya bergerak, bukan untuk memaki melainkan mengulas materi yang sedang dipelajari: algoritma.
“Apa yang kalian lakukan?” Hadi bertanya hampir berseru melihat kerusuhan yang terjadi di kelasnya. Pria itu datang bersama dua pengurus kelas lainnya sembari membawa buku paket yang akan dibagikan.
Sambil bangkit dan membenarkan tempat duduknya, Laut melanjutkan kalimatnya yang terdengar bagai rapalan mantra. Walau samar tapi masih cukup terdengar bagi orang-orang di sekitarnya. ”Variabel input dari pukulan adalah tulang, otot, dan energi. Sementara pipiku jadi variabel outputnya,”
”Apa yang kau katakan, brengsek?!“ geram Bambang.
“Energi yang dikeluarkan menekan otot untuk melilit tulang lebih kencang,“ Laut menyambung ucapannya dengan membereskan buku dan alat tulisnya. “sehingga membuatnya jadi lebih kuat. Itu mirip seperti kumparan,”
Melihat Laut terus saja mengoceh membuat emosi Bambang naik pitam. Ia kembali mengepal tangan dan melancarkan serangannya.
Namun kali ini Laut sigap menangkap tinju itu lalu berkata, “Beberapa orang mengira perundungan sebagai sesuatu yang mengasikan, tapi sebetulnya itu bukanlah perpindahan melainkan gaya. Kau tahu, semakin banyak gaya yang dikeluarkan, semakin sedikit perpindahan yang terjadi?”
“Hentikan!” Hadi berseru memaksa Laut melepas genggamannya. ”Kembalilah duduk, guru sedang ke sini,” tambahnya lalu membagi buku paket.
Sementara Bambang dengan raut wajah kesalnya melangkah ke tempat duduknya sambil berkata, “Kutunggu kau sepulang sekolah.”
***
Hari pertama masuk sekolah, seperti kebanyakan sekolah pada umumnya membolehkan siswa-siswinya untuk pulang gasik, tak terkecuali salah satu SMA favorit di negara ini. Pada tengah hari, di mana semestinya para siswa menyantap bekal makan siang mereka, kini justru berebut diri untuk segera keluar dari gerbang sekolah. Meski sebagian besar memilih untuk berkeliling mencari ekstrakulikuler yang sekiranya cocok untuk mereka.
Laut, sebagai siswa yang diancam oleh Bambang pun berdiri ketika wali kelas membolehkan kelas X IPA-10 pulang. Namun segera dihadang oleh Bambang beserta gengnya.
”Mau ke mana kau?” Reza bertanya dengan nada intimidasi. “Mau kabur, heh?!”
Di belakangnya Mardhi menekan kedua pundak Laut keras, memaksanya tetap duduk.
Sedangkan Bambang berdiri angkuh tepat di hadapannya. “Urusan kita belum selesai,”
Laut menengadah kepala, membalas tatapan mata Bambang dengan pandangan menusuk membuat pria itu kian emosi sampai berteriak, “Cari mati, ya?!”
Namun selanjutnya tak terjadi apa pun karena wali kelas yang kembali ke kelas sambil berseru, “Laut! Kenapa masih di kelas? Cepat ikut Bapak ke kantor!”
Mau tidak mau Bambang meminta rekannya membiarkan Laut pergi. Walau harus menekan amarahnya hingga memukul meja.
“Gimana nih, Bos?” tanya Reza kesal setelah Laut dan wali kelas pergi. “Mau ditunggu?“
Gemeletuk gigi Bambang terdengar jelas. Wajahnya penuh kejengkelan yang tertahan.
“Tapi, aku harus pergi ke gym,” saut Mardhi.
”Idiot!” bentak Reza sambil menggeplak kepalanya. ”Kita harus kasih pelajaran ke pecundang itu, atau dia bakal makin belagu besok! Ya ga, Bos?!”
Kepalan tangan Bambang menunjukkan seberapa tinggi emosi yang ia tekan. Namun pria itu tak berkata sama sekali.
”Aku punya ide!” seketika Mardhi berseru memecah keheningan. ”Gimana kalau kita rusak saja motornya?”
”Briliant!” Reza berteriak. “Kukira otakmu isinya otot semua, hahaha....” imbuhnya. “Gimana, Bos?”
Seringai Bambang berkilat membuat kedua rekannya berseru girang.
“Kau tahu yang mana motornya?” tanya Reza kembali.
Mardhi meringis lalu tertawa kecil sambil berkata, “Engga,”
“Geblek!” Reza kembali menggeplak kepala Mardhi. “Dasar otak otot!”
“Ayo ke ruang CCTV,” ucap Bambang kemudian.
Reza menanggapi dengan siulan kecil sambil berkata, “Anak investor sekolah, bebas akses manapun. Mantap!”
Sedangkan Mardhi mengangguk setuju.
***
Di ruang guru, Laut yang berulang kali tak dapat menelepon ayahnya diberi perintah untuk membantu guru merapikan data-data pada file excel. Namun dengan kelihaiannya, siswa itu mampu menyelesaikan tugas dalam beberapa menit saja yang padahal selama ini wali kelasnya kerjakan lebih dari seminggu.
”Selesai Pak,”
”Apa kau bercanda denganku?!” tanya si wali kelas kesal. “Bawa ke sini!”
Laut menuruti perintah Darius dan menunjukkan hasil kerjanya. Pria lajang yang baru saja diputuskan pasangannya karena masalah prinsip itu mengamati data pada layar laptop di hadapannya. Dan alangkah terkejutnya ia dengan apa yang telah digarap oleh Laut.
Entry data bukanlah pekerjaan enteng yang dapat dengan cepat diselesaikan apalagi oleh seorang siswa kelas sepuluh sepertinya, meski di sekolah favorit sekalipun. Namun barang kali memang anak-anak SMA zaman sekarang lebih memahami IT ketimbang dirinya yang telah menjadi guru lebih dari lima belas tahun.
“Ini beneran selesai,” ucapnya. “kau ... apa kau mau masuk jurusan IT?“
Laut menunduk kepala dan kembali ke tempat duduk yang disediakan.
“Anak zaman sekarang memang selalu mengejutkan.” bisik hati Darius lalu kembali kepada pekerjaannya.
***
Selesai mengecek CCTV, Bambang beserta dua rekannya menuju parkiran dan mencari sepeda motor putih merek Suzuki GP125. Suzuki jenis ini terbilang nyaman dan mampu menembus batas kecepatan hingga 140 km/jam dalam waktu singkat. Inilah alasan mengapa Laut tidak terlambat ke sekolah.
“Selaranya mirip bapak-bapak,“ ucap Reza ketika mereka akhirnya menemukan sepeda motor itu.
“Potong kabel remnya,“ perintah Bambang yang langsung dilaksanakan oleh Reza.
“Kau yakin memotong semua remnya? Pakai motor tanpa bisa direm, itu bahaya banget, kan?” kata Mardhi gelagapan yang seketika kembali mendapat gamparan pada kepalanya.
“Otakmu itu isinya cuma otot, sudah diam saja!” hardik Reza.
“This a lesson for stupid people like him.—“Ini pelajaran untuk orang belagu sepertinya.” sentak Bambang dengan tatapan tajam yang langsung menciutkan mental Mardhi.
***
”Kapan ayahmu sampai?“ tanya wali kelas X IPA-10 sambil menyudai pekerjaannya. Bukan karena selesai, tapi otaknya sudah lelah. Dirinya butuh istirahat. Sedangkan siswa yang ia ajak bicara tengah sibuk mengerjakan soal. Dalam hatinya bertanya, ‘Untuk apa belajar? Pelajaran saja belum dimulai.’
“Apa masih belum bisa dihubungi juga?“ tambah Darius.
“Ayahku tak pernah malas mengangkat telepon sebelumnya,“
“Apa maksudmu?“ gerutu Darius. “Kalau ayahmu sedang sibuk, suruh ibumu saja yang datang,”
“Dia sudah mati saat aku lima tahun,” jawab Laut dingin.
“Maafkan aku,” kata Darius tergagap.
Hening. Keduanya diam untuk waktu yang cukup lama, sampai akhirnya Laut mencoba menelepon ayahnya lagi tapi tetap tidak diangkat.
“Masih tidak menjawab?“ tanya Darius.
Laut tak merespons.
“Bilang saja kalau ayahmu tak mau bertanggung jawab,“
Pria yang dibicarakan akhirnya menelepon.
“Lihat, ia tak pernah malas bertanggung jawab.” ucap Laut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!